“Nes,” panggil Barata dengan lembut yang membuat sepasang bola mata indah menatapnya. “Bagaimana keadaanmu? Apa masih ada yang sakit?”Barata bertanya tiga hari kemudian, setelah mendengar pembicaraan antara Nesa dan Raharja. Hari ini pun dia mendengar obrolan telpon antara istrinya itu dengan pihak panti yang membuatnya ingin mempercepat apa yang disebutnya sebagai kejutan itu terlaksana. Pasalnya, setelah sarapan tadi, Nesa menghubungi nomor panti lagi. Tentu saja dia ingin memastikan apakah adiknya sudah dijemput pulang sang ayah atau masih di sana. Akan tetapi, Nesa tidak secara langsung menanyakan maksudnya. Dia berpura-pura berkata ingin berbicara pada Dewi dan Dika. Dan jawaban pihak panti berhasil membuatnya terperangah. Orang itu justru memberitahunya peraturan panti yang hanya membolehkan anak menerima telpon seminggu sekali. Nesa mengenyam kekecewaan setelah mengakhiri panggilannya. Dia mendesah kecewa, ternyata sang ayah benar-benar mengabaikan kata-katanya. Dewi dan Dik
“Kamu di sini dulu, saya akan berbicara dengan kepala panti,” ucap Barata, tangannya mengusap pundak sang istri sebelum akhirnya pergi ke ruang kerja kepala panti. Nesa yang duduk di kursi ruang tamu mengangguk patuh. Kali ini dia menaruh kepercayaan pada Barata, setelah pria itu berhasil membuatnya terharu bahagia dengan sebuah kejutan.Setelah tinggal hanya berdua dengan Romi di ruangan itu, yang tercipta hanyalah keheningan. Nesa celingukan, menggerakkan kepala berharap mendapati adiknya dari pandangannya yang menembus kaca jendela. Namun, dari beberapa anak yang berseliweran di luar, tak didapatinya batang hidung dua adiknya itu. “Tenang, Mbak bos,” tegur Romi yang menyaksikan keresahan pada diri Nesa. “Bakal ketemu kok sebentar lagi sama adik-adiknya,“ lanjutnya dengan senyum tersungging di bibirnya. Nesa menoleh pada Romi. Lalu terlintas sesuatu di kepalanya sehingga dia berucap, “Emm, boleh aku bertanya?”Romi mengangguk. “Apa pun selain menanyakan apakah saya punya pacar a
Entah mengapa, Nesa yang biasanya sengit menanggapi Barata, kali ini justru tersipu dengan pipinya yang merona. Mungkin, kejutan yang diberikan Barata memengaruhi pandangannya terhadap pria berjambang itu. Suaminya itu ... tak seburuk yang dipikirkannya. “Jadi, sebentar lagi Dika dan Mbak Dewi beneran pulang? Gak tinggal di sini lagi?” Suara anak lelaki yang penuh harap kembali menarik perhatian Nesa dan Barata. Nesa memandang Barata, seolah meminta kepastian apa yang dijanjikan pria itu beberapa menit lalu. Barata mengangguk dengan senyum yang sedari tadi awet di bibirnya. “Romi sedang mengurus semua dokumennya sekarang,” bisik Barata. Nesa celingukan mencari Romi dan benar saja pria itu tidak ada di antara mereka. Kepala panti tadi pun turut menghilang. Lalu Nesa mengangguk seraya tersenyum pada adik-adiknya. “Kalian akan kembali ke rumah,” ucapnya yang serta-merta membuat mereka kegirangan. Nesa memperhatikan lengan Dika yang bergerak ketika adiknya itu berjingkrak. Ada ruam
“Loh, ini rumah Pak Trisna, kenapa kita musti ke sini. Apa kamu punya urusan dengannya, Mas Bara?” Nesa heran mengapa mobil yang ditumpanginya justru berhenti di pelataran rumah Pak Trisna, seorang pensiunan polisi di desanya. “Turunlah, Nes. Kamu akan tahu jawabannya di dalam,” sahut Barata, kemudian membuka pintu mobil.Nesa segera turun kala suaminya membukakan pintu untuknya, disusul dua adiknya. Ekspresi bingung masih tercetak jelas di wajahnya yang cantik.“Ayo masuk,” ajak Barata, yang kemudian membimbingnya dengan meletakkan sebelah tangan di pundaknya yang ringkih.Nesa ikut ke mana Barata membawanya. Sementara di belakangnya, Dewi dan Dika memandang mereka seolah masih tak percaya sang kakak telah melepas status lajang menjadi seorang istri, apalagi istri dari seorang yang kaya raya. Mereka merasa ini mimpi ... tetapi terlalu nyata. “Mbak Wi, mereka itu gak lagi bohongi kita, 'kan?” bisik Dika pada sang kakak kedua.Dewi menatapnya dengan kernyitan dalam di kening. “Maksu
“Ini beneran saya disuruh pulang, Mas bos?” tanya Romi. “Apa saya pernah memberi perintah main-main, Rom?” balas Barata. “Sudah sana pulang, tinggalkan mobil. Nebeng sama ’orangmu’ bisa, kan?” lanjutnya degan mimik tanpa rasa bersalah sambil melempar pandang pada beberapa orang yang duduk di kursi bambu di bawah pohon mangga. Orang-orang yang telah sukses dengan misi mengondisikan Raharja dan menyukseskan akad bapak mertuanya itu. Mereka masih tampak santai menikmati kopi dan kue suguhan Bu Ningsih. Romi mendengkus pasrah. “Iyalah iya. Nasib malang, habis manis sepah dibuang saya,” selorohnya. “Kamu mencibir saya?” Mata Barata memicing. “Mau protes juga?” Romi mendesah pasrah. Mana mungkin dia punya nyali. Gajinya menjadi taruhannya. “Tidak berani, Mas bos. Okelah, saya akan nebeng sama mereka.”Barata tampak puas. “Bagus. Lagi pula, ada tugas yang masih menjadi tanggung jawabmu. Kamu tidak lupa, kan?” selidiknya sambil mencermati ekspresi lawan bicaranya. Romi menggaruk tengkukn
Nesa langsung tersentak dan reflek menjauh dari Barata kala mendengar suara Dika yang membuat Bara menghela napas berat. Kemudian kepalanya menoleh ke sumber suara dan didapatinya sosok sang adik bungsu di ambang pintu sembari mengucek mata. Tampaknya, Dika tidak melihat atau kemungkinan tidak paham apa yang dilakukan Barata padanya. Itu membuat dia akhirnya bernapas lega. ‘Oh, syukurlah....’“Mbak Nesa, antar Dika ke kamar mandi, boleh? Dika bangunin Mbak Dewi tapi dia gak bergerak sama sekali.” Dika masih dengan wajah polosnya berdiri di ambang pintu. Dugaannya ternyata benar, yang menempati kamar itu adalah kakak sulung beserta suaminya. Dia sempat takut kalau-kalau kamar yang dia satroni adalah tempat bapak dan ibu sambungnya. Sebab, dia masih canggung terhadap Bu Ningsih. Nesa mengangguk pada Dika lalu pandangannya berganti pada Barata. “A-aku antar Dika dulu,” pamitnya dengan terbata lalu bergegas menghampiri Dika yang masih berdiri di tempatnya tadi. Namun, baru tiga langkah
Bu Ningsih melihat dengan bingung dua sosok di depannya. Apa ada yang salah? Apa upayaku gak membuahkan hasil? batinnya bertanya. Pasalnya, Nesa dan Barata yang baru tiba dari pasar itu terlihat semakin tegang dan dingin. Sambil menurunkan barang belanjaan dari mobil, Nesa sama sekali tidak menatap suaminya yang turut membantu pekerjaannya. Pun, Barata terlihat kaku dari ekspresi mukanya. Apa yang terjadi selama mereka di pasar? pikir Bu Ningsih, dengan segala kebingungannya. “Sini biar Ibu yang bawa ke dalam,” ucap Bu Ningsih, berinisiatif membawakan barang belanjaan dari tangan Nesa. “Gak apa-apa, Bu, biar Nesa saja yang bawa,” tolak Nesa dengan halus sembari melemparkan senyum hangat.Beberapa saat kemudian, Nesa dan Bu Ningsih sudah berada di dapur, mengisi wadah-wadah bumbu dan bahan dapur yang merupakan hasil buruannya dari pasar. “Mbak Nesa.” Dika melintasi ruangan, mendekat ke arahnya. “Mbak Nes, nanti jadi kan ke pasar malam?” tanya adik bungsunya itu, memastikan.Nesa
Permen kapas dengan tiba-tiba berada di depan matanya, Nesa menoleh ke belakang untuk melihat siapa gerangan si empu tangan yang menyodorkan gula-gula warna merah muda tersebut. “Makanan manis untuk gadis manis,” kata Barata kala bertemu pandang dengan Nesa. Dia akan menggunakan kesempatan ini untuk menciptakan interaksi hangat di antara mereka dan berharap setelah pulang dari tempat ini, ketegangan di antara mereka sirna.Sesuai waktu yang dijanjikan, malam ini mereka berada di pasar malam. Dika dan Dewi sedang menunggu pesanan jagung bakar setelah puas mencoba beberapa wahana permainan yang tersedia di sana.“Makasih,” ucap Nesa setelah makanan manis itu berpindah ke tangannya.“Kamu bahagia malam ini?” tanya Barata, sambil memasukkan sejumput gula kapas ke mulutnya. Sumpah demi apa pun, seumur-umur baru kali ini dia bertingkah seperti anak kecil. “Aku bahagia karena melihat mereka bahagia,” jawab Nesa, arah pandangannya tertuju pada Dewi dan Dika yang sedang menerima jagung bakar
“Terus pantau dia.” Seorang pria berbicara melalui saluran telepon genggamnya. Sorot matanya terlihat berkilat-kilat licik, sementara satu sudut bibirnya terangkat. Saluran komunikasi dia matikan, pria itu lalu menelepon kontak lain, seseorang yang sudah dengan sangat siap menerima perintah. “Tau apa yang musti kamu lakukan?” tanyanya pada seseorang di seberang. “Tau, Juragan. Saya akan melakukan sesuai perintah Juragan.” Terdengar suara di seberang menjawab, mengundang senyum puas terbit di bibir si lelaki paruh baya yang terlihat masih bugar dan muda, seakan usia hanyalah angka baginya. “Bagus. Jangan kecewakan aku, Ramli,” tekan pria itu setengah mengancam, lalu mematikan sambungannya secara sepihak. Beberapa detik kemudian, pria itu tampak menyimpan kembali telepon pintar miliknya ke dalam saku. Lalu tangannya terangkat ke dagunya yang ditumbuhi bulu dengan lebat, mengusap-usapnya dengan lembut. “Barata, Barata. Beberapa tahun nggak nemu cara balas dendam ke kamu, sekarang akh
“Roman-roman mukamu kok kayak orang kurang asupan gizi, Bar,” ledek Naren yang melihat sahabatnya itu tidak bersemangat. Dua hari setelah kejadian di restoran malam itu, hari ini akhirnya Naren berkunjung ke kediaman sahabatnya. Selain berniat silaturrahmi, dia juga ingin memastikan keadaan Nesa, perempuan yang akhir-akhir ini terbayang di benaknya. Apakah dia baik-baik saja karena sikap dingin Barata hanya saat itu saja dan sesampainya di rumah hubungan mereka kembali hangat, atau sedih karena dampak kejadian itu menjadi berlarut-larut. Sungguh, Naren sudah berusaha menghapus wajah Nesa serta kekagumannya terhadap istri sahabatnya itu, tetapi wajah Nesa masih kerapkali muncul. Dan ... dia memiliki kerinduan terhadap sosok gadis itu.“Efek begadang, ngecek-ngecek kolam,” sahut Barata, sambil melarikan perhatiannya pada ikan-ikan di kolam. Sementara tangannya melempar pakan, terlihat gurame-gurame itu berebutan.“Lah, apa gunanya itu Romi? Terus itu orang-orangmu? Mereka makan gaji bu
“Oh, aku lupa kalau ini memang kamarmu,” kata Nesa, melihat Barata yang tampak keras kepala—enggan meninggalkannya. “Seharusnya aku sadar diri. Kalau begitu, biar aku yang keluar.”Nesa berusaha berdiri dengan kekuatannya yang lemah, menyeret kakinya ke pintu. Jiwa Barata kian diterjang rasa bersalah kala melihat kondisi kaki sang istri. Seharusnya dia lebih mampu mengolah emosi, tetapi yang terjadi justru kalap karena terlalu dikuasai api cemburu. “Biar saya saja yang keluar,” ujar Barata. “Tapi setelah saya obati kaki kamu.”“Aku nggak butuh diobati. Kakiku baik-baik aja.” ‘Karena yang beneran sakit adalah hatiku. Kejadian ini dan kamu yang tempramen membuatku menjadi ragu buat memulai hubungan kita. Padahal sebelumnya aku berniat menerima takdir ini, mulai membuka hati buatmu, tapi—’“Auww!” Nesa memekik terkejut merasakan tubuhnya melayang, tahu-tahu dia sudah berada di atas kedua lengan suaminya. Lengannya pun secara reflek mengalung di leher Barata. Barata mendudukkan Nesa
Semua kepala lantas menoleh pada sumber suara. Dalam sekejap, pria yang berjalan perlahan itu menjadi pusat atensi tiga sosok dengan sorot mata berbeda. Barata dengan pandangan menusuk, tatapan Narendra yang menelisik dan Nesa yang memandang dengan jijik. “Siapa yang kamu sebut kelinci kecil, Pecundang?” Tatapan Barata yang penuh permusuhan dia kirimkan pada Awan. Sementara sang istri meremas tangannya dengan gelisah. Barata merasakan telapak kecil itu basah oleh keringat. Dia tahu respons tubuh sang istri diakibatkan syok melihat keparat itu. Putra dungu Tuan Wirang itu pernah menyandera Nesa dan Barata yakin terjadi hal yang tidak menyenangkan selama Nesa dalam genggaman si pecundang itu. “Kalau yang kamu maksud itu istriku, maka tarik lagi ucapanmu itu kecuali dirimu ingin kubuat babak belur tidak berdaya di atas tanah, seperti waktu itu, heh!” Barata bukan hanya menggertak, sebab dia sudah mulai menyingsing lengan kemejanya hingga siku, bersiap bertarung. Melihat pertunjukan t
Narendra seperti dihantam palu tepat di jantungnya kala mendengar klaim Barata. Cintanya layu sebelum berkembang. “Istrimu?” Bahkan dia tak sadar bibirnya bergerak, menunjukkan kalimat yang baru saja menelusup ke telinga begitu mengejutkan. Matanya mengerjap lambat, masih mencoba mencerna. Bahkan, atensinya masih terpaku pada sosok yang dia asumsikan sebagai Anggun—adik Barata, beberapa saat lalu. “Kami menikah sekitaran sebulanan yang lalu,” jelas Barata dan dia kesal melihat Narendra. “Hei, tatap aku. Aku sedang berbicara.”Barata meraih tangan Nesa di bawah meja lalu mengangkatnya ke permukaan, menggenggamnya di atas meja. Dia sengaja melakukan itu untuk menegaskan bahwa Nesa miliknya. Narendra menelan kekecewaan dan berjuang menyembunyikannya dari dua sosok yang duduk bersebelahan itu. Dia mencoba mengulas senyum dan kini tatapannya jatuh pada Barata. “Aku nggak dengar kabar pernikahanmu. Anak-anak juga nggak ada yang ngabarin,” tutur Narendra. Anak-anak yang dikatakan itu meru
“Katakan kalau kamu bukan bidadari yang sedang tersesat di bumi.” Nesa tersenyum tersipu, balas memandang suaminya yang sedang mengagumi pantulan dirinya di cermin. “Kamu ... sangat cantik, Nes,” puji Barata dengan bangga, dagunya bertumpu pada pundak Nesa yang terbuka. Sementara tangannya melingkari perut sang istri yang malam ini tampak seperti peri—cantik, mungil, murni.Barata sangat bersyukur, sepulang dari desa Nesa, hubungan mereka berangsur menjadi hangat. Telinganya sudah tidak pernah lagi mendengar kalimat ketus dan sengit dari bibir Nesa. Pun perangai dan sikap istrinya itu kini menjadi manis dan penurut. Kalau malam waktu sebelum tidur, Nesa tidak pernah menolak atau memberontak saat tubuhnya dipeluk Barata. Sampai bangun di pagi hari, tubuh gadis berparas ayu itu menempel di dada bidangnya. “Ah, tidak jadi pergilah. Begini saja. Saya mau berlama-lama memandang dan mengikatmu seperti ini,” kata Barata lagi seraya mengeratkan pelukannya di tubuh mungil sang istri. Dia ju
