Indah berlari menghampiri Bara yang tersungkur sambil memegang kepalanya. Wajah pria itu nampak pucat dan agak sedikit merah menahan pusing. "Mas," panggil Indah.Perempuan itu berjongkok di depan Bara yang masih saja memegang kepalanya. Indah menyentuh pundak Bara pelan, tetapi tidak ada balasan dari Bara selain erangan. "Argh!" Melihat itu, Indah segera memeluk Bara. Ia membantu Bara agar kembali duduk dengan benar. "Mas, duduk dulu." Begitu duduk kembali di sofa, Indah menarik kedua tangan Bara yang memegang kepalanya. Ia menangkup pipi Bara agar pria itu mau melihatnya. "Istighfar, Mas." "Istighfar," ucap Indah sambil menuntun Bara mengucapkannya.Perlahan Bara menatap mata Indah. Seperti di hipnotis, Bara menurut begitu saja meski erangan kerap kali terdengar. Dengan sabar Indah mengusap pipi Bara agar pria itu semakin tenang. Setelah agak baikan, Indah mengambil satu botol minum yang nampaknya belum dibuka di atas meja. Indah membukanya kemudian diberikan kepada Bara. "Dimin
"Indah," panggil Bara sambil merangkak menaiki ranjang. Pria itu menghampiri istrinya yang sejak tadi berubah sikap setelah mengetahui jika Bara memiliki hubungan yang belum selesai dengan Mawar. Dengan tak tahu malu Bara tidur di pangkuan Indah. Membuat Indah yang sedang bersandar pada kepala ranjang hanya mampu membuang muka. Bara tidak menyerah, ia menggenggam tangan Indah lalu mengecupnya dengan lembut. "Sayang, jangan gini terus," pintanya dengan memohon.Indah tidak mengindahkan dan masih membuang muka. Jelas itu tidak membuat Bara menyerah. Pria itu kini mengusap pipi Indah dengan lembut. "Aku enggak tahu harus gimana biar kamu enggak marah, Indah. Itu masa lalu, dia ada sebelum kamu hadir dalam kehidupan aku. Lagian aku juga lupa sama dia, karena yang aku ingat sekarang itu kamu. Istriku," ujar Bara mencoba mencairkan hati Indah yang terlanjur kesal. Memang jika dipikirkan lagi semua salahnya. Seharusnya Bara mengatakan yang sejujurnya sebelum hari ini tiba. Namun, Bara j
Dengan langkah berat Indah meninggalkan ruangan Bara. Dalam hati, ia heran dengan perubahan sikap yang tiba-tiba. Padahal awalnya semua baik-baik saja. Tiba di meja kerjanya, Indah langsung menjatuhkan diri di kursi. Tatapan matanya kosong, tetapi benaknya berkecamuk memikirkan alasan yang membuat Bara tiba-tiba berubah. Apa itu karena ingatan Bara yang mulai kembali? Jika iya, itu artinya Indah harus siap dengan kemungkinan terburuk dalam rumah tangganya. Yaitu Bara meninggalkannya demi kembali bersama Mawar yang jelas-jelas memiliki hubungan dengan Bara ketika pria itu belum mengalami hilang ingatan. Sungguh, sebelumnya Indah tidak pernah membayangkan akan sejauh ini. "Apa yang sedang Mas Bara dan Mawar lakukan di dalam?" gumamnya ketika melihat Zulfi keluar dari ruangan Bara. Yang artinya sekarang hanya tinggal berdua saja di ruangan. Indah menarik napas dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan. Baiklah, untuk saat ini tidak ada yang bisa Indah lakukan karena Bara sendiri
Dada Bara naik-turun. Deru napasnya memburu ketika melihat rekaman CCTV yang menampilkan sosok istrinya bersama Zulfi. Yang membuat ia kesal adalah saat Zulfi tersenyum kepada Indah. Sehingga ketika Zulfi masuk ke ruangannya, Bara langsung melayangkan pukulan pada pria itu. Sontak Zulfi yang tidak siap pun terhuyung. Beruntung ia masih bisa menahan bobot tubuhnya. "Mohon maaf, Tuan, saya tidak bermaksud." Zulfi menunduk setelah mendapatkan cercaan dari Bara. Dalam hati Zulfi bertanya apakah Bara memperhatikan Indah. Sampai-sampai pria itu tahu jika dirinya tadi bersama Indah. Padahal tidak ada niat lain, Zulfi hanya ingin membantu Indah yang diganggu oleh Mawar. Seharusnya Bara tahu itu. Lantas, apa yang membuat Bara diam saja dan membiarkan Mawar menganggu Indah? Jika ujung-ujungnya ia harus marah ketika ada yang melindungi istrinya."Kalau aku liat kamu lagi bersama Indah, liat akibatnya!" sentak Bara sambil menujuk wajah Zulfi. Zulfi yang hanya seorang bawahn tidak bisa melaku
Mawar tersenyum senang mendengarnya. "Memang kamu secinta itu sama aku," ucapnya. "Hemm, aku mencintaimu." "Aku juga," balas Mawar sambil bergelayut manja di lengan kokoh milik Bara. Setelah beberapa saat, Bara mengajak untuk kembali ke kantor karena ia harus ada rapat. "Aku masih betah," rengek Mawar. "Masih ada waktu lain untuk kita bertemu," ujar Bara mencoba membujuk Mawar agak tidak lagi merajuk. Akhirnya dengan sedikit kesal, Mawar mengiyakan. "Ya sudah, tapi kamu janji jangan usir aku kalau aku ke kantor kamu." "Tentu saja." Keduanya beranjak dari restoran menuju perusahaan. Bara membukakan pintu untuk Mawar. Setelahnya ia masuk dan duduk di depan kemudi. Iya, Bara mulai hafal dengan rute jalan. Sehingga tidak memerlukan supir jika bersama Mawar.Tiba di perusahaan, Bara mengantarkan Mawar lebih dulu ke mobilnya. "Maaf, kamu jadi harus bolak-balik gini." Dengan cepat Mawar menggeleng. "Jangan minta maaf, aku senang karena kamu udah mau buka hati buat aku." "Hemm." "Em
Bara menegakkan tubuhnya setelah selesai membersihkan luka di kaki Indah. Sementara Indah berniat berdiri untuk pergi dari hadapan pria tersebut. Hanya saja lengannya dicekal oleh Bara, membuat Indah mengurungkan niatnya. "Ada apa, Pak?" "Maaf," ucap Bara dengan lirih. "Maaf untuk apa?" tanya Indah sambil menarik tangannya agar cekalan Bara terlepas. "Maaf karena aku kembali pada Mawar." Indah tersenyum miris mendengarnya. Apa itu artinya ia sudah tidak lagi berharga untuk Bara? Bukan, apa selama ini Indah tidak memiliki ruang di hati Bara? Begitu mudahnya Bara mengatakan itu tanpa memikirkan bagaimana perasaannya sekarang. Sungguh, Indah kecewa dengan sikap Bara. Namun, ia lebih kecewa dengan dirinya sendiri yang malah jatuh hati pada Bara. Andai tahu jika akhirnya seperti ini, mungkin Indah akan memikirkan beribu kali untuk menjatuhkan hati pada Bara. Iya, untuk menikah sendiri dengan Bara Indah tidak menyesal. Hal itu karena pada awalnya ia menerima Bara untuk membantu pria
Sebagai istri, Indah yang sudah dikecawakan tetap nmencoba melayani suaminya. Seperti malam ini, Indah yang baru pulang dari kantor langsung menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Bisa saja Indah abai dan membuat makanan sendiri, tetapi Indah memilih untuk tetap melakukannya. "Mas, makan malamnya udah siap." Bara yang sedang duduk memainkan ponselnya di ruang keluarga pun menoleh lalu mengangguk. Ia tersenyum kemudian bangkit. Saat ia akan merangkul pundak Indah agar berjalan sama menuju ruang makan, Indah sudah lebih dulu menghindar. Jelas itu membuat Bara hanya mampu mendesah. "Indah, mau sampai kapan kamu akan mendiamkanku?" Sepertinya Bara sudah tidak tahan dengan sikap Indah yang selalu menghindarinya saat akan berkontak fisik. Sudah hampir satu minggu dari kejadian saat Bara memilih makan bersama Mawar dibandingkan dengan Indah. Selama itu pula Indah hanya bicara seperlunya kepada Bara. Bukan tanpa alasan Indah melakukannya. Hal itu karena Bara masih saja berhubungan
Meski sudah mendapatkan haknya, tetapi sikap Bara tidak berubah seperti sedia kala. Pria itu tetap bersikap dingin dan berkata seperlu. Tentu Indah merasa kecewa dengannya. Awalnya Indah berharap jika ia melayani Bara dengan benar maka pria itu akan kembali kepadanya. Namun, tidak ada yang terwujud dari harapannya. Bara bahkan tetap berhubungan dengan Mawar. Seperti saat ini, Mawar kembali mengunjungi Bara di kantor. Bahkan tidak ada penolakan dari Bara sekali pun pria itu sedang sibuk dengan pekerjaannya. Padahal tamu yang lain harus menunggu sampai perkerjaan Bara selesai. Sungguh, Indah tidak habis pikir dengan sikap Bara yang semakin menjadi. Indah tidak bisa membiarkannya begitu saja. Sepertinya keputusan Indah waktu itu salah, karena kini ia menyesal tidak berjuang sejak awal. "Mungkin ini terlambat, tapi aku harap Mas Bara akan luluh dengan perhatianku." Indah menghela napas panjang lalu mengetuk pintu pelan. "Masuk!" Seruan dari dalam ruangan membuat Indah langsung mas
“Mohon maaf, Pak, tapi keinginan Anda tidak bisa saya lakukan,” ujar Dokter Kristi yang membuat Bara murka.“Kenapa tidak bisa? Bukankah teknologi semakin maju!” “Itu karena akan membahayakan janin dan ibunya, Pak. Terlebih dengan kondisi Nona Indah yang kurang baik.” Dokter Kristi mencoba memberi pengertian agar Bara tidak memaksakan kehendak.“Aku tidak peduli! Lakukan atau karirmu hancur,” cetus Bara membuat Dokter Kristi ketakutan.Bagaimanapun bagi Bara akan mudah menghancurkan karirnya. “Pak, tolong pertimbangkan kembali,” ujarnya mulai goyah. “Tidak, keputusanku sudah bulat!”Mendengar perdebatan suaminya dengan Dokter Kristi membuat Indah kecewa. Perempuan yang sejak tadi hanya diam itu bangkit membuat Bara dan Dokter Kristi langsung menoleh ke arahnya. “Mau ke mana kamu?” tanya Bara.“Sudah cukup, Mas. Kalau memang kamu tidak mempercayai aku hamil anakmu tidak apa-apa. Anggap saja aku memang melakukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mas.” Terang saja ucapan Indah memancing
Berita tentang Mawar dan Zulfi yang dibawa oleh polisi sudah menyebar di kalangan karyawan dan kolega bisnis Bara, termasuk kedua orang tuanya. Karena itulah kini Bara dimintai Roki untuk datang ke rumahnya.“Apa yang sebenarnya terjadi? Coba jelaskan,” pinta Riko dan Diana.Tidak langsung menjawab, Bara lantas mengembuskan napas dengan kasar terlebih dahulu. “Sebenarnya ingatanku sudah kembali,” ujar Bara membuat kedua orang tuanya kaget bukan main.“Jadi kamu sudah mengingat semuanya, Bara?”“Iya, Mam.” “Lalu kenapa tidak menceritakannya kepada kami?” Roki menuntut penjelasan lebih.“Karena aku ingin mengungkap lebih dulu pelaku dibalik kecelakaan yang kualami.”“Artinya kamu kembali bersama Mawar itu juga bagian dari rencana?” “Iya, Pap.” Bara mengangguk membenarkan membuat Roki mengusap wajahnya kasar. “Kamu keterlaluan, Bara!”Bentakan dari Roki membuat Bara terkejut. Ia pikir pria paruh baya itu akan senang karena ingatannya sudah kembali.“Keterlaluan bagaimana?” “Kamu sud
