Part 37
"Jadi Bapak lebih belain perempuan ini daripada aku, Pak?" Sungutku tak mau kalah."Ya jelas! Yang kamu sebut perempuan ini ... Itu istri Bapak. Ibumu juga!" Bentak bapak lebih keras, lalu langsung berlalu meninggalkanku dengan Yesi. Terlihat Yesi tersenyum penuh kemenangan."Buruan cuci piring, gih! Abis itu cuci baju dan beres-beres lainnya. Aku mau ke pasar dulu. Bye-bye!" Ucap Yesi sambil melenggang pergi dengan santainya.Aarrgh! Ger*amnya aku. Pokoknya bagaimana pun caranya aku harus kembali pada bang Suryo. Gak sudi aku, jika harus terus-menerus jadi babu di rumah ini.Dengan berat hati, kukerjakan juga kerjaan rumah yang seabrek-abrek. Ternyata ini lebih capek, dari pada saat aku masih jadi istri bang Suryo. Ah, lagi-lagi aku membandingkan kehidupanku yang dulu. Membuat aku jadi semakin ingin kembali pada bang Suryo.Apa aku harus mendukuni bang Suryo lagi? Sebab mustahil saja jika merayu bang Suryo secara alamiPart 38POV AuthorTepat pukul setengah sembilan malam Suryo membuka pintu kamar anak-anaknya. Ia menarik napas lega melihat keduanya telah terlelap di atas tempat tidur. Suryo masuk dan membenarkan letak selimut keduanya agar jangan kedinginan. Saat menatap wajah keduanya, ada rasa bersalah di hati karena harus memisahkan mereka dari Tami.Tapi kalau pun bertahan itu sulit. Tami sepertinya tak ada niatan untuk berubah dari sifat pelitnya. Terbukti dari ia yang ingin mendukuni Suryo hanya karena Suryo tak mempercayakan keuangan kepadanya.Setelah memastikan kedua anaknya nyaman dalam tidur, Suryo masuk ke kamarnya sendiri. Hari ini ia benar-benar lelah sekali, padahal ia hari ini minta cuti satu hari pada Beni, ya ... Sekadar menenangkan pikiran. Tapi seharian ini kegiatannya sangat padat. Tadi pagi-pagi sekali orang tuanya menelpon, mengabarkan akan pulang. Mungkin mereka ingin memberi support untuk anaknya yang sedang ditimpa masalah r
Part 39Seperti hari-hari biasanya. Rutinitasku sejak tinggal di rumah bapak ya seperti pembantu. Harus mengerjakan semua kerjaan rumah. Hanya masak saja yang tak dilakukan, karena Yesi tak mempercayakannya padaku.Tapi beberapa hari ini aku lebih semangat bekerja. Apalagi kalau tiba saat Yesi dan Bapak pergi ke pasar. Aku akan diam-diam masuk ke kamar Yesi, dan mengambil apa saja yang bisa diuangkan. Sebenarnya Bapak sudah memberi jatah ke aku setiap Minggu. Tapi itu hanya lima puluh ribu saja. Persis Bang Suryo dulu. Jelas itu kurang bagiku, karena aku harus mengumpulkan uang banyak-banyak supaya emas yang dulu sempat berkurang banyak dapat diganti.Saat aku baru selesai menjemur pakaian, Bapak dan Yesi pamit ke pasar. Inilah saatnya beraksi. Kulirik Bang Wawan, ia sedang sibuk di kandang kambing. Aman!Aku langsung masuk ke rumah untuk menjalankan misi. Sebenarnya aku tahu ini perbuatan tak baik, mencuri di rumah Bapak sendiri. Tapi b
Part 40Tubuhku merosot, di depan pintu yang baru saja tertutup. Semaput begitu melihat isi di dalam amplop yang tadi diberikan oleh tukang pos. Amplop berisi surat panggilan sidang dari pengadilan agama. Oh, no!Kupikir Bang Suryo menceraikan aku hanya untuk menggertak saja supaya aku berubah, tapi ternyata ia seserius ini. Kupikir seiring berjalannya waktu ia akan meminta kami bersatu kembali demi anak-anak, tapi nyatanya ia benar-benar ingin mengakhiri ikatan denganku."Huhuhu ... Huhuhu ...." Aku menangis meraung-raung sambil berguling-guling di lantai ruang tamu Kak Imas. Tak peduli suaraku akan terdengar tetangga. Hampir sejam aku begitu, hingga akhirnya aku kelelahan dan tak sadar apa-apa lagi.Aku tersadar begitu mendengar suara motor Kak Imas memasuki halaman rumah. Namun, untuk membuka mata rasanya sulit sekali.Langkah Kak Imas terdengar dari luar, lalu pintu terbuka. Melihat aku yang tergeletak tak berdaya, Kak Imas langsung t
Part 41"Di-dini ... Kamu kok pulang?" Tanya Bang Rahmad dengan gugup lalu melepaskan tangannya dari tubuhku."Kenapa emangnya? Aku gak boleh pulang gitu? Biar Ayah bisa mesra-mesraan sama dia?" Tandas Dini sambil menunjukku. Dasar tak ada sopan santunnya, membahasakan aku yang sebagai bibinya dengan sebutan 'dia'. Lagian, Bang Rahmad juga salah memberi pertanyaan yang ambigu."Bukan begitu, Din. Ini gak seperti yang kamu pikirkan. Ayah tadi mau ke dapur, mau minum. Bik Tami pikir, Ayah pergi sama Mama kamu, makanya dia keluar begitu. Dia terkejut karena lihat Ayah, makanya lari terus kepleset. Ayah pun refleks menangkapnya," ujar Bang Rahmad panjang lebar. Ternyata ia termakan dramaku. Ia kira kejadian tadi benar-benar kebetulan rupanya.Aku memilih pergi ke kamar untuk memakai baju. Malas menanggapi segala pertanyaan dari bocah itu. Dari ruang tengah masih saja kudengar Bang Rahmad mencoba menjelaskan, dan meminta Dini tak mengadukan ke mamanya.
Part 42Sesuai hasil percakapan kemarin malam, Intan mengantarku ke rumah temannya yang bekerja di pabrik kecil yang disebutkan mereka. Syukurnya hari ini Intan juga Heni masuk shift sore, jadi ia bisa mengantarku.Setelah sampai di rumah teman Intan, dan berkenalan sejenak, kami pun langsung melanjutkan perjalanan menuju ke pabrik tersebut. Dewi-teman Intan tersebut mengatakan bahwa memang pabrik sedang butuh orang untuk bagian packing. Ya, mau tak mau aku coba saja dulu. Dari pada tak ada pemasukan sama sekali.Hanya butuh waktu lima belas menit, kami hampir sampai di pabrik tersebut. Tapi sepertinya aku merasa familiar dengan tempat yang akan kutuju ini. Dan benar saja, begitu sampai di sana aku dibuat ternganga. Pasalnya pabrik yang mereka maksud adalah pabrik milik teman Bang Suryo, sekaligus tempat Bang Suryo bekerja. Oh, tidak!"Wi ... Jadi ini pabrik yang kamu maksud?" Tanyaku pada Dewi masih tak percaya."Iya, Kak. Kena
Part 43Aku mematut diri di depan cermin. Tak sangka ternyata ada perubahan juga pada wajahku sejak aku menggunakan skincare hasil menjarah milik Heni. Tanpa sepengetahuannya tentunya. Aku biasa mulai beraksi saat Heni masuk sore. Akan kuambil sebagian skincarenya dan kupindahkan ke tempat yang memang sudah kusediakan. Syukurnya sejauh ini masih aman-aman saja, dan hubunganku dengan Heni masih bagus.Selesai mematut diri depan cermin, aku bergegas untuk menjemur pakaian. Kebetulan hari ini libur, jadi aku punya banyak waktu bersantai.Saat sampai di tempat khusus menjemur, ternyata ada Heni yang sedang menjemur juga. Tapi terlihat ia sangat tergesa-gesa. Aku segera mengambil tempat di samping jemuran Heni."Kok buru-buru amat nampaknya, Hen?" Tanyaku heran."Aku masuk pagi nih, Kak. Dah telat," jawabnya cepat.Aku hanya membulatkan bibir saja. Lupa kalau hari ini Heni shift pagi."Aku duluan ya, Kak?" Pamit Hen
