Aldino dan Malati duduk lesehan di restoran seafood dekat pantai. Sebuah tempat duduk berbentuk gazebo dengan atap rumbia yang menaunginya menjadi pilihan Aldino.Di depannya ada sebuah kolam teratai dengan air mancur yang indah di bagian tengah. Di samping kolam teratai ada kolam besar berisi ikan-ikan berukuran jumbo. Di belakang mereka ada pemandangan pantai yang bisa dinikmati secara langsung.Sengaja, Aldino memilih tempat duduk di luar, tepatnya di belakang restoran yang agak sepi. Tentunya, agar acara makannya tidak terusik.Aldino langsung memesan makanan; ikan bakar kuwe, sapo tahu, tumis kangkung dan nasi liwet serta jus jeruk sebagai minumannya. Malati hanya memesan menu yang sama dengannya. Sekarep Aldino.Ketika menunggu pesanan siap, Malati terlihat tengah mengamati teratai yang mengambang di atas kolam tanpa suara. Ragu-ragu, Aldino mulai membuka percakapan. “Mala …” panggil Aldino hingga membuat pemilik nama menoleh.“Um, siapa tadi yang menyapamu?” telisik Aldino me
Siang itu Malati mematut di depan cermin dengan agak lama, tak biasanya. Ia menatap pantulan wajah dan tubuhnya dengan banyak syak-wasangka di kepalanya.Pengamatan dimulai dari bagian alis tipis yang melengkung indah, yang membuatnya mengulum senyum. Bentuk alisnya presisi, murni dari lahir tanpa disulam.Lalu, tatapannya turun menatap bentuk matanya. Jika ia tersenyum maka matanya berbentuk garis horizontal tipis, tak kelihatan. Lantas, ia cemberut.Lalu ia mengamati bentuk hidung mancritnya dan bibirnya yang tipis. Fiks, ia menarik kesimpulan. Ia mewarisi kecantikan ibunya. Hanya saja, bentuk mata ibunya agak besar tak seperti dirinya yang sipit sehingga sering dikira keturunan Chindo.Saat melakukan pengamatan, Malati sedang merenung dan memikirkan kata-kata Aldino yang mengatakan bahwa ia ‘cewek gampangan’. Kata-kata Aldino itu tajam mirip sebilah pisau yang menggores kulit. Malati bahkan tak pernah punya pacar. Bagaimana bisa, dikatakan cewek gampangan.Apakah karena pertemuan d
Tok, tok, tok,Linda-guru BK mengetuk pintu ruangan Aldino dengan begitu kencang karena sedari tadi atasannya itu tidak keluar ruangan.Apa mungkin Aldino pingsan di dalam? Atau, dia sedang bersemedi.Ditempelkannya telinga Linda rapat tepat di pintu ruangannya. Tak terdengar suara apapun dari dalam hingga sekonyong-konyong tubuh Linda terhuyung jatuh ke muka ruangan ketika Aldino membuka pintu ruangannya.“Yalah, yalah, yalah,” seru Linda memekik kaget. Aldino sama sekali tak menolongnya. Beruntung, Linda terhuyung ke sofa bukan pada lantai keramik.Aldino berdiri dengan tangan masih mencengkeram handle pintu, menatap Linda dengan tatapan menghunus dan mengandung hawa permusuhan.“Ada apa?” tanyanya dengan suara bariton yang menggetarkan hingga ke palung jiwa.“Maaf, Pak. Dari tadi saya sudah mengetuk pintu dan sudah mengucapkan salam sampai lima kali tapi Bapak tidak menyahut.”Membenahi seragamnya Linda berusaha menegakan tubuh dan menghadap Aldino.Linda terkenal sebagai seorang g
“Yeay!!” sorak sorai Erlangga the geng terdengar gempita diiringi tepuk tangan. Mereka kegirangan karena berhasil mendapat nilai A untuk presentasi dan makalah mata kuliah Kewirausahaan. Predikat yang sempurna untuk tugas kelompok. Atas jasa Malati semua tugas selesai tepat pada waktunya meskipun sempat terjadi insiden kamera menghilang.“Go Malati! Go Melati!”Melakukan selebrasi, Satria bergoyang pargoy bikin semua anak mahasiswa yang lewat tergelak melihat kekonyolannya.“Gila lo! Keren! Two thumbs up buat Putri Melati! Emang lo genius!!”Reynaldi mengangkat dua ibu jarinya menyelamati Malati. “Pantes aja lo dapat juara terus olimpiade.”“Well, ternyata anak bebek itu sudah berubah jadi anak angsa. I am proud of you, Mala!” puji Erlangga dengan tetap mempertahankan raut wajahnya yang angkuh. Sebetulnya, ia iri pada gadis berwajah oriental itu karena kecerdasannya. Ia menatap Malati dengan begitu dalam, penuh kagum.“Cie,,,cie!!”Satria menggoda Erlangga dengan menyikut lengannya.H
“Apa aku mengganggu, Mr Bon?” seru Malati berdiri di bibir pintu dengan memutar ke dua bole matanya jengah melihat pria itu yang tengah mencak-mencak memarahi karyawannya. Sepulang kuliah ia tak lantas pulang namun pergi menuju kantor Mr Bon.Tatapan Mr Bon mengikuti sumber suara.“Sudah lama kau di situ?” tanyanya menurunkan suaranya. Tangannya mengibas di muka karyawannya, memintanya pergi.Malati melesak masuk ke dalam ruangan itu, “Sejak zaman Edo! Assalamualaikum!”“Waalaikumsalam. Tumben, kau datang kemari.”Mr Bon mendaratkan bokongnya dan memutar kursinya membelakangi Malati. Berlagak menjadi seorang detektif populer. Malati duduk diatas kursi plastik berseberangan dengannya, terhalang oleh meja.“Mr Bon, mengapa kau menyuruhku menghentikan tugasku memata-matai cucunya Tuan Waluyo?”Mr Bon tertawa hingga menampilkan gigi taring emasnya. Malati mencengkram kaki kursi saking terkejut mendengarnya tawa yang menggelegar.“Kau mau menyelidiki suamimu sendiri?” sahut Mr Bon berbal
“Mbak baru pulang?” sapa Mbok Darmi membukakan pintu rumah ketika Malati baru saja tiba di kediaman Aldino.Alih-alih menjawab pertanyaan Mbok Darmi, Malati hanya menyematkan senyum tipis dan bertanya balik, “Mas Aldino sudah pulang?”Mbok Darmi terlihat mengubah ekspresi raut wajahnya ketika mendengar pertanyaan Malati. Ingatannya berputar dalam hitungan detik. Aldino pulang dalam keadaan marah dan dongkol. Entah apa alasannya sebab biasanya pria bertubuh besar itu tidak pernah terbuka soal masalahnya. Meskipun cukup dekat dengan dirinya.Hanya saja, dari aura yang tersirat secara tidak langsung menunjukan bahwa suasana hatinya tengah buruk. Apabila suasana hatinya buruk maka siapapun takkan berani mendekatinya. “Mbok! Kau melamun?” Malati melambaikan tangannya di depan muka Mbok Darmi.Mbok Darmi tersentak melihat Malati dalam jarak yang begitu dekat.“Eh, ngapunten, Mbak. Mas Aldino sudah pulang dari tadi. Tapi …”Ada jeda yang muncul dalam kalimat yang ia susun. Sebuah kalimat y
Pagi itu Aldino nampak panik sebab tak mendapati Malati di kamar ataupun di ruangan lantai dua. Ia tak melihatnya semenjak sholat subuh. Mungkin Malati turun ke bawah membantu Mbok Darmi memasak. Namun ternyata tidak demikian.“Di mana Mbak Malati?” tanya Aldino pada Mbok Darmi yang tengah wara-wiri di ruang tamu.“Mbak nya sudah berangkat pagi, Mas,” jawab Mbok Darmi yang tengah membimbing para pekerja di rumah dengan teliti. Terlihat ia cekatan dan selalu mengecek furniture jika masih kotor karena debu dengan menempelkan ujung jarinya.“Berangkat? Jam berapa?” telisik Aldino- yang sudah memakai setelan olahraga. Hari ini ia akan berangkat ke sekolah agak siangan. Ia akan melakukan rutinitas olahraga pagi, berlari mengelilingi komplek perumahan elit tersebut.“Jam lima pagi,” jawab Mbok Darmi setelah menyuruh pekerja lain untuk kembali mengerjakan tugas masing-masing.“Hah? Kemana? Bukankah hari ini ngampus.”Aldino cukup tersentak mendengar kepergian Malati. Bahkan ia tak meminta ij
Ke dua kakak beradik, Ariana dan Nadira tampak bingung ketika melihat Malati sudah tak sadarkan diri setelah menyesap teh.“Bagaimana ini?” tanya Nadira panik. “Kenapa Malati malah pingsan?”Harapan gadis itu Malati tetap terjaga namun dengan kondisi kepanasan.Ariana bangkit berdiri dan menghampiri Malati yang jatuh tak sadarkan diri hingga tersungkur ke lantai. Beruntung lantainya dilapisi karpet berbulu halus dan tebal sehingga kemungkinan kecil tubuhnya merasakan sakit.Gadis bersurai panjang itu mengulurkan tangannya untuk mengecek pernafasan melalui hidungnya. Tak puas, ia meraba dadanya untuk merasakan denyut jantungnya apakah masih berdetak atau tidak.“Dira, Malati sepertinya tidak pingsan. Dia tidur!” komentar Ariana dengan mengerutkan hidungnya lalu menoleh tajam ke arah saudarinya. “Obat apa yang kauberikan pada tehnya?” telisik Ariana-yang selalu meragukan perbuatan Nadira.“Aku … memberikan obat yang kau beri.” sahut Nadira dengan harap-harap cemas. Seketika Ariana meng
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang