Perempuan itu mengangguk dengan pelan kemudian melangkahkan kakinya seraya menatap kosong ke depan.“Mama masih belum bisa melupakan kejadian itu, Nak. Lihatlah! Perempuan sinting itu bahkan tidak merasa bersalah karena sudah memerintahkan kekasihnya menyodomi Satya.” Yuni mengusap wajahnya dengan pelan.“Kenapa tidak dipenjara saja, Ma?”Yuni tersenyum lirih. “Hanya laki-laki itu saja yang sudah berhasil ditangkap. Arumi bebas karena tidak ada bukti kalau dia melakukan pelecehan.”Riana menghela napas pelan. “Tapi, kenapa Kak Satya malah takutnya ke perrempuan?”Yuni terkekeh pelan. “Pada semuanya, Sayang. Dia tidak mau disentuh oleh siapa pun. Akan keluar keringat dingin, cemas berlebihan bahkan menyiksa diri sendiri atau orang lain.”Riana mengerutkan keningnya. ‘Lalu, siapa yang sudah menggendongku saat aku pingsan? Fandy? Tidak mungkin. Aku ketemu sama Kak Satya saja di malam itu. Atau ... security?’ Riana menghela napasnya dengan pelan.“Mama sudah pesimis duluan kalau mengingat
Riana menoleh kemudian menggeleng dengan pelan. “Tidak ada, Ma. Saya masih kepikiran soal Citra. Kalau nanti dia sembuh, kemudian Mas Fandy memilih kembali dengan Citra, sepertinya saya harus pergi, Ma.”Yuni menghentikan acara makannya. Matanya menatap dengan lekat wajah Riana yang sudah berani berbicara seperti itu kepadanya. Ia kemudian menghela napas kasar dan tersenyum lirih.“Jangan bicara seperti itu, Nak. Sampai kapan pun Mama tidak akan merestui Fandy kembali pada Citra.”Riana tersenyum tipis. Rasanya percuma bicara seperti itu kepada Yuni yang jelas-jelas sudah tahu jawabannya seperti apa. Sampai kapan pun perempuan itu tidak akan mau melepaskan Riana hanya demi Citra yang tidak jelas itu.Lima belas menit berlalu ....Riana sudah kembali ke dalam kamarnya. Pun dengan Yuni yang sudah masuk ke dalam kamarnya. Di rumah yang megah dan besar itu begitu hening baginya. Rumah itu lebih besar dan luas dari rumah pemberian Satya.Riana kemudian menghela napasnya dengan pelan seraya
Satu minggu berlalu ….Sudah satu minggu ini pula Riana berada di kediaman Yuni sebab tidak ingin hal yang mengerikan itu terjadi kembali. Yuni sangat menyayangi menantunya itu. Jelas ia tidak akan pernah mau itu terjadi kembali.“Pagi, Ma. Sudah bangun dari tadi?” tanya Riana seraya menyapa sang mertua yang sudah duduk di kursi meja makan.“Pagi. Baru juga, kok. Kamu kok sudah pakai baju kerja? Memang sudah baikan?”Riana menganggukan kepalanya dengan pelan. “Sudah kok, Ma. Sudah satu minggu ini saya tidak kerja. Tidak enak kepada orang yang menggantikan saya,” ucapnya mencari alasan agar bisa kembali kerja tanpa harus dilarang lagi oleh mertuanya itu.Yuni kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Kamu yakin, kondisi kamu sudah baik? Jangan sampai nanti kamu pingsan lagi, lho. Kalau nanti pingsan di tempat kerja, Mama akan melarang kamu untuk kerja lagi!” ancamnya dengan pelan.Riana m
"Eeuuh ... mohon maaf, Pak. Kebetulan Pak Satya-nya sedang tidak ada di Indonesia. Beliau ada project di Amerika. Mungkin Anda bisa hubungi beliau kalau ingin tahu.""Walaah. Ya sudah kalau begitu, kalau memang orangnya tidak ada. Kami pesan dua kamar saja, yaa. Tadinya saya ingin mengajaknya minum sambil bercerita. Bukankah dia mau menikah? Kok undangannya belum disebar?"Riana meringis pelan kemudian menggelengkan kepalanya. "Untuk itu saya tidak tahu menahu, Pak. Saya hanya pegawai di sini dan yang saya tahu adalah adiknya Pak Satya yang sudah menikah."Rio mengerutkan keningnya. "Menikah? Dengan siapa?""Yaa ... dengan kekasihnya.""Citra maksudnya? Bukannya dia ada di rumah sakit Singapura? Kok bisa menikah? Setahu saya, pacarnya Fandy adalah Citra dan pacarnya Satya adalah Arumi."Riana menggelengkan kepalanya dengan pelan seraya menatap lelaki yang sedari tadi banyak bicara itu."Bukan, Pak. Saya tidak tahu apa-apa dan Anda bisa tanyakan ini pada mereka kalau ingin tahu lebih d
Matanya menatap Dimas yang rupanya sedari tadi berdiri mendengarkan semuanya. Riana kemudian menelan salivanya dengan pelan seraya tersenyum lirih menatap lelaki itu. Dimas pun menghampiri Riana dengan langkah pelannya."Dimas ...." Riana berucap dengan pelan."Dari awal aku sudah curiga kalau sebenarnya kamu memang mencintai Pak Satya, bukan Pak Fandy. Tapi, aku tidak tahu apa yang membuat Pak Fandy bicara seperti itu seolah Pak Satya tidak akan sembuh?" tanyanya dengan pelan.Riana menelan saliva dengan pelan. "Jangan bicara di sini, Dimas. Bagaimana kalau sambil makan malam saja? Sepertinya tidak masalah kalau hanya kamu yang tahu. Aku ingin memberi tahu kamu tentang kondisi Pak Satya yang sebenarnya."Dimas menganggukkan kepalanya kemudian mengikuti Riana yang sudah melajukan sepeda motornya menuju tempat yang lebih layak untuk mengutarakan semua rahasia yang selama ini Riana simpan seorang diri."Maafkan aku, Kak. Sepertinya aku butuh teman curhat yang mau mendengarkan semua kelu
Dimas tersenyum tipis. "Maya dari keluarga berada, Riana. Dia kerja karena gabut aja. Aku nggak pede karena hanya sebagai supervisor baru. Itu pun karena kebaikan hati Pak Satya yang mau angkat aku ke jabatan yang lebih tinggi."Riana mengerucutkan bibirnya kemudian menatap Dimas dengan lekat. "Tapi, kamu cinta kan, sama Maya? Jujur aja, kita kan sudah jadi sahabat. Sejak lama malah."Dimas menggaruk belakang kepalanya. "Eeuuh ... yaa gitu deh."Riana lantas menyunggingkan senyumnya. "Aku bisa rekomendasikan kamu naik lagi, tapi nggak bisa sekarang. Karena baru naik masa naik lagi. Yang ada pada aneh semua. Nanti aku bicarakan ini ke Kak Satya. Agar kamu tidak insecure lagi hanya karena Maya dari keluarga berada."Dimas tersenyum malu. "Kenapa kamu semangat sekali? Belum tentu juga Pak Satya menerima permintaan kamu.""Karena kasihan sama Maya. Dia pikirnya kamu nggak mau sama dia. Padahal, udah ada rasa, kan?"Dimas mengendikan bahunya. "Su
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Riana membuka matanya secara perlahan kemudian meregangkan otot-ototnya dan menyingkap selimutnya."Terlalu nyenyak sampai kesiangan begini," ucapnya kemudian turun dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk memberisihkan diri terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitas.Lima belas menit berlalu ....Riana keluar dari kamarnya dan menghampiri Yuni juga Herman yang sudah duduk rapi di atas kursi ruang makan."Selamat pagi, Ma, Pa. Maaf, saya telat bangunnya. Semalam tidak bisa tidur dan di jam satu pagi baru bisa tidur," ucapnya memberi tahu."No problem, Sayang. Kemarin kamu pulang jam berapa? Mama tengok motormu sudah ada di garasi di jam sepuluhan itu.""Jam sembilanan, Ma. Satu jam setelah Mama menghubungi saya, saya sudah tiba di rumah," ucapnya memberi tahu.Yuni manggut-manggut dengan pelan. "Begitu rupanya. Kita sarapan dulu kalau begitu."Riana kemudian mengambil
Riana mengendikan bahunya. "Entahlah. Mereka makin menjadi dan seolah aku harus dengannya. Padahal aslinya mereka iri. Entah kenapa malah jodohin aku sama Kak Satya terus." Riana mengerucutkan bibirnya kemudian menghela napasnya dengan pelan."Sabar aja. Namanya juga gosip. Nggak akan selesai kalau belum ada pembuktian. Pasti mereka bakalan kaget kalau ternyata kamu istrinya Pak Fandy.” Maya menenangkan Riana.Perempuan itu lantas mengulas senyumnya. “Iya, May. Harus biasa dengan ocehan mereka.”Maya menganggukkan kepalanya. “Gimana sama Pak Fandy? Masih kayak gitu?” tanya Maya membahas suami dari sahabatnya itu.“Akan selalu seperti itu, May. Dia masih menunggu pacarnya, berharap perempuan itu sembuh dari sakitnya.” Riana mengulas senyum lirih.Maya mengusapi lengan sahabatnya itu. “Sabar ya, Riana.”“Selalu sabar. Aku juga nggak berharap rumah tanggaku akan berjalan dengan baik. Kami tidak saling mencintai. Hanya ego yang kami miliki dan nggak ada satu pun yang mau mengalah. Aku ngg
