Davva mengikuti langkah panjang Kanya setelah meninggalkan tatapan tajam di wajah Raven. Ia menyumpah di dalam hati betapa bajingannya lelaki itu. Davva bisa merasakan betapa hancurnya hati Kanya begitu mendapat penolakan frontal dari suaminya sendiri. Davva masuk ke mobil setelah Kanya lebih dulu masuk ke sana. Davva menyetir dalam diam sedangkan di sebelahnya Kanya terisak. Ia sudah mencoba sekuat daya agar tidak menangis. Tapi Kanya hanyalah seorang manusia biasa.Tangisan Kanya tidak berhenti hanya sampai di mobil. Setibanya di apartemen Davva Kanya langsung melarikan diri ke kamar dan menangis di sana. Davva hanya diam menyaksikan semua itu. Awalnya Davva ingin mengetuk pintu. Namun langkahnya terhenti. Kanya pasti butuh waktu untuk sendiri. Nanti setelah tenang Davva akan menemuinya.Di dalam kamar Kanya tergugu dalam tangis hingga berjam-jam sampai akhirnya perempuan itu tertidur. Kanya terbangun dengan mata bengkak dan menyadari ruangan sudah gelap gulita.Ternyata sudah mala
Seharian ini Kanya disibukkan oleh aktivitas di butik. Mereka bersiap-siap untuk acara peragaan busana yang sedianya diselenggarakan nanti malam.Wanda sebagai pemilik Queen Boutique betul-betul mendapuk Kanya sebagai utusan dari butik mereka. Perempuan itu tidak hanya mengajarkan Kanya caranya berlenggak-lenggok di catwalk. Namun juga menumbuhkan kepercayaan diri Kanya. “Saya nggak pede, Bu, gimana kalau nanti kesandung? Gimana kalau penampilan saya nggak bagus? Gimana kalau saya malu-maluin?” Berbagai pengandaian Kanya ajukan.Dan sama seperti sebelum-sebelumnya Wanda meyakinkan kalau Kanya pasti bisa. Kanya tidak kalah dari yang lainnya. Kanya adalah perempuan yang hebat. Kanya tidak hanya bisa merancang tapi juga memeragakan hasil rancangannya.“Bener tuh yang dibilang Mama,” kata Davva menimpali. “Kamu nggak usah mikirin soal tinggi badan segala macam. Setiap pribadi itu unik dan nggak bisa disamaratakan.”Kanya tersenyum. Davva dengan aura positifnya seakan ikut menularkan ener
Raven dan Aline akhirnya tiba di tempat yang dituju. Tadi keduanya menghabiskan sisa perjalanan dalam diam. Begitu pun ketika turun dari mobil mereka berjalan sendiri-sendiri membawa langkah kaki masing-masing. Barulah ketika hampir memasuki ruangan Aline merapat pada Raven. Aline mengaitkan tangan ke lengan Raven dan menebar senyum pada siapa pun yang berpapasan dengannya. Sedangkan Raven tampak menjahit mulut. Mood-nya yang amat sangat buruk semakin parah setelah pertengkaran di mobil tadi.Malam itu Aline terlihat begitu penuh percaya diri. Jujur saja perempuan tersebut semakin cantik dengan one shoulder dress berwarna mustard yang saat ini dikenakannya sehingga mengekspos dengan jelas area pundak dan lehernya. Tinggi tubuhnya pun hampir menyamai Raven berkat wedges berwarna senada dengan dress yang malam itu dipakainya.Raven dan Aline duduk di tempat yang disediakan. Lebih tepatnya di barisan front row. Baru beberapa menit mereka di sana, lampu runway pun menyala.Para penonton d
Kanya merebahkan punggungnya ke sandaran jok. Ia menghela napas dalam-dalam dan mengisi paru-parunya dengan udara baru. Peristiwa yang dialaminya tadi membuat dadanya menjadi sesak. Bukan karena kemenangannya melainkan karena peristiwa perkelahian Raven dan Davva tadi. Perkelahian kedua lelaki itu sempat menjadi pusat perhatian orang-orang. Beruntung Kanya segera membawa Davva pergi dari tempat itu.“Kanya …,” panggil Davva pelan.Kanya lalu menoleh ke arah Davva. “Iya, Dav?"“Yang tadi jangan dipikirin, jangan diambil hati. Kamu nggak akan menjadi rendah hanya karena ucapan orang tadi,” kata Davva menasehati menghibur Kanya. Walau bagaimanapun ucapan Raven merupakan hinaan paling menyakitkan bagi seorang wanita. Apalagi Raven bukan orang asing namun suami Kanya sendiri. Sakitnya mungkin tidak akan separah itu jika Raven adalah orang yang tidak Kanya kenal.Kanya tersenyum getir. Hinaan tadi memang membuatnya sangat sakit, tapi Kanya pastikan Raven akan menyesal karena sudah mengucapk
Raven terbangun karena dering keras dari ponselnya. Begitu membuka mata di saat itulah dirinya menyadari jika ia berada bukan di rumahnya bersama Aline, melainkan rumah Kanya.Mengulurkan tangan untuk menjangkau ponsel, Raven melihat nama sang istri di layar. Entah mengapa hal tersebut membuat Raven merasa sangat kesal. Raven merasa Aline seakan sedang mengekangnya, memata-matai ke manapun Raven pergi.Raven putuskan untuk mereject panggilan tersebut dan mematikan ponselnya. Setelah meletakkan kembali Raven berniat melanjutkan tidurnya. Namun begitu matanya tanpa sengaja bertemu dengan jam di dinding, ia terkesiap. Ternyata hari sudah pagi. Sudah saatnya beraktivitas. Banyak yang harus dilakukannya hari ini.Menyingkirkan kantuk, Raven lantas turun dari ranjang. Hal pertama yang dilakukannya adalah masuk ke kamar mandi dan membersihkan dirinya di sana. Raven menghela napas panjang ketika tanpa sengaja momen-momen mandi bersama dengan Kanya melintas di depan matanya.Setelah mandi, Rav
Kanya kembali ke ruangannya setelah bicara dengan Wanda tadi. Ia kemudian duduk di kursinya. Lama Kanya memandangi amplop di tangannya sebelum memutuskan untuk membuka amplop tersebut.Kanya kemudian termangu setelah menghitung lembaran uang di dalamnya yang jumlahnya tidak sedikit. Beberapa rencana tersusun di kepalanya. Dengan uang itu ia bisa melakukan banyak hal. Di antaranya adalah membayar utangnya pada Davva dan mencari tempat tinggal baru. Kanya sadar sepenuhnya bahwa ia tidak mungkin terus-terusan tinggal di apartemen Davva.Saat Kanya sedang bermenung, pintu ruangannya terbuka, Davva tiba setelah tadi Wanda memintanya datang.Tadi Davva sedang berada di kantornya ketika sang ibu menelepon. Dari sana ia langsung meluncur ke Queen Boutique.Kanya tertegun sesaat menyaksikan Davva yang masih berdiri di sisi pintu. Kemeja putih yang dikenakannya dan saat ini lengannya digulung hingga siku mengingatkan Kanya pada Raven. Kanya tidak akan pernah lupa bahwa warna favorit lelaki yang
Davva terkejut mendapat serangan tiba-tiba yang sama sekali tidak diprediksinya. Tadinya Davva berhenti bermaksud memberikan kesempatan pada Raven untuk bicara dengan Kanya agar laki-laki itu tidak lagi mengekori mereka. Namun siapa kira inilah yang akan diterimanya.“Raven! Jangan!” Kanya berteriak dengan keras dan langsung keluar dari mobil lalu menarik tangan Raven hingga terlepas dari Davva.“Pulang, Kanya! Ikut saya sekarang!” Raven mencekal tangan Kanya dan menarik menuju mobilnya.“Lepaskan! Saya nggak mau ikut dengan kamu!” Kanya menolak mentah-mentah dan menarik tangannya dengan keras, tapi usaha membebaskan diri itu tentu saja berakhir dengan sia-sia lantaran tenaga Raven jauh lebih kuat.“Kamu istri saya, Kanya! Kamu wajib mematuhi apapun yang saya katakan!”Kanya menjawab kata-kata Raven dengan dengkusan kecil. “Istri? Bukannya kamu sudah melepaskan saya? Kamu sudah menyuruh saya pergi dan itu artinya saya bukan istri kamu lagi.”Raven melepaskan cekalannya dari tangan Kan
Kanya menyandarkan punggung ke sandaran sofa sambil mengembuskan napas panjang seakan sedang melepas bebannya. Tangannya kemudian menjangkau remot TV dan menyalakannya. Lalu matanya terarah pada layar yang menyala. Terlihat seperti sedang benar-benar menikmati acara tersebut, nyatanya saat ini pikiran Kanya tidak tertuju ke sana, melainkan pada kejadian tadi siang di ruangannya. Tepatnya saat Wanda memintanya tadi untuk menjodohkan dengan Davva. Cukup lama Kanya terdiam memikirkan jawaban yang akan ia berikan. Hingga akhirnya Kanya menolak dengan alasan tidak pantas untuk Davva.“Maaf, Bu Wanda, bukan saya tidak mau, tapi saya merasa sangat tidak pantas bersanding dengan Davva.”“Ayolah, Kanya, kamu nggak usah ngerasa rendah diri. Saya nggak pernah membeda-bedakan orang dari status sosialnya.”Kanya menggigit bibir. Ia tidak yakin jika Wanda tetap bertahan pada prinsipnya saat ini jika tahu siapa Kanya sebenarnya dan bagaimana keadaannya.“Sekali lagi, maaf, Bu, saya tidak pernah meng
Kanya sedang melihat-lihat isi butik ketika dering ponsel menginterupsinya. Mengeluarkan benda itu dari saku, Kanya mendapati nama Davva tertera di sana. Dengan refleks Kanya menujukan matanya pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ternyata masih pukul sepuluh pagi. Tadinya Kanya berpikir bahwa Davva menelepon untuk mengingatkannya agar jangan lupa menjemput Monica.Tidak ingin membiarkan Davva menunggu lama, Kanya langsung menjawab panggilan tersebut dengan mengusap tanda terima di layar.“Iya, Dav?”“Kamu di mana?”“Di Monique. Tumben nelfon jam segini? Yang semalam masih kupikirin, aku belum ada jawabannya, Dav,” kata Kanya. Ia pikir Davva menanyakan jawabannya mengenai tawaran untuk pindah ke NY. Hingga saat ini Kanya masih memikirkannya dan belum mampu memberi keputusan apapun. Kanya memiliki berbagai pertimbangan dan pikiran-pikiran di kepalanya.“Aku bukan mau nanya itu,” jawab Davva membantah dugaan Kanya. “Cuma lagi pengen dengar suara kamu.”Kanya tersenyum di ba
Kanya mengawali hari dengan mengurus Monica serta menyediakan perlengkapan dan kebutuhan Davva. Mulai dari menyiapkan pakaian kerja Davva, memandikan Monica, memasangkan bajunya hingga memberinya makan.“Coba deh tebak, hari ini siapa yang antar Monic ke sekolah?” tanya Kanya sambil menyisir rambut panjang sang putri kemudian menyatukan setiap helainya dalam satu ikat rambut.“Pasti Papa. Iya kan, Ma?” Kanya mengangguk mengiakan tebakan Monica yang membuat anak itu bersorak senang.“Yeaay!!! Monic sekolah sama Papa. Tapi nanti pulangnya juga sama Papa kan, Ma?” “Mmm, kalau misalnya sama Mama aja gimana? Kan Papa harus kerja. Nanti kalau misalnya Papa lagi nggak kerja baru deh pulangnya sama Papa.”“Tapi nanti Mama jangan telat ya, Ma.”“Enggaak. Mama janji deh. Nanti Mama bakal tepat waktu. Kalau perlu nanti setengah jam sebelum pulang Mama udah nyampe di sekolah Monic,” kata Kanya menjanjikan.“Janji, Ma?” “Iya, Mama janji.” Kanya mengangkat kelingkingnya. Monica ikut melakukan h
Kanya terperanjat. Ia hampir saja menjatuhkan ponsel dari tangannya. Tidak tahu kenapa tiba-tiba Kanya langsung terserang gugup. “Rav, udah dulu ya, udah malam.” Kanya langsung memutus sambungan saat itu juga tanpa menanti jawaban dari Raven.“Happy banget kayaknya sampe ketawa-ketawa. Telfon dari siapa sih?” tanya Davva setelah Kanya meletakkan ponselnya. Tadi saat Davva baru masuk ke kamar ia mendengar Kanya berbicara sambil tertawa. Kanya terkesan begitu gembira. Kanya semakin gugup. Bukan maksudnya untuk berbohong pada Davva, tapi Kanya hanya khawatir jika suaminya itu menanggapi secara berbeda. Kanya tidak ingin Davva menjadi salah kaprah.“Dav, tadi aku telfonan sama Raven.” Kanya akhirnya memilih untuk berterus terang.Davva menyipit. Selama ini setahunya Kanya hampir tidak pernah berkomunikasi dengan lelaki itu. Lalu ketika tiba-tiba mereka kembali berhubungan tentu saja hal tersebut menumbuhkan pertanyaan besar di kepala Davva.“Tumben Raven nelfon kamu? Ada apa?” Davva men
“Papaaa!!!”Monica berlari kecil saat melihat Davva begitu keluar dari kelas.Davva mengembangkan senyum, lalu membungkukkan badan sambil merentangkan tangan untuk menyambut sang putri. Begitu Monica sampai tepat di hadapannya, Davva langsung menggendong anak itu.“Udah boleh pulang kan?” tanyanya sambil melabuhkan kecupan lembut di pipi sang putri.“Udah, Pa,” jawab Monica singkat sambil membalas kecupan Davva di pipinya.Sambil tetap menggendong Monica, Davva membawa Monica ke mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Davva sengaja memarkirnya di sana—tidak masuk ke parkiran sekolah, agar nanti keluarnya tidak susah, mengingat begitu banyak kendaraan keluar masuk di area sekolah.Setelah menyeberang jalan dan tiba di mobilnya, Davva memasukkan Monica ke dalam mobil.“Papa, Monic senang deh Papa yang jemput Monic ke sekolah.”“Kan tadi Papa udah janji kalau nanti Papa yang bakalan jemput.” Berhubung Davva berhalangan mengantar Monica ke sekolah, maka sebagai gantinya Davva menjanjika
Menikah hampir tiga tahun lamanya, Kanya dan Davva sudah melakukan banyak cara dan mengupayakan berbagai hal agar bisa memiliki anak atau keturunan. Terserah mau laki-laki atau pun perempuan. Namun sampai saat ini belum satu pun dari usaha tersebut yang membuahkan hasil, padahal ahli medis menyatakan pada keduanya bahwa mereka berada dalam keadaan sehat. Itulah sebabnya Davva sangat menyayangi Monica. Terlepas dari hal tersebut, perasaan Davva pada Monica tetap tidak akan berubah. Baginya anak sambungnya itu tak ubah statusnya bagai anak kandungnya sendiri.Setelah ucapan Kanya tadi Raven termangu di belakang kemudi. Tatapannya lurus dan terfokus pada jalan raya yang dilaluinya. Akan tetapi pikirannya mengembara jauh. Raven mengira-ngira seperti apa kehidupan Kanya saat ini dengan Davva. Apa mereka bahagia? Apa kehidupan pernikahan mereka harmonis? Dan terutama bagi Davva, apa ia bisa menikmati kehidupannya tanpa memiliki anak dari Kanya tapi malah membesarkan anak orang lain?Sementa
Raven mendekati Kanya, menyentuh dahinya yang menjadi sasaran kenakalan sang putra. Lemparan Ray yang begitu kuat membuat dahi Kanya bengkak. Kepalanya juga pusing dan terasa berdenyut.Kejadian yang menimpa Kanya membuatnya otomatis memindahkan atensi orang-orang. Kanya dibawa ke ruangan guru untuk diobati di sana. “Biar saya saja, Bu,” kata Raven pada guru yang akan mengompres dahi Kanya. Raven mengambil alih. Dikompresnya dahi Kanya pelan-pelan.Kanya meringis, tangannya refleks mencekal pergelangan Raven.“Sakit?” tanya Raven melihat ringisan Kanya.Kanya mengangguk dengan perlahan. Kanya tidak habis pikir bagaimana mungkin anak seusia Ray bisa melakukan tindakan seperti tadi.“Maafin Ray ya, Nya. Dia nggak tahu kamu siapa. Dia memang manja, semua keinginannya harus dituruti, kalau ada yang nggak sesuai dengan hatinya dia akan ngamuk, contohnya seperti tadi. Awalnya dia nggak mau sekolah. Tapi dari pada terus berada di rumah aku pikir sebaiknya disekolahkan, apalagi teman-teman
Keluar dari kamar Wanda, Davva melangkah menuju ruang tamu guna menemui Kanya yang sedang duduk menunggu di sana. Kanya tampak sedang mengawasi Monic bermain. Anak itu tidak betah duduk di pangkuan Kanya. Sedari tadi ia sibuk berjalan ke sana kemari mengeksplor apapun yang menarik perhatiannya.“Nya, ayo ke kamar Mama.”“Kamu udah kasih tahu aku ada di sini?”“Udah, yuk.” Davva kemudian melambaikan tangan pada Monic meminta agar gadis cilik itu mendekat. “Monic! Ayo sini sama Papa, Nak!” Sejak resmi menikahi Kanya, Davva mengajarkan agar anak sambungnya memanggil Papa padanya.Monic berlari kecil menghampiri Davva yang membungkuk sambil merentangkan tangan. Begitu anak itu berada dekat dengannya, Davva langsung membawa ke gendongannya.Jantung Kanya berdegup kencang begitu Davva merangkul punggungnya menuju kamar Wanda. Kanya menyiapkan diri untuk kemungkinan paling buruk termasuk jika nanti Wanda mengusirnya.Dengan Monic berada dalam gendongannya, tangan Davva memutar gagang pintu
Setelah mereka resmi menikah Davva mengajak Kanya pindah ke rumah. Menurut Davva rumah pribadi meskipun sederhana lebih ideal untuk membangun kehidupan berkeluarga dibandingkan dengan tinggal di apartemen. Davva membeli sebuah rumah yang nyaman untuk mereka bertiga. Ia menyerahkan pada Kanya untuk pemilihan lokasi, model dan tipe rumah beserta interior dan furniture di dalamnya. Davva memperlakukan Kanya bagai ratu sesungguhnya. Bahkan kadang Kanya berpikir semua ini terlalu berlebihan untuknya. Ia merasa tidak pantas untuk semua ini walaupun Davva sudah berkali-kali meyakinkannya bahwa Kanya berhak diperlakukan dengan istimewa.Dering suara ponsel Davva membangunkan Kanya pagi itu.Kanya membuka matanya. Lalu dengan perlahan Kanya menepis tangan Davva yang melingkarinya. Lelaki itu memeluk Kanya dari belakang. Mengangkat tubuh, Kanya menjangkau ponsel suaminya yang tergeletak di nakas. Begitu benda itu berada di tangannya Kanya melihat nama Tante Lilis tertera di sana. Kanya sontak
Malam semakin tua. Keheningan mulai juga semakin meraja. Namun di kamar mewah itu Davva dan Kanya masih betah membuka mata. Mereka baru saja selesai berdansa dan makan malam bersama sekitar satu jam yang lalu.Saat ini keduanya sama-sama berbaring di atas kasur yang dipenuhi taburan kelopak mawar merah. Tiada sepatah kata pun yang terlontar dari bibir keduanya. Hanya mata keduanya yang berbahasa.Keduanya berbaring miring berhadapan dengan jari-jemarinya Davva membelai wajah Kanya.Kanya tidak menyangka jika jalan hidup akan membawa dirinya pada titik ini. Setelah ditipu dan dijual oleh orang tuanya, Kanya menikah dengan lelaki asing yang tidak dikenalnya. Lalu menghadapi cobaan yang datang bertubi-tubi hingga akhirnya dipersatukan dengan Davva yang menjadi pendamping barunya.“Dav, apa Mama tahu hari ini kita menikah?”Belaian tangan Davva di wajah Kanya melambat saat mendengar pertanyaan istrinya itu.Sehari sebelum menikah Davva mencoba menelepon Wanda tapi tidak dijawab. Davva jug