“Mbok Damiii.”
Terdengar seruan yang memanggil nama perempuan itu. Mbok Dami dengan tergopoh-gopoh keluar kamar Nesa dan meninggalkan obrolan mereka.“Iya, sebentar Mas Rom!”Nesa menghela napas dalam-dalam. “Dari suara beratnya dia terdengar tua. Mungkin rumor itu nggak sepenuhnya cuma rumor. Nesa, sebaiknya legowo dan bersiaplah menjadi istri lelaki tua.” Dia memejamkan matanya.Bebera jam kemudian. Saat langit sudah tampak gelap.“Mbak Nesa, bangun Mbak.”Dengan setengah kesadarannya, Nesa mendengar suara Mbok Dami membangunkannya dan merasakan tangan perempuan itu mengguncang lengannya.“Bangun, Mbak. Ini saya bawakan baju dan peralatan mandi untuk Mbak Nesa. 20 menit lagi waktunya makan malam.”Sambil menggosok kedua matanya, Nesa menguap. “Makasih lagi Mbok, sudah bangunkan saya,” ucap Nesa setelah kesadarannya berangsur pulih. Beberapa jam di perjalanan membuat tenaganya terkuras dan untunglah beberapa jam lalu tidurnya nyenyak dan mudah-mudahan efektif mengembalikan tenaganya.Mbok Dami hanya mengangguk lalu pergi. Sementara Nesa mulai beranjak dari kasur ke kamar mandi.Beberapa saat kemudian, Nesa sudah berada di ruang makan. Tak ada siapa pun di sana. Mungkin Tuan Barata itu datang setelah semua kursi terisi. Mungkin itu sudah kebiasaannya.Nesa memandangi makanan yang terhidang di atas meja. Itu sangat menggiurkan dan nyaris membuat liurnya menetes. Perutnya juga sudah keroncongan. Ingin melahap makanan itu, tetapi Nesa merasa sebelum sang tuan rumah mempersilakan bukankah itu tidak sopan?Saat dia sedang mempertimbangkan tiba-tiba terdengar suara langkah dan seseorang berkata, “Ambil saja yang kamu inginkan, Nesa dan mulailah makan.”Sepasang bola mata Nesa mencari si empunya suara. Bukankah itu suara Tuan Barata? Tetapi tiba-tiba dugaannya sedikit oleng sebab yang lensa matanya tangkap adalah wajah tampan dengan rahang tegas dibingkai bulu-bulu halus, matanya tajam dan alisnya menungkik sempurna. Hidung dan bibirnya proporsional, tak berlebihan.Air liur yang siap menetes karena makanan tadi kini kembali tetapi itu dikarenakan hidangan di depannya yang lebih menggiurkan. Bahkan mata Nesa melihat sosok rupawan itu tanpa berkedip.“Nesa ....” Bibir Barata tersungging senyuman melihat reaksi Nesa saat melihatnya. Hal ini sudah diprediksi lelaki 35 tahun tersebut. “Ayo isi piringmu dengan makanan yang kamu sukai.” Barata mengatakan sambil mengambil duduk di kursi.Mendengar suara itu lagi membuat Nesa akhirnya tersadar. Dia mengangguk lalu dengan gerakan canggung tangannya mengambil beberapa hidangan ke piringnya. “Jadi, lelaki ini benar Tuan Barata?” batinnya bertanya.“Kamu mengira saya bandot tua, gendut, jelek dan mata keranjang?”Bara memulai obrolan saat Nesa memasukkan makanan ke dalam mulut yang kemudian makanan itu nyaris keluar karena ucapannya. Nesa tersedak dan dengan sigap Bara menyodorkan segelas air putih untuknya.“Makasih em ... Mas Bara,” ucap Nesa setelah meneguk air putih.Bara tersenyum. “Kamu juga pasti menganggap saya terlalu PD menyuruhmu memanggil saya Mas.”Nesa mengusap tengkuknya. Bagaimana orang ini bisa tahu?“Itu wajar dan saya memakluminya.” Bara berkata setelah melihat Nesa salah tingkah dan tampaknya tak ingin menjawabnya. “Lanjutkan makanmu dan setelah itu temani saya di taman belakang.”Nesa mengangguk dan melanjutkan makannya. Dalam hati dia berbisik, “Jadi di meja makan sebesar ini cuma dua orang yang makan? Terus di malam-malam sebelumnya apakah lelaki ini makan sendirian?Beberapa saat kemudian keduanya sudah berada di taman belakang, duduk bersebelahan di atas gazebo.