Sandi kini sudah sampai dirumahnya. Ia lekas masuk ke dalam kamarnya."Aah ya Tuhan, apa ini sebuah karma untukku? Belum juga apa-apa, aku sudah dipecat. Aku ini difitnah! Kenapa Bos malah percuma pada perempuan itu, daripada padaku? Padahal aku ini adalah anak buahnya, sudah lama aku ikut bersamanya. Sial!" Umpat Sandi sambil melemparkan semua benda yang ada didepan matanya. Sandi benar-benar kalap, merasa menjadi orang yang paling tersiksa. Ia lupa, kalau sudah membuat sakit hati istrinya selama pernikahannya dengan Sekar. Selalu membandingkan Sekar dengan perempuan lain, selalu menuntut Sekar menjadi seorang perempuan yang sempurna, sementara dirinya tak pernah membantu sedikit pun kesulitan Sekar. Kerap kali Sandi meninggalkan Sekar sendirian, merasa seperti terkurung dirumah, tak pernah memuji kebaikan istrinya itu."Sekar!! Pulanglah!! Aku rindu pada kalian, kalian dimana?" Tiba-tiba Sandi ingat akan Sekar dan kedua anaknya. Perempuan itu selalu ada untuknya, selalu mendukung ap
"Eeh ternyata nak Sandi, ibu kira siapa," ujar Ibu saat melihat anak mantunya datang."Ibu sehat Bu?" Sandi berbasa-basi."Iya, Alhamdulillah. Duduk nak!" ibu Warti menyuruh Sandi duduk, dan lekas ke dapur mengambil air minum untuk Sandi. Sementara Sekar masih betah berada diruang tengah, bermain dengan kedua anaknya, tanpa keinginan sedikit pun untuk menemui suaminya itu."Kamu ini Sekar, ada suamimu kenapa diam saja? Temui sebentar saja Sekar," "Sekar minta maaf Bu, Sekar tak bisa lagi berbaik hati pada Mas Sandi,""Mungkin dia merasa menyesal sudah melakukan Kesalahan kemarin, apa kamu tak mau juga memberikan maaf pada suamimu?" Ibu masih berusaha agar Sekar berbaik hati pada Sandi, karena Sekar tak menceritakan semua salah yang Sandi lakukan. Ia hanya bercerita kalau Sandi selalu menghina dan menuntunnya saja. Namun Ia menutup aib Sandi yang berselingkuh dengan Aura, si janda anak satu itu."Maafkan aku Bu. Sekar belum bisa bertemu dengan mas Sandi," sekali lagi Sekar menolak nasi
"Kenapa? Kenapa kamu bicara seperti itu?" Tanya Sandi lirih."Lho, Mas malah bertanya padaku? Bukankah itu perkataan yang selalu keluar dari mulutmu Mas? Kamu sendiri yang bicara, kamu sendiri yang lupa. Aku sudah kenyang dengan semua penghinaan yang selalu kau Lintar Mas. Selama enam tahun kita bersama, apa tak layak jika aku mendapatkan sedikit saja pujian manis darimu? Namun sayang, kau lebih memilih memuji potongan kaca itu daripada berlian, dan sekarang, aku sudah berpikir. Aku juga ingin bahagia bersama anak-anakku,""Apa selama ini kau tak bahagia denganku?""Kau ini orang yang cerdas Mas. Harusnya kau tahu sendiri tanpa harus aku jelaskan. Istri Mana yang bahagia, jika selalu mendapat hinaan dan cemoohan dari suaminya sendiri. Dan yang lebih membuatku tak bisa memaafkanmu adalah, kau yang menceritakan aib dan kelemahan istrmu sendiri pada kekasihmu itu. Kau kerap kali membandingkan aku dan Aura, seolah aku ini hanya barang rusak, yang sudah tak berguna,"Dengan nafas yang mem
Bu Warti hanya menghela nafasnya berat. Ia tak bisa memaksakan apa yang sudah menjadi kehendak putrinya itu. Jika sebuah nasihat sudah tak berlaku, maka entah apa yang harus Bu Warti lakukan.Dengan langkah lemas, seolah tak lagi ada tenaga yang tersisa, Sandi melangkahkan kakinya pelan. Sesekali ia kembali menoleh, berharap jika Sekar bisa berubah pikiran. Nampak wajahnya terlihat sangat sedih. Ia merasa hidupnya hancur hari ini. Usahanya mengajak Sekar dan kedua anaknya ternyata berujung kekecewaan.Kini mobil Sandi sudah melaju. Sekar hanya menahan sesak di dadanya, menyaksikan kepergian Sandi. Sebisa mungkin ia menahan rasa sakit itu kembali. Jauh di lubuk hatinya, masih ada tersimpan rasa sayang, walau setipis tisu, namun rasa kecewanya begitu dalam, sehingga tak mampu mengalahkan tipisnya rasa sayang itu.Bu Warti kembali masuk ke dalam rumahnya, dan kini duduk di sebelah Sekar. Ia paham, kalau perasaan Sekar sedang tidak baik-baik saja."Sekar, apa ibu bisa bicara denganmu? Ada
Tak jauh dari tempat Sandi beristirahat, ternyata terdapat sebuah masjid. Segera ia parkir kan kembali mobil miliknya dan lekas turun dari dalamnya. Ketika ia membuka pintu mobil, nampak matanya nanar melihat tempat didepannya, yang sudah sangat lama sekali tak pernah lagi ia kunjungi.Entah berapa minggu, berapa bulan, bahkan berapa tahun ia tak pernah lagi berkunjung ke rumah Allah. Semua perasaan bercampur aduk, membuat Sandi segera berjalan untuk masuk ke dalamnya.Segera ia ambil wudlu, dan lekas masuk ke dalam masjid. Rasa sejuk begitu menusuk ke dalam dadanya. Tiba-tiba ia kembali mengingat Sekar. Ya, apapun yang pernah terjadi diantara Sekar dan dirinya, kini menjadi sebuah kenangan paling indah.Bagaimana istri Sholihahnya itu selalu mengingatkan dirinya untuk sholat berjamaah ketika Sandi sedang berada dirumahnya. Tapi dulu, hal itu sama sekali tak menarik baginya. Ajakan itu tak enyak seperti sebuah gonggongan yang memekik ditelinga. Membosankan hidup dengan perempuan yang
Sandi terdiam sejenak. Ia bingung dengan langkah apa yang harus ia ambil. Sampai sesaat, ia baru sadar, kalau pertengkaran mereka membuat beberapa tetangga melihat dan menjadikan mereka sebagai tontonan.Terlihat beberapa orang ibu-ibu berkerumun melihat adu mulut antara Sandi dan lelaki yang mengaku ayahnya Aura tersebut. Mereka saling berbisik, pasti membicarakan Sandi. Terdengar bisik salah satu diantara mereka, berbicara kurang enak di telinga Sandi."Iih dasar ya, lelaki tak tahu bersyukur, kurang apa Bu Sekar ya, dia kan perempuan baik, Sholihah, kenapa juga main serong ya?""Ooh pantas saja beberapa hari ini dia tak terlihat, mungkin dia pulang ke rumah orang tuanya ya?" timpal salah satu lagi diantara mereka. Spontan Sandi melirik ke arah mereka dan tentu saja para ibu-ibu itu langsung membuang muka, seolah tak sedang melihat Sandi."Sialan! Ternyata aku jadi pusat perhatian tetangga. Bisa turun harga diriku gara-gara kejadian ini. Malu aku kalau sampai tinggal disini, gara-gar
Hari berganti menjadi gelap. Warna biru yang semula menghias langit, kini berubah menjadi warna merah bersemu orange, menggantikan posisi biru daripadanya.Sekar kali ini nampak termenung diatas sajadah panjangnya. Kedua anaknya sudah tertidur lelap sekali. Mungkin mereka merasa lelah dan capek karena seharian ini mereka habiskan dengan bermain. Selain itu, makanan yang enak yang Sekar bawa kini telah mengisi perut mungil Nida, sehingga anak sulung Sekar kini tertidur begitu lelapnya.Mata lentik Sekar kini tengah memperhatikan kedua malaikat kecil itu dari jarak beberapa meter. Sekar yang barusaja menjalankan sholat Maghrib, kini tengah mengadu pada sang penguasa, tentang langkah yang harus ia ambil.Ia tengadahkan tangannya, dengan mata tertutup, dan seluruh perasaan yang menjadi bebannya, ia ungkapkan lewat lantunan do'a pada Tuhan.Nafasnya terasa berat dan sesak, kala ia kembali mengingat sosok Sandi, lelaki yang sudah meminangnya beberapa tahun yang lalu.Tidak munafik, rasa cint
"Kenapa Mas Sandi selalu saja menggangguku? Aku sudah bertekad untuk meninggalkannya. Aku sudah berusaha untuk berjuang keluar dari semua rasa sakit ini, tapi kenapa seolah dia tak rela jika aku hidup bahagia dengan kedua anakku saja?" Batin Sekar, yang ragu antara membalas pesan Sandi atau hanya mendiamkannya saja.Kembali ponselnya berdering, kali ini ternyata Sandi menghubunginya lewat telepon. "Apa aku harus mengangkatnya?" Lagi-lagi rasa ragu itu menerpa perasaan Sekar. Rasa iba kini menggelayuti perempuan bernama Sekar itu. Tangannya terus mengarah ke arah icon telepon warna merah, namun entah kenapa, jarinya bergeser, dan menerima panggilan dari lelaki yang saat ini masih jadi suaminya."Assalamualaikum Sekar, terimakasih karena sudah mau mengangkat telepon dariku," terdengar suara parau dari balik sambungan telepon miliknya."wa'alaikumsalam Mas. Katakan saja ada perlu apa? Kalau mau bertanya tentang anak-anak, mereka sudah tidur Mas,""Aah bukan, bukan itu. Mas hanya ingin m
Sekar sedikit mendorong tubuh Sandi dengan lengannya saat ia berlalu meninggalkan Sandi yang mematung. Sandi hanya menelan saliva, kala ia mendapat perlakuan yang tak menyenangkan hatinya dari Sekar.ia kepalkan tangannya, menahan emosi yang hampir mencuat dalam dadanya. Kemudian ia acak rambutnya dengan kasar, lalu kembali merapikannya. ia ingat kalau ada Nida yang sedang menunggunya.langkahnya ia perlambat saat ia mulai memasuki ruangan tamu. Ia tak berani menatap Andre dan Sekar serta anak sulungnya yang kali ini tengah tertawa melihat Nida yang mencoba menaiki mainan motor pemberian Andre."Ibu, aku kayak ibu ya, bisa naik motor sendiri," kata Nida dengan senangnya. Sekar hanya mengulas senyumnya, mendengar perkataan anak perempuannya itu."Kamu suka sayang?" tanya Sekar kembali. Nida tak membalas, ia hanya senyum. Senyum yang seharusnya menjadi sebuah kebahagiaan bagi seorang Ayah, kini hanya membawa luka bagi Sandi. Ia kini tengah berdiri diambang pintu, ingin berpamitan pada p
"Ayah, kenapa diam, ayo kita main lagi!" ajak Nida sambil menarik narik celana Sandi."Oh iya sayang. Ayo kita main lagi. Maaf ya, tadi Ayah istirahat sebentar. Ayah capek," Sandi berbohong. Mata teduh Nida kini menatap Ayahnya. "Ayah mau minum? Ayah haus ya, dari tadi pegangin sepeda Nida?" tanya Nida, dengan nada khas kekanakan nya. Sandi mengusap lembut rambut anaknya."Ayah enggak haus nak, Ayah cuma panas aja,""Panas Ayah?" tanya Nida kembali. Maksud Sandi adalah panas hatinya, bukan panas cuacanya. Nida mana tahu kalau Ayahnya sekarang sedang cemburu melihat Andre yang datang ke rumah dengan disambut baik oleh Ibunya."Ya sudah kalau Ayah panas, kita masuk saja yu yah. Nanti Ayah sakit kalau kepanasan," ajak anak sulungnya kembali. Sandi hanya mengangguk. Ia memang ingin masuk ke rumah itu, ingin bertegur sapa dengan Andre, yang saat ini tengah bersama Sekar."Assalamualaikum," sapa Sandi saat ia masuk ke ruangan tamu, sambil menggendong Nida. Andre yang tadinya tengah melamu
Mengapa jawaban yang Sekar berikan sangat menusuk tajam di hatinya. Bukankah kata-kata itu yang dulu sangat ia harapkan dari Sekar, agar ia bisa segera menikahi kekasihnya? Tapi pada saatnya, Allah maha mudah membalikkan hati hamba-nya. Sandi merasa tersiksa dengan kata-kata yang Sekar ucapkan."Saya permisi dulu Mas. Silahkan kalau Mas mau main lagi sama anak-anak," pamit Sekar, meninggalkan Sandi. Ia bergegas membersihkan diri, karena siang ini ia ada keperluan. Ya, uang dari sisa membeli motor akan ia belikan untuk membeli sebidang tanah yang kebetulan dijual di pinggir jalan. Daripada uangnya dipakai untuk hal yang tak jelas, ia pakai untuk membeli tanah, dan nantinya akan ia bangun rumah disana.Saat Sekar baru saja selesai mandi, tiba-tiba ponselnya kembali berdering. Nama Andre tertera disana. Sekar hanya mengernyitkan keningnya."untuk apa dia menghubungiku lagi? Ada perlu apa ya?" batin Sekar, dan segera mengangkat panggilan temannya itu."Iya, Wa'alaikumsalam Andre. Ada apa?
"Ia masih menarik seperti dulu. Aku masih menyimpan perasaan ini padanya. aku kira setelah semua ini aku tak akan lagi jatuh cinta padanya. Namun nyatanya, ia masih menjadi primadona di hatiku," batin Andre, memuji Sekar. Ia terus tersenyum mengingat pertemuan singkat barusan."Kamu kenapa Ndre? kelihatannya seneng banget?" Tanya Tio, temannya bekerja."Enggak ah. Aku lagi seneng aja. Mau tahu aja sih kamu?""Cie elah, Kamu ketemu perempuan cantik ya? Mana dong? sini aku mau tahu,""Iih apaan sih? Mau tahu urusan orang aja sih lu?""Nih, gua kasih tahu ya, jangan biarin perempuan yang lu cintai diambil orang buat kedua kalinya lagi, lu kejar! entar nangis lagi baru tahu rasa lu!" sumpah Tio, pada Andre."Bener juga kata lu. Entar deh, gua kasih jurus biar dia mau sama gue, hahaha!" canda Andre pada temannya. ***Sekar sangat menikmati perjalanan ini. Ia ingin kalau urusan keluarganya bisa segera selesai. sangat lelah rasanya batinnya, jika mengingat masalah ini semua.Teringat kemba
Sekar lantas menolehkan tubuhnya. Ia mencari keberadaan seseorang yang sudah memanggil namanya tadi. "Siapa yang sudah manggil aku ya, kok nggak ada orangnya?" batin Sekar sambil terus matanya menjelajah ke sana kemari. "Hhei aku di sini," suara seorang laki-laki mengagetkannya. Sekar hanya mengerutkan keningnya, ketika melihat laki-laki itu berjalan mendekatinya. Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan pakaian seragam batik yang melekat di tubuh atletisnya."Hai apa kabarmu?" tanya laki-laki tersebut sambil menyodorkan tangannya. Bau wangi parfum tercium begitu sangat wangi karena jarak mereka tak terlalu jauh. "Sebentar, ini siapa ya?" tanya Sekar tak lantas menerima sodoran tangan dari laki-laki tersebut. Lupa-lupa ingat dengan sosok didepannya."Masa kamu sudah lupa sih, aku Andre teman kuliah kamu. Inget nggak?" Laki-laki itu mencoba mengingatkan Sekar pada masa kuliahnya beberapa tahun silam. Tiba-tiba Sekar tersenyum karena dia mulai mengingat kejadian apa saja yang terjadi
"Kamu masuk yuk! Jangan tidur diluar, nanti sakit. Udara diluar sangat dingin sekali," ajak Ibunya Aura, sembari memberikan sebuah selimut tebal pada mantunya itu."terimakasih banyak bu. Tapi Sandi disini saja. Ayah juga tak mengijinkan Sandi masuk,""Tak usah dengarkan apa kata Aura dan Ayah. Kamu masuk saja, ayo!" Ibu masih berusaha untuk membujuk Sandi agar mau masuk kerumah. Sangat tak tega rasanya melihat anak mantunya diperlakukan seperti itu.Usaha Ibu sama sekali tak membuahkan hasil. Sandi lebih memilih tidur diluar saja dari pada harus tidur didalam kamar bersama Aura."Aku lebih baik diam disini saja. Daripada aku harus tidur bersama perempuan yang tak aku cintai," ucap Sandi pelan. Ia kemudian tutupkan selimut itu pada seluruh tubuhnya.***Keesokan harinya, Sekar sudah bersiap untuk pergi. Tapi kali ini, bukan untuk pergi ke sekolah atau menjalankan bisnis yang lainnya, melainkan ia akan pergi ke pengadilan Agama. Baginya tak adalagi yang perlu dipertahankan dari Sandi.
"Lalu? Kamu tak sanggup membelikannya untuk Aura?" tanya Ayahnya Aura dengan sengit."Pak, bapak sendiri kan tahu, kalau saya sekarang tidak bekerja. Saya hanya pengangguran. Bagaimana saya bisa membelikan apa yang Aura mau?" keluh Sandi mengusap keringat di keningnya."Seharusnya kamu bekerja! Cari uang yang banyak!" timpal Ayahnya lagi. Sandi seperti seekor sapi yang diperah tenaganya. Baru sehari jadi suami Aura, dia diperlakukan dengan tidak baik oleh mereka. Sangat jauh dengan apa yang selalu ia dapatkan dari keluarga Sekar dulu. Dia selalu dihormati, diperlakukan dengan sangat baik. Tapi sekarang itu semua hanya tinggal kenangan. Semua berakhir karena kesalahannya sendiri. Sandi hanya bisa menyesali semuanya.Sandi berjalan masuk ke rumahnya. Namun tangan kekar mertuanya menghalalkan Sandi di gawang pintu."Siapa suruh masuk? Saya tak mengijinkan kamu masuk sebelum keinginan anakku kamu kabulkan!" ucapnya dengan datar."Apa? Yang benar saja ? Ayah kira mudah cari uang jutaan unt
Semua kerjasama sudah selesai.Sekar sudah mendapatkan bayaran untuk novelnya, dan Tuan Antoni akan segera memulai membuat film tersebut. Mereka kini pulang masing-masing ke tempat tujuan mereka sendiri.Serly hanya membuang mukanya, merasa tak suka jika Antoni bekerja sama dengan Sekar.Antoni yang tak paham akan hal itu, malah terus menerus menceritakan guru baik itu didepan istrinya."Mas. Apa kau tak ada lagi cerita lain selain cerita tentang Sekar?" tanya Serly yang merasa kupingnya panas mendengar cerita membosankan tentang Sekar."Lo, memangnya kenapa? Ada yang salah kalau Mas cerita tentang Sekar? Dia itu perempuan yang hebat. Mas acungkan jempol untuk perempuan mandiri seperti dia," puji Antoni lagi, untuk Sekar.Serly memutar bola matanya dengan malas. Sungguh rasa cemburu itu membuatnya merasa sangat tersiksa.***Sekar langsung pulang ke rumahnya. Ia rebahkan tubuhnya diatas ranjang keras yang terbuat dari kayu jati, milik ibunya.Rasanya hari ini begitu sangat melelahkan b
Antoni meninggalkan Serly bersama rasa kepenasarannya. Ia berlari mengikuti Antoni yang terus berjalan dengan cepat. Dunia seolah berubah bagi Serly. Dulu, dirinya lah yang selalu sibuk dengan semua urusannya. Seringkali Antoni meminta waktu untuk berdua, atau bertiga bersama anaknya, tapi Serly selalu menyibukkan dirinya. Dan saat ini, semu berbanding terbalik. Antoni kini sedang fokus pada bisnisnya. Ia sudah lupa bagaimana rasanya punya seorang istri."Mas. Tunggu aku. Jangan cepet-cepet Begitu dong jalannya!" teriak Serly dengan terengah.Tapi Antoni masih tetap berjalan meninggalkan istrinya yang kesusahan berjalan. Ia memasuki sebuah ruangan, dimana tak ada orang lain yang bisa masuk selain hanya yang berkepentingan saja."Stop bu. Jangan ikut masuk. Di dalam sedang ada rapat besar, jadi mohon ibu tak ikut masuk,""Apa? Kau berani melarang ku masuk? Kau satpam baru disini, jadi tak tahu siapa saya hah?""Tak penting bagi saya anda itu siapa. Tugas saya hanya mengamankan Bos saya