Huri berbaring di ranjang besar itu dengan membentangkan tangannya. Indera penciumannya masih terpukau dengan aroma aneka bunga yang menambah suasana malam semakin sahdu. Suara gemericik air di dalam kamar mandi membuat Juri menoleh ke arah sana. Gadis itu tersenyum malu, hingga pipinya terasa menghangat.
Apakah malam ini saatnya? Hampir semua teman di kelasnya mengatakan jangan gugup untuk malam pertama, tetapi tetap saja dirinya merasa sangat canggung.CklekPintu kamar mandi terbuka. Sontak Huri bangun dan langsung duduk sambil melirik malu-malu pada suaminya yang sudah berpakaian. Piyama yang sudah disiapkannya di dalam sana, dikenakan sangat pas di tubuh suaminya.Sayang sekali, guyonan teman di kampus yang mengatakan bahwa suaminya nanti akan keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk, adalah tidak benar. Itu hanya ada di adegan novel yang dituliskan oleh para pencipta adegan dengan tingkat kehaluaan yang hakiki. Huri malah merasa, jika suaminya bisa masuk ke dalam sleeping bag, maka lelaki itu akan melakukannya. Wajahnya lebih merona daripada pengantin wanita."Abang mau upacara atau mau tidur? Kenapa diam saja di sana? Ayo, sini! Saya nggak gigit," ledek Huri sambil tertawa pelan. Dengan ekor matanya, Elang melirik tawa renyah seorang Huri Hamasah. Sangat indah.Elang berjalan menuju ranjang dan langsung duduk di dekat Huri yang kini bersandar pada punggung ranjang."Abang lucu sekali. Kita belum kenalan'kan? Baru ketemu sekali saja. Bagaimana kalau kita berbincang saja, layaknya teman? Atau mau langsung tidur saja juga gak papa," ujar Huri tulus. Senyumnya masih saja mengembang di depan suaminya. Sedangkan Elang, bibir lelaki itu bagaikan dilem. Tidak mampu menyahut apapun."Maafkan aku Kiya. Aku tidak tahu sampai kapan benteng ini bertahan untuk tidak mencicipi manisnya madu yang disuguhkan Huri." Perasaan bersalah berkecamuk dalam hati Elang. Dia mengingat Kiya;istri pertamanya. Wanita yang ia cintai dengan sepenuh hatinya dan dia sudah berjanji tidak akan menyentuh Huri sampai Kiya mengijinkan."Berbincang saja, bagaimana?" suara berat itu akhirnya keluar juga. Huri senang, ia tersenyum dengan begitu lebarnya."Abang atau saya yang lebih dahulu cerita?" tanyanya sambil membetulkan duduknya senyaman mungkin. Satu bantal ia letakkan di atas kedua pahanya yang menekuk."Kamu saja," jawab Elang mempersilakan."Kalau saya lebih dahulu cerita, maka Abang harus melihat wajah saya, tidak boleh melihat lantai," sindir Huri, karena Elang masih saja menunduk menatap lantai. Gadis itu tertawa renyah. Bayangan malam pertama yang berkeringat pupus sudah. Ucapan teman-teman di kampusnya semua tidak ada yang benar. Huri bertekad akan mengoceh habis-habisan pada temannya besok.Bagaikan robot, Elang memutar tubuhnya arah jarum jam dua belas. Duduk berhadapan dengan Huri yang kini menatapnya, bukanlah pilihan yang tepat, karena Elang merasa pasokan oksigen yang masuk ke dalam paru-parunya kian berkurang. Detak jantung itu pun semakin tidak beraturan. Kenapa harus dirinya yang secanggung ini?"Biasa aja, Bang. Jangan seperti robot gitu! Saya kan bukan Sumant* yang suka makan daging orang. Ha ha ha ...." Huri kembali tergelak dan lagi-lagi Elang terpesona dengan tawa gadis itu."Oke, sekarang Abang dengarkan saya ya. Nama saya Huri Hamasah. Mahasiswi jurusan design dan mode di salah satu universitas swasta di Jakarta. Saat ini sudah semester empat. Hobi saya menulis, menggambar, belanja bahan pakaian, dan juga menjahit. Masakan kesukaan saya jengkol balado dan tumis pare. Saya juga suka ayam goreng rempah dan minum teh saat sore hari.Apa Mama saya pernah cerita sebuah rahasia pada Abang?" tanya Huri saat pemaparannya mengenalkan tentang dirinya sudah selesai. Elang menatap istri mudanya dengan alis yang mengerut. Lalu lehernya menggeleng kaku."Rahasia apa?" tanya Elang sedikit penasaran."Abang pasti bingung, kenapa saya mau menikah dengan suami orang? Padahal saya masih gadis dan yah ... mungkin masih banyak bujangan yang mau dengan saya. Mmm ... jadi ...." Huri nampak menarik napas. Ia ragu harus menceritakan sekarang atau nanti saja pada suaminya, tetapi lebih cepat lebih baik, agar suaminya juga paham dengan kondisinya."Saat saya berusia tujuh belas tahun, ada yang melamar saya. Orang kaya dan berpendidikan. Tampan dan juga kharismatik, tetapi saya tolak, karena saya masih ingin kuliah dan saya juga sudah punya pacar. Akhirnya, pacar saya melamar saya, tetapi baru sebulan dari acara lamaran, dia meninggal." Elang merasa jantungnya berhenti berdetak seketika. Lelaki itu susah payah menelan ludahnya."T-terus?" tanyanya gugup."Tahun lalu, ada yang melamar saya lagi dan sebulan setelah lamaran, lelaki itu kembali meninggal," jawab Huri dengan wajah menunduk sedih. Elang merasa bulu di tangan dan tengkuknya mulai berdiri."A-apakah s-saya korban berikutnya?" tanya Elang tergagap._Bersambung_Penasaran lanjutannya? Apa jawaban dari Huri?Huri tergelak melihat wajah pucat pasi suaminya. Bagaikan sedang berhadapan dengan malaikat maut. Yah ... bisa dibilang seperti itu. Menikah dengan Huri, seperti mengantarkan nyawanya ke liang lahat. Sambil merasa kengerian, Elang juga merasa terpesona dengan tawa gadis itu. Segar dan tidak dibuat-buat."Abang gak usah takut," ujarnya setelah tawa itu reda."Kalau semua pria yang melamar kamu mati, apalagi saya yang langsung menikahi kamu," sahut Elang dengan jakun naik turun."Justru itu, makanya Mama gak mau Abang lamar Huri, tapi langsung dinikahkan. Manusia dan jin, masih lebih cerdas manusia, Bang." Bulu tangan dan tengkuk Elang berdiri seketika. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan keadaan sekitar kamar yang terasa sedikit horor. Ditambah lagi gerimis halus mulai turun. Suasana begitu mencekam bagi Elang."Oh ... begitu, trus? Berarti saya lolos dari maut?" tanya Elang dengan polosnya. Tawa Huri kembali pecah dan
Namanya Kiyara, berusia dua puluh tujuh tahun. Pekerjaan sehari-harinya hanya mengurus rumah dan suami. Kemampuan istimewa lainnya tidak ada, selain memasak di dapur. Kiyara yang hanya mengenyam pendidikan sampai SLTA tidak diijinkan oleh suaminya;Elang untuk bekerja di pabrik atau sekedar menjaga toko. Semua itu dilakukan agar keduanya segera diberi momongan.Tak ada yang begitu istimewa dari kehidupan rumah tangganya, selain suami yang sangat menyayangi dan bersabar atas dirinya yang banyak sekali kekurangan. Yah ... walau beberapa kali ada tawaran untuk mengikuti lomba memasak di media sosial atau di lingkup ibu-ibu PKK, tetapi Kiya tidak pernah meresponnya. Duduk di rumah menonton TV layar datar besar, sambil sesekali berbincang dengan para tetangga adalah hobinya untuk mengusir penat.Namun di satu hari, semua berubah. Tepatnya di hari ini, suaminya telah menikah lagi dengan wanita yang bisa dibilang hampir sempurna. Mungkin memang tidak ada cela pada
"Kenapa Mama menatapku seperti itu?" Bu Latifah dan Bu Rima saling menoleh, lalu tersenyum di balik bibir mereka. Alis gadis itu mengerut. Huri merasa ada yang aneh dengan tatapan kedua ibu yang sudah duduk bersiap di meja makan.Huri menarik kursi untuknya, lalu satu kursi lagi di sampingnya untuk Elang yang belum turun dari lantai dua. Rambutnya yang masih basah, digulung dengan handuk kecil. Wajahnya segar dan aroma sampo dan sabun juga sangat segar ditangkap oleh penciuman."Mana Elang?" tanya Bu Latifah pada menantunya."Ada di atas, Bu. Lagi bersiap mau ke toko. Sebentar lagi turun," sahut Huri sambil menyesap tehnya."Loh, kenapa ke toko? Kalian'kan pengantin baru, kenapa tidak di rumah saja memadu kasih, atau saling berbincang?" tanya Bu Latifah pada Huri. Gadis itu tertawa kecil, lalu menoleh ke belakang, saat mendengar langkah kaki suaminya mendekat."Di sini, Bang." Huri menepuk
"Bang." Huri mengayunkan lima jarinya di depan wajah Elang. Lelaki itu tersentak kaget, lalu mengalihkan pandangan."Ada apa?" tanyanya, lalu senyuman lebar menggoda mengembang di bibir Huri."Apa sedang membayangkan sesuatu? Saya minta cium mungkin? Ha ha ha ... Kalung saya sudah terlepas, kenapa Abang masih bengong? Ayo, katanya harus buru-buru kerja." Huri tertawa renyah, lalu dengan mudahnya berdiri lebih dahulu dari suaminya. Tangannya terulur untuk membantu Elang berdiri, namun sayang, lelaki itu memilih bangun sendiri dengan wajah merah padam menahan malu.Aku menikahi gadis atau jin sih? Kenapa dia bisa tahu bayangan apa yang ada di kepalaku? Elang bergumam dengan bulu tangan yang tiba-tiba meremang."Ini tasnya." Huri berhasil mengambil ransel suaminya. Elang menerima barangnya dengan canggung, lalu membuka resleting di dalamnya. Lelaki itu berjalan ke depan kamar mandi, lalu membuka keranjang pak
“Abang pasti sudah meniduri Huri?” Kiya masih terisak pedih. Ia memunggungi Elang. Sama sekali enggan untuk melihat wajah suaminya. Hatinya sudah terlanjut terbakar api cemburu.“Itu tidak benar.”“Oh ya? Mana ada laki-laki yang bisa menahan godaan wanita cantik dan seksi di depannya. Halal pula. Jangan berbohong, Bang,” sergah Kiya masih dengan suaranya yang bergetar. Elang tidak mengeluarkan suara. Ia tahu istrinya pasti saat ini merasakan api cemburu yang membara dan juga sakit hati yang amat dalam. Tangan Elang terulur untuk meraih ujung rambut Kiya, membawanya ke hidungnya. Elang sangat suka aroma sampo yang dipakai oleh istrinya.“Kamu tuh harus tahu, Kiya—bahwa tidak ada wanita yang lebih cantik, lebih seksi, dan lebih menggoda dari kamu. Saat bersamanya saja, Abang selalu merasa bersalah pada kamu.” Terde
Elang menarik ujung bibirnya dengan ringan, membentuk senyuman samar, sekaligus tragis. Ia tidak ingin mengingat apapun dari masa lalu Kiya yang kelam. Cukup untuk menjadi rahasia mereka berdua saja. Bahkan Ibunya saja tidak mengetahui cukup baik perihal kehidupan Kiya sebelum bertemu dengannya. Elang menatap istrinya tanpa kata-kata. Pandangannya sekilas memang terasa sedang emosi, tetapi Elang berusaha mengontrol dirinya. Ia tidak boleh marah pada Kiya. Karena di posisi saat ini, Kiyalah yang paling terluka dan itu karena dirinya dan juga ibunya.Kiya yang merasa suaminya sedang marah, hanya bisa diam sambil mengepalkan tangannya. Jarang sekali amarah Elang tersulut seperti ini dan dia belum pernah sama sekali dibentak oleh suaminya. Namun baru sehari saja di rumah Huri, Kiya hampir tidak mengenali suaminya. Ia memalingkan wajah, malas bertatapan dengan Elang.“Aku sudah sering mengingatkanmu, Kiya, jangan pernah singgung masa
Jumat pagi, Elang mengatakan pada Kiya akan masuk bekerja hari ini. Ada beberapa pelanggan yang memintanya untuk membetulkan AC dan juga kulkas. Malam panas yang dilewatinya dengan Kiya, tidak serta-merta membuatnya lupa akan janjinya pada Huri. Sepanjang malam tidurnya tidak nyenyak mengingat istri mudanya itu mungkin sedang menunggunya. Sarapan mi goreng yang dihidangkan istrinya dimakan dengan lahap, begitu juga dengan segelas air putih hangat.“Abang nanti lembur lagi?” tanya Kiya saat mengantar Elang sampai di depan teras.“Kalau sedang banyak panggilan saja, kalau tidak ya … langsung pulang,” jawab Elang sambil tersenyum. Kiya pun membalas senyuman suaminya dengan hangat, lalu mengambil punggung tangan Elang untuk dikecup.“Abang berangkat ya.” Elang sudah naik ke atas motor. Menyalakan mesin motornya, lalu meluncur di jalanan yang tidak terlalu rata.Jika Kiy
“Mau ke mana?” tanya Elang dengan canggung saat berjalan beriringan dengan Huri di koridor kampus E.“Ke kamar.” Langkah Elang terhenti dengan wajah menegang. Lelaki itu menelan ludahnya kasar, tanpa berani menoleh pada Huri. Sedangkan gadis yang berdiri di sampingnya malah tertawa cekikikan. Inilah yang membuat Huri sangat sedih bila Elang mengabaikannya. Suaminya ini bagai anak perjaka yang selalu digoda janda. Malu-malu tidak jelas.“Saya hanya bercanda. Bagaimana kalau nonton bioskop? Ada film horror yang lagi rame di media sosial. Judulnya ‘Huri Ngesot’.” Elang lagi-lagi terpaksa menghentikan ayunan langkahnya mendengar ucapan Huri yang selalu saja asal sebut. Ingin ia tertawa, tetapi tidak mungkin. Ia harus tetap jaim di depan istri mudanya.“Mana ada judul seperti itu? yang betul ‘Suster Ngesot’,” tukas Elang sambil kembali melangkah menuju parkiran mot
Kiya tengah melipat pakaian yang baru saja ia angkat dari jemuran. Duduk di ruang depan rumahnya sambil menemani Kamelia yang sedang bermain masak-masakan. Semua daun-daunan yang ditanam di pekarangan rumah sederhananya digunakan untuk bermain."Kiya, buatin mi rebus," seru Jaelani pada istrinya."Iya, Mas, tunggu sebentar, nanggung lipatin pakaiannya. Tinggal dua potong baju ....""Kamu kalau disuruh suami itu gerak cepat, alesan aja. Aku lapar nih!" sentak Jaelani dari dalam kamar. Kiya hanya bisa menghela napas kasar, lalu segera bangun dari duduknya. Ia bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan pesanan suaminya."Jangan lupa pakai telur," seru Jaelani lagi dari dalam kamar."Telurnya habis, Mas, harus beli dulu," sahut Kiya sambil menyalakan api kompor gas."Kebiasaan deh kamu, kalau habis itu ya beli
Ijab kabul itu dilaksanakan pada hari Minggu pukul sebelas siang, di kediaman Huri. Tidak banyak tamu undangan yang datang. Hanya beberapa kerabat dan juga teman dekat Huri maupun Elang. Ada dua orang dosen yang juga diundang Huri. Sedangkan Elang hanya bicara pada dua orang yaitu Pak Asep dan Bu Jumi, bahwa ia akan menikah dengan Huri, tetapi bukan hanya dua orang yang datang, melainkan dua puluh orang.Dari tiga puluh mahasiswa di kelasnya, lebih dari delapan puluh persen menghadiri syukuran pernikahan Elang dan Huri. Untung saja beberapa tetangga sigap membantu untuk memesan makanan kembali sehingga suguhan untuk tamu Elang yang tiba-tiba membludak."Bang Elang, selamat ya. Kami beneran senang deh, Abang menikah lagi dengan ibunya anak-anak. Gak nyangka dosen kita adalah mantan Bang Elang. Beruntung sekali yang jadi Bang Elang. Istrinya cantik, pintar, kaya, kayak artis pula. Saya boleh minta kontak dukun yang bias
