Malati menggeliat dalam tidurnya. Semalam ia tidur nyenyak setelah menjalankan misinya kendati gagal.Ia merasa hangat memeluk guling yang begitu besar. Dalam mimpinya, gadis itu tengah tidur di atas kasur berukuran sangat luas-berukuran stadion sepak bola sembari memeluk bantal dan guling yang sangat empuk.“Hum, nyaman sekali,” gumam gadis itu sembari tersenyum. Tangannya begitu erat memeluk guling itu.“Mala, singkirkan tanganmu!” imbuh Aldino setengah sadar saat ia merasa ada tangan mungil yang meraba-raba dadanya. Pria itu merasa geli.“Hum, gulingnya besar sekali,” ucap gadis itu mengigau. Tangannya menjalar pada bongkahan dada yang liat dan menyentuh sesuatu yang tampak mungil. Saat itu Aldino mengenakan kaos tipis.“Shit! Mala! Apa yang kaulakukan?” Aldino membuka matanya dan segera menangkap tangan gadis itu yang sudah berada tepat di bagian pucuk dadanya. Tangan dan kaki gadis itu membelit pada tubuhnya bagai akar.“Ya ampun, gadis ini sepertinya tengah bermimpi.”Aldino me
Ana menggeram pelan saat melihat pemandangan yang melukai hatinya. Tak jauh dari keberadaannya, ia melihat sosok Aldino bersama Putri Melati. Diam-diam Ana mendatangi rumah Aldino pagi itu. Ia merindukan kekasihnya.Setelah percakapan dengan Aldino terakhir kalinya, ia tidak pernah mengobrol lagi via telepon. Sekalipun Ana berusaha menghubunginya, namun Aldino selalu punya cara menghindarinya dengan seribu alasan.Mereka tengah berada di dalam kendaraan beroda empat. Rutinitas pagi Aldino mengantar istrinya kuliah. Ana baru menyadari satu hal.“Apa mereka tidur satu ruangan? Apa mereka melakukan aktifitas sebagaimana suami istri lakukan?” gumam Ana dengan air mata yang bercucuran.Mobil Aldino sudah melewatinya. Kaca jendelanya terbuka dan menampakkan ke dua sejoli itu tengah ngobrol seru. Aldino tampak ceria. Semua pemandangan itu tak luput dari tatapan Ana.Melihat raut sedih majikannya, Guntur merasa sedih dan iba.“Mbak Ana, lupakan saja pria seperti itu! Mbak Ana cantik dan pinta
“Di mana housekeeping card kalian?” tanya Abhizar sembari tatapan penuh telisik pada gadis bertubuh mungil di hadapannya. Putri Melati dan Sulis mengenakan seragam housekeeper berwarna hijau. Ke duanya memakai masker Sensi Convex Mask dan mengalungkan ID card di dada masing-masing. Perbedaannya Malati mengenakan jilbab sedangkan Sulis tidak. Sulis membiarkan rambutnya dicepol tinggi dengan hair bun namun terlihat rapi. Mereka profesional melakukan penyamaran dengan halus. Karena beberapa kali mengalami insiden buruk, Abhizar selalu menaruh curiga pada siapapun yang ditemuinya. Ia harus waspada. Ia pun meminta ke dua housekeeper untuk menunjukan ID sekaligus wajahnya mereka. Mereka pun kompak memperlihatkan ID masing-masing yang sudah dimanipulasi. Pun, pria itu meminta mereka menunjukan wajah di balik masker. “Buka masker kalian!” titah Abhizar tanpa basa-basi. Deg, Malati merasa jantungnya berdegup kencang. Jika ia melepas maskernya, ia pasti dikenali. Gagal sudah misi ke dua
“Maaf, aku kira ini untuk M-Mb…” Malati tidak melanjutkan kalimatnya. Ia takut Aldino marah saat ia menyebut nama mantan kekasihnya. Gadis itu mengira jika Aldino akan memberikan buket bunga itu untuk Ana. Bukan untuk dirinya. “Makasih, ini buatku ya,” imbuh gadis itu lagi meraih buket bunga berukuran besar dari tangan suaminya. Wajah Aldino berubah masam setelah mendengar pertanyaan Malati. Padahal sebelumnya ia antusias ingin memberikan surprise romantis pada istri kecilnya. Melihat respon Aldino, Malati merasa bersalah. Lantas ia menghidu aroma mawar putih dengan antusias. “Harum!” katanya namun sama sekali tidak membuat Aldino meresponnya. Pria besar yang sensitif itu berjalan menuju ranjangnya dan duduk di sana. Ia mengabaikan gadis itu. “Mas, makasih, bunganya. Aku suka sekali.” Gadis itu mengambil tempat duduk kosong di sisinya. “Mas Aldino marah?” tanya gadis itu dengan harap-harap cemas. Aldino masih mematung tak bersuara. Malati terkadang bingung menghadapi pria it
“Tangkap dia!” titah seorang pria berhidung bangir pada pengawalnya.Pengawalnya langsung mengangguk mantap mendengar perintah atasan mereka. Ia tidak akan berani membantah apalagi setelah melihat kemarahan atasannya tersebut. Furniture di dalam apartemennya hancur dirusak olehnya. Tak menutup kemungkinan wajah mereka pun akan ikut hancur dihajar habis-habisan seperti sebelumnya.Termasuk pengawalnya yang lain dihajar hingga babak belur karena dianggap tidak becus dalam menjaga kantornya.“Kau pikir akan lolos gadis kecil!”Abhizar menginjak sebuah tuspin berwarna silver yang tertinggal di kamarnya hingga tak berbentuk. Mudah baginya mengetahui siapa pemilik tuspin itu.“Hum, ternyata kau bekerja sama dengan Ana dan Ali.”Tuspin berbentuk bunga itu hancur menjadi kepingan yang tak berarti. “Aku akan membuatmu hancur seperti benda ini.”“Aku tak mau tahu, cepat kalian tangkap anak itu!” teriak Abhizar seraya menggebrak meja di depan pengawalnya.Gerak-gerik Malati sudah diketahui oleh
Pagi itu Aldino tersenyum mesem macam anak remaja yang tengah jatuh hati. Semalam istrinya bersikap manis. Ia memeluknya saat tidur atas keinginan sendiri.‘Putri Melati, apa kau benar-benar jatuh hati padaku? Hum, tentu saja kau pasti jatuh hati pada pria tampan dan gagah seperti diriku.’Aldino bermonolog dalam batinnya. Ternyata jatuh hati itu indah sekali. Apalagi jatuh hati pada istri sendiri. Tak ada hijab yang menghalangi. Pria itu bebas menyentuhnya untuk mengekspresikan perasaannya.Pagi itu sesuai rencana semalam, Aldino akan mengajari Malati berenang.“Sarapan atau berenang dulu?” tanya Aldino pada istrinya yang baru saja keluar melalui pintu balkon menuju kolam renang yang private itu.Di sana Aldino sudah duduk di atas kursi sun lounger hanya mengenakan celana pendek. Ia sama sekali tak merasa malu bertelanjang dada di depan gadis muda yang sudah halal baginya.Sementara itu Malati keluar dengan menggunakan pakaian renang dibalut bathrobe.“Aku mau berenang.”Malati menj
Di kediaman Basalamah saat ini tengah diadakan rapat keluarga yang dihadiri seluruh anggota keluarga inti. Tak tanggung-tanggung, Ali membuat sebuah rencana makan malam untuk menjebak Abhizar.Seolah acara malam itu ialah acara makan malam murni keluarga hingga mewajibkan seluruh anggotanya hadir. Abhizar tentu saja tidak kuasa menolak. Ia hadir dengan niat terselubung. Pria manipulatif itu berpikir jika chips sudah berpindah tangan dari Malati ke tangan Ali. Pertemuan itu akan menjadi sebuah kesempatan emas baginya untuk mengambil kembali chips itu. Bahkan ia sudah mengatur siasat untuk menggeledah ruang kerja Ali dengan menyiapkan anak buahnya.“Malam, Tante dan Om,” sapa Abhizar pada Hanum dan Sulaiman yang tengah menyambut para tamu. Mereka tersenyum hangat mempersilahkan Abhizar masuk.Mereka belum tahu soal chips itu. Sengaja, Ali ingin memberikan kejutan pada keluarga besar, membuka aib Abhizar di depan keluarganya.“Malam, Abhi, masuklah, semua orang sudah menunggumu.”Hanum
“Apa Mbok lihat?”“Lihat apa?”“Kenapa cara jalan Nyonya muda seperti itu? Apa dia jatuh?”“Bukan, Mbak Malati jalannya ngangkang,”Mbok Darmi menajamkan indera penglihatannya. Ia menatap majikannya dengan tatapan telisik. Lalu ia tersenyum tipis.“Mbak Malati sepertinya jatuh. Pernah Mbok lihat Mbak Mala kalau jalan kurang hati-hati.”Mbok Darmi memberi pengertian pada ART lain yang kepo pada kehidupan majikan mereka.“Oh, begitu,”Dua orang ART mengangguk dan ber’oh ria melihat majikan mereka.“Malam, Mbak!” sapa Mbok Darmi saat majikannya mendekatinya.“Mbok, siapkan makan malam! Bawa ke atas!” seru Malati mengemukakan keinginannya pada wanita tua itu.“Nggih, Mbak. Ah, untuk Mas juga?”“Iya Mbok. Aku dan Mas Aldino mau makan di atas.”“Siap!!”Mbok Darmi mengangguk patuh. Ia langsung pergi ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk majikan mereka.Sementara itu Malati kembali meniti tangga menuju lantai dua.Grep,Wanita muda itu terlonjak kaget sebab tanpa babibu, suaminya menggen
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang