Mata cokelat Delisha melebar ketika melihat Erlin yang berada di kantor tempatnya bekerja, entah sedang apa wanita tersebut, Delisha sendiri tidak tahu, pasalnya selama beberapa hari kerja di kantor suaminya, dia baru melihat Erlin yang berkunjung.Apakah wanita yang sedang mengenakan blouse berwarna kuning itu akan menemui suaminya?Sepertinya memang begitu, karena yang Delisha tahu Erlin tidak bekerja di sini."Delisha, kamu kenapa?" tanya Anna ketika melihat wajah Delisha yang terkejut.Pandangan Delisha yang tadinya melihat ke arah Erlin, dia kembali menoleh ke arah temannya."Iya, gak apa-apa kok," jawab Delisha."Tadi kamu mau bilang apa?" tanya Anna kembali."Emm … nanti saja," ujar Delisha yang kembali menatap komputer yang ada di depannya lagi.Bisik-bisik dari teman yang berada di divisinya mulai terdengar di telinga Delisha, ketika mereka semua mulai membicarakan Erlin."Kamu lihat wanita itu!""Iya, mengapa memangnya?""Kalau gak salah sih, itu namanya Bu Erlin, dia istri d
Ketika sudah mendengar perkataan dari Rey, Erlin tertunduk, rahang tegas wanita itu bahkan sudah mengeras dengan kedua tangan yang sudah mengepal di sisi tubuhnya. Erlin meremas kuat-kuat rok mininya, seakan ingin sekali mengeluarkan rasa sakit dan juga kekecewaannya kini.Siapa wanita itu?Wanita yang membuat pria itu mudah sekali jatuh hati padanya, padahal yang dia tahu selama ini Rey tidak mudah jatuh cinta kepada siapa pun."Tidak Rey, tidak mungkin! Kamu tidak mungkin jatuh cinta semudah itu dengan wanita yang baru kamu kenal!""Kenapa memangnya?" tanya Rey ketika melihat mata cokelat Erlin sudah melebar saat dia berkata seperti itu."Aku tahu kamu, Rey, kamu tidak mungkin jatuh cinta begitu mudahnya dengan wanita yang baru kamu kenal beberapa hari!" tegas Erlin, "Sekarang katakan siapa wanita yang sudah kamu nikahi itu?!"Kedua sudut bibir Rey sudah ditarik ke atas membentuk lengkungan indah di wajahnya. 'Hhh, aku hanya ingin sampai di mana kamu akan bertahan Erlin, aku tidak ak
"Dasar wanita tidak tahu malu, bahkan dia sendiri mengaku-ngaku menjadi istri Rey, kalau saja ini bukan di kantor aku pasti sudah menjabak rambutnya!" Delisha berdecak kesal seraya menuju ruangan pantry terlebih dulu untuk membuat teh.Entah mengapa ketika bertemu dengan Erlin membuat dadanya terasa eneg, secangkir teh hangat sudah berada di genggamannya. Wanita cantik itu langsung menyeruputnya, setidaknya bila sudah minum teh hangat pikiran Delisha sudah mulai membaik lagi."Semoga saja aku tidak bertemu lagi dengan wanita itu," gumam Delisha bermonolog. Namun, ketika gadis itu sedang menikmati secangkir teh hangatnya, tiba-tiba ada dua karyawan wanita juga yang sedang menuju pantry, sepertinya mereka juga akan membuat minuman. Akan tetapi, Delisha tidak tahu siapa mereka, karena mereka berdua bukan dari divisinya."Kamu tadi lihat tidak, ketika Tuan Rey dan Bu Erlin ada di ruangan kerja Tuan Rey?""Iya, aku lihat sendiri, soalnya tadi pintu ruang kerja Tuan Rey agak terbuka sedikit
Delisha keluar dari kamar mandi sembari mengusap rambutnya yang masih basah dengan handuk, sepulang kerja Delisha langsung menuju kontrakannya, wanita itu tak ingin berlama-lama di kantor karena dia begitu bosan, apalagi harus melihat tumpukan berkas pekerjaannya yang menumpuk di atas meja."Akhirnya kamu keluar kamar mandi juga," ujar Anna ketika melihat sahabatnya yang sudah keluar dari kamar mandi.Sudah hampir setengah jam Delisha berada di dalam kamar mandi, Anna sendiri tidak tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di kamar mandi sampai menghabiskan waktu yang begitu lama. Ataukah mungkin sahabatnya itu sedang bersemedi. Entahlah, Anna sendiri tidak tahu."Sha, sebenarnya apa yang ingin kamu tadi katakan di kantor?" tanya Anna ketika dia mulai mengingat kembali perkataan Delisha yang terjeda.Delisha menjatuhkan kasar tubuhnya pada kursi rias, dan gadis itu masih mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. "Aku sendiri bingung, aku harus memberi tahu kamu atau tidak," ujarnya.Anna
"A-apa? Ja-jadi ka-kamu yang sudah menggantikan Bu Erlin dan juga adikmu Bella?"Anna mencoba memahami apa yang sudah terjadi kepada sahabatnya, walau bagaimanapun juga dirinya tak pernah mengira bila ternyata Delisha sudah menikah dengan Rey, lelaki yang sudah menjadi masa lalu Delisha, dan kini ternyata lelaki itu telah menjadi masa depan dari sahabatnya."Sha, tolong cubit pipiku!" pinta Anna, dan Delisha pun langsung mencubit gemas pipi tembem Anna."Aduh sialan! Sakit, Sha! Itu artinya aku gak lagi mimpi dong?"Delisha menghela napas panjang, dia sudah bicara panjang kali lebar, dan ternyata sahabatnya itu mengiranya bila sedang bermimpi. "Tidak lah, buat apa aku berkata panjang lebar bila kamu hanya bermimpi?""Sha, itu artinya kamu sekarang sudah menjadi istri dari Tuan Rey?"Delisha hanya mengangguk pelan."Tetapi mengapa semua orang ngiranya yang menikah itu Bu Erlin sama Tuan Rey? Kalau begitu gak adil buat kamu dong.""Memang dari awal sebelum aku menikah, aku hanya menjadi
"Terima kasih banyak, Tuan, semoga kerja sama kita nantinya berjalan dengan lancar.""Sama-sama, saya juga berterima kasih kepada Pak Charles, sudah mau bekerjasama dengan perusahaan kami.""Tidak masalah, Tuan Rey, bukannya dulu juga kita pernah bekerja sama, kalau begitu kami permisi pamit dulu.""Baik, silakan, Pak.""Jadwal hari ini sudah selesai," ujar Abbas ketika melihat rekan bisnisnya sudah pergi berlalu. Rey berjalan menuju ruang kerjanya. "Iya sudah, aku juga mau istirahat dulu," kata Rey seraya melepaskan kancing lengan kemejanya, lalu pria itu mulai menggulung dua lengan kemejanya ke atas."Apa kamu mau menginap di kantor?" tanya Abbas.Rey melihat jam di pergelangan tangannya, jam sudah menunjukkan pukul 22:30 malam, sepertinya tubuhnya juga teramat lelah, lebih baik memang malam ini menginap di kantor saja."Sepertinya begitu."Sesampainya di ruangan, Rey melempar jas hitamnya ke atas sofa, lelaki itu langsung menjatuhkan bobot tubuhnya di atas sofa yang empuk, menyanda
Sesampainya berada di ruangannya, Rey langsung menyambar kunci mobilnya yang ada di atas meja. Namun, ketika sudah mendapatkan kunci mobil tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruangnya.Tok! Tok! Tok!"Masuk!""Rey, ada apa?" Abbas bertanya ketika melihat wajah Rey yang tampak cemas."Ternyata tadi malam Delisha menginap di Mansion Wijaya," kata Rey dengan suara terengah."Lalu mengapa kamu terlihat begitu khawatir?"Rey tampak begitu khawatir karena dari tadi Delisha belum datang ke kantor. Padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi."Sudah jam segini, tetapi Delisha belum datang ke kantor. Aku hanya ingin tahu dia sedang apa.""Kamu akan pergi ke Mansion Wijaya?"Rey mengangguk. "Aku harus memastikan keadaannya saja.""Lalu bagaimana dengan pekerjaan hari ini?" Abbas merasa bingung bila Rey tidak ada di kantor karena pekerjaannya masih menumpuk. Apalagi mereka akan bertemu dengan klien hari ini juga."Aku serahkan semuanya sama kamu.""Tetapi, Rey—""Sudahlah, aku percaya