Part 44Semalaman aku menunggu Heni pulang untuk membuat perhitungan, tapi batang hidungnya tak kunjung muncul hingga pagi ini. Pasti ia takut denganku. Pagi ini aku mulai masuk kerja lagi. Tapi sepertinya mau tak mau aku harus naik angkutan umum kali ini, sebab sedari malam Dewi tak membalas pesan dariku. Sepertinya Heni dan Intan sudah memprovokasinya duluan. Menyebalkan! Aku jadi kehilangan tumpangan gratis.Beberapa menit menunggu, akhirnya angkutan umum yang kutunggu pun tiba. Terlihat di dalam angkot sudah penuh penumpang. Namun, aku tetap naik karena takut telat.Jadilah sekarang aku duduk berdempetan dengan para penumpang lainnya. Di sebelah kiriku ada beberapa anak sekolah, sedangkan di sebelah kanan ada wanita sebayaku yang sepertinya juga akan pergi kerja.Terlihat wanita itu merasa terganggu saat aku duduk di sebelahnya. Namun ia tak berkata apa-apa, hanya mengalihkan wajah menghadap tempat lain. Memangnya apa yang salah deng
Part 45Asisten Nyai Warsih datang di hadapan kami, tepat setelah kami selesai diskusi. Ia mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam ruang praktek Nyai Warsih.Dengan jantung berdebar, aku berjalan di belakang Lilis. Sepertinya Lilis sudah biasa dengan tempat ini. Terbukti dengan gayanya yang santai saat menjelajahi rumah Nyai Warsih.Sampai di depan pintu yang juga bercat putih, Lilis menghentikan langkah. Perlahan ia mengetuk pintu tersebut. Setelah mendengar jawaban dari dalam, barulah Lilis membuka pintu kamar tersebut.Lagi-lagi ruangan tersebut berbeda dengan ruang praktek dukun-dukun yang kudatangi sebelumnya. Ruangan kali ini sama seperti kamar pada umumnya, hanya berisi ranjang, lemari, ada juga sofa di sana.Kami pun melangkah masuk ke dalam ruangan yang sejuk karena hawa dari mesin pendingin. Ingin tertawa rasanya, melihat ruang praktek dukun mewah dan ber-AC begini."Jadi, sudah diputuskan mau pasang susuk apa?" Tanya
Part 59Lamunanku langsung buyar saat ponsel yang kuletakkan di nakas bergetar. Gegas kuraih ponsel tersebut."Nomor baru?" Gumamku saat melihat ke layar ponsel.Segera kugeser layar ponsel untuk menerima panggilan tersebut."Hallo ... Siapa ya?" Tanyaku pada sang penelpon."Pak, ini Pak Beni kan?" Tanya seseorang di seberang sana. Terdengar nada panik dari suaranya."Iya saya Beni. Ini siapa ya?" Tanyaku lagi."Saya Risman, Pak. Tetangga sebelah rumah, Bapak," ujarnya masih dengan nada begitu panik."Rumah? Rumah yang mana?" Tanyaku bingung. Jelas aku bingung, selama ini aku tak mengenal seseorang bernama Risman, dan sekarang tiba-tiba ada yang menelpon dan mengaku-ngaku sebagai tetanggaku."Rumah Bapak yang di komplek perumahan Permai Indah Residence."Aku langsung terkesiap begitu lelaki tersebut menyebutkan alamat tempat di mana kutinggalkan Tami sendiri."Oh iya, ada apa? Saya sed
Part 58Masih dengan wajah menunduk, perlahan kuturunkan kaca jendela, agar orang tersebut tak bertambah marah. Namun alangkah terkejutnya aku saat mendapati siapa yang sedari tadi mengetuk pintu mobilku."Su-suryo?" Aku langsung terkejut begitu melihat siapa orang yang sedari tadi marah-marah sambil mengetuk kaca mobilku."Beni?!" Serunya tak kalah kaget."Gila kamu ya, Ben! Main tabrak aja. Keluar cepat!" Hardiknya membuatku sedikit ciut. Padahal dulu saat kami akrab tak pernah kami bertengkar hebat. Lagi-lagi aku menyalahkan Tami atas kerengganganku dengan Suryo.Karena takut kena bogeman dari Suryo, mau tak mau aku pun turun dari mobil. Begitu turun, alangkah terkejutnya aku saat mendapati seorang bapak-bapak sudah tergeletak di hadapan mobilku dengan gerobak yang juga terlihat berantakan akibat tertabrak mobilku."Oooh, ini penabraknya! Tanggung jawab kamu! Atau kami akan laporin ke polisi," ancam salah seorang warga yang be
Part 57Masih dengan menutup hidung, aku masuk ke dalam rumah hendak mencari keberadaan Tami dan bertanya perihal bau busuk ini. Bergegas aku menuju kamar kami, namun ternyata pintunya tertutup. Kucoba perlahan membukanya, ternyata tak terkunci."Tamiii ...." Aku memekik kala melihat Tami yang hanya memakai pakaian dalam itu, sedang tergeletak di atas ranjang dengan posisi meringkuk sambil memegangi organ intimnya.Semakin aku mendekatinya semakin pekat pula bau busuk itu menguar. Atau jangan-jangan memang bau busuk ini berasal dari tubuh Tami?Dengan menahan napas aku berusaha membalikkan tubuh Tami yang membelakangiku. Alangkah terkejutnya aku, saat melihat wajah Tami sudah tak secantik kemarin. Bibirnya terlihat berwarna merah membengkak, begitu juga keseluruhan wajahnya terlihat timbul benjolan-benjolan yang mengeluarkan nanah berbau busuk.Yang lebih parah lagi, saat aku melihat ke arah kewanitaan Tami terlihat banyak sekali cairan
Part 56Dengan kecepatan tinggi Lilis mengemudikan mobil, membuat aku ketakutan dan menjerit-jerit karena takut kecelakaan. Namun, Lilis tetap tak menurunkan laju kendaraannya. Ia terlihat benar-benar gusar. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Nyai Warsih padanya?Setelah melalui perjalanan yang mendebarkan tersebut, akhirnya aku bisa bernapas lega setelah kami sampai di rumahku. Terlihat Mas Beni sedang duduk santai di teras rumah sambil merokok."Aku pamit langsung pulang ya, Mi," ucap Lilis tanpa menatapku. Pandangannya terlihat menerawang ke depan. Benar-benar aneh sikapnya."Kenapa buru-buru?" Tanyaku benar-benar penasaran dengan perubahan sikap Lilis."Aku sudah ditunggu suami." Lilis menjawab dengan sangat cepat."Tapi, Lis ... Setelah ini aku harus gimana?" Tanyaku lagi meminta solusi pada Lilis."Nanti kita bicarakan lagi ya, Mi. Aku harus cepat-cepat pulang," tukas Lilis. Kali ini dengan menatap wajahku.
Part 55POV ViviHatiku benar-benar panas kala mengetahui soal perselingkuhan Mas Beni dengan karyawannya. Apalagi video mesum mereka sampai viral di medsos. Membuat aku semakin malu dan tak ada muka untuk bertemu dengan geng sosialitaku. Sudah pasti aku jadi bahan gunjingan mereka saat ini.Sejak kejadian video Mas Beni viral, aku mulai membatasi geraknya. Pabrik kuambil alih, begitu juga dengan ponsel. Awalnya setelah perselingkuhannya terbongkar sebenarnya aku berniat mengajukan gugatan cerai pada Mas Beni. Tapi ia langsung memohon-mohon dan mengemis maaf padaku agar aku tak meninggalkannya. Bahkan ia janji tak akan mengulangi kesalahan itu lagi.Awalnya aku tak peduli dan tetap kukuh pada pendirian. Namun saat melihat Mas Beni yang benar-benar menunjukkan bahwa ia ingin berubah membuat hatiku jadi luluh dan percaya bahwa ia tak akan mengulangi kesalahan itu lagi.Mas Beni juga menunjukkan perubahan. Ia mulai menjauh dari si pelakor te
Part 54Begitu sampai di rumah sakit. Aku langsung mengatakan keluhanku pada dokter yang sedang berjaga di IGD. Mereka memintaku berbaring di ranjang, dan langsung memeriksa bagian sensitifku. Sudah persis seperti orang yang akan melahirkan keadaanku saat ini.Mereka langsung terkejut begitu melihat apa yang terjadi pada organ intimku. Bahkan aku pun lebih terkejut lagi, kala dokter memberitahu bahwa ada belatung yang keluar dari sana. Pantas saja tadi aku merasa ada yang bergerak-gerak di sana.Dokter dan perawat langsung membersihkan cairan yang keluar beserta belatung itu. Terlihat wajah mereka sangat menderita saat melakukannya. Apalagi bau busuk yang keluar semakin kuat. Bahkan mereka sampai memakai masker ganda demi menghalau bau yang keluar dari kewanitaanku.Dokter spesialis kulit dan kelamin pun datang. Berbagai macam pertanyaan ia lontarkan padaku. Apa aku selama ini melakukan seks bebas? Apa aku pernah berhubungan dengan pengidap PMS? A
Part 53Baru saja berjalan sekitar setengah jam, tiba-tiba ponsel Mas Beni berdering. Ia langsung membeliak begitu melihat sang penelpon yang tak lain adalah Vivi. Dengan media video callku pula. Matilah aku!"Gimana ini, Mas?" Tanyaku panik pada Mas Beni yang juga terlihat bingung sambil memandang layar ponsel."Emm ... Kamu keluar dulu bisa, Mi? Sembunyi agak jauh dari mobil," titah Mas Beni membuat hatiku dongkol.Aku berdecak kesal."Kenapa gak dimatikan saja sih, Mas? Ganggu saja!" Keluhku kesal."Gak bisa, Mi. Mas udah janji sama Vivi, bakal sering-sering hubungi dia, karena itu jugalah Vivi mengizinkan Mas pergi," ujar Mas Beni dengan raut wajah memelas.Aku memanyunkan bibir lalu keluar dari mobil sesuai perintah Mas Beni. Baru saja bertemu, sudah ada gangguan. Bagaimana lagi ke depannya? Masa iya sedang sibuk bermesraan nanti pun bakal terganggu dengan Vivi. Huh! Ingin kusantet saja rasanya wanita itu.
Part 52Vivi terus mendekat ke arah kami. Dan begitu sampai di hadapanku ....Plaaak!Belum sempat aku berucap apa-apa, telapak tangan Vivi sudah mendarat di pipiku, meninggalkan rasa panas yang menjalar di sana."Dasar perempuan tak tau malu! Masih ada nyali kau datang ke sini, hah?" Hardiknya dengan mata melotot seperti akan copot dari rongganya."Aku kemari bukan untuk bertemu denganmu!" Tandasku tak mau kalah. Jelas aku tak akan pernah mau mengalah jika itu dengan rival."Terus mau ketemu dengan Mas Beni?! Jangan mimpi!" Ucap Vivi sengit dibarengi oleh tarikan tangannya pada rambutku.Aku langsung meringis menahan perih pada kulit kepala. Ternyata Vivi tak bisa diajak bicara baik-baik. Aku yang tak mau kalah darinya langsung membalas menarik surai pirang panjang miliknya. Kami pun saling jambak-jambakan satu sama lain, diiringi dengan berbagai macam sumpah serapah dan makian dari Vivi.Kericuhan ka
Part 51"Tolong, berhenti ... Jangaaan ... Aku betul-betul tak bersalah," rintihku dengan air mata yang mulai menitik, merasa benar-benar terdzolimi dengan perbuatan mereka.Namun bukannya iba dengan keadaanku, mereka malah makin beringas ingin melucuti pakaianku.Saat baju atasanku hampir terlepas sempurna, barulah terdengar suara seseorang membelaku."Hei! Sudah-sudah! Jangan main seperti ini. Matikan kameranya. Jangan asal viral-viralkan!" Terdengar suara seseorang yang amat sangat kukenal. Suara Heni."Halah! Kamu bela karena kamu temannya, kan?" Terdengar sahutan salah satu penghuni kost.Heni berdecak kesal, lalu beralih menatap Bu Diah."Bu, emang ibu mau kalau suami Ibu viral? Ibu udah siap mental belum, kalau dijulidin orang? Terus, apa ibu mau kalau kost ini jadi sepi karena para orang tua tak mempercayakan lagi anaknya ngekost di sini?" Sepertinya perkataan Heni kali ini berhasil meluluhkan mereka, terbukti me