"Kalau saja saya tahu anda ini adalah penulis novelnya, tidak perlu saya capek-capek cari kesana kemari tentang penulis novel ini, langsung saja saya bertemu dengan ibu ya," kata Antoni, sedikit bercanda. Dan perbincangan mereka berlangsung begitu hangat, dekat dan mengabdi sebuah kesepakatan yang sangat membuat Sekar bahagia. Antoni langsung memberikan penawaran yang fantastis untuk novel buatan Sekar. Dan tentunya itu adalah hal yang sangat membanggakan sekali."Silahkan anda pikirkan dulu Bu Sekar, nominal yang saya tawarkan itu apa anda setuju?" tanya Antoni dengan Serius. Sekar hanya melirik ke arah Sarah. Ia belum berpengalaman dalam hal ini, makanya ia minta pendapat pada Sarah yang memang sudah menjadi pekerjaannya mengurus hal seperti itu. Sarah mengedipkan matanya, meminta Sekar untuk menyetujuinya. Nilai yang sangat besar, untuk sebuah novel rumah tangga."Baiklah pak, saya terima tawaran bapak," jawab Sekar dengan pelan. Lantas tersungging senyuman kebahagiaan di wajah An
Ia meninggalkan motor miliknya dirumah Aura. Pikirannya benar-benar sudah gelap. Ia ingin bebas dari semua itu. Dengan langkah tergesa, akhirnya Sandi kini bisa bebas keluar dari rumah Aura.Padahal besok adalah hari pernikahan diantara Sandi dan Aura. Pernikahan yang tak diinginkan oleh Sandi, namun sangat di mimpikan oleh Aura.Langkah kaki Sandi tertatih-tatih tak tentu arah. Dengan ongkos seadanya, ia gunakan uang yang ada di dompet miliknya untuk pergi ke rumah mertuanya."Aku akan mencari perlindungan dari Sekar. Aku tak bisa jika harus menghadapi Aura dan orangtuanya sendirian begini?" resah Sandi, dengan nafas tersengal."Mau turun dimana pak?" tanya seorang kernet mobil pada Sandi."Didepan pak, depan lampu merah ketiga," jawab Sandi sambil menyerahkan ongkos di tangannya."Lho, kurang pak. Masa cuma segini? Tambah 10rb lagi pak!" pinta kernet itu kembali. Sandi mencoba merogoh uang di saku celananya, llau di pakaian yang ia pakai. Ternyata sama sekali tak ada uang sedikitpun
Ayahnya yang mendengar teriakkan Aura bergegas menemui anak perempuannya itu. Ia segera menemui Aura yang seperti seorang anak kecil kehilangan barang kesayangannya."Ada apa Aura, pagi-pagi begini teriak-teriak?" tanya Ayah Aura, mendapati Aura menangis sambil memegang pintu kamar Sandi."Mas Sandi enggak ada di kamar Ayah. Kayaknya Mas Sandi kabur Yah. Gimana dong Yah?" kata Aura, merengek."Yang bener kamu?!" sontak Ayahnya Aura melotot, dan bergegas masuk ke dalam kamar Sandi. Ia mencoba mencari Sandi didalam lemari, dan kolong ranjang. Saat panik begini, memang terkadang akal sehat mati dan tak bisa dibawa berpikir."Kurang ajar lelaki itu. Dia mau mencoba minggat dan lari dari tanggung jawab? Dia pikir dia bisa melakukan itu? Awas saja kau!" Ayahnya Aura mengepalkan tangannya kuat, sampai urat-urat di tangannya nampak bergurat, menunjukkan kalau dia tengah begitu emosi."Cepat cari Mas Sandi Ayah!""Kamu tenang saja. Ayah akan mencarinya sekarang juga,""Aku ikut Ayah," lagi, Au
"Aura? Mau apa kamu kemari, dan darimana kamu tahu kalau aku berada disini?!" tanya Sekar kaget. Senyum sinis tersungging di bibir merah Aura. Make up pengantinnya sedikit luntur karena keringat mengucur di dahinya."Munafik kau Sekar! Kau bilang kau sudah tak peduli dengan Mas Sandi bukan? Lalu kenapa kau menyembunyikannya dariku, padahal kau sendiri tahu, kalau kami akan menikah hari ini bukan?" cecar Aura, tanpa mendengar lebih dulu penjelasan dari Sekar. Ia terus berjalan mendekati Sekar, menyerang secara verbal maupun fisik. Tangannya terus mendorong dada Sekar, sehingga membuat Sekar hampir terjatuh."Tolong bersikap sopan dirumah orang ya! Datang-datang kau bawa masalah dirumah ini?!" Sekar memperkuat dirinya, dan mempertahankan tubuhnya, agar tak bisa lagi didorong oleh Aura."Apa yang sebenarnya kau inginkan lagi dariku? Aku sudah memberikanmu Mas Sandi kan? Lalu untuk apa kau mencari masalah lagi denganku?" bentak Sekar, kali ini tak mau kalah."Cuih! Perempuan munafik kau S
Aura seketika menghentikan tingkahnya. Ia menelan saliva saat melihat beberapa orang kinu tengah berdiri didepannya, dan menghakiminya."Saya hanya sedang mencari calon suami saya. Jadi jangan ikut campur," jawab Aura, sedikit gugup."Saya tidak tahu masalah apa yang sedang terjadi diantara anda dan Bu Sekar. Tapi jika anda membuat warga saya tak nyaman, maka itu sudah menjadi tanggung jawab saya untuk membereskannya," tegas Pak RT yang langsung mengajak perempuan itu berdiskusi didalam rumah Bu Warti.Mereka duduk berhadapan, dengan wajah masam dan penuh kebencian, Aura terus menatap tajam ke arah Sekar. Ia masih tak percaya jika memang Sandi tak ada disana. Pikirnya, Sekar tengah bersekongkol dengan Sandi, menyembunyikan Sandi darinya."Silahkan. Anda mau memberikan alasan apa? Sudah jelas anda membuat kerusuhan dirumah Bu Warti. Bu Warti ini warga saya yang baik, dia tidak pernah membuat masalah sedikitpun dengan orang lain," Pak Rt berpendapat."Saya tidak tahu menahu tentang Ibu
Sandi hanya mengernyitkan keningnya. Pikirannya kembali berputar, mencoba mengenali suara siapa itu. Sepertinya ia sangat mengenalinya."Apa Sandi boleh lihat Bu?" tanya Sandi meminta ijin."Kamu kan lagi sakit, disini saja. Ada pak Rt yang sedang mengurusnya. Sepertinya dia orang stres," jawab Bu Warti melarang. Namun rasa penasaran Sandi semakin membuatnya ingin melihat siapa perempuan yang dimaksud. Ia memaksakan diri untuk melihat kerusuhan yang terjadi. Seketika matanya melebar, kala ia melihat perempuan yang sangat ia kenali."Aura! Sedang apa dia disini? Kenapa dia begitu nekad, dia bisa tahu alamat rumah ini dari siapa?" batin Sandi, semakin tak karuan. "Dasar kau perempuan tak tahu malu! Suamimu itu sudah tak mau denganmu. Harusnya kau lepaskan saja dia, biarkan dia bahgia dengan perempuan pilihannya, giliran dia mau menikah, kau malah mempersulitnya!" Tangan Aura kini menjambak kerudung Sekar. Walaupun banyak orang disana, ia sama sekali tak peduli akan hal itu. Melihat Au
Akhirnya Sandi dan Aura pergi dari rumah Bu Warti. Tak ada alasan yang mampu Sandi berikan lagi. Ibu mertuanya pun sudah sangat marah dan tak suka padanya. Ia harus apa? Tak ada pilihan lain, ia harus menerima pernikahan ini.Selama perjalanan, ia hanya meratapi nasibnya ke depan. Entah seperti apa hidupnya saat sudah bersama Aura nanti."Ingat ya Mas, kamu jangan pernah sekali-kali lagi mencoba kabur dariku," ancam Aura, sambil memegang erat lengan Sandi yang tak se kekar dulu lagi. Sandi tak menghiraukan apapun yang dikatakan oleh perempuan di sampingnya itu. Ia hanya teringat akan Sekar, yang nampak sedih ketika tragedi tadi. Sangat nampak jelas kalau Sekar menyimpan sejuta rasa kecewanya pada Sandi."Aku sudah tak punya lagi kesempatan untuk memperbaiki hubunganku dengan Sekar, dan ini semua karena ulah Aura," Sandi selalu menyalahkan Aura. Ia tak sadar, kalau semua itu terjadi berawal dari kesalahannya yang mengkhianati pernikahan mereka. Jika semua baik-baik saja, mungkin Sandi
Dengan tangan gemetar Sekar mengambil amplop yang di sodorkan oleh Antoni. Matanya berkaca-kaca, masih tak menyangka jika uang yang sekarang ada di tangannya itu adalah hasil jerih payahnya sendiri. Uang yang baginya begitu bernilai, uang yang berjumlah fantastis. Selama ia menjadi istri Sandi, tak pernah ia memegang uang sebanyak itu. Jangankan hingga puluhan juta, satu juta saja ia belum pernah menerimanya. Paling besar mungkin lima ratus ribu rupiah, dan itu pun jika akan menjelang hari raya saja."Mashaallah, aku sangat terharu," ungkap Sekar dengan suara yang amat pelan. Lantas ia meminta ijin untuk menemui Ibunya lebih dulu, sebelum ia berangkat bekerja."Bu, Sekar pamit dulu. Sekalian ada Andis dan Ayahnya juga, mungkin kami akan berangkat bersama. Ini, Sekar ada sedikit uang untuk bapak dan ibu, sebagai tanda terimakasih Sekar karena sudah mau menjaga Nida dan adiknya saat Sekar bekerja,"Sekar membuka amplop tersebut, dan menghitung dua puluh lembar uang ratusan ribu, , untu
Sekar sedikit mendorong tubuh Sandi dengan lengannya saat ia berlalu meninggalkan Sandi yang mematung. Sandi hanya menelan saliva, kala ia mendapat perlakuan yang tak menyenangkan hatinya dari Sekar.ia kepalkan tangannya, menahan emosi yang hampir mencuat dalam dadanya. Kemudian ia acak rambutnya dengan kasar, lalu kembali merapikannya. ia ingat kalau ada Nida yang sedang menunggunya.langkahnya ia perlambat saat ia mulai memasuki ruangan tamu. Ia tak berani menatap Andre dan Sekar serta anak sulungnya yang kali ini tengah tertawa melihat Nida yang mencoba menaiki mainan motor pemberian Andre."Ibu, aku kayak ibu ya, bisa naik motor sendiri," kata Nida dengan senangnya. Sekar hanya mengulas senyumnya, mendengar perkataan anak perempuannya itu."Kamu suka sayang?" tanya Sekar kembali. Nida tak membalas, ia hanya senyum. Senyum yang seharusnya menjadi sebuah kebahagiaan bagi seorang Ayah, kini hanya membawa luka bagi Sandi. Ia kini tengah berdiri diambang pintu, ingin berpamitan pada p
"Ayah, kenapa diam, ayo kita main lagi!" ajak Nida sambil menarik narik celana Sandi."Oh iya sayang. Ayo kita main lagi. Maaf ya, tadi Ayah istirahat sebentar. Ayah capek," Sandi berbohong. Mata teduh Nida kini menatap Ayahnya. "Ayah mau minum? Ayah haus ya, dari tadi pegangin sepeda Nida?" tanya Nida, dengan nada khas kekanakan nya. Sandi mengusap lembut rambut anaknya."Ayah enggak haus nak, Ayah cuma panas aja,""Panas Ayah?" tanya Nida kembali. Maksud Sandi adalah panas hatinya, bukan panas cuacanya. Nida mana tahu kalau Ayahnya sekarang sedang cemburu melihat Andre yang datang ke rumah dengan disambut baik oleh Ibunya."Ya sudah kalau Ayah panas, kita masuk saja yu yah. Nanti Ayah sakit kalau kepanasan," ajak anak sulungnya kembali. Sandi hanya mengangguk. Ia memang ingin masuk ke rumah itu, ingin bertegur sapa dengan Andre, yang saat ini tengah bersama Sekar."Assalamualaikum," sapa Sandi saat ia masuk ke ruangan tamu, sambil menggendong Nida. Andre yang tadinya tengah melamu
Mengapa jawaban yang Sekar berikan sangat menusuk tajam di hatinya. Bukankah kata-kata itu yang dulu sangat ia harapkan dari Sekar, agar ia bisa segera menikahi kekasihnya? Tapi pada saatnya, Allah maha mudah membalikkan hati hamba-nya. Sandi merasa tersiksa dengan kata-kata yang Sekar ucapkan."Saya permisi dulu Mas. Silahkan kalau Mas mau main lagi sama anak-anak," pamit Sekar, meninggalkan Sandi. Ia bergegas membersihkan diri, karena siang ini ia ada keperluan. Ya, uang dari sisa membeli motor akan ia belikan untuk membeli sebidang tanah yang kebetulan dijual di pinggir jalan. Daripada uangnya dipakai untuk hal yang tak jelas, ia pakai untuk membeli tanah, dan nantinya akan ia bangun rumah disana.Saat Sekar baru saja selesai mandi, tiba-tiba ponselnya kembali berdering. Nama Andre tertera disana. Sekar hanya mengernyitkan keningnya."untuk apa dia menghubungiku lagi? Ada perlu apa ya?" batin Sekar, dan segera mengangkat panggilan temannya itu."Iya, Wa'alaikumsalam Andre. Ada apa?
"Ia masih menarik seperti dulu. Aku masih menyimpan perasaan ini padanya. aku kira setelah semua ini aku tak akan lagi jatuh cinta padanya. Namun nyatanya, ia masih menjadi primadona di hatiku," batin Andre, memuji Sekar. Ia terus tersenyum mengingat pertemuan singkat barusan."Kamu kenapa Ndre? kelihatannya seneng banget?" Tanya Tio, temannya bekerja."Enggak ah. Aku lagi seneng aja. Mau tahu aja sih kamu?""Cie elah, Kamu ketemu perempuan cantik ya? Mana dong? sini aku mau tahu,""Iih apaan sih? Mau tahu urusan orang aja sih lu?""Nih, gua kasih tahu ya, jangan biarin perempuan yang lu cintai diambil orang buat kedua kalinya lagi, lu kejar! entar nangis lagi baru tahu rasa lu!" sumpah Tio, pada Andre."Bener juga kata lu. Entar deh, gua kasih jurus biar dia mau sama gue, hahaha!" canda Andre pada temannya. ***Sekar sangat menikmati perjalanan ini. Ia ingin kalau urusan keluarganya bisa segera selesai. sangat lelah rasanya batinnya, jika mengingat masalah ini semua.Teringat kemba
Sekar lantas menolehkan tubuhnya. Ia mencari keberadaan seseorang yang sudah memanggil namanya tadi. "Siapa yang sudah manggil aku ya, kok nggak ada orangnya?" batin Sekar sambil terus matanya menjelajah ke sana kemari. "Hhei aku di sini," suara seorang laki-laki mengagetkannya. Sekar hanya mengerutkan keningnya, ketika melihat laki-laki itu berjalan mendekatinya. Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan pakaian seragam batik yang melekat di tubuh atletisnya."Hai apa kabarmu?" tanya laki-laki tersebut sambil menyodorkan tangannya. Bau wangi parfum tercium begitu sangat wangi karena jarak mereka tak terlalu jauh. "Sebentar, ini siapa ya?" tanya Sekar tak lantas menerima sodoran tangan dari laki-laki tersebut. Lupa-lupa ingat dengan sosok didepannya."Masa kamu sudah lupa sih, aku Andre teman kuliah kamu. Inget nggak?" Laki-laki itu mencoba mengingatkan Sekar pada masa kuliahnya beberapa tahun silam. Tiba-tiba Sekar tersenyum karena dia mulai mengingat kejadian apa saja yang terjadi
"Kamu masuk yuk! Jangan tidur diluar, nanti sakit. Udara diluar sangat dingin sekali," ajak Ibunya Aura, sembari memberikan sebuah selimut tebal pada mantunya itu."terimakasih banyak bu. Tapi Sandi disini saja. Ayah juga tak mengijinkan Sandi masuk,""Tak usah dengarkan apa kata Aura dan Ayah. Kamu masuk saja, ayo!" Ibu masih berusaha untuk membujuk Sandi agar mau masuk kerumah. Sangat tak tega rasanya melihat anak mantunya diperlakukan seperti itu.Usaha Ibu sama sekali tak membuahkan hasil. Sandi lebih memilih tidur diluar saja dari pada harus tidur didalam kamar bersama Aura."Aku lebih baik diam disini saja. Daripada aku harus tidur bersama perempuan yang tak aku cintai," ucap Sandi pelan. Ia kemudian tutupkan selimut itu pada seluruh tubuhnya.***Keesokan harinya, Sekar sudah bersiap untuk pergi. Tapi kali ini, bukan untuk pergi ke sekolah atau menjalankan bisnis yang lainnya, melainkan ia akan pergi ke pengadilan Agama. Baginya tak adalagi yang perlu dipertahankan dari Sandi.
"Lalu? Kamu tak sanggup membelikannya untuk Aura?" tanya Ayahnya Aura dengan sengit."Pak, bapak sendiri kan tahu, kalau saya sekarang tidak bekerja. Saya hanya pengangguran. Bagaimana saya bisa membelikan apa yang Aura mau?" keluh Sandi mengusap keringat di keningnya."Seharusnya kamu bekerja! Cari uang yang banyak!" timpal Ayahnya lagi. Sandi seperti seekor sapi yang diperah tenaganya. Baru sehari jadi suami Aura, dia diperlakukan dengan tidak baik oleh mereka. Sangat jauh dengan apa yang selalu ia dapatkan dari keluarga Sekar dulu. Dia selalu dihormati, diperlakukan dengan sangat baik. Tapi sekarang itu semua hanya tinggal kenangan. Semua berakhir karena kesalahannya sendiri. Sandi hanya bisa menyesali semuanya.Sandi berjalan masuk ke rumahnya. Namun tangan kekar mertuanya menghalalkan Sandi di gawang pintu."Siapa suruh masuk? Saya tak mengijinkan kamu masuk sebelum keinginan anakku kamu kabulkan!" ucapnya dengan datar."Apa? Yang benar saja ? Ayah kira mudah cari uang jutaan unt
Semua kerjasama sudah selesai.Sekar sudah mendapatkan bayaran untuk novelnya, dan Tuan Antoni akan segera memulai membuat film tersebut. Mereka kini pulang masing-masing ke tempat tujuan mereka sendiri.Serly hanya membuang mukanya, merasa tak suka jika Antoni bekerja sama dengan Sekar.Antoni yang tak paham akan hal itu, malah terus menerus menceritakan guru baik itu didepan istrinya."Mas. Apa kau tak ada lagi cerita lain selain cerita tentang Sekar?" tanya Serly yang merasa kupingnya panas mendengar cerita membosankan tentang Sekar."Lo, memangnya kenapa? Ada yang salah kalau Mas cerita tentang Sekar? Dia itu perempuan yang hebat. Mas acungkan jempol untuk perempuan mandiri seperti dia," puji Antoni lagi, untuk Sekar.Serly memutar bola matanya dengan malas. Sungguh rasa cemburu itu membuatnya merasa sangat tersiksa.***Sekar langsung pulang ke rumahnya. Ia rebahkan tubuhnya diatas ranjang keras yang terbuat dari kayu jati, milik ibunya.Rasanya hari ini begitu sangat melelahkan b
Antoni meninggalkan Serly bersama rasa kepenasarannya. Ia berlari mengikuti Antoni yang terus berjalan dengan cepat. Dunia seolah berubah bagi Serly. Dulu, dirinya lah yang selalu sibuk dengan semua urusannya. Seringkali Antoni meminta waktu untuk berdua, atau bertiga bersama anaknya, tapi Serly selalu menyibukkan dirinya. Dan saat ini, semu berbanding terbalik. Antoni kini sedang fokus pada bisnisnya. Ia sudah lupa bagaimana rasanya punya seorang istri."Mas. Tunggu aku. Jangan cepet-cepet Begitu dong jalannya!" teriak Serly dengan terengah.Tapi Antoni masih tetap berjalan meninggalkan istrinya yang kesusahan berjalan. Ia memasuki sebuah ruangan, dimana tak ada orang lain yang bisa masuk selain hanya yang berkepentingan saja."Stop bu. Jangan ikut masuk. Di dalam sedang ada rapat besar, jadi mohon ibu tak ikut masuk,""Apa? Kau berani melarang ku masuk? Kau satpam baru disini, jadi tak tahu siapa saya hah?""Tak penting bagi saya anda itu siapa. Tugas saya hanya mengamankan Bos saya