"Nona walter? Apa kau mendengarku?" William melambaikan telapak tangannya di depan wajah Caroline yang hanya bengong menatapnya.
Vivian menyenggol lengan Caroline agar Caroline secepatnya memberi respon."Sst! Caroline, Pangeran sedang bicara kepadamu," ucapnya.Caroline tersentak seolah baru disadarkan dari lamunan panjang. "Maafkan saya Yang Mulia. Saya rasa saya hanya kaget dan bingung. Bagaimana mungkin seorang pangeran ingin menikah dengan saya yang hanya rakyat jelata?"William menyunggingkan senyum manisnya. "Nona, bisakah aku bicara berdua dengan Nona Walter?" ucapnya kepada Vivian yang saat ini matanya sudah berkaca - kaca memandangnya dengan tatapan memuja."Tentu. Tentu Yang Mulia. Silahkan," Vivian pergi menjauh dengan wajah yang ceria luar biasa. Sebelum pergi, dia melontarkan pandangan penuh arti kepada Caroline.Caroline masih tegang. Dia hanya menunggu saja apa yang akan William katakan."Sebelumnya aku harus minta maaf karena telah mengawasimu selama satu bulan ke belakang," William memulai pembicaraan."Anda mengawasi saya?""Ya, Nona Walter. Dan karena itulah aku sedikit banyak tahu tentang latar belakangmu. Aku tahu kau putus sekolah saat kau berada di level menengah atas padahal kau adalah siswa yang pintar. Aku tahu siapa saja keluarga intimu, alamatmu, tempatmu bekerja. Dan aku juga tahu tentang pengkhianatan mantan kekasihmu, Antonie Sebastian.""Tapi... untuk apa Anda mencari tahu semua itu?""Karena kau adalah orang penting bagiku. Tapi sebelum ke topik itu, lihatlah ini dulu," William menyodorkan sebuah ponsel kepada Caroline.Caroline meraihnya. Ada sebuah video yang belum berjalan. Saat Caroline menekan tombol play, jantungnya seperti tertonjok dengan keras. Itu adalah video dirinya yang sedang berbincang dengan Jessica di makam."Ini... Anda mengawasi saya ketika saya dan ibu saya ada di makam ayah?""Lebih tepatnya, orang suruhanku yang mengawasimu dan merekamnya. Seperti yang kau lihat, ibumu bisa saja benar - benar menghabisi nyawa ayahmu. Aku bisa membantumu mencari tahu dan membuat ibumu mendapat hukuman yang setimpal untuknya seandainya memang benar dia pelakunya."Caroline mengalihkan tatapannya dari ponsel ke wajah tampan William. "Benarkah?""Ya. Dan tentu saja, jika kau punya dendam kepada adik dan mantan kekasihmu, aku juga bisa membantumu memberi mereka pelajaran. Nona Walter, jadilah puteri di kerajaanku dan aku akan memberimu uang sebanyak yang kau inginkan serta membantumu membalaskan dendammu kepada ibu, adik dan mantan kekasihmu. Tapi, kau harus menjalankan misi dariku.""Anda akan memberiku uang sebanyak yang saya mau?""Ya.""Bagaimana jika saya minta satu juta dolar?"William tersenyum. "Itu mudah. Aku akan menjadikannya jatah bulananmu.""Bulanan? Apa maksudnya saya akan diberi uang satu juta dolar perbulan?""Benar."Caroline melotot dan menutup mulutnya karena syok. "Anda tidak sedang mempermainkan saya kan?""Tentu saja tidak. Aku seorang pangeran. Sebagai keluarga kerajaan, aku selalu dituntut untuk menepati janji yang aku ucapkan.""Ya Tuhan, apa saya sedang bermimpi?""Tidak, kau tidak sedang bermimpi.""Baiklah. Lalu, misi apa yang harus saya lakukan? Saya harus tahu misi itu dengan jelas supaya saya bisa menilai apakah saya sanggup untuk menjalankannya dan apakah bayaran yang saya terima layak untuknya. Bukankah satu juta dolar perbulan adalah nilai yang besar? Pasti misi itu sangat sulit bukan?"William tertawa kecil. "Ternyata benar. Kau memang pintar. Mari bertemu lagi esok hari. Aku akan meminta sopir menjemputmu pukul 9 pagi. Aku akan menjelaskan semuanya dengan detail. Setelah itu, kau bisa