Adira tampak melajukan mobilnya dengan kecepatan normal, kini mereka memutuskan untuk kembali ke Apartemen dan menghabiskan sisa waktu mereka bersama disana. Suasana hati Ayana terlihat sangat membaik setelah bertemu dengan sang Papa dan tidak adanya keberadaan Elvina disana. Sejak adanya Elvina, sang Mama tiri waktu dan kedekatan Ayana bersama Aji pun semakin merenggang dikarenakan Elvina yang selalu berusaha mengambil waktu Aji saat hendak mengajak Ayana untuk berbincang.“Mas makasih ya,” ucap Ayana dengan senyum lebarnya. Adira mengangguk sembari tangan kanannya terus mengusap punggung tangan Ayana lembut.“Mas senang bisa bikin kamu bahagia. Jangan pernah bilang makasih ya, karena Mas tulus lakuin itu semua buat kamu dan anak kita.” Jawab Adira lembut. Hari terus berlanjut, dan rumah tangga mereka semakin manis. Setelah Adira mengetahui bahwa keadaan Ayana memburuk, serta kedua anaknya yang dalam bahaya. Adira memutuskan untuk bersikap baik pad
Adira melangkah pasti dengan badannya yang tegap memasuki kantor kekuasaannya. Wajahnya yang terlihat arogan, dengan sorot mata tajam sudah menjadi khas bos muda satu ini. Menjabat sebagai CEO di umurnya yang masih menginjak 26 tahun, menjadikan Adira sebagai panutan dan incaran banyak wanita. Namun tetap, hanya Ayana yang menjadi pemenang dihatinya.“Selamat siang Pak Adira,” sapa salah seorang karyawan yang sedang melintas dihadapan Adira. Adira mengangguk untuk membalasnya, “Yeri tolong kasih tahu ke bagian Information kalau nanti seluruh karyawan kantor harus berkumpul di aula saat istrirahat siang,” ucap Adira tegas.“Baik Pak.” Sahut Yeri dengan pikirannya yang bergelut pada peristiwa yang akan terjadi nanti. Adira pun kembali melanjutkan langkahnya dengan perasaan bahagia yang tidak diketahui oleh siapapun, karena senyumnya hanya ia perlihatkan untuk Ayana seorang. Tak lama ponsel Adira berdering saat ia melangkah masuk kedalam ruangannya. Ia
Adira POV Aku memandangi ruang ICU dengan tatapan gundah. Perasaanku sangat cemas memikirkan kondisi Ayana didalam sana. Pikiran tentang kejadian beberapa jam yang lalu sangat membekas kuat dipikiran terdalam ku. Tuhan aku mohon, jangan lagi kau pisahkan aku dengannya. Hatiku terus meminta hal tersebut pada Tuhanku. Untuk ku kehilangan Ayana membuat diriku sangat rapuh dan lemah. Aku tidak bisa lagi bisa menerimanya seumur hidupku. Dokter melangkah keluar dari ruang ICU dengan wajah seriusnya. Aku melangkah mendekat kearahnya.“Bagaimana dok?” tanyaku cemas.“Kita akan menyiapkan operasi besar untuk menyelamatkan anak anda, dan juga untuk menghentikan pendarahan di otak Ibu Ayana. Namun untuk menghentikan pendarahan pada otak tidak semudah yang Pak Adira bayangkan. Kemungkinan selamat juga tipis, tapi kami selaku Dokter akan selalu berusaha sekeras mungkin untuk menyelamatkan nyawa Ibu Ayana.” Jelas Doketr padaku. Seluruh jiwa ku seolah
