Hari ini Malati melakukan rutinitas pagi seperti biasa. Ia akan berdamai dengan keadaan. Ia akan membuat sarapan dan menyiapkan pakaian untuk suaminya sebagaimana tugas seorang istri sebelum ia benar-benar bercerai dengan Aldino. Selain itu ia juga ingin meminta maaf padanya atas apa yang terjadi kemarin. Semalam ia sudah merenung dan mulai berpikir tentang kesembuhan kekasih Aldino. Hal tersebut menandakan bahwa hubungan dirinya dan Aldino pun akan segera berakhir. Hanya masalah waktu! “Pak, sarapan sudah siap!” ucap Malati ketika ia baru saja selesai memasak dibantu oleh Mbok Darmi. Meskipun tubuhnya masih terasa lemah akan tetapi ia tak ingin memanjakan tubuhnya. Ia harus sehat dan beraktifitas seperti biasa. Beruntung jadwal kuliah siang sehingga ia tidak diburu waktu untuk segera pergi kuliah. Aldino menoleh dan menatap Malati dengan ekspresi datar. Aldino tengah memeriksa dokumen penting terkait sekolah MA Al Fatma yang berada di ruang kerjanya di lantai dua. Malati berbica
Di sebuah rumah bergaya timur tengah, terdengar suara perdebatan alot yang terjadi di antara sang ibu dan putranya. “Mama jelaskan apa ini!” Untuk ke tiga kalinya Mustafa Ali Basalamah meminta penjelasan pada sang ibu soal rekam medis yang ia temukan di antara tumpukan dokumen penting di ruang kerja milik ayahnya-Sulaiman. “Seperti yang kaulihat, Ali. Sudahlah! Biarlah itu menjadi masa lalu. Yang terpenting Ana bisa kembali sehat. Mama sudah tidak sabar ingin segera melihat Ana, memeluknya, mendengar celotehannya, memainkan tuts piano dengan merdu.” Hanum berusaha tenang ketika menjawab pertanyaan putranya. Tak bisa dipungkiri, ia terkejut setengah mati, bagaimana bisa dokumen itu bisa ditemukan oleh putranya padahal ia sudah menyimpannya rapat dan rahasia. “Tidak bisa Ma! Aku harus membuat perhitungan pada Aldino. Dia sudah menghancurkan kehidupan Ana. Ternyata, pria itu membawa pengaruh buruk buat Ana,” Ali menggebrak meja di depannya dengan penuh luapan emosi. Hanum mengusa
Aldino menatap istrinya dengan tatapan getir. Ia tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Ia takut terjadi apa-apa padanya. Rasa amarahnya kini tergantikan oleh perasaan bersalah karena beberapa hari ini Aldino mengabaikan istri kecilnya.Malati kini tidak punya siapa-siapa lagi di hidupnya. Ia hanya memiliki dirinya. Seharusnya ia menekan egonya, agar ia tetap bisa bersikap baik pada gadis itu selama mereka menjalani pernikahan.Kini Malati sudah mengganti pakaiannya dengan piyama satin berwarna hitam-yang ia belikan. Terlihat kulitnya yang bersih kontras dengan warna itu.Malati duduk di atas ranjang sedangkan Aldino duduk di sampingnya tengah mengobati beberapa luka yang diperoleh Malati saat jatuh dari anak tangga. Wajahnya lebam dengan sudut bibir dan pelipisnya berdarah. Tangannya pula terluka terkena gesekan dengan lantai paving block.“Sorry! Ini luka harus dibersihkan kalau tidak nanti bisa terinfeksi,”Dengan telaten Aldino mengobati luka pada wajah gadis itu dengan members
Aldino menggertakan gigi geliginya ketika mendengar perkataan Malati bahwa ia akan menceraikannya saat Ana sudah sembuh. Ia meradang padahal memang seharusnya seperti itu bukan? Aldino akan menceraikan gadis itu pada akhirnya. Namun mendengar Malati mengatakannya ia tak terima. Aldino menurunkan suaranya dan berbicara dengan lembut pada Malati. “Maaf, saya sedang banyak pikiran.” Aldino menarik tangan gadis itu dan mengusap punggung tangannya. “Dengar Mala, untuk saat ini kita sebaiknya tidak membicarakan soal perceraian.” Aldino beranjak dari kursinya, hendak pergi namun Malati kembali bersuara. ‘Tapi Pak, bagaimana kalau kekasih Bapak tahu jika kita menikah. Dia pasti sangat kecewa dan sedih saat terbangun dalam kehidupan nyata.’ Sungguh, Malati hanya mampu bersuara dalam hati. Sebagai seorang wanita, Malati memposisikan diri sebagai Ana-yang ternyata selama ini mengalami koma. Ia hanya bisa menatap punggung Aldino yang sudah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Malati pun
Perlahan ke dua bola mata Malati membeliak. Kesadarannya mulai pulih. Ia meringis merasakan sakit di bagian kepalanya. Semakin bertambah sakit saat pikirannya kini mulai menguasai otaknya. Loncatan-Loncatan peristiwa muncul dan tenggelam seperti angka-angka yang berhamburan di papan tulis.“Malati, kau sudah bangun? Kau masih pusing?”Suara Ali menyadarkan gadis introvert itu. Pria dewasa itu menatap Malati dengan raut cemas bercampur sedih. Wajah Malati pucat pasi dan terlihat lesu.Malati bangun dan menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. “Eh, Pak, aku kira siapa. Makasih sudah menolongku, ““Sama-sama Malati.”Ali menjawab dengan seutas senyum yang tulus. Tangannya terulur untuk mengambil teh manis yang berada di meja samping ranjang. “Minum dulu!” titahnya bernada lembut.Diperlakukan manis oleh dosen yang terkenal killer rasanya membuat jantung Malati berdebar-debar tak karuan. Ia merasa aneh saja mendapat perlakuan hangat dari Ali.Dengan senang hati, Malati menerima sege
Malati beberapa kali melambaikan tangannya ke hadapan muka Aldino yang terbengong lama.“Pak! Pak Aldino! Hola!” seru Malati merasa khawatir dan takut jika Aldino kesambet setan penunggu pohon bungur.Masalahnya Aldino terlihat kicep dengan tatapan mata yang kosong. Sungguh, mencurigakan.Menyadari kebodohannya, Aldino menjadi salah tingkah. Beberapa kali ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Ia menahan tawa dan merutuki isi kepalanya-yang tengah berpikir mesum.Bagaimana ia bisa berciuman dengan Malati. Semua hanyalah fantasi liarnya.Aldino memilih bangun dari ranjang dan mengobati lukanya sendiri. Berbahaya jika berduaan dengan gadis itu sekarang. Bagaimanapun ia hanyalah istri secara status. Dan, pastinya Aldino punya nafsu sebagai seorang pria normal.Selang satu kedipan mata, Aldino mengingatkan dirinya sendiri tentang Ana-kekasihnya. Ia tak boleh terjerat oleh pesona muridnya itu. Ana sudah mulai membaik dan ia akan kembali bersamanya.“Mala, saya akan memanggil dokte
Siang itu saat matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala, sepulang sekolah Aldino pergi membesuk Ana ke Jakarta. Selain ingin melihat perkembangan kekasihnya, ia ingin bertemu dengan Hanum. Hanum berhutang penjelasan padanya terkait perkataan terakhir Ali yang selalu menyudutkannya. Aldino diserbu penasaran, ingin mengetahui apa penyebab Ali begitu murka padanya hingga menyerangnya begitu saja, tanpa rasa malu saat mereka bersitatap di kampus. Padahal setahu dirinya, Ali begitu menjaga imejnya sebagai dosen killer yang angkuh saat berada di kampus.Aldino memasuki ruangan di mana Ana dirawat setelah memakai pakaian khusus. Di dalam ruangan itu hanya Ana yang terbaring di atas ranjang dengan beberapa peralatan medis yang menopang hidupnya.Menarik sebuah kursi kecil, Aldino duduk di sana di samping kekasihnya. Ia membingkai wajah cantik kekasihnya dengan lembut. Kemudian ia mengecup kening dan pipinya.“Ana, bangunlah! Ayo cepat bangun! Aku sangat merindukanmu.”Aldino tama Waluy
Malati merasa senang bisa berziarah ke pemakaman ke dua orang tuanya. Setidaknya ia bisa menyalurkan rasa rindu yang menggebu setelah sekian lama tak bertemu dengan mereka. Kendati hanya melihat nisannya saja membuat hatinya riang gembira.Kini mereka tengah duduk di sebuah warung yang berada di sekitar TPU Kebon Kelapa. Mereka istirahat dan menikmati angin sepoi-sepoi sore itu.Aldino kurang tidur semalam sehingga ia merasa mengantuk. Untuk menghilangkan rasa kantuk, ia memesan kopi hitam di warung tersebut sebelum kembali melajukan kendaraannya.Ia pula masih trauma saat membawa mobilnya dulu ketika dirinya dalam kondisi tidak sadar akibat minuman beralkohol. Ia dan Ana mengalami kecelakaan. Naasnya Ana yang mengalami luka parah.“Silahkan kopinya, Pak!” seru pemilik warung, wanita berambut ikal-memutus lamunan Aldino tentang mimpi buruk kecelakaan silam.Aldino langsung menerima secangkir kopi hitam yang masih mengepul itu lalu menyeruputnya perlahan. Tatapannya tertuju pada Malati
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang