Malati panik melihat kedatangan Aldino secara tiba-tiba ke kamarnya. Setahu dirinya, Aldino tadi pergi ke tempat olimpiade. Namun kini pria berotot itu datang kembali sembari membawa dua buah tentengan di tangannya; satu kantong plastik berisi ayam goreng dan satu lagi paper bag bertuliskan nama sebuah butik.Bukan salah Aldino datang melesak masuk ke dalam kamar begitu saja. Malati lupa mengunci pintu kamarnya, pikirnya. Bukan, ini salah sang empunya rumah. Ring kunci pintu kamar tersebut rusak. Berbeda dengan pikiran Malati, Aldino justru terfokus pada wajah gadis itu yang dalam kondisi tanpa penutup kepala.Cantik! Rambutnya yang sebahu dengan poni yang bertengger di keningnya benar-benar menggemaskan.“Kau tidak mengunci pintu?” tanya Aldino menghampiri Malati yang masih terlihat syok. Pria bertubuh bak binaragawan itu berusaha mengontrol perasaan kagumnya pada gadis itu. “Um, kuncinya rusak, Pak,” jawab Malati sedikit tergeragap. Malati bahkan lupa jika ia tidak memakai jilba
Malati kebelet ingin buang air kecil karena terlalu banyak minum untuk mengatasi rasa gugupnya. Ia pun berlari kecil melalui lorong menuju toilet wanita. Naasnya, karena kurang berhati-hati, ia terpeleset menginjak sesuatu yang licin di atas lantai. Entah cairan apa namun berhasil membuat tubuh Malati yang ringan sempoyongan dan menubruk seorang wanita berperawakan tinggi yang berjalan berlawanan arah dengannya. Bugh, Wanita berambut disanggul mirip pramugari itu dengan sigap menangkap tubuh Malati yang ringan. “Kau tidak apa-apa?” imbuh wanita itu bernada khawatir. Malati berupaya menormalkan perasaannya, ia menarik nafas dalam lalu menjawab dengan sedikit tersendat-sendat. “Aku b-baik. Maaf, aku kurang hati-hati,” imbuh Malati menganggukan kepalanya di hadapan wanita dengan usia sepantaran ibunya. Wanita itu keturunan Chindo dan memakai almamater dosen di kampus tersebut. Malati baru ingat, ia salah satu juri di acara Olimpiade Matematika. “It’s okay, Dear! Bukan kau yang sal
“Waduh gawat, Bu Mira bengek! Rupanya dia punya penyakit asma.”Malati panik saat mendapati Mira Gumilar kini mengalami sesak nafas setelah beradu mulut dengan Linda. Pasokan oksigen di dalam paru-parunya menipis. Mulutnya menganga dengan mata yang membulat.Melihat Mira macam ikan paus yang terdampar di tepi pantai, Linda terlonjak kaget macam orang kena kejut listrik. Sumpah demi apapun, ia takut jika Mira terkena serangan jantung dan mengembuskan nafas terakhirnya karena bertengkar dengannya. Linda bisa dituduh melakukan aksi percobaan pembunuhan dengan menekan Mira Gumilar.Barulah ia tersadar, sikapnya barusan pada Mira Gumilar keterlaluan mengingat wanita itu memiliki rekam medis yang mengerikan. Sungguh, ia merasa menyesal mengapa terpancing emosi hanya gegara masalah sepele yang berakibat fatal.“Bu Linda, penyakit asmanya kambuh,” ujar Malati kembali dengan suara meninggi. Pasalnya semua orang hanya panik namun tak ada yang langsung bertindak untuk menolongnya. “Di mana obatn
Kata-kata Aldino terngiang-ngiang di telinga Malati. Malati merasa kesal mendengar pengakuan jujur Aldino tentang hubungan dirinya pada Yuda.“Selesai! Kami tidak memiliki hubungan lagi. Olimpiade Matematika telah usai.”Malati meremat ujung jilbabnya tanpa sadar. Perih hatinya mendengar perkataan Aldino pada Yuda. Mungkin Yuda tidak mengetahui ihwal pernikahan mereka. Namun cara Aldino menyampaikan kalimat demi kalimat itu seakan Malati hanyalah benda bekas yang sudah tidak laik digunakan lagi karena tidak berfungsi.Malati kembali ditampar sebuah kenyataan bahwa Aldino hanyalah suami di atas kertas. Gadis yatim piatu itu terkadang lupa akan posisinya di hati Aldino. Lalu mengapa perlakuan Aldino seakan bertolak belakang dengan ucapannya. Pria bertubuh besar itu memperlakukannya dengan sangat baik. Bahkan terkadang sangat manis!Malati yang dingin dan kaku bisa merasakan kehangatan perhatian yang diberikan Aldino untuknya.“Aku terlalu percaya diri! Aku lupa jika kisah hidupku bukan
“Ferry Salim Tanujaya!”Nama itu begitu saja muncul di kepala Putri Malati tatkala ia melihat sosok remaja yang jatuh dari ketinggian gedung berlantai tujuh tersebut.Pihak keamanan kampus langsung mengamankan tempat TKP dan mengusir semua orang yang menyemut di sekitar korban.Pihak kampus menghubungi tim medis termasuk pihak kepolisian untuk menyelidiki penyebab jatuhnya salah satu peserta Olimpiade Matematika yang meraih juara ke tiga tersebut. Ferry Salim Tanujaya langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Pasalnya nadinya masih berdenyut. Meskipun kenyataanya, harapan hidupnya kecil.Semua orang berasumsi, remaja itu begitu tertekan dan terobsesi ingin memperoleh juara pertama sehingga ia merasa sangat syok dan tak terima kekalahan, alhasil ia memilih mengakhiri hidupnya.Malati merasa tubuhnya bergetar hebat saat melihat langsung peristiwa mengenaskan itu. Ia bukan takut darah namun ia seolah dipaksa untuk berpikir bagaimana caranya ia harus menemukan apa penyebab Ferry Salim Tanu
“Kalau kau pikir dia jatuh terpeleset gara-gara cairan itu, kau keliru! Ferry Salim Tanujaya, seorang anak yang cerdas dan berasal dari keluarga terpandang. Kedua orang tuanya bukan orang biasa. Ayahnya Adi Tanujaya, pemilik Tanujaya Group, salah satu perusahaan real estate terbesar di Indonesia.” “Sang ibu, Sarah Sasongko merupakan seorang CEO di perusahaan sang ayah, perusahaan hospitality industry di mana banyak membangun hotel berkelas internasional. Keduanya bercerai saat Ferry Salim Tanujaya berusia lima tahun. Ferry Salim Tanujaya tinggal bersama sang ayah sedangkan sang kakak Marry Anika Tanujaya tinggal bersama ibunya dan ….,” imbuh seorang polisi di belakang Malati. Seorang polisi dari divisi Reserse meski usianya terbilang muda. Malati cukup terhenyak mendengar penuturannya. Namun ia langsung menyelanya. “Get to the point!”(Langsung pada intinya!)“Ferry anak yang sangat dituntut oleh ke dua orang tuanya untuk berprestasi. Ke dua orang tuanya menginginkan anak itu mempero
“Terima kasih,” imbuh malati menganggukkan kepalanya beberapa kali pada sosok-wanita yang dicurigai sebagai kandidat pembunuh Ferry Salim Tanujaya.Malati diseret oleh seorang petugas kebersihan kampus yang mengalami delusional. Yup, ia seorang petugas kebersihan yang mengalami gangguan jiwa, schizophrenia.Saat penyakitnya kambuh maka ia berbuat kekisruhan seperti menumpahkan cairan pembersih lantai sembarangan dan mengejar gadis berjilbab-yang ia anggap mantan istrinya yang berselingkuh. Begitulah cerita yang Malati peroleh dari wanita yang menolongnya, Laura Tan. Wanita paruh baya yang merupakan Profesor Matematika sekaligus juri yang tadi melakukan penilaian Olimpiade Matematika.“Sama-sama, Sayang,” sahut Laura Tan. Ia menatap Malati dengan tatapan yang hangat sehangat tatapan seorang ibu pada putrinya. Perasaan itu membuat Malati merasa bersalah dan gamang saat yang sama.Laura Tan, wanita dalam balutan casual kaos putih oversize dan celana jeans serta dilengkapi sepatu sneaker.
Pagi itu Malati bangun dengan terlonjak kaget. Merasa ia tengah terdampar di negeri asing, kamar asing dengan perasaan yang asing. Ia bangun kesiangan tepat pukul delapan. Pantas saja, cahaya matahari sudah menyengat kulit karena Aldino membuka sebelah jendela yang menghadap balkon. Belum lagi angin sudah berdesak-desakkan menerobos masuk, menggoyangkan tirai vitrase dan anak rambut Malati yang sudah lancang menyapu keningnya. Setelah mengumpulkan sejumput kesadaran, gadis berponi itu barulah sadar jika dirinya masih berada di kamar penginapan. Mengejutkan, ia baru ingat semalam ia tidur seranjang lagi dengan Aldino. Seketika keningnya bergelombang mengingat kejadian semalam. Memang bukan pertama kalinya Malati tidur seranjang dengan Aldino. Namun kali ini ia panik setengah mati karena ia bangun dengan rambut yang tergerai kemana-mana dan kancing kemeja piyama yang lepas di bagian atas. Entah sejak kapan ia melepas hijabnya. Pantas saja, ia merasa lehernya kedinginan tersapu angin d
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang