“Kami semua sepakat kalau Kepala Desa; pemimpin yang akan mengatur, mengawasi dan mengembangkan Desa Girilayang adalah Bagus Prawira. Bagus putranya Pak Gagah.” Pak Mangun kembali menegaskan kesepakatan yang didapat dari kelompoknya.Pak Jusman dan segelintir pria yang duduk di dekatnya bertukar pandang satu sama lain. “Desa ini harus dipimpin oleh orang yang berpengalaman. Jangan dilihat dari apa sekolahnya, apa gelarnya, tapi lihat dari kemampuannya memimpin. Memimpin apa? Memimpin mulai dari kelompok terkecil. Keluarga. Apa pengalaman yang dimiliki Bagus dalam memimpin keluarga? Sudah menjadi desas-desus kalau rumah tangga saudara Bagus sedang tidak baik-baik aja. Hayo, Bagus … benar, kan, apa kata saya? Informasi dari Sekar enggak mungkin salah.” Suara Pak Jusman menggelegar ke seluruh penjuru ruangan. Wira menunduk dan memijit dahinya. Hendro yang baru sampai di pintu karena baru tiba menghentikan langkah. Saptono seketika berdiri dari kursi dengan gesture tangan menahan Pak Jus
Wira tiba di rumah hampir pukul sepuluh malam. Seruannya memanggil Kartika sudah terdengar mulai dari pagar. “Kartika … Kartika!”Suara Wira nyatanya tidak memancing seorang pun keluar rumah. “Tunggu di sini. Siapa tahu bapak saya mau dibawa berobat ke klinik,” pesan Wira pada Asmari. Dalam bayangannya sudah melintas macam-macam hal. Tapi setiba di dalam ia malah dikejutkan dengan Pak Gagah yang sedang berdiri di dapur menyeduh tehnya. “Kartika mana? Bapak harusnya istirahat. Jangan mengerjakan apa pun sementara ini.”“Kartika sudah Bapak minta pulang. Hampir seharian di sini. Dia juga perlu mandi dan istirahat.”“Tapi Bapak enggak boleh sendirian.”“Kenapa enggak boleh sendirian? Pada akhirnya kita semua harus sendiri. Sewaktu kamu kuliah dan kerja di Riau, Bapak juga terbiasa sendiri. Kenapa kamu baru khawatir sekarang?” Pak Gagah tak menunggu jawaban Wira lagi. Dengan secangkir besar teh di tangannya ia pergi masuk ke kamar. Meninggalkan Wira yang gusar menyugar rambutnya.Di tempa
Kartika terdiam di tempatnya. Berdiri sambil menatap bingung pada Sully yang meraung-raung. Ia tak menyangka berita yang dibawanya bisa membuat Sully sehisteris itu. Ia serba salah. “Udah, Lis. Udah …. Berdiri,” kata Oky, memegangi bahu Sully dan membawa temannya itu menuju sofa. “Jadi … gimana? Kita telepon Mas itu sekarang?” Oky mengeluarkan ponselnya. “Dia harus tahu. Jangan sampai belum apa-apa udah kawin lagi. Harus tahu pokoknya.” Suara Oky ikut geram. “Tunggu, Ky. Tunggu. Jangan telepon dulu. Aku mau tanya Kartika dulu soal tiga hari itu.” Sully memandang Kartika yang masih berdiri canggung di tempatnya. “Tika … Tika harus jujur sama Bulik. Paklik Wira mau resepsi, maksudnya mau menikah lagi? Siapa calonnya? Gadis muda yang belakangan sering datang ke rumah nyari Paklik?” Sully mulai kembali menangis. Kulitnya yang memang berwarna pucat, semakin terlihat pucat. Kartika bergerak gelisah. Tujuan ia datang ke ibukota adalah memenuhi permintaan Pak Gagah yang menyampaikan maklum
Sully mengangguk malas-malasan. “Benar, Bu. Sully. Ada apa ya? Saya buru-buru,” kata Sully.“Mau ke….?”“Desa suami saya. Tahu suami saya, kan? Yang tinggi besar,” tukas Sully.“Oh, iya, suami kamu mana? Baik-baik aja, kan? Sejak kejadian malam itu … suami kamu bisa aja terluka.”“Suami saya sudah di desa, Bu. Sedang rajin-rajinnya bekerja buat menyambut kelahiran anak kami nanti.” Sully mengusap perutnya dengan raut wajah dramatis. Tadi ia sangat lemas, tapi melihat reaksi Istri Kapolda, Sully merasa tenaganya diisi ulang.“Hamil?” Wajah Istri Kapolda seperti tersadar.“Iya, Bu. Kalau gitu saya permisi dulu, ya. Yang kemarin itu … itu kali pertama dan terakhir Ibu bisa cium-cium suami saya. Soalnya karena ciuman itu saya harus meladeni suami saya di ranjang sepanjang malam karena dia merasa ternoda. Makasih bantuannya kemarin. Saya permisi dulu.” Sully mengangguk pada Istri Kapolda. Dan seperti orang linglung, Istri Kapolda langsung berputar menuju lobi.Sully juga melambai pada wani
Wira baru tersadar bahwa berbalas pesan dengan Sully kemarin terhenti begitu saja. Setelah rapat di Paguyuban ia buru-buru pulang karena mengkhawatirkan Pak Gagah yang adem ayem tak ada kabar. Ketenangan bapaknya selalu membuat gelisah. Sampai di rumah kegelisahan itu bertambah dengan tidak mendapati Kartika. Ketika ditanya ke mana cucunya, Pak Gagah hanya menjawab acuh tak acuh.“Kartika pergi. Bapak enggak mau menahan-nahan anak gadis buat seharian jaga Bapak. Semua orang pasti punya kerjaan yang lebih penting. Ketimbang menyibukkan ke mana Kartika, mending kamu cerita apa yang terjadi di rapat Paguyuban.”Di telinga Wira, hal yang dikemukakan Pak Gagah bukan saran melainkan sebuah perintah untuk bercerita.“Mau diceritakan sekarang? Atau Bapak mau makan dulu? Biar aku masakin.” Wira masih berpakaian yang sama dikenakannya dari pagi.Pak Gagah terbatuk sekali kemudian menggeleng. “Enggak usah sekarang, besok pagi aja,” saran Pak Gagah.Kebetulan yang sangat menguntungkan, pikir Wira
Tak menyangka sama sekali bahwa setelah sehari sebelumnya menghabiskan pagi ke sore di pabrik dan sore ke malam di Paguyuban, pagi itu Wira mendapat kejutan yang tak biasa. Sully yang tak membalas pesan dan tak menjawab teleponnya muncul di depan pintu rumah dengan bersimbah air mata.Topik pembahasan pemilihan Kepala Desa yang bahkan sampai pagi itu masih panas dibicarakan di grup pesan soal dugaan-dugaan yang akan terjadi esok hari, tersingkirkan begitu saja. Sully muncul di depan pintu.Wira merasa seperti diberondong peluru tanpa henti. Cecaran Sully tak henti-henti. Ia bahkan belum sempat bertanya teknis wanita itu tiba di Desa Girilayang. Ia belum bertanya kenapa Kartika ikut turun dari mobil?Hal yang singgah di telinga Wira berganti-ganti. Menikah lagi, Hamil tidak boleh bercerai, Sekar, lalu hal yang paling manis sekaligus menggelikan bagi Wira. ‘Bapak anakku enggak boleh dibagi-bagi.’Belasan rencana untuk menjemput sekaligus membujuk Sully yang ia pikirkan hampir setiap mal
“Udah. Lepasin. Kenapa Mas kesannya malah bela perempuan itu?” Sully melepaskan tangan Wira yang beberapa saat lalu masih memeganginya. Ia lalu beringsut dari pangkuan pria itu.“Mas enggak ada bela Sekar. Kepikiran juga enggak. Yang Mas pikirin itu kamu. Katanya hamil, tapi berantem sampai begitu. Kalau anaknya Mas kenapa-napa bagaimana?”“Tapi aku cuma sedang membela kedudukannya. Memangnya dia siapa? Ngapain dia pagi-pagi nyari suami orang? Memangnya Mas udah ngapain aja sama dia? Mas udah dicium juga?” Sully masih emosi.“Lis,” tegur Wira. Di dalam mobil yang kedap suara, suara Wira terdengar sangat jelas. Sedikit lebih tinggi dan lebih tegas. Memang bermaksud menegur Sully dari prasangka cium-mencium itu. “Mas enggak suka kalau kamu terus-terusan ngomong gitu. Mas sudah jelasin.”“Soalnya Mas akrab banget sampai sebut-sebut nama langsung. Sekar…Sekar. Lancar banget,” ketus Sully. Ia semakin beringsut menjauhi Wira.“Sedikit pun Mas enggak peduli soal Sekar. Mau ke rumah, mau engga
