Pagi itu Malati bangun dengan terlonjak kaget. Merasa ia tengah terdampar di negeri asing, kamar asing dengan perasaan yang asing. Ia bangun kesiangan tepat pukul delapan. Pantas saja, cahaya matahari sudah menyengat kulit karena Aldino membuka sebelah jendela yang menghadap balkon. Belum lagi angin sudah berdesak-desakkan menerobos masuk, menggoyangkan tirai vitrase dan anak rambut Malati yang sudah lancang menyapu keningnya. Setelah mengumpulkan sejumput kesadaran, gadis berponi itu barulah sadar jika dirinya masih berada di kamar penginapan. Mengejutkan, ia baru ingat semalam ia tidur seranjang lagi dengan Aldino. Seketika keningnya bergelombang mengingat kejadian semalam. Memang bukan pertama kalinya Malati tidur seranjang dengan Aldino. Namun kali ini ia panik setengah mati karena ia bangun dengan rambut yang tergerai kemana-mana dan kancing kemeja piyama yang lepas di bagian atas. Entah sejak kapan ia melepas hijabnya. Pantas saja, ia merasa lehernya kedinginan tersapu angin d
Perhatianmu tumbuhkan rasamu!“Pak, saya ingin bicara.”Malati menghampiri Aldino yang tengah duduk sembari menyeruput kopi di ruang tamu. Ia terlihat santai dengan pakaian santai. Kaos oblong putih dan celana selutut berbahan jeans berwarna biru. Dengan penampilan seperti itu Aldino tidak terlihat seperti seorang kepala sekolah. Ia seorang pria dewasa dengan aura yang cemerlang. Malati tak menampik jika Aldino itu memiliki sejuta pesona yang bisa menghanyutkan setiap gadis yang melihatnya. Malati memberanikan dirinya untuk mendekat. Ia mendaratkan bokongnya di atas sofa berseberangan dengannya. Ia sudah mengumpulkan sejumput keberaniannya, berniat ingin membicarakan hal penting menurutnya.“Bicaralah!” sahut Aldino dengan santai. Kebalikan dengan perasaannya, ia sebetulnya merasa bersalah dan gugup atas kejadian satu jam yang lalu di mana mereka ‘berciuman’ kendati tak sengaja. Naasnya, Aldino justru tak melepaskannya dan memilih memeluknya. Ia sendiri tidak tahu apa alasan mengapa
“Aih, kau salah memakai kostum, Malati! Halo!” seru Sulis menatap gadis berparas minim ekspresi dengan meliuk liukan sebelah tangannya secara gemulai ke hadapan wajah Malati. Kebalikan dengan Malati, Sulis wanita ekspresif dan ceria. Jika bersedih hati maka ia terlihat sedih. Jika tengah bergembira maka ia terlihat gembira. Jauh panggang dari api. Malati lebih banyak menampakan wajah datar apapun perasaannya, baik sedih atau bahagia. Hanya semenjak mengenal Aldino ia mengalami perubahan cukup signifikan. Sedikit. Ia bisa tersenyum, tertawa dan menangis sejadi-jadinya saat bersama pria bertubuh besar itu.“Mau kemana?” Malati bertanya berdasarkan pertanyaan Sulis.“Mau berziarah ke makam Ferry Salim Tanujaya.”Sulis menjawab dengan serius.“Tunggu!” panik Malati. Bukankah Sulis mengatakan jika mereka akan bertemu dengan Claire, putri Laura Tan, Profesor Matematika.Cit,Ban mobil berdecit. Dengan keterpaksaan, Sulis mengerem mobil kijang legend milik ayahnya secara mendadak.“Jangan
Malati berusaha melepas tangan Aldino Tama Waluyo namun sia-sia. Tenaga Malati tak sebanding dengan tenaga Aldino. Ia pun mengikuti langkah Aldino yang besar menuju mobil Aldino yang terparkir di area parkir kendati berjalan dengan tersaruk-saruk.Sulis yang melihat Malati ditarik mirip becak, langsung mengejarnya.“Wait! Wait! Tunggu! Anda mau bawa kemana Malati? Um, saya masih punya urusan dengannya,” sela Sulis menghadang jalan mereka.Aldino seketika melayangkan tatapan tajam ke arah Sulis hingga membuat Sulis sedikit gelisah. Sial, pria itu tampak semakin tampan saat marah, batin Sulis.“Tugas Malati membimbing anak-anak Olimpiade selesai. Saya harus mengantarnya kembali pulang ke Bogor.”Aldino mengatakan itu dengan suara yang tegas. Aura kharismatik Aldino tak bisa diabaikan.Malati memelototi Sulis agar tidak berkomentar. Ia memberikan kode agar Sulis tidak membantahnya. Meskipun sebetulnya Sulis merasa kesal. Ia sudah memiliki rencana yang tersusun untuk mengajak Malati mengu