Huri tidak menyangka ia menjadi dosen ekonomi dari mantan suaminya. Kesempatan ini tidak datang dua kali. Sejak dulu, Huri memang ingin mengajar tetapi karena basicnya design, ia tidak berani mencoba. Namun disaat salah seorang dekan kampus yang tidak lain adalah sepupu dari mamanya menawarkan untuk mengajar mata kuliah ekonomi, maka Huri menyanggupi.Huri sendiri saat ini tengah menempuh S2 jurusan managemen yang baru berjalan selama setahun. Sedangkan kuliah design-nya sudah selesai. Siapa sangka, di kampus ini ia malah bertemu dengan Elang;lelaki yang tidak pernah benar-benar hilang dari kepala dan juga hatinya."Apa tugasnya sudah selesai?" tanya Huri setelah tersadar dari lamunannya."Sebentar lagi, Bu," sahut beberapa orang bersamaan. Ekor mata Huri melirik ke bangku Elang. Lelaki itu duduk bersampingan dengan perempuan yang menurut Huri sangat pecicilan dan juga genit. Hana terus saja tertawa cekikikan sambil memuku
Rasa penasaran Elang terbawa hingga esok hari. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan anak kecil yang keluar dari toko roti semalam. Saat akan menuju kampus, Elang menyempatkan diri untuk mampir ke toko roti itu lagi. Untung saja sudah buka sejak pukul sembilan, sehingga tidak mengganggu jadwalnya yang masuk pukul sepuluh.Elang memarkirkan motornya di parkiran toko. Lalu ia masuk dan memilih beberapa jenis roti untuk ia santap jam makan siang nanti."Selamat pagi, Mas, ada yang bisa kami bantu?" sapa pelayan toko dengan ramah."Pastinya saya mau beli roti, Mbak, karena kalau beli batako bukan di sini tempatnya," sahut Elang dengan bercanda. Pelayan toko berwajah manis itu pun ikut tertawa."Silakan dipilih mau roti apa, Mas," kata pelayan itu lagi sambil menunjuk etalase roti yang sudah penuh dengan varian roti dengan berbagai rasa dan harga. Kantong Elang yang tidak ke atas juga tidak ke bawah, tentu s
"Bang Elang, pocong apa yang disukai emak-emak?""Kamu kalau ngasih tebak-tebakan pasti jawabannya gak bener," sahut Elang dengan wajah malas. Wanita itu tergelak, diikuti enam ibu-ibu lainnya.Sejak teman-teman satu kelas di kampusnya mengetahui ia duda, khususnya para ibu sering sekali menggoda dan cari perhatian padanya. Bukan dirinya GR, hanya saja sedikit gembira saja. Maklumlah, kelas yang ia ambil ini adalah kelas ekstensi khusus karyawan yang jam kuliahnya hanya Sabtu dan Minggu saja. Jika Senin sampai dengan Jumat dia bekerja di toko servis AC, maka akhir pekan ia akan kuliah.Wajar saja jika di dalam kelasnya didominasi oleh kaum para emak dan para bapak. Walau tetap ada juga yang masih gadis, perawan tua, janda pun ada. Sering sekali ia digoda oleh teman-temannya dijodohkan dengan janda kembang bernama Hana."Bang, ye ... kok melamun? Jawab dulu pertanyaan gue dong!""Han, lu pa