memutuskan apakah kau akan menerima tawaranku atau tidak.""Baiklah. Besok jam 9 pagi. Di mana saya akan di jemput?""Tunggulah di rumahmu. Sopirku yang akan menjemputmu di sana.""Baik Yang Mulia."William mengangguk lalu memberi tanda kepada pengawalnya bahwa dia sudah selesai berbicara dengan Caroline.Sang Pangeran pun masuk kembali ke dalam limosinnya dan pergi meninggalkan Caroline.Vivian keluar dari persembunyiannya dan segera berlari kecil menghampiri Caroline."Caroline! Apa yang dia katakan? Dia sungguh - sungguh ingin menikahimu?""Itu yang Pangeran katakan. Dia bahkan berjanji memberiku uang satu juta dolar perbulan.""Ya Tuhan! Ini seperti mimpi! Kau harus menerimanya. Setelah itu kau akan kaya raya dan menjadi seorang puteri. Kau bisa menutup mulut Casandra dan semua orang yang menyebalkan itu. Lalu, aku akan menjadi teman seorang puteri kerajaan," Vivian memandang langit sambil berkhayal. "Aku sangat bersemangat. Jika kau jadi puteri, kau tidak akan melupakanku kan?""Tentu saja tidak! Kau adalah teman terbaikku. Tapi ada yang belum kau tahu. Pangeran bilang aku bisa menjadi puteri dan mendapat satu juta dolar asal aku menjalankan misi darinya.""Misi? Misi apa?""Itu yang belum aku ketahui. Tapi besok pukul 9 pagi kami akan bertemu lagi untuk membicarakannya.""Bagus! Perhatikan baik - baik semua penjelasannya. Jangan sampai terlewat sedikitpun. Pastikan misinya masuk akal. Jangan mau jika harus mengorbankan nyawamu.""Tentu saja. Aku tidak akan ceroboh.""Bagus. Sekarang ayo kita pulang."Caroline yang tadinya sudah amat lelah dan mengantuk, menjadi bersemangat kembali karena memikirkan uang satu juta dolar yang akan jadi miliknya.Dia tidak pernah melihat uang sebanyak itu. Tapi jika dia menerima tugas dari Pangeran William, dia akan segera memilikinya.Namin, dia menjadi was - was, apa misi yang Pangeran maksud? Mampukah dia menjalankannya?Caroline memikirkan begitu banyak hal hingga dia tidak sadar bahwa busnya sudah berhenti di dekat rumahnya.Caroline turun dan berjalan menuju rumahnya. Dia pikir, semua orang pasti sudah tidur saat tengah malam seperti ini. Namun, ternyata dia salah."Kau sudah pulang?" Jessica menyapanya di ruang tamu yang lampunya masih menyala dengan terang benderang."Ya. Kalian belum tidur?" tanya Caroline yang melihat semua anggota keluarganya lengkap dengan Paman dan Bibi Maurel berkumpul di ruang tamu."Kami menunggumu karena penasaran," jawab Casandra."Aku dan pamanmu sengaja menunda kepulangan kita untuk mengetahui hasil dari upacara pasar pengantin yang kau hadiri," ucap Bibi Maurel.Caroline menyunggingkan senyumnya. Dia pikir mereka hanya menunggu kesempatan untuk menertawakannya saja."Bagaimana?" tanya Bibi Maurel. "Laki - laki mana yang berminat untuk menikahimu?""Pangeran William," jawab Caroline cuek dan asal. Dia tidak berharap mereka akan mempercayai ucapannya. Dia hanya menjawab pertanyaan dengan jujur.Semua orang tertawa terbahak - bahak. "Lalu, apa kau akan diberi uang saku satu juta dolar perbulan?" saut Paman Maurel yang membuat gelak tawa semakin kencang terdengar."Paman benar. Besok orang kerajaan akan menjemputku untuk bertemu dengan Pangeran."Semua orang tertawa lagi."Caroline, beristirahatlah. Tidak mengapa jika tidak ada laki - laki yang mau denganmu, jangan terlalu stress. Masuklah ke kamar!" ucap Jessica melunak. Yang lain berhenti tertawa namun wajah mereka masih menunjukkan cemoohan terhadap Caroline."Oke," Caroline tidak peduli. Dia pergi ke kamarnya."Kasihan dia. Lama - lama dia benar - benar akan menjadi gila," Caroline mendengar ucapan Casandra saat dia hendak membuka pintu kamarnya.Caroline