Bara pulang dalam keadaan mabuk parah, membuat Indah yang sedang terlelap tersentak ketika tiba-tiba Bara menjatuhkan diri di sampingnya. “Mas, Bara,” ucap Indah lantas bangkit.Bau menyengat yang menguar dari tubuh Bara membuat Indah mual. Meski begitu, Indah tetap membantu Bara melepaskan sepatu juga jas yang masih melekat di tubuh tegap suaminya. “Kenapa senang sekali minum minuman terlarang?” gumam Indah.*** Mata setajam elang itu mengerjap beberapa kali hingga akhirnya dibuka dengan sempurna. Bara mengedarkan pandangannya dan mendapati jika dirinya sudah berada di kamar. Ia bangkit sambil memegang kepalanya yang terasa pening. “Mas, Bara,” ucap Indah yang baru saja masuk kamar.Bara lantas menoleh sebentar lalu membuang muka ketika ingatannya kembali pada saat kemarin ia mendapati Indah di mushola bersama Dirga. “Kau, dari mana kemarin?” tanyanya.Pria itu sudah tidak tahan lagi dengan praduganya selama ini. Pria itu menatap Indah nyalang. Membuat Indah menelan ludahnya kasar
Bara mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, menyalip kendaraan lain yang sekiranya menghalangi jalan bagi dirinya. Pria itu bahkan mengabaikan protes yang dilakukan oleh pengguna jalan lain. Tidak peduli klaksonan atau pun umpatan yang terdengar. Dalam pikirannya ia hanya ingin melampiaskan kekesalannya karena Indah dengan tega melakukan hal tercela di kantor dengan pria lain. Sungguh, pria itu tidak menyangka jika Indah sampai hati melakukan hal tersebut. Padahal ia pernah berpikir jika perempuan yang menjadi penyelamat hidupnya merupakan perempuan baik-baik. “Haha … hahaha ….” Pria itu tertawa seperti kesetanan. Ia merasa bodoh karena berhasil dibodohi oleh wajah polos Indah. Ternyata di balik wajah lugu Indah tersimpan sebuah kenyataan yang membuat Bara tidak habis pikir. Bagaimana bisa? Hanya itu yang ada dalam benak Bara sekarang. Pertanyaan mengenai Indah yang bisa-bisanya malah melakukan hal seperti itu terus berputar di pikiran Bara. Sampai pria itu tidak sadar ji
Bara yang berjalan tergesa tentu menjadi pusat perhatian semua orang. Meski begitu tidak ada yang berani bertanya atau sekedar menyapa. Semuanya memilih menyingkir–memberikan jalan untuk pria tersebut. Sampai akhirnya Bara tiba di ruangannya. Dengan keras ia membuka pintu kemudian menutupnya kembali. Sehingga Mawar yang berniat masuk untuk menyusul pun mengurungkan niat kala ia akan masuk, tetapi pintu dengan keras tertutup. Wanita itu hanya mampu berdiri mematung sambil memegang dadanya dengan kedua tangan. Sementara matanya melebar dengan napas yang terengah akibat berlari menyusul Bara. Dengan kasar ia mendengus kemudian berbalik–berniat ke meja kerjanya. Namun, Mawar malah dikagetkan dengan kehadiran Zulfi yang sudah ada di belakangnya entah sejak kapan. “Sepertinya ada hal penting yang sedang dilakukan Pak Bara,” ujar Zulfi yang dibalas delikan oleh Mawar. “Hemm, aku tau! Tapi entah apa itu. Bisakah kamu menyeledikinya?” Permintaan itu ditanggapi Zulfi dengan mengangkat satu
Tiba di rumah Indah lantas turun dari mobil setelah membayar ongkosnya. Perempuan itu berjalan dengan langkah gontai menuju gerbang yang menjulang tinggi. Tidak perlu banyak bicara, penjaga rumah pun sudah mengetahui jika Indah adalah nyonya di rumah tersebut. Sehingga dengan sedikit keheranan karena tidak biasanya Indah pulang sangat cepat pun membukakan gerbang. “Siang, Nyonya,” sapa Pak satpam yang berjaga. Dengan seulas senyum yang sangat tipis Indah membalas sapaan satpam tersebut. Bukan karena ia tidak ramah, tetapi ia yang lelah membuat Indah ingin segera tiba di kamar. Setelahnya Indah masuk rumah kemudian menaiki anak tangga untuk tiba di kamar.Begitu tiba, Indah membuka kerudung yang sejak tadi menutupi kepalanya. Lantas setelahnya ia merebahkan diri di atas ranjang. Meringkuk sambil menutup tubuhnya dengan selimut. Sementara di tempat lain, Bara sedang melakukan pertemuan dengan lawan bisnisnya di salah satu restoran. Mereka melakukannya di sana sekalian untuk makan sia
Raut wajah Dirga nampak khawatir ketika melihat Indah yang malah melamun. Meski terkejut dan sedikit tidak terima karena perempuan yang ia cintai mengandung anak dari pria lain, tetapi Dirga tetap mengkhawatir andai sesuatu terjadi dengan calon anak Indah. “Apakah kandungannya baik-baik saja?” Pertanyaan itu membuat Indah tersenyum miris. Ia berharap pria yang menanyakan hal itu adalah Bara, bukan Dirga. Namun, ia sadar diri karena Bara belum mengetahui kehamilannya.Lagi pula andai tahu, apakah Bara akan menerimanya? Atau sebaliknya, dan menuduh dirinya yang tidak-tidak karena pernah mendapati sebuah foto yang memperlihatkan dirinya dengan seorang pria pada malam hari. Yang tidak lain adalah Dirga. “Kandungannya baik-baik aja, Mas. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab Indah dengan seulas senyum untuk menyembunyikan kerisauan dalam dirinya. Mendengar jawaban Indah seharusnya membuat Dirga bisa bernapas lega, tetapi pria itu malah semakin khawatir lantaran melihat dari ekspr
Tiba di rumah sakit Indah diarahkan oleh Dirga untuk mendaftarkan diri terlebih dahulu di bagian resepsionis. Baru setelahnya mereka menunggu di depan ruang dokter kandung. Agak heran bagi Dirga karena Indah malah memilih dokter kandungan dan bukan dokter umum.“Mas, Kayaknya aku masih lama, apa enggak sebaiknya Mas kembali ke kantor? Aku yakin Ibu Santi sekarang sedang mencari-cari, Mas.” Indah merasa tidak enak lantaran Dirga malah menemaninya di rumah sakit, sedangkan pekerjaan pria itu diabaikan begitu saja. “Enggak masalah, Indah. Aku di sini aja temani kamu,” ujar Dirga yang kukuh ingin menemani Indah. “Tapi–” “Udah, kamu enggak maksa. Di sini aku yang mau, jadi enggak perlu enggak enak.” Dirga dengan cepat menyela ucapan Indah. Sehingga Indah tidak dapat melanjutkan kalimatnya.Karena Indah sedang merasa lemas dan kesakitan, sehingga ia memilih untuk diam dan tidak lagi banyak bicara. Perempuan itu memilih mencoba menghilangkan rasa sakit, meski rasanya mustahil. Sementara D
Selama pertemuan berlangsung di salah satu restoran Bara tidak bisa fokus karena dalam benaknya terus berputar nama Indah yang tidak dapat ia liat di ruangan. Rasanya ingin segera menyelesaikan pertemuan. Namun, sayangnya hal itu tidak bisa dilakukan karena ini merupakan pertemuan penting yang tidak semua orang bisa dapatkan.Semetara di tempat lain, Indah nampak meringkuk di mushola sambil memeluk perutnya yang sakit. Tadi saat perempuan itu ke ruangannya, ia meminta izin kepada Santi untuk beristirahat terlebih dahulu di mushola karena perutnya yang melilit. Tentu saja Santi yang melihat wajah pucat Indah pun memilih membiarkan. “Indah, apa baik-baik saja?” Dirga yang merasa khawatir memilih menyusul Indah untuk memastikan keadaan tambatan hatinya.Perlahan Indah yang memejamkan mata, tetapi tidak tertidur pun membuka matanya. Nampak manik yang biasanya memancarkan keindahan kini terlihat sangat sayu, membuat semua orang yang melihatnya akan merasa iba. “Iya, Mas,” sahutnya pelan.