Sesekali Malati mendelik ke arah Aldino yang tengah tidur pulas di ruang tamu. Seorang cucu pengusaha teh ternama tidur di atas sofa yang keras dengan posisi meringkuk mirip seekor kucing. Sungguh menyedihkan.Rasanya tak tega melihat cara tidur Aldino. Namun salah siapa, Aldino ingin menginap di sana. Malati sudah menyuruhnya pulang tetapi lelaki dewasa itu bersikukuh ingin menginap di sana. Hanya ada satu ranjang yang terpasang di kamar yaitu ranjang kamar ke dua orang tuanya. Oleh karena itu Aldino tidur di sofa ruang tamu sedangkan Malati di kamar mendiang ayah dan ibunya.Dalam diam, Malati mengambil selimut dari balik kamarnya dengan maksud akan menyelimutinya. Kendati masih marah pada pria itu, ia masih memiliki empati padanya.Pagi beranjak. Malati sudah mempersiapkan sarapan untuk Aldino. Namun Aldino tidak terlihat di manapun.Mungkin pria besar itu pulang. Syukurlah ia merasa lega.Namun siapa sangka Aldino baru saja masuk ke dalam rumah sehabis olahraga jogging. Terlihat
“Fuck*ng sh*t! Semua gara-gara kau Malati! Sudah kubilang jangan bertindak gegabah!”Sekonyong-konyong Sulis mengumpati Malati. Ia kesal dan murka pada gadis itu. Sebuah ide gila ketika Malati mendatangi Sarah Sasongko.Wanita yang berperangai lembut itu tiba-tiba berubah menjadi iblis sesaat mendengar penjelasan Malati bahwasanya Ferry telah menghamili Claire-mantan pacarnya. Sarah tidak terima sebab ia merasa Ferry anak baik bukan begajulan yang suka main perempuan. Apalagi terlibat dalam pergaulan sex bebas anak remaja.Separuh waktu Ferry dihabiskan di sekolah boarding school dari pagi buta hingga sore menjelang. Hari libur diisi dengan ekskul basket, sains, catur dan badminton. Jika bertemu dengan Claire pun hanya di sekolah. Tak pernah punya waktu berduaan atau kencan di luar. Begitulah pengakuannya Sarah Sasongko bersumber dari mantan suaminya, Adi Tanujaya. Sebab Ferry tinggal bersama sang ayah. Semua ruangan di rumah Adi Tanujaya diawasi CCTV. Pun, ia tak pernah sendirian. I
Aldino menggenggam tangan Ana dengan erat. Seolah ia tak ingin melepas kepergiannya lagi. Sesekali ia mengecup punggung tangannya dengan mesra.“A-aku sudah la-ma tidur.”Raisa Silvana Basalamah menggerakan bibirnya perlahan dan bersuara. Ia menatap Aldino dengan mata yang berbinar. Sebuah tanda rasa bahagia karena bisa bertemu lagi dengan kekasih hati.Ana merasa dirinya baru saja bangun dari tidur panjang. Ia tidak bisa mengingat segala sesuatu dengan rinci dan detail. Otaknya masih butuh memproses mengumpulkan setiap kepingan memori layaknya puzzle. Namun ingatan tentang kekasihnya begitu kuat sehingga ketika ia bangun, orang yang pertama kali ia tanyakan ialah ‘di manakah Aldino?’“Mas Al,” imbuh Ana. Ia tersenyum memanggil Aldino dengan panggilan Mas. Mereka memang sangat dekat karena tumbuh bersama saat mereka masih kecil. Sehingga tidak ada sekat di antara mereka. Namun ketika mereka mulai merajut kisah asmara, Aldino ingin sekali Ana memanggilnya dengan sebutan Mas.“Pssttt
“Malati, kau menangis?” tanya Aldino menatap manik mata gadis itu yang terlihat sudah berembun. Aldino tidak buta. Air mata tampak menggenang di mata istri kecilnya. Air mata kesedihan dan luka.“Kelilipan Pak,” sahut Malati seraya menepis tangan Aldino.Namun Aldino tak percaya dengan apa yang ia sampaikan. Ia mencekal pergelangan tangan Malati, menahannya pergi.Malati meringis karena Aldino tepat menyentuh bekas luka terjatuh saat ia mengunjungi rumah Sarah Sasongko ketika ia dikejar Herder.“Ough,” gumam Malati pelan. Terpaksa ia terdiam.Melihat wajah Malati yang tengah menahan sakit, Aldino melepas tangannya. Tatapannya tertumbur pada wajah imut itu lalu jatuh pada pergelangan tangannya. “Kau sakit?” tanya Aldino memangkas jarak di antara mereka.Mendapat pertanyaan seperti itu Malati sontak menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh terlihat lemah di hadapan Aldino. Ia tak mau mendapat perhatian pria bertubuh penuh otot itu-yang kelak membuat dirinya salah paham. Malati menghela
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang