Ingin Pergi

Setelah membereskan semua barang yang ia gunakan memuaskan, Sekar lantas masuk kedalam kamarnya, dan membereskan semua pakaiannya dan pakaian anak-anaknya. Sepertinya ia sangat terpancing dengan perkataan Aura, yang menyudutkan dirinya. Ia merasa menjadi perempuan yang tak punya harga diri, karena suaminya sendiri ternya suka menghinanya di belakangnya. Dan parahnya, ia menghina istrinya sendiri didepan perempuan pujaannya. Apa Sekar masih punya alasan untuk bertahan jika sudah seperti ini?

Tanpa berpikir lagi, Sekar kini sudah berkemas dan tinggal memakaikan kedua anaknya jaket saja. Jika Sandi pulang nanti, ia akan berpamitan dan pergi sejauh mungkin dari rumah ini. Rumah yang mereka tempati bersama, dari semenjak mereka menikah. Rumah yang begitu banyak kenangan, antara dirinya dan Sandi.

"Kau bahkan tak pernah berpikir bagaimana perasaanku, andai aku mengetahui semua apa yang kau katakan pada selingkuhanmu itu Mas?.Kamu sudah buta karena cinta yang salah," keluhnya lagi

***

Sandi yang barusaja keluar dari kantornya, segera menemui tukang martabak, sengaja ia akan membeli bener porsi martabak untuk Sekar. Makanan itu adalah Makana favorit istrinya. Memang sudah bekerja bulan ini, Sandi tak pernah lagi membelikan makanan itu ungu Sekar, dan sekarang, ia berniat untuk membeli itu untuk istrinya.

"Kapan terakhir kali aku membeli martabak untuknya ya?. Semoga saja hubungan kami kembali membaik seperti dulu. Aku menyesal karena sudah menyakiti hatinya," batin Sandi. Setelah ie mendapatkan dua bungkus martabak, segelas ia kembali kedalam mobilnya, dan lekas menajalankan mobilnya itu dengan sangat cepat. Sampai hanya butuh beberapa menit saja, ia kini sudah sampai. Dengan wajah riang, Sandi memasuki rumahnya, tak tahu jika Sekar sudah bersiap untuk pergi dari rumah itu.

"Assalamualaikum Bu," kata Sandi sambil melenggang masuk kedalam. Tatapnya langsung melihat ke arah istrinya dan kedua anaknya yang kini sudah berada di pangkuannya, sedang si sulung memegang tangan ibunya dengan erat.

"Kalian sudah rapi, mau kemana?" Tanya Sandi mendekati anak sulungnya dan mencoba meraihnya.

"Kami mau kerumah Ibuku Mas," jawab Sekar dengan tegas. Sandi kembali bangkit dari posisinya, dan mendekati Sekar.

"Kalain mau menginap?"

"Iya,"

"Berapa hari?"

"Entah. Entah kami mau kembali atau tidak kerumah ini," jawab Sekar dengan terbata. Melihat mimik wajah Sekar yang mulai berubah, Sandi dengan segera memberikan martabak yang ia bawa, dan menyuruh anak sulungnya untuk memakannya. Sedangkan ia mencoba memangku anak bungsunya dan menidurkannya diatas ayunan. Ia segera menarik lengan Sekar, mengajaknya berbicara dengan baik-baik.

"Kamu jangan bicara sembarangan. Apa kamu sadar apa yang sudah kamu bicarakan ini?"

"Jangan sentuh tanganku. Aku sadar dengan apa yang aku bicarakan ini. Justru kamu yang tak sadar diri, kamu sudah menyakiti perasaanku, Mas!"

"Ada apa lagi? Bukankah kita sudah baik-baik saja?"

"Enteng kamu bicara Mas. Baik saja kamu bilang? Bahkan kamu tak sedikit merasa berdosa padaku? Apa kamu tak sadar, kalau kamu sudah berbuat apa di belakangku?"

"Apa lagi Sekar? Aura? Iya?"

"Sudah berapa banyak kau habiskan uang hanya untuk memanjakan perempuannya itu?" Sandi hanya diam..ia sendiri tak tahu berapa uang yang sudah ia keluarkan untuk perempuan itu.

"Kenapa diam? Lupa, karena sudah saking seringnya kamu memberikan uang untuk peremajaan itu? Hebat kamu Mas! Kamu sering memberi uang padanya, kamu jadikan dia ratu, kamu bahagiakan dia, sedang kau buat aku seperti seorang Babu! Kamu selalu berdalih kalau uangmu kau tabung untuk masa depan kita, masa depan anak kita, tapi kalau untuk keperluan Aura, kau rela mengeluarkan gajimu?" Dengan lantang Sekar berbicara begitu berani pada suaminya. Lelaki yang biasanya ia hormati, kini sama sekali tak punya wibawa di hadapannya.

"Aa, aku, aku minta maaf Sekar. Aku khilaf," lirihnya, dan menunduk seolah benar menyesali perbuatannya.

"Sekarang katakan padaku, seberapa jauh kau sudah berhubungan dengannya? Apa kalian sudah sampai berjinah?" Sandi lekas mengangkat wajahnya yang semula tertunduk.

"Jaga bicaramu Sekar! Sebejad nya aku, tapi aku tak sampai bermain gila dengan perempuan lain! Aku hanya bermain saja dengannya! Aku juga masih waras Sekar!" Sandi kali ini tak terima saat Sekar menuduhnya seperti itu. Baginya, Aura hanya selingan saja, saat ia jenuh dengan hubungannya dan Sekar.

"Tadi Perempuan itu datang kemari, ia sudah memberitahu aku bagaimana kau di belakangku. Kau bahkan sering menghinaku hanya untuk mendapatkan perhatian dari perempuan itu, iya? Apa aku seburuk itu Mas?" Tanya Sekar Kemabli. Kali ini ia tak bisa lagi membendung air matanya. Sesak, sakit sekali rasanya mendapatkan kenyataan seperti itu.

"Apa? Aura datang kemari? Mau apa dia?" Tanya Sandi kaget bukan main.

"Dia tak terima kau membatalkan acara dengannya. Memangnya kalian mau kemana? Kau bahkan rela mengeluarkan uang demi membuatnya bahagia, sedang saat bersamaku, kau sangat hemat sekali. Lantas aku yang kau suruh mencari uang untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari kita? Apa ini tak cukup alasan untuk aku pergi?" Kali ini Sekar berbicara dengan nada yang begitu rendah. Kekuatannya hilang bersama luka yang datang bersamaan.

"Sekar! Maafkan Mas. Sumpah! Mas sama sekali tak pernah melakukan hubungan apapun dengan Aura!" Sandi mencoba menjelaskan namun Sekar sudah tak mau lagi mendengarkan alasan basi Sandi.

"Aku pamit Mas. Kamu tolong urus perceraian kita secepatnya. Bukankah baik juga bagimu, agar kau bisa lekas menikah dengan Aura?" Tanya Sekar sambil menyeka air mata si Sissy matanya. Ia tahan sekuat mungkin buliran air bening itu, jangan sampai jatuh dan terlihat lemah di hadapan Sandi. Kali ini tekadnya sudah bulat, ia ingin pergi dari kehidupan Sandi. Tak sanggup lagi rasanya menerima semua kesakitan yang sudah Sandi torehkan dalam hatinya.

"Jangan pergi dan jangan bawa anakku!" Teriak Sandi saat melihat Sekar tetap berjalan dan tak menghiraukan dirinya. Ia terus saja menggendong anak bayinya, dan kemudian membawa si sulung yanh sedang asik makan martabak yang ayahnya bawa.

"Jangan ambil anakku. Kasihan dia Sekar, dia sedang makan martabak!" Teriaknya lagi. Sekar kini menatap dengan tajam ke arah Sandi. Dengan nafas tersengal, menahan emosi yang sesak memenuhi dadanya, Sekar semakin berani menjawab teriakan Sandi.

"Kemana saja kamu selama ini? Kamu tahu anakmu suka martabak, tetapi baru kali ini kau membeli untuknya? Setelah kau merasa menyesal? Aku sanggup membeli untuk anakku! Jadi kau tak usah khawatir, aku akan menggantikan martabak ini, dan dia tak akan menangis karena meninggalkan martabak pemberianmu!" Kata Sekar, menyombongkan dirinya dan terus membawa kedua anaknya, serta kopernya di satu tangannya.

"Kamu jangan pergi Sekar? Atau kau akan menyesal!" Teriak Sandi tak terima.