"Jadi besok kamu akan menikah?" tanya Elang dengan suara lemah dan mata berkaca-kaca. Huri yang tengah menunduk, dengan gerakan pelan akhirnya mengangguk."Mmm ... selamat ya, Huri. Semoga pernikahannya sakinah, Mawaddah, wa Rohmah." Suara Elang bergetar menahan tangis."Saya harap, kamu dan anak-anak bisa berbahagia selamanya walau tidak dengan saya," katanya lagi dengan wajah teramat sedih."Oh, iya ... AC kamar hanya bermasalah di remote-nya saja. Sudah bisa dipakai lagi. Saya permisi dulu." Elang mengusap telapak tangannya dengan gugup, lalu berdiri dengan cepat. Langkahnya begitu berat meninggalkan Huri yang masih enggan memandangnya.Lelaki itu menoleh ke kiri dan melihat si kembar El tengah digendong oleh dua wanita yang memakai seragam baby sitter. Pasti calon suami Huri yang telah memberikan dua orang wanita untuk membantu menjaga El. Elang memantapkan hatinya, bahwa ini adalah yang terbaik bagi a
Apakah Bu Latifah percaya nama yang ada pada kartu undangan adalah nama mantan menantunya? Tentu tidak. Ada banyak nama Huri Hamasah. Tidak mungkin Huri yang ia kenal baik dan saat ini tengah dicari oleh anaknya. Lagian setahunya, Huri tinggal di Bandung dan bukan di Jakarta.Bu Latifah yang penasaran, memutuskan mencari tahu dengan mengecek isi rumah melalui jendela samping rumah. Rumah itu begitu besar dengan banyak perabotan mahal di dalamnya. Tidak ada yang bisa ia temukan di dalam sana, sebagai tanda bahwa ini adalah rumah Huri. Tidak mungkin.Bu Sanusi pasti kenal dengan Huri, karena pernah ikut ngebesan saat Elang menikah dengan Huri waktu itu. Bu Latifah menepuk keningnya. Kenapa ia bisa mempunyai pikiran buruk seperti ini?Wanita paruh baya itu kembali melanjutkan pekerjaannya hingga selesai semua dan jam menunjukkan pukul dua siang. Bu Latifah meminta ijin pada Bu Sanusi un
Semua warga di sekitar tempat tinggal Kiya menjadi geger, karena wanita itu memutuskan pindah dan mengosongkan rumah kontrakan pada malam hari, setelah isya. Memang sengaja pindah malam hari, karena agar warga tidak banyak berkumpul dan bertanya.Kiya tidak bersama bayinya, hanya menemani duduk di dalam mobil saja. Ada Jaelani yang mengangkut barang bersama dua orang temannya. Cukup satu kali angkut, maka semua barang sudah berpindah tempat ke kontrakan baru yang letaknya tidak jauh dari rumah Jaelani."Pindah, Neng Kiya? Bang Elang mana?""Istri melahirkan bayi lelaki lain, mana mungkin Bang Elang mau kembali lagi. Udah jijik kali.""Gak nyangka, ih ...!""Sudah, sudah, Mbak Kiya semoga betah di tempat baru. Mohon maaf jika selama beberapa tahun tinggal di sini, kami banyak menyusahkan Mbak Kiya," suara Bu RT menengahi. Kiya turun dari mobil tanpa bersuara. Ia hanya tersenyum sambil menga
"Elangnya ke mana, Mbak Kiya?" tanya salah satu dari lima orang tetangga yang menjenguk Kiya dan bayinya hari ini di rumah sakit."Eh, itu ... mungkin di toko. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan," jawab Kiya dengan sedikit canggung. Kelima ibu itu saling pandang, lalu dengan ekor mata melirik seorang pemuda yang duduk tak jauh dari Kiya. Tidak ada pasien lagi di dalam ruangan, sudah pasti pemuda itu tengah menunggui Kiya dan bayinya."Oh, harusnya sebagai ayah baru, Elang gak usah masuk aja. Gimana sih ya?""Kejar setoran, Bu. Namanya sekarang jadi punya tiga anak," timpal ibu satunya lagi."Ya sudah, kami pulang dulu Mbak Kiya. Semoga lekas sehat ya. Ini ada titipan dari ibu-ibu RT kita, semoga manfaat. Ada beberapa kado juga yang dititipkan di saya, tapi nanti saat Mbak Kiya sudah di rumah saja.""Terima kasih ibu-ibu atas perhatiannya. Mudah-mudahan besok sudah bisa pulang." Kiya ter