"Kalau Delisha tidak menemui Papa. Lalu, dia pergi ke mana, Pa?"Suara Rey sudah begitu memberat, memikirkan keadaan Delisha yang tak tahu entah ke mana."Papa juga tidak tahu, coba Papa akan menghubungi Delisha."Jonathan sudah meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja dan mulai menghubungi nomor putrinya. Akan tetapi nomornya tidak aktif."Nomornya tidak aktif. Ke mana dia?"Wajah Jonathan sudah mulai cemas tidak biasanya nomor putrinya tidak aktif. Walaupun Delisha akan ke rumah, biasanya Delisha akan mengabarinya terlebih dahulu.Atau mungkin kah ada orang yang sudah menculik Delisha?Pikiran Jonathan sudah mulai tidak menentu, yang ditakutkan adalah hal buruk yang terjadi pada putrinya."Kalau begitu Rey akan mencari Delisha lagi, Pa.""Baiklah, Papa juga akan menyuruh anak buah Papa untuk mencari keberadaan Delisha."Rey menganggukkan kepalanya. "Makasih, Pa.""Kamu tidak perlu berterima kasih, walau bagaimanapun Delisha adalah putriku. Aku pasti juga akan merasa cemas bila p
Delisha yang duduk di dekatnya mengangkat alis, ekspresinya penuh tanda tanya. "Ada apa, Sayang?"Rey memandang Delisha dengan serius. "Ada masalah yang perlu aku selesaikan sekarang juga. Aku harus pergi sebentar."Delisha melihat ke dalam mata Rey, memahami keadaan darurat yang tengah dihadapinya. "Aku akan menemanimu, Rey."Rey mengangguk, setelah menitipkan Gilang kepada Arumi dan Emran dengan cemas di hati, Rey dan Delisha segera menuju mobil mereka. Mereka berkendara dengan cepat menuju rumah sakit, hati mereka dipenuhi kekhawatiran yang begitu mendalam.Rey dan Delisha masih duduk di dalam mobil, perasaan heran dan kebingungannya tergambar jelas di wajah mereka. Delisha memutuskan untuk mengungkapkan pertanyaannya."Rey, bagaimana bisa Erlin dimasukkan ke rumah sakit jiwa?" tanya Delisha dengan perasaan herannya. Suaranya penuh dengan rasa ingin tahu dan kebingungan yang sudah merajainya.Rey mengedikkan bahunya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan da
Delisha tersenyum bahagia saat menaburkan bedak halus pada tubuh mungil Gilang. Bayi kecil itu terlihat begitu tenang, matanya berkilauan dari kebersihan setelah mandi. Udara di ruangan itu terasa hangat dan penuh kasih.Sambil memandang putranya, Delisha mulai memutar dalam benaknya rencana untuk hari ini. Ia ingin membawanya ke taman bermain di dekat Mansion Wijaya, tempat di mana mereka dapat menikmati matahari bersama-sama. Delisha juga berencana untuk mengunjungi toko mainan setelahnya, memberikan Gilang kesempatan untuk memilih mainan kesukaannya.Saat Delisha sibuk dengan Gilang, Rey menyaksikan adegan itu dengan penuh kebahagiaan. Langkahnya pelan melintasi ruangan, dan ia menghampiri Delisha dengan senyum lebar di wajahnya."Kamu selalu begitu hebat, Sayang," ucap Rey dengan lirih. "Gilang sungguh beruntung memiliki ibu sepertimu."Delisha tersenyum dan membalas, "Kita beruntung memiliki dia dalam hidup kita, Rey. Dia membawa begitu banyak kebahagiaan."Rey memeluk Delisha er
"Maafkan aku, Rey, aku belum siap bertemu dengan kamu. Aku ingin menenangkan pikiranku sejenak," gumam Delisha lirih.Delisha berbalik dari jendela dan melangkah perlahan ke arah tempat tidurnya. Ia mengambil napas dalam-dalam, melihat ke arah putranya yang sedang tertidur pulas.Delisha menatap putranya yang sedang tertidur pulas dengan penuh kasih sayang. Gilang adalah sumber kekuatan dan kebahagiaannya. Meskipun mereka sedang menghadapi masa sulit, kehadiran Gilang selalu memberi mereka alasan untuk tetap kuat.Dengan hati yang penuh harap, Delisha duduk di samping tempat tidur Gilang, mengelus lembut pipinya. "Kamu adalah keajaiban dalam hidup Mama, Nak. Bersamamu, Mama selalu merasa terlindungi."Kemudian, Delisha membiarkan dirinya terlelap di samping putranya. Meskipun pikirannya penuh dengan kekhawatiran, kelembutan napas Gilang membawanya ke dalam alam mimpi yang damai.Sementara itu, Rey menunggu dengan sabar di mobil, memberi Delisha ruang dan waktu yang ia butuhkan. Ia mem
"Papa, Rey!" teriak Arumi tiba-tiba, muncul di dekat mereka dengan wajah yang penuh kepanikan."Kenapa, Ma?" tanya Rey dengan kening terangkat, keheranan jelas terpancar dari wajahnya."Delisha, dia dan Gilang tidak ada di kamar," ujar Arumi dengan napas yang terengah-engah.Rey dan Emran saling pandang, keduanya terkesiap. "Apa?" seru mereka hampir bersamaan, kekhawatiran mencengkam hati mereka.Tanpa membuang waktu, mereka bergegas menuju kamar Delisha. Setelah berada di kamar, mereka melihat kamar itu kosong, tempat tidur yang biasanya digunakan Delisha masih rapi. Tapi ketiadaannya bersama Gilang menimbulkan rasa cemas yang semakin mendalam.Emran mencoba menghubungi Delisha melalui telepon, tapi tak ada jawaban. Tatapan panik mengisi matanya. "Rey, kita harus mencarinya sekarang juga!"Rey mengangguk, tak ada waktu untuk memikirkan segala hal. Mereka berdua keluar dari Mansion dengan langkah cepat, berencana untuk memeriksa setiap tempat yang mungkin menjadi tujuan Delisha.Rey s
Ruangan kerja Rey dipenuhi dengan suara dari klakson kendaraan dan hiruk pikuk kota yang sibuk. Rey duduk di meja kerjanya, mata terfokus pada tumpukan dokumen dan laporan yang tersebar di sekitarnya. Ia sibuk menyelesaikan tugas-tugasnya, tak menyadari waktu yang berlalu begitu cepat.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka dengan cepat. Abbas, sekretaris setia Rey, memasuki ruangan dengan napas terengah-engah. Wajahnya tampak pucat dan khawatir."Rey," panggil Abbas dengan suara terbata-bata.Rey mengangkat pandangannya dari dokumen-dokumen di meja. "Ada apa, Abbas?"Abbas menelan ludah, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Ini penting, Rey. Aku harus memberitahumu sesuatu yang tak bisa kau percayai."Rey menatap Abbas dengan penuh kekhawatiran, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Sebuah desiran rasa cemas melintas di dalam dadanya. "Baik, apa yang terjadi? Tenanglah, Abbas. Katakan dengan tenang. Apa kejadian ini menyangkut orang yang sudah menculik Delisha?"Abbas mengambil
Malam telah berlanjut dengan langit yang menggelap, menciptakan latar belakang yang terasa bahagia. Rey dan Delisha yang sedang asyik makan malam, mengisi malam mereka dengan tawa dan cerita. Namun, tiba-tiba, mata Delisha tertuju kepada sosok seorang lelaki yang memiliki tubuh gempal. Sorot matanya memancarkan ketakutan yang mendalam.Rey, yang merasa curiga melihat ekspresi istrinya yang sudah berubah, segera bertanya dengan khawatir. "Sayang ada apa?" tanyanya dengan nada cemas.Delisha menelan ludah, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. "Rey, le-lelaki itu yang dulu telah menculikku," ujar Delisha bergumam begitu lirih.Rey merasa detak jantungnya berdegup kencang mendengar pengakuan itu. Dia langsung menoleh ke arah sosok lelaki yang ditunjuk oleh istrinya. Lelaki itu memiliki tubuh yang berisi dan kepala botak. Wajahnya terlihat kusam, dan tatapannya kosong.Delisha gemetar, ingatan akan masa lalunya yang traumatis mulai kembali menghantui dirinya. Dia merasa pusing dan ti
Rey duduk di sofa sambil memperhatikan istrinya, Delisha, yang tampak kelelahan setelah seharian mengurus Gilang, putra kecil mereka yang menggemaskan. Wajah Delisha pucat, matanya sayu. Namun, tetap penuh kasih sayang saat ia memeluk Gilang yang tertidur pulas dalam gendongannya."Sayang," Rey mengelus lembut pundak Delisha, "aku merasa kasihan melihatmu. Mengurus Gilang seharian pasti melelahkan."Delisha tersenyum lemah. "Iya, tapi ini adalah tanggung jawab kita bersama, kan? Aku tidak keberatan."Rey memahami kesetiaan Delisha terhadap tanggung jawab sebagai ibu. Namun, ia juga tidak ingin melihat istrinya kelelahan terus-menerus. Ia pun mencoba untuk menemukan solusi."Mungkin kita bisa mempertimbangkan untuk menyewa baby sitter untuk membantu kita, Sayang. Itu akan meringankan bebanmu sedikit," usul Rey dengan nada lirihnya.Delisha terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Aku menghargai tawaranmu, Rey, tapi aku ingin meluangkan waktu sebanyak mungkin dengan Gilang. Ini momen-momen be
Rey memandang Erlangga dengan pandangan yang tajam dan penuh tanda tanya saat mendengar penjelasan Erlangga tentang mengapa ia ingin melepaskan putrinya, Erlin, dari penjara."Bukti-bukti yang belum terungkap? Semua bukti sudah ada dan Erlin lah penyebabnya," ucap Rey dengan nada keras. "Saya ingin bertanya, mengapa Anda begitu menginginkan Erlin untuk keluar dari penjara setelah apa yang sudah dia perbuat? Bukannya dulu Anda sendiri yang mencampakkan Erlin?"Erlangga merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Rey itu. Ia merenung sejenak sebelum menjawab dengan jujur, "Rey, kamu memang benar. Dulu, aku memutuskan hubungan dengan Erlin dan meninggalkannya ke luar negeri. Aku tidak bangga dengan keputusan itu, dan aku merasa bersalah atas bagaimana aku telah memperlakukan dia. Tapi Erlin adalah anakku, dan aku tidak ingin dia menghabiskan hidupnya di dalam penjara. Aku masih menyayanginya, Rey. Aku datang ke sini untuk menebus kembali kesalahanku kepada Erlin."Rey mend
Delisha duduk dengan penuh kasih sayang di sofa, bayinya yang bernama Gilang terus menangis di pangkuannya. Rey, suaminya yang sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja, merasa iba melihat istrinya yang sepertinya sudah sangat lelah mengurus Gilang."Sayang, apa yang terjadi? Apakah Gilang merasa tidak nyaman?" tanya Rey seraya menghampiri Delisha yang sedang duduk di sofa.Delisha mengernyitkan keningnya, mencoba mencari tahu penyebab dari tangis Gilang. "Aku tidak yakin, Rey. Aku sudah mencoba segalanya. Mungkin dia lapar atau mengantuk."Rey mencoba memberikan saran, "Mungkin dia butuh susu tambahan. Apa kamu ingin aku mengambilkan susu formula?"Delisha menggeleng cepat, lalu berkata, "Tidak, Rey. Aku ingin memberi ASI eksklusif kepada Gilang. Aku tahu itu penting untuk pertumbuhannya.""Tentu saja, Sayang. Aku mendukungmu sepenuhnya," kata Rey dengan penuh dukungan.Delisha mencoba menenangkan Gilang dengan mengayun-ayunkan tubuhnya perlahan-lahan. Dia bernyanyi pelan dan membe