“Mulai besok, datang rutin ke Restoran Milenial. Jadi satpam tidak memberatkanmu, kan, Pak? Saya sudah berbicara dengan Arga, kawan saya, owner itu restoran.”Tatapan Barata tampak serius. “Untuk lokasinya, saya kirim melalui pesan whats*pp nanti,” lanjutnya. Raharja melongo, tercengang. Setelah mengejutkannya dengan pernikahan dadakan tanpa kenal mempelai wanitanya, kini sang menantu yang dipujanya itu membuat surprise dengan menyuruhnya bekerja? Tanpa mendengar dulu pendapatnya—apakah dia bersedia atau tidak?Wah, menantuku ini semakin semena-mena, rontanya yang hanya berani dia suarakan dalam hati. Mendapati kejutan tidak menyenangkan itu, jelas saja dia merasa sangat keberatan. Dia sudah amat nyaman menjadi pengangguran, tetapi tiap bulannya mendapat transferan dari Barata sesuai kesepakatan dalam transaksi penyerahan anak gadisnya pada Barata. “Tenang saja, Bapak mertua. Bapak tetap akan menerima uang yang biasa saya kirim tiap bulannya walaupun sudah bekerja. Turuti saja ara
Barata langsung sigap mengambilkan segelas air putih untuk Nesa yang tersedak karena ucapannya. “Maaf, maaf,” katanya setelah meletakkan lagi gelas yang sudah berkurang isinya ke atas nakas. Nesa terlihat canggung, bahkan tatapannya tak beralih dari jemarinya yang tertaut resah. Perkataan Barata tadi jelas mengejutkannya. Apa suaminya itu mendengar pembicaraannya dengan sang ayah beberapa saat lalu? Jika prasangka itu benar lantas kenapa justru pria yang dilimpahi banyak harta itu bersikap manis, ketimbang berbuat kasar—mengingat Raharja telah menyarankan ide licik nan jahat yang dimaksudkan padanya. Barata meraih tangan Nesa yang lantas mengundang kepala istrinya itu terangkat untuk dapat bertemu pandang dengannya. “Maaf kalau perkataan saya membuatmu terkejut. Tapi yang perlu kamu tahu, sebagaimana janji saya yang tidak akan menyentuhmu jika kamu sendiri tidak menginginkannya, itu berlaku juga tentang keinginan saya memiliki anak darimu, Nes,” ucap Barata dengan mata teduhnya yang
“Mbak Nes, Mbak Nes,” teriak Dika kala memasuki kamar sang kakak. Di belakangnya, tampak Dewi dengan raut khawatirnya. “Ih Dika, nggak boleh teriak-teriak gitu. Suaramu itu ganggu Mbak Nesa,” peringatnya pada sang adik yang berjalan mendahuluinya. Dika yang terkesan polos itu lantas menggigit bibirnya, mereka kini sudah berada di tepi ranjang di mana Nesa tampak berbaring lemah. “Maaf, Mbak Nes, Dika nakal, ya,” gumamnya dengan rasa bersalah. Nesa menggeleng disertai senyum tipis di bibirnya. “Nggak, kok,” sahutnya sambil terbaring lemah. Lalu Dewi mengambil tempat lebih dekat dengan Nesa. Remaja manis itu bahkan sampai merangkak ke atas kasur. “Dewi kira kalau sudah nikah nyeri haid bakalan hilang, tapi nyatanya Mbak Nesa masih merasakannya,” ungkap Dewi, menyuarakan apa yang ada di pikirannya.“Kan tiap orang beda-beda, Wi,” sahut Nesa, memandang wajah adik perempuannya. “Masih sesakit itukah, Mbak Nes?” tanya Dewi dengan bibir meringis. Dalam hati dia bersyukur, dia salah sat