Terima kasih masih setia dengan Sulis dan Wira. Bagi yang belum membaca karya pertama saya di GoodNovel, GADIS PENARI SANG PRESDIR, juara 3 event lomba Pria Terdahsyat tahun lalu, silakan mampir. Bagi penyuka novel romantis-action bisa langsung melipir ke sana. Sudah tamat. Nikmati pengalaman membaca yang lebih beragam bersama juskelapa. Lanjutannya masih terus saya tulis agar bisa segera di-update. Terima kasih sudah maklum. Sayang Boeboo semuanya. Salam peci-peci.
“Sedih?” Wira menatap bagian pipi kanan Sully yang terlihat basah. Wanita itu belum memalingkan wajahnya memandang keluar jendela.Sully mengangguk. “Sedih. Sekarang aku baru sadar kalau aku bukan cuma anak bungsu, tapi juga seorang istri.”Wira mengangguk samar. “Geser ke sini sedikit,” pinta Wira dengan tangan langsung memeluk pinggang Sully. Membawa wanita itu ke dekatnya. Ia ingin bahu dan lengannya dijadikan Sully sebagai tempat bersandar, merebahkan kepala.Yang disukai Wira dari Sully adalah sikap tanggap dan penurut wanita itu. Melakukan sesuatu tanpa banyak tanya. Terlebih hal-hal yang berbau fisik seperti menyentuhnya dengan mesra.“Kita pasti sering-sering ke sini, kan? Aku harus cepat-cepat hamil biar kalau pulang sekali lagi Ayah udah gendong cucu.” Sully menyelipkan tangannya ke bawah lengan Wira. Kepalanya terkulai manja menunggu jawaban.“Kalau kita enggak bisa sering ke sini,Ayah dan Ibu yang kita minta datang.” Wira ikut memandang ke luar jendela. Dagunya bertumpu di
“Kenapa Mas kaget? Mas tahu club itu? Pernah main ke sana? Kapan? Kok, aku enggak tahu?” Sully tak menyadari keberadaan Asmari di antara mereka.Pertanyaan Sully yang penuh selidik membuat Asmari cepat-cepat meletakkan bawaan. Ia tak mau membuat atasannya salah tingkah menjawab pertanyaan yang ia sudah tahu jawabannya.“Mas, aku nanya, lho.” Sully mencampakkan tas tangannya ke sofa dan menyalakan pendingin ruangan. “Reaksi Mas itu kayanya familiar dengan nama club yang aku sebut.”“Mas gerah, Lis. Kulit rasanya lengket. Mas kepengin mandi air dingin. Mas mandi dulu, ya. Nanti kita ngobrol lagi.” Wira melepaskan sepatu, kemudian jaket kulitnya.“Kayanya jawab pertanyaan tadi enggak sulit, deh. Kenapa lama banget? Jangan bikin aku jadi curiga.” Sully menyalakan televisi dan menekan semua tombol di remote untuk mencari saluran yang sudah pasti tak akan ditontonnya.Wira mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Sebuah kamar tidur, kamar mandi, dapur kecil, lalu balkon kecil ya
“Ini juga pesanan Pak Bagus.” Asmari mengangsurkan paper bag besar setelah dua hanger berpindah tangan.“Yang ini apa?” Pertanyaan itu tak sepenuhnya harus dijawab karena Sully melihat dua kotak bertuliskan merek alas kaki dalam paper bag. “Makasih, Pak,” kata Sully pada Asmari yang langsung mengangguk pada atasannya.“Bisa kamu coba sekarang. Kalau ada yang kurang, hari ini bisa ditukar. Tapi Mas yakin kamu pasti suka.”“Dari perancang yang mana? Mas kenapa enggak ngomong ke aku, sih? Aku bisa pilih sendiri. Gimana kalau pilihan Mas enggak sesuai dengan seleraku?” Sully menutup pintu setelah dua hanger pindah ke tangannya.“Nama perancangnya, kan, bisa dilihat di kemasannya. Di pakaiannya juga ada. Masalah pilihan … bisa jadi kamu enggak suka. Tapi bukannya lebih penting Mas yang suka? Kamu lihat aja dulu.” Wira tak mengalihkan pandangannya dari laptop. “Pabrik ini harus segera selesai. Enggak boleh terlalu lama. Petani harus segera punya penghasilan lagi dari kebun arennya.”Sully b
Harusnya Rino tidak perlu menyapa Sully lagi, pikir Wira. Ada baiknya pria itu tetap diam. Atau berpura-pura tidak mengenal saja. Apa Rino berpikir kalau ia tidak memberitahukan semua yang terjadi pada Sully? Wira dan Rino bertukar pandang cukup lama. Rino sama sekali tidak mau mengalah. Kilat mata pria itu menunjukkan kebencian pada Wira.“Hei ….” Sahutan Sully pada Rino tenggelam di antara hentakan musik. Tercekat karena terkejut juga khawatir Wira akan tersinggung jika ia menjawab dengan ramah.“Sully Shiny yang selalu cantik dalam tiap kesempatan.” Rino tertawa kecil. Ucapannya adalah pujian murni bercampur sedikit ejekan.“Oh, makasih,” kata Sully yang hanya berani memandang Rino selama sedetik.“Mari kita jumpai tuan rumah acara ini,” ajak Wira. Tak mau membuang waktu dengan Rino.Jika saat itu di desa, memuji istri orang lain bisa berbuntut panjang. Minimal dagu Rino akan sedikit bergeser oleh genggaman tangan suami wanita yang dipujinya. Namun kali itu Wira mencoba mengabaikan
"Kamu maunya apa, sih?" Wira tak bisa menyembunyikan kekesalan dalam suaranya."Aku udah bilang mungkin aja ini yang namanya jatuh cinta pandangan pertama. Mas ke Sully juga belum lama menikah, kan? Aku cuma mau kenal lebih dekat sama Mas Wira. Itu aja. Memangnya enggak boleh?""Enggak boleh. Kamu jatuh cinta dengan saya, atau memang enggak suka lihat teman kamu bahagia sampai-sampai merasa harus mengejar saya sampai ke toilet? Apa yang sedang mau kamu buktikan? Mau membuktikan kalau kamu bisa mendapatkan hal sama dengan yang dimiliki teman kamu?""Mas....""Saya mual. Jangan ikuti saya lagi," potong Wira. "Menyebut-nyebut cinta padahal aslinya cuma enggak bisa lihat orang lain bahagia. Saya enggak nyangka Sully bisa menyebut kamu teman baik. Pergaulan yang aneh.” Wira mengomel dengan nada yang cukup ketus. Ia lalu pergi setelah menyadari kalau Asmari ikut mendengar akhir pembicaraannya bersama Rachel. Wira pergi kembali menuju KTV di mana acara ulang tahun itu berlangsung. Keinginan
“Arrgghh,” erang Rino, meraba punggungnya. “Kamu mau jadi preman di sini? Udah berapa lama tinggal di ibukota? Kamu kira petani bisa hidup di sini? Apa, sih, yang kamu andalkan? Kebun aren satu hektar?” Rino berusaha menutupi kesakitan dengan tertawa terbahak-bahak.Wira tak menjawab. Ia bahkan hanya mendengar ucapan Rino sepintas saja. Perhatiannya malah tertuju pada Sully yang berlari kecil ke arahnya. Dengan sepatu setinggi itu, Wira khawatir Sully tersandung. “Jangan lari. Ayo, kita pulang.” Wira memegangi bahu Sully. Mereka berdua tak menggubris Rino.“Aku mau tahu apa kebun aren cukup buat biaya kamu berobat. Boby! Diaz! Malam ini ada yang mau jadi jagoan!” Rino meletakkan dua tangannya di mulut dan berteriak sekencang-kencangnya memangil nama dua orang pria yang seketika melongok dari ujung lorong.“Rino! Udah, cukup! Enggak perlu diperpanjang.” Sully berusaha sekuat tenaga menyeret Wira menjauhi Rino. “Udah, Mas. Enggak usah diladeni.”“Terlambat kalau kamu ngomong enggak usah
“Mas enggak bercanda, kan?” Sully terkesiap mendengar ucapan Wira. “Padahal aku baru ngomong gitu, tapi Mas langsung mau pulang sendiri.” Sully menatap Wira dengan sengit.“Nanti kita bicara lagi. Mas enggak mau ribut di jalan.” Wira melepaskan genggamannya pada tangan Sully. Sulit tetap menggenggam tangan wanita itu tanpa menimbulkan keributan selama di dalam mobil. Sully terus beringsut dengan wajah cemberut.Tiba di apartemen pun, Sully langsung meninggalkan Wira di ruang tamu. Ia melepaskan sepatunya asal dan menghempaskan tubuh di ranjang.“Mas mau ngomong,” kata Wira, menyusul masuk ke kamar.“Ngomong aja. Aku dengar, kok,” sahut Sully.“Mas mau kita bicara sambil melihat satu sama lain. Ayo, duduk.” Wira duduk di tepi ranjang menunggu Sully bangkit.Sully bangkit dari ranjang dan kemudian langsung berdiri. “Kayanya percuma ngobrol karena Mas udah memutuskan buat ninggalin aku di sini. Mas mau pulang duluan ke Girilayang, kan? Sejak awal Mas memang enggak betah di sini makanya m
"Kamu ngapain ke sini? Harusnya kamu jagain suami aku di sana." Sully masih setengah tak percaya melihat Oky sudah berdiri di hadapannya."Ngapain? Kamu nanya? Itu pertanyaan yang butuh jawaban atau sekedar pertanyaan basa-basi? Aku udah cukup senang waktu Mas Wira nyusul kamu ke kampung kita. Aku udah yakin masalah kita bakal selesai dan aku bisa hidup tenang di Girilayang. Sekarang aku harus kembali ke sini karena kamu yang bertingkah enggak mau balik. Apartemen kecil sumpek dan kepunyaan orang ini akan kembali mengurung kita. Aku capek, Lis. Capek, laper, haus, kesal, dongkol, semua ngumpul jadi satu." Oky menerobos tubuh Sully di depan pintu dan masuk menghempaskan tubuhnya di sofa."Udah selesai ngomel-ngomelnya? Aku kira Mas Wira yang balik lagi.""Mustahil Mas Wira yang balik lagi. Kamu kira keputusan Mas Wira ninggalin kamu munculnya pagi ini? Dia kirim pesan ke aku sejak kemarin malam.""Apa isi pesannya? Penasaran," sahut Sully dengan nada biasa saja. Keterkejutannya sudah p
Halo ....Selamat pagi Boeboo tersayang pembaca juskelapa. Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.Di sini saya mau menginformasikan bahwa novel ISTRI NAKAL MAS PETANI sudah tamat di Bab 280. Apabila kemarin ada penulisan TO BE CONTINUED di akhir bab 280 itu adalah kesalahan penulisan dan error revisi yang terlalu lama. Jangan lupa aplikasinya di-update agar mendapat tampilan terbaru dari GOODNOVEL yang semakin kece ya. Nantinya ISTRI NAKAL MAS PETANI akan diberi bonus chapter di saat kita semua sudah rindu.Kabar gembira giveaway-nya adalah MAS WIRA & SULIS akan memberikan merchandise sederhana untuk 50 orang pertama di peringkat GEMS 1-50. Bagi yang namanya tertera di peringkat tersebut bisa mengirimkan alamat ke :ADMIN JUSKELAPA melalui pesan singkat dengan nomor 0 8 2 2 -5 7 8 5-1 2 3 8 dengan menyertakan tangkapan layar peringkat GEMS (vote).AtauBisa kirim pesan melalui sosial media inssstagram ketik : juskelapa_ di pencarian. Buat yang belum beruntung bisa men
Pak Gagah ikut mengangkat gelas teh dan meneguk isinya hampir setengah. Baru menyadari nikmat bertukar cerita yang selama ini diamatinya pada kaum perempuan ternyata juga bisa ia rasakan. Sungguh Pak Gagah ataupun Pak Mangun tidak pernah menyangka bahwa hal yang mereka anggap sebagai tindakan tercela bisa mereka ubah menjadi sesuatu yang membawa masa depan baik untuk desa. “Kamu memang tidak berniat menjodohkan Bagus dan Ratna, kan, Gah?” Pak Mangun meletakkan cangklong di sudut bibirnya. Pak Gagah menggeleng-geleng. “Tidak…tidak. Aku tahu maksud Effendi menekan Ajeng soal hutang dan sertifikat kebun pasti berkaitan dengan Bagus. Ratna itu mondar-mandir terus di dekat rumah sini. Setiap berpapasan jalan yang ditanya Bagus. Tapi Bagus, kan, di Riau.” Pak Mangun tergelak. “Oh, sekarang aku ingat. Karena Ratna sering ke sini kamu jadi kepikiran ide buat ngomong kalau Bagus dijodohkan dengan Ratna.” “Alasan perjodohan itu ditambah dengan banyaknya petani yang terjerat hutang di Effend
Desa Girilayang itu terletak di kaki Merapi. Awalnya desa itu hanya berisi 12 kepala keluarga dengan 34 jiwa. Kakek buyut Pak Mangun dan Pak Gagah disebut-sebut sebagai orang pertama yang tinggal di desa itu untuk pertama kalinya. Secara geografis Desa Girilayang merupakan sebuah punggung bukit yang diisolasi oleh dua jurang di sisi sebelah barat dan timur. Itu sebabnya sebelum pembangunan jembatan seluruh warga desa harus berjalan memutari bukit dan cukup lama berada di jalan untuk bisa sampai ke kota.Pada sebuah peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia Wira pernah menyampaikan pidatonya yang mengatakan bahwa Desa Girilayang adalah tempat di mana semua warganya menjaga adat istiadat yang merupakan warisan leluhur. Juga melestarikan tempat-tempat wisata sejarah berikut pemandangan alam cantiknya untuk mendongkrak kemajuan desa dalam bidang pariwisata.Semua orang setuju dengan apa yang disampaikan Wira dan setuju dengan apa yang dilakukan Kepala Desa Girilayang terpilih itu u
Morning sickness yang dialami Sully berlangsung sampai kehamilannya menginjak usia delapan bulan. Sully mulai kuat terhadap bau-bauan dan bisa makan dalam porsi yang lebih banyak. Jika sebelumnya ia sulit menelan air dingin, masuk bulan kedelapan Sully sudah bisa memanjakan lidahnya dengan es teh manis. Seluruh keluarga besar Pak Gagah ikut senang dengan perubahan baik itu. Sully yang ceria sudah kembali. Pagi hari Sully ikut mendampingi anak-anaknya mandi dan makan. Kerjanya tak hanya bergulung di ranjang saja. Sully sudah mulai rajin seperti biasa. Ia juga mulai menggoda Wira dengan meremas bokongnya atau menggaruk perut pria itu. Wira menyambut bahagia godaan-godaan Sully. Sudah cukup lama pemenuhan kebutuhan batinnya berdasar mood istrinya itu. Menunggu belas kasihan Sully yang mau memberikan dengan sukarela tanpa mulut mengerucut. Memasuki bulan kedelapan mereka sudah kembali bercinta dengan hangat. Kehamilan yang terbebas dari morning sickness, tiga anak laki-lakinya sehat, pa
Kedatangan keluarga Pak Gagah yang hanya berjarak seminggu sebelum pesta pernikahan Oky membuat Pak Anwar menyusun agenda sepadat mungkin untuk mengajak besan berkeliling kampunghalamannya.Hal pertama yang dilakukan Pak Anwar adalah mengajak Pak Gagah melihat kebun kelapa Sully yang dibelikan Wira. Dalam perjalanan menuju kebun itu tak lupa Pak Anwar menunjukkan jalan hasil pengaspalan yang didanai oleh Wira.“Lihat seberapa panjangnya jalan menuju ke kebun kelapa ini, kan? Nah, ini semua Bagus yang mengaspal. Warga yang sudah lama mengharapkan perbaikan jalan bisa ikut menikmati yang dilakukan Bagus. Apa yang dilakukannya ini membawa banyak kebaikan. Bahkan warga yang tidak kenal Bagus secara pribadi malah mengenal namanya. Pernah sekali waktu saya ke kebun kelapa, ada seorang pria yang baru pulang merantau menanyakan soal jalan yang bagus. Orang tuanya langsung mengatakan jalan ini diaspal menantunya Pak Anwar. Namanya Bagus.” Pak Anwar terkekeh-kekeh senang saat menceritakan kisah
Rombongan itu benar-benar ramai. Tiga generasi melalui perjalanan panjang berpindah-pindah moda transportasi. Pak Gagah yang sudah lama tidak melancong jauh bangun paling pagi dibanding yang lain. Pria tua itu mengecek semua bawaan mereka untuk kesekian kalinya.Perjalanan hari itu dimulai dengan Asmari dan seorang supir dari pabrik yang diminta mengantar ke bandara.“Asmari ikut juga, kan, Gus? Masa Hendro resepsi Asmari enggak ikut?” Belum apa-apa Pak Gagah sudah protes karena Asmari yang belakangan dekat dengan Hendro tidak terlihat memiliki tentengan.“Asmari ikut, Pak. Nanti setelah mengantar kita ke terminal keberangkatan dia titip mobil di parkir inap bandara. Asmari berangkatnya satu pesawat bersama Pretty dan ibunya.” Wira baru saja melepas Asmari untuk meletakkan mobil di parkir inap. Pak Gagah yang sedang menggendong Bima pun sepertinya masih punya banyak waktu untuk memperhatikan orang sekitar.“Bapak capek? Bima bisa diletak dulu di stroller. Gantian sama Tika. Dari tadi
Dan bukan Sully namanya kalau segala yang ia lakukan tidak menimbulkan kehebohan orang sekeliling. Malam itu setelah mengutarakan keinginannya dengan cara merajuk, Wira menyanggupi semua hal yang akan dilakukan oleh istrinya itu agar mereka mendapatkan seorang bayi perempuan.Pertama-tama mereka berdua mendatangi praktek Dokter Masayu untuk berkonsultasi. Sully santai saja saat mengutarakan keinginannya. Raut dan gesture-nya sangat percaya diri seperti biasa. Terutama saat Dokter Masayu bertanya, “Sulis sudah mau program bayi perempuan? Awang belum dua bulan.” Dokter Masayu mengingatkan.Wira yang masih mengenakan seragam cokelat mengangguk yakin. “Katanya mau sekarang aja, Dok. Biar sekalian aja.”“Kalau bisa sekarang kenapa harus nanti gitu, Dok. Kemarin hamilnya Awang juga bisa secepat itu. Saya mau tahu tips-tips khusus buat hamil anak perempuan.” Sully bicara dengan kedua tangannya yang melingkari lengan Wira. Ia sudah tidak peduli lagi dengan komentar ketiga kakaknya. Karena jik
Bisa dibilang Sully memasuki masa sedang repot-repotnya. Ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi Wira hadir sendirian. Ulang tahun pabrik yang harusnya bersamaan dengan ulang tahun si kembar ternyata perayaannya harus dilewatkan karena Sully baru melahirkan putra ketiganya.Putra ketiga Sully dan Wira lahir di bulan yang sama dengan kelahiran Bima dan Sakti. Dan keluarga Sully kembali datang dengan formasi yang sama. Sari; kakak Sully adalah orang yang pertama kali tertawa terbahak-bahak setelah mengetahui kehamilan adiknya.Dan hari itu, satu bulan setelah Sully melahirkan Sari kembali datang dengan anak bungsunya yang mulai belajar jalan. Dari ketiga kakak Sully, Sari pulalah yang menggendong putra ketiga adiknya itu sambil mengatakan, “Selamat datang putra ketiga adikku yang dulunya setiap hari ngomong jangan banyak anak.”Karena itu Sully mengerucutkan bibir memandang kakaknya.Keramaian ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi memang senga
Sully sudah melupakan tentang percintaan sore yang dilakukannya dengan penuh semangat dan keringat. Fokusnya sementara hanya tertuju merawat putra kembarnya dan mengerjakan dua tawaran endorsement yang sudah ia sanggupi. Ada dua iklan yang videonya sedang mereka garap. Pil pelancar ASI dan produk korset pelangsing perut. Kedua endorsement itu diterima Sully dengan penuh suka cita. Terlebih tenaga ‘babysitter’ si kembar masih melimpah ruah.Semua orang di rumah sedang berlomba-lomba menjadi sosok yang paling bisa menaklukkan hati si kembar. Semua ingin mendapat sebutan orang yang paling bisa membuat si kembar langsung tenang saat menangis. Termasuk Pak Anwar dan Bu Dahlia yang biasanya sering berdebat kecil. Suami istri itu kini terlihat kompak menjaga cucu laki-laki dari anak bungsu mereka.“Kita harus sering-sering bikin konsep video begini. Biaya produksinya kecil, mengedukasi, juga anti ribet-ribet klub.” Sully sedang membereskan kotak make-upnya.“Konsepnya emang bagus, tapi nggak