“Bagaimana perasaanmu setelah hampir sehari berada di sini?” Bara yang mengawali percakapan setelah lelaki itu beberapa saat hanya memandangi wajah gadis di sampingnya. Nesa jauh lebih cantik daripada di foto. Apakah lelaki tua ayah gadis ini tak merasa bersalah dan sayang telah menukarkannya dengan uang untuk modal foya-foya?“Baik, Mas Bara.” Nesa menunduk, memandangi jari-jari kakinya. Tak berani menatap lelaki yang bertanya.“Hanya baik? Tidak merasa senang?” Barata bertanya. “Rumah ini besar dilengkapi furnitur mahal. Semuanya tercukupi di sini. Makanannya juga enak-enak. Tidak seperti di rumahmu, bukan?”Mendengar itu, ada sudut hati Nesa yang seolah tercubit. Rumahnya memang kecil dan lebih pantas disebut gubuk. Dia juga tak pernah memakan makanan enak seperti di sini. Tapi itulah rumahnya. Di sana banyak menyimpan kenangan bersama almarhumah ibunya. Di sana juga ada adiknya yang kehadirannya mampu menjadi penguat Nesa ketika keputusasaan dan kerapuhan kerap kali menerjangnya.Melihat Nesa bergeming dan tampak memikirkan sesuatu, Barata meraih tangannya dan berkata, “Nesa, besok kamu sah menjadi istri saya. Saya berjanji kamu akan selalu dikelilingi kebahagiaan. Kamu hanya perlu patuh dan nurut sama saya dan jangan pernah berpikir untuk mengkhianati saya. Apakah kamu sanggup?”Barata menatap saksama wajah gadis itu. Dia seperti melihat seseorang di masa lalu. Seseorang yang sangat mirip dengan Nesa. “Nesa, apakah kamu sanggup?”Mata Nesa berkaca-kaca. “Apakah saya punya pilihan selain menuruti permintaan Mas Bara?”Bara menghela napas panjang. Ada sedikit rasa bersalah pada Nesa sebab dia telah menyeret gadis itu ke dalam hubungan yang tak pernah si gadis impikan. Mungkin Nesa menganggapnya kejam. Tapi, Bara juga tak sanggup mengenyahkan wajah itu dari pikirannya barang sedetik pun.Bara membawa tangan Nesa ke bibirnya. “Maaf jika saya terkesan memaksa kamu.”Nesa segera menarik tangannya, merasa risih. Mereka baru bertemu belum ada 24 jam dan bukankah sikap Bara terlalu berlebihan? Meskipun Nesa tak memungkiri dan tak mungkin menyangkal ketampanan Barata, tetapi dia masih memiliki akal sehat. Terlalu gegabah jika dia terbuai dengan lelaki itu sekarang. Lagi pula, hatinya juga terpaut dengan seseorang.Melihat respons Nesa tersebut Barata lantas berdiri lalu berkata, “Kembalilah ke kamar dan tidur dengan nyenyak. Besok adalah hari yang melelahkan untukmu. Saya harap kamu bersiap.”Nesa melihat punggung yang sudah menjauh itu kemudian suara tangisnya pecah. “Kenapa Bapak jahat sama Nesa, Pak?”Lalu berkelebat wajah Bagus di kepalanya. Itu semakin membuat tangisnya pecah. “Maafkan aku, Gus. Aku nggak bermaksud hianatin kamu, aku nggak ada niatan ninggalin kamu. Tapi keadaanku—”Nesa tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Yang terdengar setelah itu hanya tangisan yang sangat memilukan. Dia sangat mencintai Bagus dan begitupun pemuda itu. Mereka sudah berpacaran dua tahun dan dalam jangka waktu itu, keduanya sudah merancang masa depan indah bersama.Dari jendela yang menjorok ke pemandangan taman itu, Bara melihat tangis Nesa. Dia memejamkan mata sejenak dan bergumam, “Maafkan keegoisan saya, Nesa.”Ketika membuka matanya, Barata teramat terkejut. Lalu dia melesat dari kamarnya dengan perasaan murka. “Berani sekali dia menyusup di rumahku!” umpatnya di sela-sela langkahnya.“Hei, anak muda, menyingkir darinya!” Lengan berotot Bara menarik pemuda yang sedang merengkuh gadis dalam pelukannya. Sontak pelukannya terurai dan tubuh gadis itu sedikit oleng karenanya.“Hentikan! Jangan sakiti dia! Dia pacar saya!” Nesa berteriak histeris saat melihat Bara yang memukul kekasihnya tepat di perutnya.“Masuk ke kamarmu, Nesa!” Bara yang kini mencengkeram kerah kemeja lusuh pemuda yang diakui sebagai pacar Nesa itu menatap Nesa dengan tajam. Nesa menggeleng lalu yang membuat Bara tercengang adalah gadis itu tiba-tiba berlutut dan menyentuh kakinya. “Saya mohon lepaskan Bagus dan saya, Mas. Kami saling mencintai.”Air mata Nesa yang memang sudah membasahi pipi kini mengalir lebih deras. “Saya mohon, Mas Bara.”Mata Bara menyipit dan melepas cengkeraman tangannya. “Kamu tahu konsekuensinya, kan?”Nesa mengangguk. “Saya akan bekerja keras untuk melunasi utang Bapak. Saya berjanji.” Suara Nesa mengandung permohonan yang sangat. Kehadiran Bagus di depannya membuat ketabahannya menerima nasib sebagai istri tebusan otomatis goyah. Sambil berkacak pinggang, Barata tertawa. “Kamu tahu berapa nominal utang bapak kamu?”Nesa menggeleng lemah. “300 juta, Nesa. 300. Dan itu semuanya uang, bukan daun!” Bara menunduk, memandang gadis itu dengan perasaan kecewa dan sakit. Secinta itukah Nesa den
Romi yang ditanya seperti itu langsung menjawab, “Kalau boleh jujur sih, Mas, Nesa lebih cantik. Dan ada perbedaan jelas karakter mereka. Nesa tampak polos dan murni, tidak memiliki muslihat—”Mendengar kata muslihat membuat hati Barata seketika dingin. “Yang kutanyakan bukan tentang karakter, tapi fisik. Ah, lama kelamaan kamu jadi seperti Tuan Kusuma yang terhormat.”Barata berlalu setelah melontarkan kalimat sarkasme yang membuat temannya itu menggigit lidahnya sendiri sebab sudah berani berkata jujur. Seharusnya dia tak lupa kalau majikannya sangat sensitif terkait sifat dan sikap gadis masa lalunya. Bosnya itu seolah selalu menulikan telinga jika kejelekan gadis itu diungkit. “Mas, Mas, padahal jelas-jelas perempuan itu mengkhianati kamu.” Romi menggeleng sambil memandang punggung majikannya semakin menjauh.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Nesa dibangunkan Mbok Dami untuk bergegas ke kamar mandi. Nesa membuka kelopak matanya dan langsung meraih tangan perempuan itu. “Mbok, to
Wajah panik Romi langsung terlihat setelah Bara membuka pintu. “Katakan dengan jelas, Rom,” tuntutnya tak sabar. Pasti ada yang salah.“Lele, gurame dan lobster di semua kolam mati, Mas bos. Sepertinya ada pihak yang menyabotase.”“Kurang ajar!” Bara langsung mengambil langkah lebar. Tujuannya tentu saja ke tempat budidaya ikan-ikan yang menjadi salah satu ladang bisnis pencetak uangnya yang saat ini telah diobrak-abrik orang tak bertanggung jawab, dengki dan tak senang dengan kesuksesannya.Romi menyusul dengan berlari. Tempat itu berada kira-kira 20 meter dari gerbang belakang rumah. Nesa mengernyit melihat keributan itu. Dia sempat melihat Bara yang murka dari jendela kaca. Tiba-tiba berkelebat dalam benaknya, bukankah ini adalah peluang? Mungkin Tuhan merasa iba padanya dan memberinya kesempatan untuk kabur.Tanpa pertimbangan lagi, Nesa cepat-cepat berlari menuruni tangga. Ketika berpapasan dengan Mbok Dami, perempuan itu menyapanya dan dia mengatakan ingin melihat-lihat sekitar