menghela nafas. Dia tidak akan ambil pusing. Dia memutuskan untuk istirahat mempersiapkan dirinya menemui William Harrington esok hari."Kau mau pergi?" tanya Jessica kepada Caroline yang sedang mengenakan sepatunya. "Iya. Aku harus menemui seseorang," jawab Caroline. "Apa kau akan bertemu dengan Pangeran William?" tanya Casandra dengan nada mengejek. "Benar. Aku tahu kau tidak percaya. Tapi, kau juga harus tahu bahwa aku tidak peduli dengan pendapatmu," jawab Caroline cuek. "Terserah. Bersenang - senanglah menghibur dirimu sendiri," Casandra berlalu sambil membuang muka. "Caroline, santailah sedikit!" ucap Bibi Maurel yang tiba - tiba datang dari kebun belakang rumah. "Aku tahu hidupmu kacau. Pendidikan rendah, tidak cantik, penghasilan pas - pasan dan perawan tua, tapi kau harus tetap waras. Berhentilah berkhayal dan membual soal Pangeran William. Semua orang tahu itu mustahil. Apa yang sedang coba kau perbuat?" "Tenanglah Bi," balas Caroline dengan santai sambil memasang tali sepatunya. "Aku tidak gila. Dan aku tidak butuh sorak sorai dari kalian. Kalian bebas untuk meragukan semua ucapanku ataupun meremehkank
"Di- dia..." Caroline terbata. "Dia adalah Ariana Bellwood," ucap William. "Siapa dia Yang Mulia? Dia sangat mirip dengan saya." "Bukan mirip, tapi sama persis. Dia adalah kekasihku, calon istriku yang seharusnya menjadi puteri kerajaan dua bulan lagi. Tapi seseorang mencoba mencelakainya hingga dia koma seperti sekarang." Caroline masih terdiam menunggu penjelasan lebih lanjut. "Keadaannya yang koma telah aku rahasiakan dari semua orang. Mereka semua berpikir Ariana sedang membantuku menjalankan tugas negara ke New York. Siapa pun yang berusaha membunuhnya pasti sedang mengira bahwa usahanya gagal total. Dia mungkin sedang merencanakan cara lain untuk mencelakai Ariana setelah Ariana kembali." "Berminggu - minggu aku berusaha membuat dia sadar. Aku mendatangkan alat - alat canggih hingga dokter dari luar negeri, tapi semuanya gagal. Lalu, satu bulan yang lalu, aku menerima laporan dari salah satu orangku bahwa ada seorang wanita yang wajahnya sama persis dengan wajah Ariana. Itu
William merengkuh tubuh Caroline hingga tubuh mereka menempel. Satu tangannya melingkar di pinggul sementara tangan yang satu lagi menyentuh tengkuk Caroline. Caroline membeku dan tubuhnya terasa kaku. Dia bingung bagaimana akan merespon selain menerima ciuman itu dengan canggung. Setelah beberapa saat mengecup bibir manis Caroline, William melepas tautan bibir mereka dan berkata, "Apa yang kau rasakan Nona Walter?" Caroline mengerjapkan matanya. Sejujurnya dia bingung akan menjawab apa. Tidak ingin ambil pusing, Caroline hanya menjawab, "Tidak ada. Saya... tidak merasakan apapun Yang Mulia." "Bagus! Kau lulus ujian. Pertahankan seperti itu untuk seterusnya. Ke depannya, di saat - saat tertentu kita mungkin harus terpaksa berciuman. Saat itu terjadi, jangan pernah merasakan apapun. Ingat perjanjian kita, no love, no sex." Caroline mengangguk. "Baik Yang Mulia." "Oh ya, berlatihlah mulai sekarang memanggilku William. Atau mungkin Will. Panggil aku Will! Karena begitulah Ariana me
"Lihatlah dia! Dia masih terus mengigau tentang pangeran," cibir Casandra. "Biarkah saja. Nanti juga dia lelah sendiri. Ayo kita bersiap untuk arisan saja," ucap Jessica. Tok! Tok! Tok!Seseorang mengetuk pintu. "Siapa itu?" gumam Jessica. "Casandra coba bukalah pintunya!" Casandra mengikuti perintah Jessica untuk membuka pintu. Dia mendapati seorang pria muda berpakaian jas berdiri tepat di depan pintu. "Siapa ya? Mencari siapa?" tanya Casandra. "Saya ditugaskan untuk menjemput Nona Caroline Walter dan membantunya pindah ke rumah baru," jawab pria itu. "Caroline Walter? Siapa itu? Tidak ada yang bernama Carolin di sini," saut Jessica saat Casandra terlihat kebingungan dan tidak memberi jawaban apapun. "Bukankah ini kediaman keluarga Walter?" "Benar. Tapi tidak ada yang bernama Caroline," Jessica terus berpura - pura. "Nyonya, kemarin saya menjemput Nona Caroline di rumah ini juga. Kau lihatlah ini," Pria itu menunjukkan lencana kerajaan di dadanya kirinya. "Aku ditugaskan
Casandra menelan ludahnya. Tubuhnya menjadi kaku seperti patung. Dia syok mendengar penuturan William. Jessica tidak ada pilihan lain selain bangkit dan dengan tergesa membuka pintu kamar Caroline. Caroline segera berlari menuju William."Will!" panggilnya. Sengaja ingin menunjukkan kedekatannya dengan William. "Kau baik - baik saja Carol?" William merangkul Caroline di hadapan semua orang, membuat semua mata melotot tidak percaya. Caroline hanya mengangguk. "Apa kita akan berangkat sekarang?" "Tentu saja. Ayo!" William menuntun Caroline. "Tunggu!" ucap Jessica. "Yang Mulia, bukankah Anda mengatakan akan menikahi Caroline kami? Lantas, bukankah itu artinya kita akan menjadi keluarga? Lebih baik kita makan bersama untuk saling mengakrabkan diri bukan?" Casandra mengangguk - angguk dengan semangat. "Hmm... itu tergantung jawaban Caroline. Carol, katakan padaku, apa mereka keluargamu?" Caroline men
"Sudah matang semuanya, sini makanlah!" William meletakkan hasil masakannya di meja makan. "Wah! Kelihatan enak," Caroline mendudukkan dirinya di kursi makan. William mulai melahap isi makanan dalam piringnya. "Ayo makanlah! Apa kau tidak suka pasta?" "Tidak. Aku sangat suka pasta. Aku hanya sedikit canggung. Aku makan semeja dengan seorang putera mahkota dan makanan ini dia yang masak." "Bukankah aku sudah bilang untuk membiasakan dirimu?" William terlihat cuek dan terus menyantap makanannya. "Kau benar. Aku hanya belum terbiasa. Dan... kau agak berbeda dengan citra pangeran yang ada di pikiranku." "Memangnya seperti apa citra pangeran yang kau tahu?" William menatap Caroline dengan penasaran. "Hmm... aku pikir seorang pangeran hanya ingin dilayani. Lalu jika dia keluar, akan ada banyak bodyguard yang mengikutinya. Dan terhadap para perempuan, dia akan bersikap sedingin es." William tertawa. Ini bukan k
Malam ini tepat tujuh hari Caroline berada di rumah sakit Westbay. Dokter Harry adalah dokter kecantikan kepercayaan William. Dan atas sarannya, Caroline menjalani prosedur pencangkokan kulit di wajahnya yang terdapat luka bakar. William tidak terlalu sering menjenguk. Namun, lelaki itu sudah menyiapkan penjagaan yang ketat dan perawat yang kompeten untuk Caroline. Untungnya, si cerewet Vivian dengan rajin menjenguk Caroline setiap malam sepulang kerja. "Aku sudah mencari tahu di internet, ternyata Dokter Harry adalah dokter bedah kecantikan terbaik di negeri kita. Dia mendapatkan gelar dan penghargaan di Amerika, pengalamannya banyak dan reputasinya sangat baik. Kau sungguh beruntung calon tuan puteri," celoteh Vivian suatu malam di rumah sakit. "Kau benar. Keberuntunganku benar - benar berada di level yang tidak masuk akal. Dokter Harry juga ramah sampai - sampai aku ingin menjadikannya ayah." "Aku tidak sabar melihat penampilan barumu. Kau pasti sangat cantik. Traktirlah aku m
"Tunggu, apa kau operasi plastik? Kemana bekas lukamu?" Jessica memandang wajah Caroline yang sudah mulus tanpa satu pun bintik hitam."Tentu saja. Aku akan jadi seorang puteri, mana mungkin William membiarkan wajahku jelek?" "Hah! Kau pasti senang sekarang hidupmu jauh lebih baik. Sebenarnya ke dukun mana kau membeli jimat hingga seorang pangeran jatuh kepadamu? Sebelum ini, laki - laki sekelas Antonie pun enggan bersamamu." "Aku tidak membayar dukun manapun. Tapi apa Ibu tahu di mana letak keberuntunganku? Keberuntunganku adalah saat Casandra merebut Antonie dariku. Terimakasih sudah membebaskanku dari Antonie dan membuatku menghadiri pasar pengantin." Jessica membuang muka. Caroline bisa merasakan kebencian dalam tatapan Jessica. "Tapi itu tidak penting. William bilang dia ingin membicarakan mengenai identitas baruku. Ya, tapi itu jika Ibu tertarik dan ingin melunasi hutang kepada Nyonya Debora. Tapi jika Ibu tidak suka, kami bisa
Caroline terus mendesah. Mengeluarkan suara seksi yang membuat gairah William semakin memuncak. Dia memiliki keinginan yang besar untuk menghentikan aktifitas ini secepatnya agar mereka tidak semakin jauh. Namun sentuhan William seolah menjadi candu yang baru bagi Caroline. "Aku... tidak bisa..." ucap Caroline yang tentu saja berkebalikan dengan isi hatinya. Kini, William telah melepaskan celana dalam Victoria Secret yang dia kenakan dan mulai memainkan jari - jarinya di antara kedua paha Caroline. "Ini sangat basah, ternyata kau juga menginginkannya Caroline," ucap William lirih. Kalimat - kalimat erotis yang keluar dari bisikan William membuat Caroline semakin sulit untuk menguasai dirinya. "Hentikan William, kita tidak boleh begini... kita tidak bisa aakh..." ucapan Caroline terputus dengan lenguhan nikmatnya karena William tiba - tiba melesakkan miliknya di bawah sana. "Akh... William, apa yang kau lakukan? Itu... sakit..." Caroline merintih. William sedikit terkejut karena
"Eeengh...," Caroline merintih saat dirinya berusaha keras untuk tersadar dari koma. "Kau sudah bangun?" William segera menekan tombol perawat saat melihat tanda - tanda kesadaran pada Caroline. Segera, dokter kerajaan masuk bersama beberapa orang perawat. Mereka melakukan beberapa pemeriksaan pada Caroline. Suara para tenaga kesehatan dan juga gumaman William terdengar samar - samar di telinga Caroline. Pergerakan mereka juga tidak lebih dari sekedar bayangan yang saling bekelebat. Caroline masih belum punya tenaga untuk tersadar sepenuhnya. Matanya masih berat dan badannya masih sulit digerakkan. Dalam waktu singkat, dia kembali pingsan. *****Caroline terbangun lagi di ruangan yang berbeda dari sebelumnya. Tidak seperti percobaan pertama, tubuhnya kali ini terasa lebih ringan walaupun masih susah digerakkan. "Caroline, kau sudah sadar? Apa kau bisa mendengarku?" tanya William. "Ya, aku bisa mendengarmu," jawab C
Jantung Caroline berdetak kencang menunggu bukti apa gerangan yang akan Daniel berikan. "Aku punya banyak foto dan video kebersamaan kita. Kau bisa menilai sedekat apa kita. Kau juga bisa melihat tanggal foto dan video ini diambil. Kau akan tahu bahwa kita masih bersama saat kau sudah menjadi tunangan William," Daniel menyerahkan ponselnya yang telah membuka sebuah folder kepada Caroline. Caroline dibuat terperangah oleh foto - foto dan video itu. Siapapun yang melihat gambar - gambar ini tidak akan percaya bahwa Daniel dan Ariana hanya teman biasa. "Ki- kita terlihat sangat akrab," komentar Caroline."Akrab? Menurutmu hanya akrab?" Daniel mengulas senyum miringnya. "Bagaimana dengan video yang ini?" Daniel menunjukkan satu video lagi. Hanya saja, video kali ini tidak dia simpan di folder yang sama dengan video sebelumnya, melainkan tersimpan di folder privat yang memerlukan kata sandi saat membukanya. Caroline memutar video itu dan jantungnya serasa nyaris melompat dari dadanya.
"Ya. Aku memang menemui mereka beberapa hari yang lalu," Caroline menunduk. Tidak ada gunanya mengelak, semua bukti sudah sangat jelas. "Lantas, kenapa kau tidak melapor padaku? Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?" William tidak akan berhenti mencerca Caroline sampai dia mendapatkan jawaban sejelas yang dia mau. "Banyak hal. Kau ingin tahu?" "Ya! Semuanya, ceritakan padaku!" "Baiklah," Caroline mendudukkan dirinya di sofa sebelum dia mulai bicara. William juga duduk di sofa lain yang berada di hadapan Caroline. Jika perbincangan ini akan panjang, dia sudah siap. "Katakanlah!" "Pertama kami membicarakan mengenai hubungan Ariana dan Daniel," Caroline mulai bercerita. Belum apa - apa, William sudah mendengus. "Memangnya apa hubungan mereka? Mereka hanya teman saat kuliah. Kurasa Daniel terobsesi pada Ana." "Jadi, kau mau mendengarku atau tidak? Jika kau hanya ingin mengoceh sendiri maka lupakan saja! Aku tidak akan memberitahumu apapun.""Oke oke baiklah. Teruskan! Aku akan di
"Caroline! Ada apa!?" William segera berlari dan mengetuk pintu kamar mandi. "Aw! Sakit!" rintih Caroline dari dalam kamar mandi. "Caroline, apa yang terjadi?" Tidak ada jawaban dari Caroline selain suara rintih kesakitannya yang terdengar. William mulai panik. Dia tidak ingin mengambil resiko. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada Caroline, maka semua rencananya akan gagal. Maka, dengan sigap, William mendobrak pintu kamar mandi hingga terbuka dengan paksa. "Ah! Apa yang kau lakukan?" Caroline yang terduduk di lantai dalam keadaan tanpa busana dengan panik meraih handuk untuk menutupi tubuhnya. William segera membalikkan badannya secara otomatis. Sejujurnya, ruang kamar mandi pun masih gelap karena lampu belum menyala. William pun tidak melihat apa pun. "Dasar cabul! Kenapa kau menerobos ke kamar mandi saat seorang perempuan sedang mandi?" rutuk Caroline. "Diamlah! Segera pakai handukmu!" "Sudah. Aw!" Caroline berteriak kesakitan lagi saat dia mencoba untuk berdiri. William
'Apa yang kau rasakan?' Caroline ingat saat ciuman pertamanya dengan William dulu, itulah kalimat yang lelaki itu tanyakan. Dulu, tujuannya adalah untuk menguji Caroline. Namun kalimat itu tanpa sengaja terngiang kembali di dalam kepala Caroline, seolah William benar - benar sedang menanyakannya. "Aku tidak merasa biasa saja," gumam Caroline dengan sangat lirih begitu dirinya dan William berhenti berciuman. William tentu saja tidak mendengar gumaman Caroline. Terlebih, tepuk tangan para tamu terdengar amat riuh. Mata Caroline tertunduk. Dia merasa sangat sial, bisa - bisanya jantungnya berdebar kencang saat William mendaratkan bibirnya. Berlainan dengan ekspresi Caroline, semua orang terlihat senang. Bahkan William pun terlihat senang. Lelaki itu benar - benar pandai berakting. Setelah upacara pemberkatan, Caroline menjalani pengukuhan sebagai putri kerajaan. Upacara pengukuhan itu lebih lama, kaku dan melelahkan daripada upacara pemberkatan pernikahannya. Bahkan setelah sele
"Ini tidak untuk selamanya. Dokter bilang selama kau mau bersabar dan rajin fisioterapi, kau akan bisa berjalan lagi suatu hari nanti," Jacob kembali menghibur Alice. Alice menggenggam tangan Jacob dan berterimakasih. "Suatu hari kau bertengkar dengan Olivia karena kau tahu Olivia berusaha menfitnahmu di depan Daniel. Gadis itu ingin merebut Daniel darimu. Dan kau tidak terima. Lalu kau menyuap pihak kampus untuk mengeluarkan Olivia secara tidak hormat. Kurasa sampai sekarang, Olivia masih punya dendam padamu karena hal itu." Sampai di sini, Caroline semakin yakin bahwa William benar - benar dibodohi oleh Ariana. Ariana tidak sebaik yang William pikirkan. Alice dan Jacob terlihat seperti orang baik. Mereka tidak kelihatan berbohong. Dan semua yang mereka ceritakan pun masuk akal. Terlebih, Caroline melihat langsung bagaimana sikap asli Olivia. Jelas - jelas Olivia tidak menyukai Ariana dan bahkan mengancamnya. Namun William memasukkannya dalam halaman hijau. Sementara Alice dan J
DEG! Kekasih? Jadi benar Ariana dan Daniel sepasang kekasih? Ambisi menjadi keluarga kerajaan? Jadi, mungkinkah hubungan Ariana dan William tidak berlandaskan cinta melainkan ambisi besar Ariana?"Sebenarnya ada yang ingin kukatakan pada kalian berdua," Caroline meremas tangannya sendiri, dia sedikit ragu untuk menjalankan rencana yang sudah dia susun. Tapi, dia juga tidak punya ide yang lebih baik dari itu. "Apa?" tanya Alice dan Jacob bersamaan. "Apakah kalian tahu tentang Amnesia Dissosiatif?" "Apa? Amnesia apa?" Alice terlihat berpikir keras mencerna istilah yang baru saja Caroline ucapkan. "Amnesia dissosiatif. Jadi itu adalah salah satu amnesia yang terjadi karena trauma atau stress berat. Berbeda dengan amnesia yang terjadi karena cedera otak atau berturan pada kepala, amnesia dissosiatif tidak membuat penderitanya melupakan semua hal. Hanya beberapa ingatan atau momen tertentu saja yang dia lupakan," Caroline menjelaskan. "Oh, aku baru dengar. Aku tidak terlalu pintar un
"Apa maksudmu? Aku Ariana!" Daniel tersenyum singkat. Caroline tidak bisa menebak apa arti senyuman itu. Tapi, Daniel tidak membuatnya menerka - nerka terlalu lama karena lelaki itu segera menjelaskan maksudnya. "Tentu saja kau Ariana," Daniel mendekat menghampiri Caroline. "Tapi kau bukan Ariana yang aku kenal." Caroline masih terdiam, jantungnya masih berdebar kencang khawatir dia baru saja ketahuan. "Apa yang membuatmu berubah Ana? Apa kau telah jatuh cinta pada William?" Caroline merasakan kelegaan yang luar biasa. Dia benar - benar mengira Daniel mengetahui penyamarannya. Nyatanya, Daniel hanya merasa bahwa Ariana telah berubah. "Aku- kau benar, aku jatuh cinta pada William," jawab Caroline enteng saja. "Benarkah?" "Ya. Tentu saja." Mata Daniel tertunduk. Entah mengapa bagi Caroline, ekspresi itu menandakan kesedihan. Mau tidak mau, Caroline menjadi sedikit iba. "Apa kau baik - baik saja?" tanya caroline. "Tidak. Aku tidak baik - baik saja. Wanita yang kucintai telah b