Dalam perjalanan pulang, Sully masih banyak diam. Ia memikirkan soal banyaknya hal yang terjadi selama tak berada di Girilayang. Soal pabrik saja masih banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Wira. Ditambah lagi suaminya itu bakal menjadi Kepala Desa. Mobil berhenti di depan rumah Pak Gagah dan kali ini Wira tidak memutari mobil lagi. Ia berdiri membuka pintu dan meminta Sully untuk turun dari pintu yang sama. Di halaman, sepeda motor Ajeng sudah terparkir. Tanpa bertanya ba-bi-bu lagi, Wira menggandeng Sully masuk ke rumah melalui pintu depan. “Kamu dari mana, Gus?" Ajeng baru saja menyibak tirai pintu tengah ketika beradu pandang dengan Wira dan Sully. “Baru dari Dokter Masayu buat periksa kehamilannya….” Wira merangkul pundak Sully. “Jadi? Positif?” Mata Ajeng membulat. Wira mengangguk. “Positif. Mbak Ajeng jadi Budhe,” ucap Wira. “Senangnya bakal jadi Budhe. Tapi yang bakal jadi ibu kenapa cemberut terus?” Ajeng memijat lembut bahu Sully. “Ya karena apa lagi? Pasti karena ma
Halo ....Selamat pagi Boeboo tersayang pembaca juskelapa. Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.Di sini saya mau menginformasikan bahwa novel ISTRI NAKAL MAS PETANI sudah tamat di Bab 280. Apabila kemarin ada penulisan TO BE CONTINUED di akhir bab 280 itu adalah kesalahan penulisan dan error revisi yang terlalu lama. Jangan lupa aplikasinya di-update agar mendapat tampilan terbaru dari GOODNOVEL yang semakin kece ya. Nantinya ISTRI NAKAL MAS PETANI akan diberi bonus chapter di saat kita semua sudah rindu.Kabar gembira giveaway-nya adalah MAS WIRA & SULIS akan memberikan merchandise sederhana untuk 50 orang pertama di peringkat GEMS 1-50. Bagi yang namanya tertera di peringkat tersebut bisa mengirimkan alamat ke :ADMIN JUSKELAPA melalui pesan singkat dengan nomor 0 8 2 2 -5 7 8 5-1 2 3 8 dengan menyertakan tangkapan layar peringkat GEMS (vote).AtauBisa kirim pesan melalui sosial media inssstagram ketik : juskelapa_ di pencarian. Buat yang belum beruntung bisa men
Pak Gagah ikut mengangkat gelas teh dan meneguk isinya hampir setengah. Baru menyadari nikmat bertukar cerita yang selama ini diamatinya pada kaum perempuan ternyata juga bisa ia rasakan. Sungguh Pak Gagah ataupun Pak Mangun tidak pernah menyangka bahwa hal yang mereka anggap sebagai tindakan tercela bisa mereka ubah menjadi sesuatu yang membawa masa depan baik untuk desa. “Kamu memang tidak berniat menjodohkan Bagus dan Ratna, kan, Gah?” Pak Mangun meletakkan cangklong di sudut bibirnya. Pak Gagah menggeleng-geleng. “Tidak…tidak. Aku tahu maksud Effendi menekan Ajeng soal hutang dan sertifikat kebun pasti berkaitan dengan Bagus. Ratna itu mondar-mandir terus di dekat rumah sini. Setiap berpapasan jalan yang ditanya Bagus. Tapi Bagus, kan, di Riau.” Pak Mangun tergelak. “Oh, sekarang aku ingat. Karena Ratna sering ke sini kamu jadi kepikiran ide buat ngomong kalau Bagus dijodohkan dengan Ratna.” “Alasan perjodohan itu ditambah dengan banyaknya petani yang terjerat hutang di Effend
Desa Girilayang itu terletak di kaki Merapi. Awalnya desa itu hanya berisi 12 kepala keluarga dengan 34 jiwa. Kakek buyut Pak Mangun dan Pak Gagah disebut-sebut sebagai orang pertama yang tinggal di desa itu untuk pertama kalinya. Secara geografis Desa Girilayang merupakan sebuah punggung bukit yang diisolasi oleh dua jurang di sisi sebelah barat dan timur. Itu sebabnya sebelum pembangunan jembatan seluruh warga desa harus berjalan memutari bukit dan cukup lama berada di jalan untuk bisa sampai ke kota.Pada sebuah peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia Wira pernah menyampaikan pidatonya yang mengatakan bahwa Desa Girilayang adalah tempat di mana semua warganya menjaga adat istiadat yang merupakan warisan leluhur. Juga melestarikan tempat-tempat wisata sejarah berikut pemandangan alam cantiknya untuk mendongkrak kemajuan desa dalam bidang pariwisata.Semua orang setuju dengan apa yang disampaikan Wira dan setuju dengan apa yang dilakukan Kepala Desa Girilayang terpilih itu u
Morning sickness yang dialami Sully berlangsung sampai kehamilannya menginjak usia delapan bulan. Sully mulai kuat terhadap bau-bauan dan bisa makan dalam porsi yang lebih banyak. Jika sebelumnya ia sulit menelan air dingin, masuk bulan kedelapan Sully sudah bisa memanjakan lidahnya dengan es teh manis. Seluruh keluarga besar Pak Gagah ikut senang dengan perubahan baik itu. Sully yang ceria sudah kembali. Pagi hari Sully ikut mendampingi anak-anaknya mandi dan makan. Kerjanya tak hanya bergulung di ranjang saja. Sully sudah mulai rajin seperti biasa. Ia juga mulai menggoda Wira dengan meremas bokongnya atau menggaruk perut pria itu. Wira menyambut bahagia godaan-godaan Sully. Sudah cukup lama pemenuhan kebutuhan batinnya berdasar mood istrinya itu. Menunggu belas kasihan Sully yang mau memberikan dengan sukarela tanpa mulut mengerucut. Memasuki bulan kedelapan mereka sudah kembali bercinta dengan hangat. Kehamilan yang terbebas dari morning sickness, tiga anak laki-lakinya sehat, pa
Kedatangan keluarga Pak Gagah yang hanya berjarak seminggu sebelum pesta pernikahan Oky membuat Pak Anwar menyusun agenda sepadat mungkin untuk mengajak besan berkeliling kampunghalamannya.Hal pertama yang dilakukan Pak Anwar adalah mengajak Pak Gagah melihat kebun kelapa Sully yang dibelikan Wira. Dalam perjalanan menuju kebun itu tak lupa Pak Anwar menunjukkan jalan hasil pengaspalan yang didanai oleh Wira.“Lihat seberapa panjangnya jalan menuju ke kebun kelapa ini, kan? Nah, ini semua Bagus yang mengaspal. Warga yang sudah lama mengharapkan perbaikan jalan bisa ikut menikmati yang dilakukan Bagus. Apa yang dilakukannya ini membawa banyak kebaikan. Bahkan warga yang tidak kenal Bagus secara pribadi malah mengenal namanya. Pernah sekali waktu saya ke kebun kelapa, ada seorang pria yang baru pulang merantau menanyakan soal jalan yang bagus. Orang tuanya langsung mengatakan jalan ini diaspal menantunya Pak Anwar. Namanya Bagus.” Pak Anwar terkekeh-kekeh senang saat menceritakan kisah
Rombongan itu benar-benar ramai. Tiga generasi melalui perjalanan panjang berpindah-pindah moda transportasi. Pak Gagah yang sudah lama tidak melancong jauh bangun paling pagi dibanding yang lain. Pria tua itu mengecek semua bawaan mereka untuk kesekian kalinya.Perjalanan hari itu dimulai dengan Asmari dan seorang supir dari pabrik yang diminta mengantar ke bandara.“Asmari ikut juga, kan, Gus? Masa Hendro resepsi Asmari enggak ikut?” Belum apa-apa Pak Gagah sudah protes karena Asmari yang belakangan dekat dengan Hendro tidak terlihat memiliki tentengan.“Asmari ikut, Pak. Nanti setelah mengantar kita ke terminal keberangkatan dia titip mobil di parkir inap bandara. Asmari berangkatnya satu pesawat bersama Pretty dan ibunya.” Wira baru saja melepas Asmari untuk meletakkan mobil di parkir inap. Pak Gagah yang sedang menggendong Bima pun sepertinya masih punya banyak waktu untuk memperhatikan orang sekitar.“Bapak capek? Bima bisa diletak dulu di stroller. Gantian sama Tika. Dari tadi
Dan bukan Sully namanya kalau segala yang ia lakukan tidak menimbulkan kehebohan orang sekeliling. Malam itu setelah mengutarakan keinginannya dengan cara merajuk, Wira menyanggupi semua hal yang akan dilakukan oleh istrinya itu agar mereka mendapatkan seorang bayi perempuan.Pertama-tama mereka berdua mendatangi praktek Dokter Masayu untuk berkonsultasi. Sully santai saja saat mengutarakan keinginannya. Raut dan gesture-nya sangat percaya diri seperti biasa. Terutama saat Dokter Masayu bertanya, “Sulis sudah mau program bayi perempuan? Awang belum dua bulan.” Dokter Masayu mengingatkan.Wira yang masih mengenakan seragam cokelat mengangguk yakin. “Katanya mau sekarang aja, Dok. Biar sekalian aja.”“Kalau bisa sekarang kenapa harus nanti gitu, Dok. Kemarin hamilnya Awang juga bisa secepat itu. Saya mau tahu tips-tips khusus buat hamil anak perempuan.” Sully bicara dengan kedua tangannya yang melingkari lengan Wira. Ia sudah tidak peduli lagi dengan komentar ketiga kakaknya. Karena jik
Bisa dibilang Sully memasuki masa sedang repot-repotnya. Ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi Wira hadir sendirian. Ulang tahun pabrik yang harusnya bersamaan dengan ulang tahun si kembar ternyata perayaannya harus dilewatkan karena Sully baru melahirkan putra ketiganya.Putra ketiga Sully dan Wira lahir di bulan yang sama dengan kelahiran Bima dan Sakti. Dan keluarga Sully kembali datang dengan formasi yang sama. Sari; kakak Sully adalah orang yang pertama kali tertawa terbahak-bahak setelah mengetahui kehamilan adiknya.Dan hari itu, satu bulan setelah Sully melahirkan Sari kembali datang dengan anak bungsunya yang mulai belajar jalan. Dari ketiga kakak Sully, Sari pulalah yang menggendong putra ketiga adiknya itu sambil mengatakan, “Selamat datang putra ketiga adikku yang dulunya setiap hari ngomong jangan banyak anak.”Karena itu Sully mengerucutkan bibir memandang kakaknya.Keramaian ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi memang senga
Sully sudah melupakan tentang percintaan sore yang dilakukannya dengan penuh semangat dan keringat. Fokusnya sementara hanya tertuju merawat putra kembarnya dan mengerjakan dua tawaran endorsement yang sudah ia sanggupi. Ada dua iklan yang videonya sedang mereka garap. Pil pelancar ASI dan produk korset pelangsing perut. Kedua endorsement itu diterima Sully dengan penuh suka cita. Terlebih tenaga ‘babysitter’ si kembar masih melimpah ruah.Semua orang di rumah sedang berlomba-lomba menjadi sosok yang paling bisa menaklukkan hati si kembar. Semua ingin mendapat sebutan orang yang paling bisa membuat si kembar langsung tenang saat menangis. Termasuk Pak Anwar dan Bu Dahlia yang biasanya sering berdebat kecil. Suami istri itu kini terlihat kompak menjaga cucu laki-laki dari anak bungsu mereka.“Kita harus sering-sering bikin konsep video begini. Biaya produksinya kecil, mengedukasi, juga anti ribet-ribet klub.” Sully sedang membereskan kotak make-upnya.“Konsepnya emang bagus, tapi nggak