Barata sampai di desa Nesa setelah empat jam perjalanan. Dia langsung disambut sang mertua dengan informasi yang sangat tidak dia harapkan. “Nesa tidak ada di sini, Tuan.” Raharja berbicara dengan takut. Khawatir menantu kayanya itu akan murka padanya. “Panggil saja Bara, saya menantu Bapak sekarang.” Di luar perkiraan, justru menantunya itu bersikap jauh dari kata murka. Barata tampak mampu mengendalikan emosi.Bara lantas memeriksa rumah yang hanya sepetak itu untuk memastikan. Dia mengetatkan rahang, istrinya memang tak ada di sana. Ke mana gadis itu pergi? Selama perjalanan pun netranya menyisiri jalan kalau-kalau melihat istrinya. Tetapi, sekadar bayangannya pun tak dia dapati. Barata menjadi semakin khawatir.“Pemuda itu ... pacar Nesa, di mana rumahnya?” Barata bertanya dengan nada tak sabar. Melihat ikatan emosi Nesa dan Bagus malam itu, instingnya berkata kalau sewaktu-waktu Nesa pergi ke rumah pemuda itu untuk menemuinya atau mungkin saat ini Nesa memang sudah berada di sa
“Oh, Bapak baru ingat,” sahut Pak Agung. Lalu dia melihat Nesa dan bertanya, “Kamu disekap di tempat kayak apa, Non?”“Di gubuk, dindingnya berupa bambu, Pak,” jawab Nesa berbohong. Dalam hati dia bergumam, semoga saja orang-orang yang mengelilinginya ini tak menaruh curiga padanya.“Padahal di hutan itu ada rumah Tuan Barata lho, Non. Banyak pegawainya juga di sana. Bapak heran kok yang nyulik kamu itu berani berbuat macam-macam di wilayah Tuan Barata. Kamu nggak lihat di sana ada rumah besar yang dikelilingi tembok tinggi?”Nesa menelan ludahnya dan mencoba menyembunyikan kegugupannya. Andai Pak Agung tahu bahwa nama orang yang disebutnya barusan merupakan tersangka dalam kasus ini. Kemudian Nesa menggeleng setelah kepalanya menemukan jawaban. “Saya dibius saat tidak jauh dari rumah. Setelahnya tahu-tahu sudah ada di gubuk itu dengan beberapa orang yang mengawasi saya. Jadi, saya nggak tahu tentang rumah tuan yang Bapak sebut itu tadi.” “Gimana cara kamu kabur dari sana?” Bu Agung
“Non, hati-hati, ya. Kamu harus bisa jaga diri. Kalau bisa kejadian kemarin jangan sampai terulang lagi.” Bu Agung merangkul tubuh Nesa, mengantarnya sampai depan pickup yang akan mengantarnya pulang. Sementara Pak Agung sudah berada di balik kemudi kendaraan usang tersebut.Nesa tersenyum serta kepalanya mengangguk. Hampir dua hari berada di rumah ini, Nesa seperti mendapatkan keluarga baru. Mereka memperlakukan Nesa dengan baik dan hangat layaknya saudara jauh yang sudah lama hilang komunikasi lantas berkunjung secara tiba-tiba memberi kejutan. Hati Nesa benar-benar menghangat.Bu Agung melepas Nesa, kini giliran Indah yang merangkulnya dan gadis itu berbisik di telinganya, “Mbak, Indah tahu Mbak Nesa menyembunyikan sesuatu, tapi apa pun kebenarannya, Indah harap semuanya akan baik-baik saja.” Nesa mengerjapkan mata. Jadi, gadis yang tampak polos ini selama ini mengamatinya dan tahu kalau dia berbohong, tetapi tidak mencoba mendesaknya berkata jujur? Sontak, Nesa hilang kata-kata m
“Nes, ke mana aja kamu?” Suhana itu sepertinya orang yang suka penasaran dan takkan berhenti sampai keingintahuannya mendapat jawaban. Dia mengguncang lengan Nesa tatkala gadis itu terlihat melamun. Nesa mengangkat pandangannya dari lantai. Setelah mencocokkan informasi dari Suhana, dia menarik kesimpulan—Bagus belum sempat pulang semenjak kedatangannya ke rumah Barata waktu itu. Satu memori melintas di kepala, kalimat perintah Barata kepada Romi malam itu terngiang-ngiang di telinga. Air matanya merebak, kekasihnya mengalami kesulitan karena dirinya. Dan amarah serta kebenciannya pada Barata bertambah berkali-kali lipat. “Ke mana kamu buang pacarku, Mas Bara? Belum puaskah kamu merampas kebahagiannya dengan memisahkan kami? Dan kamu sepertinya nggak akan berhenti sampai membuatnya menderita dengan terluntang-lantung di jalanan.” Hati Nesa begitu pedih seiring bait demi bait kesedihan menggedor dari dalam sana. “Oh, Bagus, semoga kamu baik-baik aja.” Tak terasa bibirnya menggumam p
Bulu mata lentik itu berkedip beberapa kali, bergerak dengan lemah seirama gerakan kelopak mata yang dipayunginya. Rasa pening langsung menyergap gadis yang sedang telentang dengan keadaan tak berdaya, menuntun tangannya terangkat ke pelipis untuk memberi sentuhan meredakan di sana. Suara lenguhan keluar dari sela bibirnya yang mungil, dan kesadaran yang tiba-tiba membuatnya menyentakkan punggung ke kepala ranjang. Dia bangkit secara spontan, mengabaikan kondisi sekujur tubuhnya yang terasa seperti remuk oleh sebab diremas tangan-tangan besi.“Mereka berhasil menangkapku!” memori terakhir yang dapat direkam kepalanya sebelum dia menemukan kesadarannya adalah wajah lelaki yang berjarak tak kurang sejengkal dari wajahnya—menyeringai iblis kepadanya.“Sudah berapa lama aku nggak sadarkan diri?” tanyanya pada diri sendiri. Tangannya mengusap tengkuknya berulang kali.Meskipun rasa sakit begitu menggelayut, Nesa memaksa mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ini bukan kamar yang di
“Terus pantau dia.” Seorang pria berbicara melalui saluran telepon genggamnya. Sorot matanya terlihat berkilat-kilat licik, sementara satu sudut bibirnya terangkat. Saluran komunikasi dia matikan, pria itu lalu menelepon kontak lain, seseorang yang sudah dengan sangat siap menerima perintah. “Tau apa yang musti kamu lakukan?” tanyanya pada seseorang di seberang. “Tau, Juragan. Saya akan melakukan sesuai perintah Juragan.” Terdengar suara di seberang menjawab, mengundang senyum puas terbit di bibir si lelaki paruh baya yang terlihat masih bugar dan muda, seakan usia hanyalah angka baginya. “Bagus. Jangan kecewakan aku, Ramli,” tekan pria itu setengah mengancam, lalu mematikan sambungannya secara sepihak. Beberapa detik kemudian, pria itu tampak menyimpan kembali telepon pintar miliknya ke dalam saku. Lalu tangannya terangkat ke dagunya yang ditumbuhi bulu dengan lebat, mengusap-usapnya dengan lembut. “Barata, Barata. Beberapa tahun nggak nemu cara balas dendam ke kamu, sekarang akh
“Roman-roman mukamu kok kayak orang kurang asupan gizi, Bar,” ledek Naren yang melihat sahabatnya itu tidak bersemangat. Dua hari setelah kejadian di restoran malam itu, hari ini akhirnya Naren berkunjung ke kediaman sahabatnya. Selain berniat silaturrahmi, dia juga ingin memastikan keadaan Nesa, perempuan yang akhir-akhir ini terbayang di benaknya. Apakah dia baik-baik saja karena sikap dingin Barata hanya saat itu saja dan sesampainya di rumah hubungan mereka kembali hangat, atau sedih karena dampak kejadian itu menjadi berlarut-larut. Sungguh, Naren sudah berusaha menghapus wajah Nesa serta kekagumannya terhadap istri sahabatnya itu, tetapi wajah Nesa masih kerapkali muncul. Dan ... dia memiliki kerinduan terhadap sosok gadis itu.“Efek begadang, ngecek-ngecek kolam,” sahut Barata, sambil melarikan perhatiannya pada ikan-ikan di kolam. Sementara tangannya melempar pakan, terlihat gurame-gurame itu berebutan.“Lah, apa gunanya itu Romi? Terus itu orang-orangmu? Mereka makan gaji bu
“Oh, aku lupa kalau ini memang kamarmu,” kata Nesa, melihat Barata yang tampak keras kepala—enggan meninggalkannya. “Seharusnya aku sadar diri. Kalau begitu, biar aku yang keluar.”Nesa berusaha berdiri dengan kekuatannya yang lemah, menyeret kakinya ke pintu. Jiwa Barata kian diterjang rasa bersalah kala melihat kondisi kaki sang istri. Seharusnya dia lebih mampu mengolah emosi, tetapi yang terjadi justru kalap karena terlalu dikuasai api cemburu. “Biar saya saja yang keluar,” ujar Barata. “Tapi setelah saya obati kaki kamu.”“Aku nggak butuh diobati. Kakiku baik-baik aja.” ‘Karena yang beneran sakit adalah hatiku. Kejadian ini dan kamu yang tempramen membuatku menjadi ragu buat memulai hubungan kita. Padahal sebelumnya aku berniat menerima takdir ini, mulai membuka hati buatmu, tapi—’“Auww!” Nesa memekik terkejut merasakan tubuhnya melayang, tahu-tahu dia sudah berada di atas kedua lengan suaminya. Lengannya pun secara reflek mengalung di leher Barata. Barata mendudukkan Nesa
Semua kepala lantas menoleh pada sumber suara. Dalam sekejap, pria yang berjalan perlahan itu menjadi pusat atensi tiga sosok dengan sorot mata berbeda. Barata dengan pandangan menusuk, tatapan Narendra yang menelisik dan Nesa yang memandang dengan jijik. “Siapa yang kamu sebut kelinci kecil, Pecundang?” Tatapan Barata yang penuh permusuhan dia kirimkan pada Awan. Sementara sang istri meremas tangannya dengan gelisah. Barata merasakan telapak kecil itu basah oleh keringat. Dia tahu respons tubuh sang istri diakibatkan syok melihat keparat itu. Putra dungu Tuan Wirang itu pernah menyandera Nesa dan Barata yakin terjadi hal yang tidak menyenangkan selama Nesa dalam genggaman si pecundang itu. “Kalau yang kamu maksud itu istriku, maka tarik lagi ucapanmu itu kecuali dirimu ingin kubuat babak belur tidak berdaya di atas tanah, seperti waktu itu, heh!” Barata bukan hanya menggertak, sebab dia sudah mulai menyingsing lengan kemejanya hingga siku, bersiap bertarung. Melihat pertunjukan t
Narendra seperti dihantam palu tepat di jantungnya kala mendengar klaim Barata. Cintanya layu sebelum berkembang. “Istrimu?” Bahkan dia tak sadar bibirnya bergerak, menunjukkan kalimat yang baru saja menelusup ke telinga begitu mengejutkan. Matanya mengerjap lambat, masih mencoba mencerna. Bahkan, atensinya masih terpaku pada sosok yang dia asumsikan sebagai Anggun—adik Barata, beberapa saat lalu. “Kami menikah sekitaran sebulanan yang lalu,” jelas Barata dan dia kesal melihat Narendra. “Hei, tatap aku. Aku sedang berbicara.”Barata meraih tangan Nesa di bawah meja lalu mengangkatnya ke permukaan, menggenggamnya di atas meja. Dia sengaja melakukan itu untuk menegaskan bahwa Nesa miliknya. Narendra menelan kekecewaan dan berjuang menyembunyikannya dari dua sosok yang duduk bersebelahan itu. Dia mencoba mengulas senyum dan kini tatapannya jatuh pada Barata. “Aku nggak dengar kabar pernikahanmu. Anak-anak juga nggak ada yang ngabarin,” tutur Narendra. Anak-anak yang dikatakan itu meru
“Katakan kalau kamu bukan bidadari yang sedang tersesat di bumi.” Nesa tersenyum tersipu, balas memandang suaminya yang sedang mengagumi pantulan dirinya di cermin. “Kamu ... sangat cantik, Nes,” puji Barata dengan bangga, dagunya bertumpu pada pundak Nesa yang terbuka. Sementara tangannya melingkari perut sang istri yang malam ini tampak seperti peri—cantik, mungil, murni.Barata sangat bersyukur, sepulang dari desa Nesa, hubungan mereka berangsur menjadi hangat. Telinganya sudah tidak pernah lagi mendengar kalimat ketus dan sengit dari bibir Nesa. Pun perangai dan sikap istrinya itu kini menjadi manis dan penurut. Kalau malam waktu sebelum tidur, Nesa tidak pernah menolak atau memberontak saat tubuhnya dipeluk Barata. Sampai bangun di pagi hari, tubuh gadis berparas ayu itu menempel di dada bidangnya. “Ah, tidak jadi pergilah. Begini saja. Saya mau berlama-lama memandang dan mengikatmu seperti ini,” kata Barata lagi seraya mengeratkan pelukannya di tubuh mungil sang istri. Dia ju
