Dear, Boeboo. Terima kasih karena selalu menunggu kondisi saya membaik dari waktu ke waktu. Saya akan kembali mencicil lanjutan petualangan SULIS dan WIRA sampai membawa perbaikan di DESA GIRILAYANG :S
Menegakkan tubuh, membusungkan dada, mengibaskan rambut, bahkan berbicara sendiri ketika memilih pakaian di lemari sudah dilakukan Sully untuk mengalihkan fokus Wira dari layar komputer. Nyatanya pria itu bergeming. Tatapannya benar-benar lurus ke depan. Sully mendengkus tanpa suara. Tinggal satu yang belum dilakukannya. Melepas handuk dan memakai pakaian dalam dengan gerakan lambat.“Jeans dan kaus aja kayanya udah pas buat kejutan kado kedua.” Suaranya sengaja dibuat lebih keras agar Wira bereaksi.Karena Wira terlihat semakin memusatkan konsentrasi, Sully menggerutu dengan suara sangat halus. “Entah kapan bisa peka dengan maunya istri. Aku itu enggak perlu kado-kadoan. Tapi peka aja …. Tiap disenggol langsung bereaksi gitu. Kesal. Ck.” Sully melepaskan handuk.Suara handuk yang jatuh ke lantai, refleks membuat mata Wira kembali melirik Sully. Konsentrasi yang sesaat lalu mati-matian dikumpulkannya mendadak buyar.Dalam hitungan sepersekian detik, fokusnya sudah berpindah ke betis S
“Ternyata jadi juga. Saya kira Bapak iseng-iseng aja kemarin. Pagi tadi saya ditelepon. Katanya mau dikasih fee. Berkat Pak Bagus juga. Terima kasih, Pak.”Wira mengangguk. “Bukan karena saya, kok.” Lalu ia tertawa kecil.Sully ikut tersenyum ketika bertukar pandang dengan supir dari spion tengah. Usai senyum sedetik, Sully kembali mengerucutkan mulutnya. Kenapa Wira lebih kenal dengan para penduduk kampungnya ketimbang ia yang lahir di sana?“Semoga Ayah suka, ya.” Wira berbisik sambil meremas tangan Sully.Berat rasanya bagi Sully untuk tidak ikut tersenyum. Wira sedang berusaha menyenangkan hati ayahnya. Walau pagi tadi pria itu dinilainya sangat tidak peka, tapi sepertinya pagi itu harus ada pengecualian. Sialnya, hangat napas Wira yang menerpa leher membuat ia semakin bergidik. “Memangnya mau ke mana?” tanya Sully dari barisan kursi penumpang. Tubuh Wira dan Bu Dahlia yang mengimpit membuat Sully tenggelam di antaranya.“Ibu kira Sulis udah tahu,” kata Bu Dahlia.Sully menggeleng
“Aku sampai lupa harus menghubungi siapa lebih dulu. Temanku yang di ibukota atau … Oky duluan, ya? Atau teman sesama content creator yang terakhir kali kontak sama aku? Aku enggak sabar, Mas,” ucap Sully berapi-api. Wira mengulas senyum tipis disertai anggukan. “Terserah kamu mau menghubungi siapa lebih dulu. Kita bisa bicarakan sebelum sampai di sana.” Sully mengeluarkan ponsel. “Sebentar aku lihat dulu. Sebelum aku kabur ke Girilayang … aku ada janji dengan Rachel, terus mau ketemuan sama Atta Petir, terus lusanya aku ada janji ngisi podcast Deddy Buldozer.” Sully sibuk menggulir ponselnya. Melewatkan kebahagiaan kecil yang harusnya ia lihat. Ia tersadar ketika tangannya dicolek Wira. “Semua bisa kamu temui nanti. Lihat itu. Ayah Ibu duduk di bawah pohon. Apa dulunya Ayah juga bisa manjat pohon kelapa? Ayah lihat ke atas pohon dari tadi.” Sully ikut memandang ke sebuah pohon di mana ayah dan ibunya sedang duduk. Ayahnya menengadah ke puncak-puncak pohon kelapa di dekat mereka.
“Sedih?” Wira menatap bagian pipi kanan Sully yang terlihat basah. Wanita itu belum memalingkan wajahnya memandang keluar jendela.Sully mengangguk. “Sedih. Sekarang aku baru sadar kalau aku bukan cuma anak bungsu, tapi juga seorang istri.”Wira mengangguk samar. “Geser ke sini sedikit,” pinta Wira dengan tangan langsung memeluk pinggang Sully. Membawa wanita itu ke dekatnya. Ia ingin bahu dan lengannya dijadikan Sully sebagai tempat bersandar, merebahkan kepala.Yang disukai Wira dari Sully adalah sikap tanggap dan penurut wanita itu. Melakukan sesuatu tanpa banyak tanya. Terlebih hal-hal yang berbau fisik seperti menyentuhnya dengan mesra.“Kita pasti sering-sering ke sini, kan? Aku harus cepat-cepat hamil biar kalau pulang sekali lagi Ayah udah gendong cucu.” Sully menyelipkan tangannya ke bawah lengan Wira. Kepalanya terkulai manja menunggu jawaban.“Kalau kita enggak bisa sering ke sini,Ayah dan Ibu yang kita minta datang.” Wira ikut memandang ke luar jendela. Dagunya bertumpu di
“Kenapa Mas kaget? Mas tahu club itu? Pernah main ke sana? Kapan? Kok, aku enggak tahu?” Sully tak menyadari keberadaan Asmari di antara mereka.Pertanyaan Sully yang penuh selidik membuat Asmari cepat-cepat meletakkan bawaan. Ia tak mau membuat atasannya salah tingkah menjawab pertanyaan yang ia sudah tahu jawabannya.“Mas, aku nanya, lho.” Sully mencampakkan tas tangannya ke sofa dan menyalakan pendingin ruangan. “Reaksi Mas itu kayanya familiar dengan nama club yang aku sebut.”“Mas gerah, Lis. Kulit rasanya lengket. Mas kepengin mandi air dingin. Mas mandi dulu, ya. Nanti kita ngobrol lagi.” Wira melepaskan sepatu, kemudian jaket kulitnya.“Kayanya jawab pertanyaan tadi enggak sulit, deh. Kenapa lama banget? Jangan bikin aku jadi curiga.” Sully menyalakan televisi dan menekan semua tombol di remote untuk mencari saluran yang sudah pasti tak akan ditontonnya.Wira mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Sebuah kamar tidur, kamar mandi, dapur kecil, lalu balkon kecil ya
“Ini juga pesanan Pak Bagus.” Asmari mengangsurkan paper bag besar setelah dua hanger berpindah tangan.“Yang ini apa?” Pertanyaan itu tak sepenuhnya harus dijawab karena Sully melihat dua kotak bertuliskan merek alas kaki dalam paper bag. “Makasih, Pak,” kata Sully pada Asmari yang langsung mengangguk pada atasannya.“Bisa kamu coba sekarang. Kalau ada yang kurang, hari ini bisa ditukar. Tapi Mas yakin kamu pasti suka.”“Dari perancang yang mana? Mas kenapa enggak ngomong ke aku, sih? Aku bisa pilih sendiri. Gimana kalau pilihan Mas enggak sesuai dengan seleraku?” Sully menutup pintu setelah dua hanger pindah ke tangannya.“Nama perancangnya, kan, bisa dilihat di kemasannya. Di pakaiannya juga ada. Masalah pilihan … bisa jadi kamu enggak suka. Tapi bukannya lebih penting Mas yang suka? Kamu lihat aja dulu.” Wira tak mengalihkan pandangannya dari laptop. “Pabrik ini harus segera selesai. Enggak boleh terlalu lama. Petani harus segera punya penghasilan lagi dari kebun arennya.”Sully b
Harusnya Rino tidak perlu menyapa Sully lagi, pikir Wira. Ada baiknya pria itu tetap diam. Atau berpura-pura tidak mengenal saja. Apa Rino berpikir kalau ia tidak memberitahukan semua yang terjadi pada Sully? Wira dan Rino bertukar pandang cukup lama. Rino sama sekali tidak mau mengalah. Kilat mata pria itu menunjukkan kebencian pada Wira.“Hei ….” Sahutan Sully pada Rino tenggelam di antara hentakan musik. Tercekat karena terkejut juga khawatir Wira akan tersinggung jika ia menjawab dengan ramah.“Sully Shiny yang selalu cantik dalam tiap kesempatan.” Rino tertawa kecil. Ucapannya adalah pujian murni bercampur sedikit ejekan.“Oh, makasih,” kata Sully yang hanya berani memandang Rino selama sedetik.“Mari kita jumpai tuan rumah acara ini,” ajak Wira. Tak mau membuang waktu dengan Rino.Jika saat itu di desa, memuji istri orang lain bisa berbuntut panjang. Minimal dagu Rino akan sedikit bergeser oleh genggaman tangan suami wanita yang dipujinya. Namun kali itu Wira mencoba mengabaikan
"Kamu maunya apa, sih?" Wira tak bisa menyembunyikan kekesalan dalam suaranya."Aku udah bilang mungkin aja ini yang namanya jatuh cinta pandangan pertama. Mas ke Sully juga belum lama menikah, kan? Aku cuma mau kenal lebih dekat sama Mas Wira. Itu aja. Memangnya enggak boleh?""Enggak boleh. Kamu jatuh cinta dengan saya, atau memang enggak suka lihat teman kamu bahagia sampai-sampai merasa harus mengejar saya sampai ke toilet? Apa yang sedang mau kamu buktikan? Mau membuktikan kalau kamu bisa mendapatkan hal sama dengan yang dimiliki teman kamu?""Mas....""Saya mual. Jangan ikuti saya lagi," potong Wira. "Menyebut-nyebut cinta padahal aslinya cuma enggak bisa lihat orang lain bahagia. Saya enggak nyangka Sully bisa menyebut kamu teman baik. Pergaulan yang aneh.” Wira mengomel dengan nada yang cukup ketus. Ia lalu pergi setelah menyadari kalau Asmari ikut mendengar akhir pembicaraannya bersama Rachel. Wira pergi kembali menuju KTV di mana acara ulang tahun itu berlangsung. Keinginan