Ayesha tercengang.
Tanpa sadar, dia pun mengangguk.Pria itu pun membenarkan posisi duduk keduanya.
“Berapa usiamu?” tanya Hilbram menatap wanita itu lekat-lekat.
“Dua puluh empat, Tuan!” lirih Ayesha menahan tangis.
Hilbram tampak menghela napas. “Kenapa kau berharap aku melepaskanmu?”
Ayesha mendongak pada pria itu.
Entah mengapa, dia berharap ada rasa belas kasihan padanya.
“Pamanku terlilit hutang dan menjadikanku tebusan. Aku ini bukan wanita pelacur. Anda bisa melihatnya bukan?” tukas Ayesha dan yakin pria ini tentu bisa melihat pakaiannya.
“Kenapa dengan pakaianmu? Aku bisa membuatmu telanjang sekarang kalau aku mau!” tantang Hilbram balik.
“Kalaupun, aku melepaskanmu. Bagaimana dengan uang yang sudah aku keluarkan?”
“A-aku berjanji akan menggantinya, tapi tolong lepaskan aku!” balas Ayesha sembari berlutut.
Meski dia tentu akan kesulitan untuk mengembalikan uang itu. Tapi demi harga dirinya, dia tidak mau menyerah begitu saja.
Hilbram tersenyum miring mendengar penawaran polos dari Ayesha.
Pria itu pun menghempaskan punggungnya di sandaran kursi dan berkata, “Kalau kau bisa mengganti uang yang aku keluarkan, kenapa tidak bisa mengganti hutang-hutang pamanmu?”
“Jangan-jangan kau memang berniat menjual dirimu!” tuduh Hilbram yang entah mengapa kesal.
“T-tidak!” jawab Ayesha cepat.
“Tapi, kau sudah pernah melayani pria lain, ‘kan?” desak Hilbram.
Ada rasa tidak terima jika kenyataannya gadis ini sudah terjamah tangan pria lain.
Diperhatikannya Ayesha yang menggeleng cepat.
“Tidak, aku tidak –” ucap Ayesha spontan, “sebenarnya, apa yang Anda inginkan?”
“Kenapa masih bertanya? Aku sudah membayarmu. Jadi, malam ini kau harus melayaniku dengan baik!” ujar Hilbram mendekati Ayesha dan mengangkat dagunya agar gadis itu bisa menatapnya dengan baik.
“Aku tidak suka barang bekas, jadi kalau kau terbukti tidak perawan, aku akan mengembalikanmu ke rumah pelacuran itu!"
Ayesha melengos menghindari tatapan pria itu padanya.
Air matanya lolos.
Pilihannya sangat sulit.
Jika dia menolak melayani pria ini, maka dia akan kembali ke tempat pelacuran. Dan Tante Murni bisa saja mengurungnya selamanya di sana…..
“Kau mau aku yang melepas jilbab dan bajumu atau kau sendiri yang melakukannya?”
Ucapan Hilbram yang tiba-tiba itu membuat Ayesha semakin terisak.
Hilbram sendiri sempat mematung.
Hatinya iba melihat Ayesha yang tampak begitu menderita. Namun, harga diri Hilbram tinggi.
Dia tidak ingin begitu saja iba pada wanita yang sudah dibayar untuk memuaskannya itu.Sayangnya, pikirannya itu bertentangan dengan yang dilakukan.
Alih-alih memaksa, Hilbram justru bangkit dan berlalu pergi melewati Ayesha yang masih tertunduk di lantai.
Di ruang lain, pria itu menyulut rokoknya dan memanggil Rahman, sang asisten pribadi.
“Bagaimana, Tuan?” tanya sang asisten pribadi pada sang bos muda.
“Dia nangis terus, aku tidak bisa bermain?” tukas Hilbram terlihat kecewa.
Rahman terdiam.
Dia mencoba menganalisis sikap dan perasaan Hilbram.
Apa yang terjadi pada bosnya ini, hingga sebegitu mendesaknya ingin ‘bermain’.
Hilbram bukan pria seperti itu.
Dia tidak kurang wanita cantik yang sukarela menyuguhkan dirinya untuk ditidurinya. Namun, selama ini Hilbram bisa menahan dan menguasai dirinya.
Apakah ini karena Hilbram usianya sudah melewati kepala tiga?
Rahman menggelengkan kepala dengan pikirannya yang tak masuk akal.Satu-satunya yang mungkin terjadi adalah….
“Anda sedang jatuh cinta padanya?” tanya sang asisten itu pada akhirnya.
“Aku tidak pernah jatuh cinta,” tukas Hilbram cepat.
Rahman menarik napas panjang.
Kala pemuda seusia Hilbram sibuk pacaran dan bersenang-senang menikmati hidup, dia sudah berkecimpung memimpin perusahaan besar.
Mungkin, karena hal itulah sang bos muda tidak punya banyak pengalaman tentang wanita.
Padahal, Rahman tahu. Pria yang terkesan acuh dan dingin itu, adalah pria yang memiliki sisi lembut dan pengasih.
“Anda tidak pernah seperti ini. Tapi setelah melihat gadis itu, Anda merasa ingin sekali memilikinya, kan? Bisa jadi insting anda mengatakan bahwa gadis itulah yang selama ini anda tunggu-tunggu,” tukas Rahman menggiring perlahan Hilbram memahami dirinya sendiri.
“Anda bukan tipikal pria yang dengan mudah kasihan melihat air mata seorang wanita. Ingat betapa Anda dengan tegas membatalkan pernikahan dengan Nayra karena skandalnya dengan anggota DPRD itu? Dia dan seluruh keluarganya menangis dan memohon pengampunan. Tapi sikap anda tetap tegas. Sementara tidak pada gadis itu,” lanjutnya.
Hilbram tampak memijit keningnya. “Benar, Rahman. Dadaku bahkan merasa sesak melihatnya menangis di dalam sana,” ujarnya pada akhirnya mengaku.
Rahman menghela napas panjang. “Jika demikian, saya akan minta Taher untuk membawa paman gadis itu. Jadi, Anda bisa segera menikahinya.”
Hilbram sontak mendongak menatap pria yang 10 tahun lebih tua darinya itu.
Dia sudah menganggap Rahman lebih dari seorang asisten, tapi sebagai seorang kakak.
Seolah tahu kebingungannya, Rahman kembali berkata, “Saya menyarankan ini bukan tanpa alasan. Anda masih ingat apa yang disampaikan Nyonya Besar Safina dalam wasiatnya, bukan?”Hilbram pun mengangguk. Dia tentu ingat bahwa seminggu setelah neneknya meninggal, seluruh keluarga besar dikumpulkan untuk mendengar wasiat itu.
Singkatnya dalam wasiat itu tertulis bahwa semua aset keluarga Al-Faruq akan dihibahkan 70% kepada yayasan sosial dan pemerintah jika dalam waktu setahun ini Hilbram belum juga menikah.
Waktu setahun sepertinya masih lama, sehingga Bram belum terlalu memikirkannya.
Namun jika Rahman menyarankan hal itu, Bram akan memikirkannya.
Toh, dia juga menyukai gadis itu, kan?
“Hanya saja, kita baru bertemu dengan gadis itu dia kali. Anda belum memahami betul tabiat dan karakternya. Juga tentang masalah hidupnya. Saya menyarankan demi kebaikan bersama dan agar selanjutnya tidak terjadi hal yang rumit di kemudian hari, maka kita buat saja sebuah perjanjian.”
“Perjanjian?”
Hilbram seolah memikirkan perkataan Rahman. Namun dia memikirkan perasaan Ayesha dan balik bertanya apakah dia akan menerima hal itu?
“Kalau dia menolak tawaran ini, artinya dia harus melaksanakan pilihan kedua: melayani Anda sebagai pelacur yang belum tentu Anda akan lepaskan begitu saja setelah tugasnya selesai. Saya rasa, dia akan memilih tawaran pertama.”
“Menarik. Kalau begitu, tolong urus sisanya,” titah Hilbram tersenyum puas.
Ayesha terdiam. Saat ini, dia tengah duduk di atas tempat tidur setelah dua orang pelayan masuk ke kamar dan meletakan beberapa perlengkapan wanita di sana. Mereka juga menyampaikan bahwa sarapan pagi sudah tersedia. Saat pintu tertutup, barulah Ayesha memeriksa perlengkapan yang dibawa tadi. Hanya saja, dia benar-benar terkejut karena baju ganti yang disediakan merupakan dress panjang berikut jilbabnya. “Baik juga dia memberikan baju ganti yang sopan,” gumamnya dalam hati. Tapi, pikiran Ayesha terusik karena sikap aneh pria itu. Dia sepertinya bukan pria jahat. Buktinya, pria itu membiarkan Ayesha beristirahat dengan baik tanpa menidurinya. Kruk! Perut Ayesha tiba-tiba berbunyi karena lapar. Dilihatnya sarapan yang sudah disediakan dan mulai memakannya. “Terima kasih, Allah.” Senyum manis terlukis di wajahanya. Ayesha tak tahu ada kejutan baru yang disiapkan Hilbram. *** “Duduklah!” Begitu Ayesha selesai sarapan, Hilbram tiba-tiba memanggilnya ke ruangan lain. Anehny
Ayesha menerima surat perjanjian itu gemetar. Dibacanya berkas yang baru disodorkan. Tidak ada yang aneh di sana. Hanya saja, Ayesha tidak bisa menerima kenapa harus ada perjanjian pernikahan? “Saya hanya kurang paham tentang perjanjian ini,” ucap Ayesha, dari nada bicaranya sepertinya mulai memikirkan tawaran itu, “mengapa harus melakukan perjanjian pernikahan?” Hilbram menyender di kursinya. “Keluargaku mendesak agar aku menikah paling tidak tahun ini. Dan aku tidak punya waktu sekedar memikirkan wanita.” “Hidupku hanya tentang mengurus bisnis. Aku tahu kau wanita baik. Aku juga sudah memahami kesusahanmu karena hutang-utang pamanmu itu. Meskipun aku melepasmu, apakah kau yakin pamanmu itu tidak lagi menjualmu untuk hutang-hutang yang lainnya? Setidaknya kita saling menguntungkan dalam hal ini!” jujur Hilbram. Pria itu sadar tidak bisa memanipulasi gadis di hadapannya ini. Lagipula, dengan tahu alasannya, mungkin Ayesha akan mempertimbangkan dengan tenang. Dan benar saja, al
Sebulan yang lalu, tepatnya setelah dari acara hari ulang tahun yayasan pendidikan yang dikelola keluarganya, Hilbram tampak resah dan gelisah. Dia merasa enggan untuk balik secepat ini. Bukan karena acaranya, tapi karena gadis yang tak sengaja dilihatnya di taman. Diusap layar ponselnya dan melihat lagi rekaman gadis yang diambilnya di taman tadi. Sepertinya gadis itu terlalu manis untuk tidak segera didapatkan. “Berhenti!” ujar Hilbram pada supirnya. Rahman yang duduk di samping supir pun terlihat menoleh dan bertanya-tanya. “Ada masalah, Tuan?” tanya Rahman. Hilbram tiba-tiba saja, berjingkat keluar yang membuat pengawal di mobil belakang pun keluar. Rahman juga melakukan hal yang sama. “Tuan Bram, apa yang Anda lakukan?” Rahman bertanya karena sang tuan melepas jasnya lalu melemparnya ke dalam mobil. “Jangan ikuti aku, kalian pulanglah dulu!” tukasnya berlalu. Ketika dua pengawal itu membuntutinya, Hilbram berhenti dan menatap mereka tajam. “Kau tidak dengar tadi?” Mere
“Nanti malam pernikahan akan segera dilaksanakan, saya harap anda mempersiapkan diri dengan baik,” ucap Rahman–menyadarkan Ayesha dari lamunan. Dia kemudian pamit undur menyisakan Ayesha terduduk dan termenung. Dia baru sadar bahwa dalam hitungan jam nanti dia akan segera menjadi istri pria itu. Hatinya menjadi resah dan gelisah. Mengapa tiba-tiba perasaannya menjadi kacau begini dan merasa tidak sanggup melakukan apa yang sudah mereka sepakati semalam? Apakah dia siap menanggung segala resikonya? ****Tanpa disadari, akad selesai dengan lancar tanpa ada pengulangan. Tiba-tiba saja, Hilbram meminta waktu sebentar untuk berbicara dengan pria yang sudah menjadi wali Ayesha. Dia harus memastikan bahwa pria yang tidak berperasaan ini tidak lagi memanfaatkan keadaan gadis yang kini sudah sah menjadi istrinya itu. “Kau sudah mendapatkan yang kau mau, jadi kalau sampai aku mengetahui kau masih mencoba menganggunya lagi, kupastikan hidupmu akan menderita!” ancam Hilbram pada paman A
“Kau belum mengganti bajumu?” ucap pria itu dengan suara yang berat. Hilbram sebenarnya heran karena Ayesha masih dengan kebayanya. Ayesha tidak bergeming. Dia seolah masih belum bisa menerima status barunya saat ini. Mulutnya memang sudah menyepakati perjanjian itu, tapi siapa sangka bahwa hatinya sungguh masih tidak bisa menerima semua ini. “Apa kau mau aku panggilkan Rahman karena kau berubah pikiran?” Hilbram melepas jasnya dan tahu bahwa Ayesha sedih dengan kenyataan hidupnya. Astaga, pria ini! Tidak bisakah dia memberinya sedikit waktu untuk menyiapkan mentalnya? “Baik, Tuan!” ucap Ayesha sedikit bergetar di nada suaranya. Dia bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Hilbram hanya menatapnya dengan pandangan rumit. Saat di kamar mandi dan mencari baju ganti di walk in closet, dia hanya menemukan beberapa baju tidur. Momo tadi sudah bilang sementara baju-bajunya yang lain masih dalam pengerjaan dan besok pagi akan di antar dari butik langsung. Namun sepertinya, itu akal-akaln
Ayesha belum bisa berpikir jernih dan menentukan sikap dalam menjalani kehidupan barunya ini. Mungkin, dirinya masih sangat shock dengan pernikahan yang tiba-tiba ini hingga harus menolak pria yang sudah menikahinya itu. Beruntung sepertinya Hilbram bukan pria yang tidak punya belas kasihan. Sebagai pria yang punya hak penuh atas dirinya, Hilbram masih bisa membiarkannya malam ini meski dengan tatapan yang kecewa. * Pagi pun tiba, Ayesha memilih-milih gamis di lemari yang sudah tersedia untuknya. ‘Bagus-bagus sekali,’ batinya sambil mengambil satu yang segera dipakainya. Dia mengagumi model yang elegan yang tampak anggun saat dipakainya itu. Namun, ketika melihat merk baju itu dia melongo, dia sudah menabung untuk mambeli setidaknya satu dress dari merk tersebut. Sayangnya, tak pernah kesampean. Bagaimanapun dia seorang perempuan. Menyukai fashion dan barang-barang bagus adalah fitrahnya. Apalagi dia mengajar di sekolah ternama. Dimana penampilan juga menjadi salah satu yang
Ketika mobil sudah berhenti di sebuah tempat yang seperti sebuah vila, Ayesha berdecak kagum. Dua puluh empat tahun tinggal di kota ini kenapa tidak sekalipun melintas di jalan ini?Benar-benar seperti kastil yang penuh dengan bunga indah. “Apa kau berpikir aku tidak serius?” tanya Hilbram setelah mengajak Ayesha keluar mobil dan berjalan ke dalam.“Yang ada di otakmu pasti berpikir aku merencanakan hal buruk, bukan?” Hilbram berkata seolah tahu isi kepala Ayesha. “Bukan begitu,” ujar Ayesha lirih walau sebenarnya dia memang sempat berpikir pria ini akan memberinya hukuman. “Saya hanya merasa terkejut anda tiba-tiba mengajak saya menemui orang tua anda.” “Kenapa?” dengan kata tanya favoritnya, Hilbram mendesak Ayesha terus mengungkapkan isi hatinya. Pikirannya juga sama dengan Ayesha, tidak ingin hubungan ini berjalan dalam kebekuan. Saling mengobrol akan bisa memahami satu sama lain. “Orang tuaku tidak bisa memarahimu, tidak bisa membulimu, jadi apa yang kau cemaskan?” lagi Hil
Tanpa Ayesha sadari, suaminya itu diam-diam menyesal karena membuat perjanjian dengannya.Persetan jika Ayesha berakhir memanfaatkannya! Asal bisa bersama gadis ini, Hilbram toh akan memberikan apapun.Di sisi lain, Ayesha tertegun. Dia meraba-raba perasaannya ketika mendengar pernyataan dari bibir Hilbram. Hanya saja, Ayesha tidak lagi membantah apa pun. “Kau tidak setuju?” tanya Hilbram melihat raut wajah Ayesha yang tampak berpikir.“Maafkan saya. Tadi hanya terpikir sudah seminggu ini tidak masuk dan berharap kepala sekolah tidak memberiku teguran! Itu saja.” Hilbram mengangguk. “Hmm, biar Rahman yang mengurusnya.” “Tidak usah, Tuan!” sahut Ayesha segera setelah mendengar ucapan Hilbram. Jika Rahman yang mengurus, takutnya semuanya bisa tahu status barunya sekarang. Menjadi istri pria ini. “Kenapa?” tanya Hilbram bingung. Gadis di depannya ini tidak tahu saja, kalau pihak sekolah mengetahui statusnya sebagai istri pemilik yayasan itu, cuti setahun pun tidak akan jadi soal.
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber