Hari sabtu ditentukan oleh Bu Rima, sebagai hari bahagia putri semata wayangnya. Huri, gadis cantik berusia dua puluh tahun itu sudah siap dinikahkan dengan Elang Herlambang;pria yang sudah beristri. Bukan hanya sebagian, tetapi semua tamu yang hadir pada acara akad pernikahan itu tentu bertanya-tanya, kenapa gadis cantik, muda, kaya, dan pintar, lebih memilih suami orang sebagai pendamping hidupnya. Bukan Bu Rima namanya, jika dia harus cepak-caoek menjelaskan sebuah alasan yang menyangkut kebahagiaan sang putri.
Kebaya putih sudah dikenakan Huri Hamasah dengan sangat anggun. Make up flawless sudah menyulap wajahnya yang memang sudah cantik, menjadi semakin cantik. Di depan cermin yang kanan kirinya dihiasi lampu besar, Huri memhat dirinya dengan takjub dan juga sedikit ragu. Bu Rima masuk ke dalam kamar anak gadisnya, lalu tersenyum begitu hangat.
“Calon suamimu sudah tiba. Pak Penghulu juga sudah siap untuk menikahkan. Ayo, kamu turun bersama Mama,” ujar Bu Rima lembut. Dibantu oleh dua orang sepupunya, Huri berjalan pelan menuju lantai dasar rumahnya. Semua mata memandangnya dengan takjub dan berdecak kagum. Huri bagaikan Tuan Putri yang baru turun dari kayangan. Sangat sempurna. Banyak tamu wanita yang iri, termasuk Kiya;istri pertama Elang. Wanita itu meremas gamisnya dengan erat. Dia benar-benar terbakar api cemburu. Madunya sangat cantik dan hampir sempurna. Dia menjadi ketakutan, bahwa Elang akan berpaling darinya. “Madu kamu cantik sekali ya. Elang begitu beruntung,” celetuk salah seorang tamu yang juga mengenal Kiya sebagai istri pertama Elang.
“Bagaimanapun cantiknya istri muda, tetap saja Elang itu nanti lebih cenderung ke saya,” balas Kiya dengan memberengut.
“Itu sudah pasti, tetapi bagi lelaki yang disuguhi madu murni yang halal, tentu dia takkan menolak untuk mencicipi, bukan? Saingan kamu sangat berat, Kiya. Bersiaplah!” ocehan ibu yang duduk di sebelahnya membuat Kiya jengah, sekaligus harus bersikap waspada. Namun dia yakin, Elang akan tetap hanya mencintainya sepenuh nhati dan takkan berpaling pada Huri, karena pernikahan ini didasari karena utang.
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Huri Hamasah binti Ahmad Mursyid dengan mas kawin seperangkat alat salat dan cincin emas lima gram dibayar tunai!”
“Sah.”
Dengan satu kali tarikan napas, Elang melafadzkan akad dengan sangat sempurna. Semua tamu mengnagkat tangan—memohon doa pada Sang Pencipta agar memberikan keberkahan pada pasangan pengantin yang baru saja sah di mata agama juga negara. Tangan Elang gemetar, saat menyingkap pelan selendang renda tile berwarna putih yang menutupi wajah Huri. Meskipun ia beberapa kali pernah melihat gadis ini, tetapi ia tidak begitu tegas dengan wajahnya. Baru hari ini, dengan mata terbelalak kaget dan ludah yang sulit tertelan, Elang mengakui di dalam hati, Huri istrinya, sangatlah cantik. Gadis itu masih menunduk malu, apalagi saat MC acara meminta Huri untuk mencium punggung tangan suaminya.
“Silakan dicium kening istrinya, Mas Elang,” seru MC lagi, hingga semua orang yang ada di sana tertawa. Jika hampir semua orang dapat bergembira dengan pernikahan ini, termasuk Bu Latifah, tetapi tidak dengan Kiya. Air matanya tidak berhenti mengalir saat suaminya dengan terang-terangan mencium kening Huri. Hati Kiya panas. Jika saja dia tidak memiliki mertua yang suka berutang, tentu sekarang ia tidak bernasib sial seperti ini.
Ciuman yang diberikan Elang di kening Huri memang sangat kaku dan terpaksa, tetapi sukses membuat lelaki itu hampir hilang keseimbangan. Dia belum bisa menelan nasi selama dua hari menjelang pernikahan. Masih gamang antara lanjut dan tidak. Tubuhnya memang sedikit lemas, tetapi ia harus bertahan karena acara sukuran masih berlangsung tiga jam lagi.