“Mulai besok, datang rutin ke Restoran Milenial. Jadi satpam tidak memberatkanmu, kan, Pak? Saya sudah berbicara dengan Arga, kawan saya, owner itu restoran.”Tatapan Barata tampak serius. “Untuk lokasinya, saya kirim melalui pesan whats*pp nanti,” lanjutnya. Raharja melongo, tercengang. Setelah mengejutkannya dengan pernikahan dadakan tanpa kenal mempelai wanitanya, kini sang menantu yang dipujanya itu membuat surprise dengan menyuruhnya bekerja? Tanpa mendengar dulu pendapatnya—apakah dia bersedia atau tidak?Wah, menantuku ini semakin semena-mena, rontanya yang hanya berani dia suarakan dalam hati. Mendapati kejutan tidak menyenangkan itu, jelas saja dia merasa sangat keberatan. Dia sudah amat nyaman menjadi pengangguran, tetapi tiap bulannya mendapat transferan dari Barata sesuai kesepakatan dalam transaksi penyerahan anak gadisnya pada Barata. “Tenang saja, Bapak mertua. Bapak tetap akan menerima uang yang biasa saya kirim tiap bulannya walaupun sudah bekerja. Turuti saja ara
Barata langsung sigap mengambilkan segelas air putih untuk Nesa yang tersedak karena ucapannya. “Maaf, maaf,” katanya setelah meletakkan lagi gelas yang sudah berkurang isinya ke atas nakas. Nesa terlihat canggung, bahkan tatapannya tak beralih dari jemarinya yang tertaut resah. Perkataan Barata tadi jelas mengejutkannya. Apa suaminya itu mendengar pembicaraannya dengan sang ayah beberapa saat lalu? Jika prasangka itu benar lantas kenapa justru pria yang dilimpahi banyak harta itu bersikap manis, ketimbang berbuat kasar—mengingat Raharja telah menyarankan ide licik nan jahat yang dimaksudkan padanya. Barata meraih tangan Nesa yang lantas mengundang kepala istrinya itu terangkat untuk dapat bertemu pandang dengannya. “Maaf kalau perkataan saya membuatmu terkejut. Tapi yang perlu kamu tahu, sebagaimana janji saya yang tidak akan menyentuhmu jika kamu sendiri tidak menginginkannya, itu berlaku juga tentang keinginan saya memiliki anak darimu, Nes,” ucap Barata dengan mata teduhnya yang
“Mbak Nes, Mbak Nes,” teriak Dika kala memasuki kamar sang kakak. Di belakangnya, tampak Dewi dengan raut khawatirnya. “Ih Dika, nggak boleh teriak-teriak gitu. Suaramu itu ganggu Mbak Nesa,” peringatnya pada sang adik yang berjalan mendahuluinya. Dika yang terkesan polos itu lantas menggigit bibirnya, mereka kini sudah berada di tepi ranjang di mana Nesa tampak berbaring lemah. “Maaf, Mbak Nes, Dika nakal, ya,” gumamnya dengan rasa bersalah. Nesa menggeleng disertai senyum tipis di bibirnya. “Nggak, kok,” sahutnya sambil terbaring lemah. Lalu Dewi mengambil tempat lebih dekat dengan Nesa. Remaja manis itu bahkan sampai merangkak ke atas kasur. “Dewi kira kalau sudah nikah nyeri haid bakalan hilang, tapi nyatanya Mbak Nesa masih merasakannya,” ungkap Dewi, menyuarakan apa yang ada di pikirannya.“Kan tiap orang beda-beda, Wi,” sahut Nesa, memandang wajah adik perempuannya. “Masih sesakit itukah, Mbak Nes?” tanya Dewi dengan bibir meringis. Dalam hati dia bersyukur, dia salah sat