Aku duduk di taman rumah sakit yang sepi. Hembusan angin dingin menerpa tembus kedalam kulitku. Kemeja putih lusuh penuh darah masih menjadi pakaianku sejak tadi. Bunga-bunga bermekaran dengan indah, warna-warni terlihat sangat cantik. Aku tersenyum tipis melihatnya. Apa dunia sangat membenciku? Bahkan disaat seperti ini, rasanya dunia sedang tertawa untuk ku. Aku menundukkan pandanganku, kedua tanganku memijat pelipis karena merasa pusing pada bagian kepala. Suasana sepi seperti ini setidaknya berhasil membuatku sedikit tenang.“Enak banget suasana disini,” Perlahan aku mendongak saat merasa ada yang mengajak ku bicara. Aku melihat Rissa yang berdiri tepat dihadapanku dengan senyum hangatnya.“Emm, boleh gue duduk?” Aku mengernyit dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba. Semua orang hari ini sunggu mampu membuatku merasa gila. Tanpa menunggu jawabanku Rissa tampak melangkah untuk duduk disampingku. Matanya melebar melihat b
Author’s POV Hari semakin larut, awan pun sudah menggelap sekitar lima jam yang lalu. Angin dingin berhembus seperti biasa, menjadi ciri khas di setiap malam. Hari ini bintang tampak berkumpul, membentuk sebuah bangun abstrak yang seorang pun tidak tahu apa arti dibaliknya. Arsen menghela napas sembari duduk di bangku taman dan berteman dengan hilir angin yang terus mengusik tubuhnya.“Minum dulu kopinya,” Arsen menoleh ke samping, dimana sudah terdapat Rissa yang sedang tersenyum kearahnya sembari membawa dua gelas kopi hangat. Rissa pun melangkahkan kakinya untuk duduk tepat di samping Arsen. Rissa tampak memberikan segelas kopi yang dibawahnya pada Arsen, dan Arsen menerimanya dengan senang hati.“Lo pulang aja, udah malam juga.” Ucap Arsen pada Rissa yang sedang asik menyesap kopi miliknya. Rissa mendongak melihat kumpulan bintang yang tengah bersinar ditengah gelapnya malam. Senyum lebarnya terukir alih-alih ia menggelen
Arsen menghentikan langkahnya tepat dihadapan sosok lelaki yang kini sedang duduk di depan kamar rawat inap istrinya. Arsen sudah mendapat kabar terbaru mengenai Ayana, dan ia turut bersedih melihat Adira yang semakin rapuh. Pagi ini Arsen membantu Adira untuk mengurus masalah kantor yang masih tertunda karena insiden Ayana. Ia mengurusnya seorang diri, karena Rissa tidak masuk hari ini. Setelah selesai mengurus kantor, Arsen pun mampir untuk melihat kondisi Ayana yang sedari tadi mencarinya. Arsen tampak menyodorkan tas berisi baju ganti untuk Adira kenakan. Adira bahkan belum mengganti bajunya selepas insiden terjadi.“Lo bersih-bersih badan dulu deh. Kalau bisa pulang sebentar dan istirahat, setelah itu kita cari jalan keluarnya.” Ucap Arsen pada Adira yang masih menunduk bertumpu pada kedua tangan kosongnya. Wajah kusut Adira tampak jelas, wibawa yang melekat pada dirinya sirna hanya karena tampilannya yang sangat berantakan. Kemeja putih penuh
Suasana kantor tampak canggung setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Zayna pun sudah dibawa menuju kantor polisi untuk di mintai pertanggung jawabannya. Rissa duduk di kursinya, dengan pikiran yang tidak pada posisinya. Sudah beberapa hari ini ia tidak melihat Arsen. Ia pun juga tidak tahu kabar dari Adira dan Ayana. Kejadian saat malam hari, dimana ia marah tanpa alasan yang pasti pada Arsen membuatnya malu jika harus bertemu lagi dengan Arsen. Rissa melihat kalender diatas mejanya. Sorot matanya gusar melihat tanggal yang sudah dilingkarinya.“Lo harus terima kenyataan Sa. Ngga akan ada yang bantu lo lari dari semua ini,” lirih Rissa dengan kepala yang tertunduk. Di sisi lain, Adira, Arsen, dan Ryan kini sudah berada di ruang kerja Adira sejak pagi buta. Mereka tengah merencanakan sidang dan gugatan pada Zayna untuk bertanggung jawab. Tidak hanya itu, merekaa juga memberi solusi pada Adira supaya bisa membuat ingatan Ayana kembali secara perlahan.“Kalau
Arsen berdiri tepat dihadapan cermin besar yang kini menampakkan dirinya dengan setelan suit blue. Gagah dan berwibawa kini sangat melekat pada dirinya, ditambah dengan tata rambutnya yang side undercut high top fade membuatnya tampak lebih tampan dan rapi. Arsen tersenyum melihat wanita di belakang yang melihatnya dengan tatapan kagum. Ayana melangkah masuk kedalam bilik Arsen yang terkesan minimalis dengan tema warna gray and white membuat ruangan terasa segar.“Gue jadi sedih,” ucap Ayana yang kini berdiri di samping Arsen. Arsen tertawa, “Kenapa Na?” tanya Arsen dengan menatap Ayana lembut.“Lo tiba-tiba sih. Gue jadi merasa kehilangan,” lirih Ayana dengan mengubah tatapannya menjadi sendu. Arsen menarik napas dalam, ia memeluk tubuh Ayana dengan penuh hangat. “Abang bakalan tetap sama Ana kok. Jangan sedih ya,” sahut Arsen dengan mengusap punggung Ayana agar ia bisa tenang.“Gue juga belum kenal dekat sama calon lo. Kenapa harus cepat banget si
Terdengar suara ricuh dalam suatu ruangan. Teriakan dan goresan antar benda sangat terdengar dengan jelas. Terdapat empat orang di dalamnya yang tampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.“Kak, itu balonnya kurang gede,” peringat gadis berusia lima belas tahun itu dengan meneriaki salah satu kakak laki-lakinya.“Jangan gede-gede, nanti meletus. Terus habis balonnya,” jawabnya yang enggan mendengarkan suara adiknya.“Tapi ngga sekecil ini juga bego,” sahut lainnya dengan menoyor kepala orang yang di panggil Kak tadi. Ry, mendengus kesal setelah mendapatkan toyoran keras di kepala oleh Theo. Theo pun mengambil balon yang sudah di tiup oleh Ry dan menunjukkannya pada Ayah mereka. Adira yang tadi berada di dapur pun keluar menuju ruang tamu saat mendengar anak-anak mereka bertengkar seperti biasa.“Yah, lihat deh. Balonnya terlalu kecil kan?” tanya Theo pada Adira. Adira tertawa melihat balon seukuran tangan yang bisa di genggamnya itu. “Siapa yang tiup?” tany
Dentuman suara musik mengalun menyeruak kedalam telinga setiap orang yang datang. Lampu terang mampu memperlihatkan setiap insan yang datang dengan riasan wajah yang sudah mereka persiapkan. Dalam ruangan yang besar ini mampu menampung ribuan orang, dan saat ini sudah banyak orang yang datang untuk mengikuti Pesta Relasi di Perusahaan milik Adira. Ya, ini adalah hari sabtu. Dimana semua rekan kantornya menghadiri pesta yang sudah ia janjikan untuk lebih mempererat tali silaturahmi antara rekan kerja dan atasan. Semua mata pun tampak tertuju pada Adira yang berjalan dengan menggandeng Ayana di sampingnya. Bak seorang Raja dan Ratu, kini mereka menjadi pusat perhatian selama mereka berjalan masuk kedalam ruangan. Tatapan kagum terpancar dengan nyata di mata setiap orang yang menatap mereka. Ayana yang memakai dress Vero Navy Blue Smocked Off-Shoulder mini dress. Dress tersebut sangan pas untuk tubuh Ayana, karena mampu membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Ti
Dalam sebuah kabin dengan sentuhan warna putih membuat ruangan terlihat sangat lebar. Disana terlihat Aji dan Elvina yang tampak berbaring diatas ranjang mereka, menikmati waktu santai seperti biasanya.“Beberapa hari ini badan ku tidak sesehat seperti dulu. Rasanya lemas sekali, sampai mikirin masalah perusahaan pun belum tentu bisa,” lirih Aji yang sedang membaringkan tubuhnya. Elvina yang sedari tadi nampak asik bermain ponsel pun kini mengalihkan pandangannya pada Aji yang nampak lemas.“Yaudah serahin aja perusahaan ke Tiara. Biar dia yang urus, kamu tinggal rebahan di rumah.” Jawab Elvina dengan wajah sumringahnya. Aji menggeleng, “Aku sudah memutuskan untuk memberikan kuasa perusahaan ini pada Ana. Tiara hanya akan mendapatkan beberapa persen saham saja,” balas Aji menolak. Raut kesal pun terpancar dengan jelas pada wajah Elvina. “Kamu kira lulusan SMA bisa memimpin sebuah perusahaan? Lagian Ana ngga akan bisa ambil kendali perusahaan, kamu i
Langkah kaki besar milik Adira membawanya untuk masuk kedalam gedung besar milik RAJI'S COMPANNY. Sejak kedatangannya raut wajahnya nampak serius dan tidak menampakkan kesenangan sama sekali. Adira menghentikan langkahnya tepat pada lift yang masih tertutup dengan rapat. Ia pun tampak menunggu lift tersebut untuk segera terbuka. Diamnya membuat pikirannya terbawa pada percakapan semalam bersama Aji, Papa mertuanya. Saat itu Adira berada di taman dengan cuaca dingin di tengah-tengah tubuhnya yang masih belum pulih seutuhnya.-^Adira dapat email masuk, apa benar besok pengalihan CEO baru?^^Betul, nak. Papa akan serahkan perusahaan pada CEO baru agar bisa di kelola dengan baik,^^Siapa Pa?^ Marah Adira seolah teredam di balik saluran telephone di ponselnya. Ia tampak menunduk kesal, sembari mengepalkan tangannya dengan kuat setelah mendengarkan jawaban dari Aji tentang siapa yang akan menggantikannya.^Ngga bisa dong Pa. Ini ngga adil buat Ana,^ tegas Adira pada
Ayana tampak membawa nampan berisi bubur ayam dan segelas air putih serta obat yang sudah di berikan dokter untuk Adira. Ia pun menaruhnya diatas nakas sebelah ranjang mereka. Ayana kini tampak membantu Adira untuk bisa duduk dengan nyaman. Adira sudah sadar sejak kedatangan dokter yang menanganinya tadi. Tentu saja ia mendapatkan amukan dari dokter karena terus mendapatkan keluhan tentang perut Adira. Sudah empat tahun terakhir Adira memiliki penyakit ini, dan baru tiga tahun ia menuruti perkataan dokter agar penyakitnya tidak kambuh. Adira tampak tersenyum tipis dengan bibirnya yang pucat.“Makan dulu Mas,” ucap Ayana dengan meraih semangkuk bubur hangat tersebut. Perlahan Ayana tampak mengarahkan sendok berisikan bubur tersebut pada mulut Adira. Adira pun menurutinya dan memakannya walau terasa sedikit pahit di dalam mulutnya. Seperti itu hingga makanannya habis tak tersisa. Kini Ayana pun berganti untuk memberikan minum kepada Adira sebelum meny
Arsen berjalan masuk kedalam ruang kantor yang sudah lama tidak ia kunjungi. Setelah kepulangannya dari Paris, ia langsung memutuskan untuk kembali bekerja agar bisa membantu Adira yang pasti kewalahan mengurus kantornya sendiri. Tidak hanya itu, ia membantu Adira sebagai ucapan terima kasih telah memberikan banyak hal selama ia di Paris.“Selamat pagi, Pak Arsen.” Sapa seorang karyawan perusahaan.“Pagi.” Sahut Arsen. Ia pun terus melangkah menuju ruangan milik Adira, dimana itu adalah rumah kedua untuknya. Ia membukanya tanpa permisi, dan mendapati Adira yang sudah fokus pada pekerjaannya.“Gila, pagi banget lo. Tumben?” tanya Arsen alih-alih menyapa Adira yang sudah fokus pada pekerjaannya.“Banyak banget kerjaan yang terbengkalai selama gue ngga masuk kantor. Ngga ada yang backup gue juga,” jawab Adira tanpa mengalihkan fokusnya sama sekali.“Gue bisa bantu apa?” Adira diam. Ia sepertinya sedang memikirkan apa yang bisa dilakukan Arsen untuknya. “Minta tolo