Keduanya duduk di pelaminan sederhana untuk menerima doa selamat dan ucapan suka cita dari para tamu undangan. Bu Rima dan Bu Latifah pun tersenyum amat lebar menyambut tamu-tamu mereka yang didominasi oleh kaum ibu-ibu. Hanya segelintir orang saja tamu laki-laki. Itu pun teman kuliah Huri dan juga sebagian kecil teman Elang.
“Abang pucat, apa Abang sakit?” Huri mengeluarkan suara merdunya. Elang tersentak dan menoleh dengan perasaan canggung. Lelaki itu menggeleng. Tanpa ekspresi atau senyuman sama sekali. Sesekali ekor mata Elang masih menangkap sosok Kiya yang duduk bersembunyi di balik tubuh tamu undangan yang kain, sambil sesekali menyeka air mata. Elang benar-benar merasa kasihan dan tidak tega dengan Kiya.
“Huri ambilkan minum ya?” tanpa menunggu persetujuan Elang, gadis itu mengambilkan gelas air mineral yang berada tidak jauh di meja kecil di belakang pelaminan. Menusukkan sedotan di permukaan gelas, lalu memberikannya pada Elang. Dengan canggung, Elang menerima air mineral dari tangan Huri. Tanpa sengaja, kulit tangan mereka bersentuhan dan itu membuat Elang sedikit tersentak. Bagaikan sengatan listrik saat dia tengah asik membetulkan televisi pelanggannnya. Elang tidak yakin, hatinya akan baik-baik saja kalau sudah begini.
Kamar pengantin sudah dihias dengan sangat cantik dan romantis. Aroma aneka bunga menyeruak menusuk hidung. Siapapun yang membaui aromanya pastilah merasakan sensasi akan keindahan malam pengantin. Huri sudah membersihkan diri dan berganti pakaian, tetapi hingga setengah jam menunggu, suaminya belum juga masuk ke dalam kamar. Gadis itu duduk diam di atas ranjang yang bertabur kelopak bunga. Dengan telapak tangannya, ia mengusap kain selimut tebal itu dengan lembut. Lalu mengambil beberapa kelopak yang berserakan untuk dibawanya kepada hidungnya. “Ehm … harumnya,” gumam Huri sambil tersenyum tipis.
Cklek!
Huri terlonjak kaget dan reflex berdiri dengan kaku, saat melihat suaminyalah yang berdiri di depan pintu kamarnya. Huri tersenyum saat mata mereka saling pandang. Elang lagi-lagi hanya bisa menelan ludahnya. Lelaki itu berbalik badan untuk menutup pintu, sambil mengatur napas dan detak jantungnya yang sangat kacau saat ini.
“Bang, air hangatnya sudah saya siapkan. Mandi dulu ya, sebelum ….” Huri tamapka malu-malu melanjutkan ucapannya.
“Sebelum tidur,” sambungnya dengan menahan napas.
“I-iya, terima kasih,” ujar Elang dengan suara sangat pelan. Mungkin hanya dia saja dan bayangannya yang mampu mendengar ucapan itu. Elang berjalan cepat menuju kamar mandi, tanpa menoleh pada Huri.
“Bang … kalau saya ikutan boleh gak?” Elang terdiam di depan pintu. Wajahnya pucat pasi dan kakinya tiba-tiba seperti tak bertulang.
BersambungHuri berbaring di ranjang besar itu dengan membentangkan tangannya. Indera penciumannya masih terpukau dengan aroma aneka bunga yang menambah suasana malam semakin sahdu. Suara gemericik air di dalam kamar mandi membuat Juri menoleh ke arah sana. Gadis itu tersenyum malu, hingga pipinya terasa menghangat.Apakah malam ini saatnya? Hampir semua teman di kelasnya mengatakan jangan gugup untuk malam pertama, tetapi tetap saja dirinya merasa sangat canggung.CklekPintu kamar mandi terbuka. Sontak Huri bangun dan langsung duduk sambil melirik malu-malu pada suaminya yang sudah berpakaian. Piyama yang sudah disiapkannya di dalam sana, dikenakan sangat pas di tubuh suaminya.Sayang sekali, guyonan teman di kampus yang mengatakan bahwa suaminya nanti akan keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk, adalah tidak benar. Itu hanya ada di adegan novel yang dituliskan oleh para pencipta adegan dengan tingkat kehaluaan yang hakiki. Huri malah
Huri tergelak melihat wajah pucat pasi suaminya. Bagaikan sedang berhadapan dengan malaikat maut. Yah ... bisa dibilang seperti itu. Menikah dengan Huri, seperti mengantarkan nyawanya ke liang lahat. Sambil merasa kengerian, Elang juga merasa terpesona dengan tawa gadis itu. Segar dan tidak dibuat-buat."Abang gak usah takut," ujarnya setelah tawa itu reda."Kalau semua pria yang melamar kamu mati, apalagi saya yang langsung menikahi kamu," sahut Elang dengan jakun naik turun."Justru itu, makanya Mama gak mau Abang lamar Huri, tapi langsung dinikahkan. Manusia dan jin, masih lebih cerdas manusia, Bang." Bulu tangan dan tengkuk Elang berdiri seketika. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan keadaan sekitar kamar yang terasa sedikit horor. Ditambah lagi gerimis halus mulai turun. Suasana begitu mencekam bagi Elang."Oh ... begitu, trus? Berarti saya lolos dari maut?" tanya Elang dengan polosnya. Tawa Huri kembali pecah dan
Namanya Kiyara, berusia dua puluh tujuh tahun. Pekerjaan sehari-harinya hanya mengurus rumah dan suami. Kemampuan istimewa lainnya tidak ada, selain memasak di dapur. Kiyara yang hanya mengenyam pendidikan sampai SLTA tidak diijinkan oleh suaminya;Elang untuk bekerja di pabrik atau sekedar menjaga toko. Semua itu dilakukan agar keduanya segera diberi momongan.Tak ada yang begitu istimewa dari kehidupan rumah tangganya, selain suami yang sangat menyayangi dan bersabar atas dirinya yang banyak sekali kekurangan. Yah ... walau beberapa kali ada tawaran untuk mengikuti lomba memasak di media sosial atau di lingkup ibu-ibu PKK, tetapi Kiya tidak pernah meresponnya. Duduk di rumah menonton TV layar datar besar, sambil sesekali berbincang dengan para tetangga adalah hobinya untuk mengusir penat.Namun di satu hari, semua berubah. Tepatnya di hari ini, suaminya telah menikah lagi dengan wanita yang bisa dibilang hampir sempurna. Mungkin memang tidak ada cela pada
"Kenapa Mama menatapku seperti itu?" Bu Latifah dan Bu Rima saling menoleh, lalu tersenyum di balik bibir mereka. Alis gadis itu mengerut. Huri merasa ada yang aneh dengan tatapan kedua ibu yang sudah duduk bersiap di meja makan.Huri menarik kursi untuknya, lalu satu kursi lagi di sampingnya untuk Elang yang belum turun dari lantai dua. Rambutnya yang masih basah, digulung dengan handuk kecil. Wajahnya segar dan aroma sampo dan sabun juga sangat segar ditangkap oleh penciuman."Mana Elang?" tanya Bu Latifah pada menantunya."Ada di atas, Bu. Lagi bersiap mau ke toko. Sebentar lagi turun," sahut Huri sambil menyesap tehnya."Loh, kenapa ke toko? Kalian'kan pengantin baru, kenapa tidak di rumah saja memadu kasih, atau saling berbincang?" tanya Bu Latifah pada Huri. Gadis itu tertawa kecil, lalu menoleh ke belakang, saat mendengar langkah kaki suaminya mendekat."Di sini, Bang." Huri menepuk
"Bang." Huri mengayunkan lima jarinya di depan wajah Elang. Lelaki itu tersentak kaget, lalu mengalihkan pandangan."Ada apa?" tanyanya, lalu senyuman lebar menggoda mengembang di bibir Huri."Apa sedang membayangkan sesuatu? Saya minta cium mungkin? Ha ha ha ... Kalung saya sudah terlepas, kenapa Abang masih bengong? Ayo, katanya harus buru-buru kerja." Huri tertawa renyah, lalu dengan mudahnya berdiri lebih dahulu dari suaminya. Tangannya terulur untuk membantu Elang berdiri, namun sayang, lelaki itu memilih bangun sendiri dengan wajah merah padam menahan malu.Aku menikahi gadis atau jin sih? Kenapa dia bisa tahu bayangan apa yang ada di kepalaku? Elang bergumam dengan bulu tangan yang tiba-tiba meremang."Ini tasnya." Huri berhasil mengambil ransel suaminya. Elang menerima barangnya dengan canggung, lalu membuka resleting di dalamnya. Lelaki itu berjalan ke depan kamar mandi, lalu membuka keranjang pak