Waktu sudah menunjuk angka satu pagi. Riana sudah memasuki bukaan lengkap. Dokter Mery dan juga tiga perawat sudah berada di sana hendak membantu proses persalinan Riana."Tarik napasnya dalam-dalam, lalu keluarkan. Oke! Satu ... dua ... tiga ...."Riana menarik napasnya dan mengeluarkannya kembali. Mengejan dengan sekuat tenaga dengan tangan memegang erat tangan Satya.Lelaki itu benar-benar tak pernah meninggalkan Riana sejak mereka tiba di rumah sakit."Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa," ucap Satya sembari mengusapi kening Riana yang sudah bercucuran keringat."Eeuurrnghhh ...." Dengan sekuat tenaga ia mengejan agar bayinya segera keluar.Riana mengatur napasnya yang sudah tersengal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tubuhnya sudah sangat lemas. Namun, bayinya belum juga ingin keluar dari sana."Ayo, Bu. Tarik lagi, yuk! Tarik napasnya, kemudian keluarkan." Dokter Mery memberikan interupsi lagi kepada Riana.Perempuan itu kembali mengejan. Tangannya sudah semakin erat memegang tang
Sembilan bulan sudah, usia kandungan Riana. Perkiraan Riana akan melahirkan sekitar dua sampai tiga harian lagi."Kamu sudah cuti, Kak?" tanya Riana menghampiri Satya yang baru saja selesai mandi."Iya, Sayang. Waktu lahir Fabian dulu, kamu lahiran lebih cepat dari perkiraan. Aku tidak ingin hal yang dulu terjadi, terjadi lagi untuk saat ini. Aku mau stay di rumah dan menemani kamu."Riana menerbitkan senyumnya. "Manis banget. Suaminya siapa sih, ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan kemudian menggeleng pelan. "Aku anggapnya kamu teman hidupku. Forever."Satya mencubit gemas hidung istrinya itu. "Bisa aja. Mau sarapan apa? Mau aku buatkan lagi?""Boleh. Roti bakar selai strawbery, yaa.""Siap! Tunggu sebentar, yaa. Fabian udah bangun?""Udah. Mulai hari ini kan, Fabian udah sekolah. Lupa?""Oh, iyaa. Aku udah janji ke Fabian akan antar dia ke sekolah hari ini. Astaga! Untung kamu ingetin."Satya segera keluar dari kamarnya dan menghampiri Fabian. Riana yang melihatnya h
Riana mengerucutkan bibirnya. Satya kemudian menarik tangan Riana hingga kini perempuan itu duduk di sampingnya.Bibirnya menyapu bibir mungil perempuan itu dengan lembut. Tangannya melingkar di ceruk leher Riana merasakan sensasi ciuman yang semakin nikmat mereka rasakan.Lelaki itu sudah tidak sabar lagi. Ia lantas membuka celana dan juga kaus yang ia kenakan dan mengambil majalah yang ada di tangan Riana.Meraup bibir Riana lagi dengan ganas seraya meremas dada Riana dengan gemas. Suara desahan dari mulut Riana sudah mulai terdengar. Begitu jelas dan membuat Satya semakin ingin menghujam lebih dalam ciumannya itu.“Mmmpphh …,” desah Riana merasakan ciumannya itu. Lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya dengan tangan satunya membuka tali dress yang ia kenakan.Hingga kini, hanya celana dalam yang ia kenakan. Bagian atasnya sudah tereskpos dan tangan kekar itu kembali meremas gundukan kenyal dan indah milik istrinya itu
Satya menghela napasnya dengan panjang. "Nggak banyak, hanya segilintir saja. Lagian kan, jam tiga nanti baru berangkat. Jadi ini kan, alasan kamu nggak mau ikut karena lagi hamil?"Riana mengangguk. "Iya. Kalau lagi nggak hamil sih, aku pasti ikut. Kapan-kapan aja, yaa. Itu pun kalau nggak malas sih.""Babymoon?""Eum! Boleh deh."Satya kemudian mencium punggung tangan istrinya itu dan menatapnya sekali lagi. Membuat Riana yang melihatnya lantas salah tingkah karena ulah suaminya itu."Udah, aah. Aku mau ke dapur dulu. Mau minum susu hamil.""Biar aku saja. Kamu tunggu di sini, sambil nunggu Fabian bangun." Satya beranjak dari duduknya dan berlari kecil ke luar untuk membuatkan susu hamil untuk sang istri.Kali ini, ia benar-benar menikmati peran sebagai suami yang harus standby untuk istrinya yang tengah hamil bayinya itu.Lima menit kemudian, Satya masuk lagi ke dalam dan memberikan satu gelas susu hamil kepada sang istri.
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya
Satya menarik tangan Riana dan memeluknya lagi. Angin yang bertiup cukup kencang dengan terik matahari yang menyinari bumi, keduanya berpijak di sana menikmati keindahan alam.Malam harinya, Riana dan Satya memilih untuk dinner di sebuah restoran yang ada di dalam hotel miliknya.Baru pertama kali buka, pengunjung hotel sudah sebanyak hampir tiga puluh persen. Banyak yang menyukai desain dan interiornya. Juga pelayanan yang ramah, seperti hotel di Jakarta."Kak. Aku baru tahu kalau kamu punya banyak teman ternyata. Aku pikir kamu ini introvert," ucap Riana sembari melahap makanan miliknya.Satya terkekeh pelan. "Bisa-bisanya kamu mikir kalau aku seorang introvert. Aku menutup diri hanya sejak mengalami penyakit itu saja. Sebenarnya aku tidak seperti itu."Riana manggut-manggut dengan pelan kemudian menerbitkan senyumnya kepada suaminya itu."Sekarang udah berani buat terbuka lagi?"Satya mengendikan bahunya. "Aku sudah menikah, sudah
Riana mengulas senyum dan mengangguk kecil. "Sama-sama. Makin ke sini kamu makin menggila, Kak."Satya terkekeh pelan. "Malu, sama badan kekar tapi payah dalam melakukan itu."Riana mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.Pun dengan Satya. Lelaki itu juga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan celana boxer miliknya."Kamu yakin, hanya ingin satu bulan saja di sini? Memangnya cukup?" tanya Satya kepada Riana yang tengah membasuh wajahnya.Riana menoleh dan menatap suaminya itu. "Kenapa emang? Mau nambah hari?""Terserah kamu sih."Riana menghela napasnya. "Nggak deh, Kak. Di sini hanya cabang, kan? Kamu nggak harus nuruti semua yang aku inginkan, Kak. Karena kamu pun pasti punya keinginan."Satya kembali mengecup kening Riana. "I love you," ucapnya kemudian keluar dari kamar mandi tanpa be
Riana tampak begitu bahagia bahkan menganggukkan kepalanya sangat antusias. "Yeaayy! Liburan ke Bali.""Belum pernah, hm?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah Riana dengan lembut.Riana menggeleng pelan. "Belum. Karena nggak ada yang ngajakin."Satya manggut-manggut dengan pelan. "Mau satu bulan, di sana?""Woah! Lama juga. Boleh. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.""No, Honey. Kapan, aku keberatan nurutin permintaan kamu? Gendong kamu aja nggak berat."Riana lantas mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan dari suaminya itu. "Nggak gitu maksudnya, Kak Satya."Lelaki itu lantas tertawa dengan pelan. "Canda, Sayang. Kamu boleh tinggal di sana sepuas kamu. Karena aku juga masih harus cek kondisi hotel dan semua karyawan juga pemimpin di sana.""Sekalian kerja juga, yaa. Bukan beneran mau liburan sama bininya," ucapnya kemudian menyunggingkan bibirnya.Melihat itu, sontak membuat Satya mencium gemas pipi istrinya. "Nggak