Ayana mengeliat tak nyaman saat ada sinar matahari masuk menembus celah gorden yang terbuka. Perlahan ia membuka matanya setelah tidur dengan sangat nyeyak tanpa adanya gangguan. Tangan kirinya meraba untuk memastikan bahwa seseorang tetap ada di sampingnya semalam. Tapi nihil, tidak ada orang sama sekali di sampingnya. Dengan cepat, ia pun membuka matanya dan mencari keberadaan sang suami. Awalnya ia terkejut saat tidak mendapati Adira yang tidur di sampingnya, namun sedetik kemudian senyumnya terpancar saat melihat Adira tengah bermain dengan si kembar.“Mas kok udah bangun? Masih pagi loh ini,” tanya Ayana dengan suara seraknya sehabis bangun tidur. Adira menoleh, matanya sangat sayup karena kurang tidur. Semalam, setelah membaca ketikan Ayana, ia tidak bisa kembali tidur. Banyak hal yang dia segera selesaikan untuk menebus semua kesalahannya. Setelah menyudahi pekerjaannya yang terhambat, Adira sebenarnya ingin sekali tidur. Tapi ternyata jam su
Ayana POV Hai, aku Nadira Ayana Wangsa. Wanita berusia dua puluh tahun yang saat ini sudah memiliki dua anak. Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan menjadi roller coaster seperti ini. Hidup indah yang menjadi dambaan banyak orang, sudah sirna sejak aku berusia sepuluh tahun. Usia dimana aku masih di temani oleh kedua orang tua yang lengkap untuk mengajarkan ku berbagai banyak hal yang belum ku mengerti sama sekali. Tapi Mama sudah pergi lebih dulu meninggalkan ku dan Papa. Saat itu semuanya menjadi berubah. Papa menjadikan dirinya lebih sibuk alih-alih berusaha melupakan Mama, sehingga aku tidak pernah lagi mendapatkan perhatiannya. Aku tumbuh seorang diri bersama gelapnya warna yang menghiasi hidup ku. Hingga akhirnya Papa memuutuskan untuk menikah kembali. Aku sangat ingat bagaimana waktu aku menolak keras Papa yang meminta izin untuk menikah kembali. Hanya berselang satu tahun, Papa lalu kembali memutuskan untuk menikah dengan wanita janda y
Ayana’s POV Hembusan angin dingin menjalar ke seluruh tubuh. Aku terperanga saat melihat keadaan yang di penuhi kegelapan di depanku. Tangan ku berusaha untuk meraba sekeliling, namun nihil. Tidak ada barang atau seorang pun yang berada disana. Mulutku tak henti-hentinya berteriak memanggil seseorang. Adira. Hanya dia yang ada di dalam pikiranku saat ini. Tidak ada suara apapun disana, kecuali suara pantulan dari teriakan ku. Aku melangkah penuh akan ketakukan ke sembarang arah yang bisa membebaskan ku dari sana. Terus berusaha mencari cara agar bisa keluar dari ruangan mengerikan ini.“Adira!” teriak ku dengan keras. Tangis luruh dengan alasan ketakutan akan kegelapan. Aku terus melangkah untuk mencari jalan keluar, karena tidak ada yang bisa membantuku saat ini kecuali diriku sendiri. Beberapa kali melangkah, kini aku jatuh. Kaki ku lemas karena merasa takut. Tinggal aku sendiri disini.“Na tolong aku.” Aku terkejut saat mendengar suar