“Abang pasti sudah meniduri Huri?” Kiya masih terisak pedih. Ia memunggungi Elang. Sama sekali enggan untuk melihat wajah suaminya. Hatinya sudah terlanjut terbakar api cemburu.“Itu tidak benar.”“Oh ya? Mana ada laki-laki yang bisa menahan godaan wanita cantik dan seksi di depannya. Halal pula. Jangan berbohong, Bang,” sergah Kiya masih dengan suaranya yang bergetar. Elang tidak mengeluarkan suara. Ia tahu istrinya pasti saat ini merasakan api cemburu yang membara dan juga sakit hati yang amat dalam. Tangan Elang terulur untuk meraih ujung rambut Kiya, membawanya ke hidungnya. Elang sangat suka aroma sampo yang dipakai oleh istrinya.“Kamu tuh harus tahu, Kiya—bahwa tidak ada wanita yang lebih cantik, lebih seksi, dan lebih menggoda dari kamu. Saat bersamanya saja, Abang selalu merasa bersalah pada kamu.” Terde
Elang menarik ujung bibirnya dengan ringan, membentuk senyuman samar, sekaligus tragis. Ia tidak ingin mengingat apapun dari masa lalu Kiya yang kelam. Cukup untuk menjadi rahasia mereka berdua saja. Bahkan Ibunya saja tidak mengetahui cukup baik perihal kehidupan Kiya sebelum bertemu dengannya. Elang menatap istrinya tanpa kata-kata. Pandangannya sekilas memang terasa sedang emosi, tetapi Elang berusaha mengontrol dirinya. Ia tidak boleh marah pada Kiya. Karena di posisi saat ini, Kiyalah yang paling terluka dan itu karena dirinya dan juga ibunya.Kiya yang merasa suaminya sedang marah, hanya bisa diam sambil mengepalkan tangannya. Jarang sekali amarah Elang tersulut seperti ini dan dia belum pernah sama sekali dibentak oleh suaminya. Namun baru sehari saja di rumah Huri, Kiya hampir tidak mengenali suaminya. Ia memalingkan wajah, malas bertatapan dengan Elang.“Aku sudah sering mengingatkanmu, Kiya, jangan pernah singgung masa
Jumat pagi, Elang mengatakan pada Kiya akan masuk bekerja hari ini. Ada beberapa pelanggan yang memintanya untuk membetulkan AC dan juga kulkas. Malam panas yang dilewatinya dengan Kiya, tidak serta-merta membuatnya lupa akan janjinya pada Huri. Sepanjang malam tidurnya tidak nyenyak mengingat istri mudanya itu mungkin sedang menunggunya. Sarapan mi goreng yang dihidangkan istrinya dimakan dengan lahap, begitu juga dengan segelas air putih hangat.“Abang nanti lembur lagi?” tanya Kiya saat mengantar Elang sampai di depan teras.“Kalau sedang banyak panggilan saja, kalau tidak ya … langsung pulang,” jawab Elang sambil tersenyum. Kiya pun membalas senyuman suaminya dengan hangat, lalu mengambil punggung tangan Elang untuk dikecup.“Abang berangkat ya.” Elang sudah naik ke atas motor. Menyalakan mesin motornya, lalu meluncur di jalanan yang tidak terlalu rata.Jika Kiy
Kiya tengah melipat pakaian yang baru saja ia angkat dari jemuran. Duduk di ruang depan rumahnya sambil menemani Kamelia yang sedang bermain masak-masakan. Semua daun-daunan yang ditanam di pekarangan rumah sederhananya digunakan untuk bermain."Kiya, buatin mi rebus," seru Jaelani pada istrinya."Iya, Mas, tunggu sebentar, nanggung lipatin pakaiannya. Tinggal dua potong baju ....""Kamu kalau disuruh suami itu gerak cepat, alesan aja. Aku lapar nih!" sentak Jaelani dari dalam kamar. Kiya hanya bisa menghela napas kasar, lalu segera bangun dari duduknya. Ia bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan pesanan suaminya."Jangan lupa pakai telur," seru Jaelani lagi dari dalam kamar."Telurnya habis, Mas, harus beli dulu," sahut Kiya sambil menyalakan api kompor gas."Kebiasaan deh kamu, kalau habis itu ya beli
Ijab kabul itu dilaksanakan pada hari Minggu pukul sebelas siang, di kediaman Huri. Tidak banyak tamu undangan yang datang. Hanya beberapa kerabat dan juga teman dekat Huri maupun Elang. Ada dua orang dosen yang juga diundang Huri. Sedangkan Elang hanya bicara pada dua orang yaitu Pak Asep dan Bu Jumi, bahwa ia akan menikah dengan Huri, tetapi bukan hanya dua orang yang datang, melainkan dua puluh orang.Dari tiga puluh mahasiswa di kelasnya, lebih dari delapan puluh persen menghadiri syukuran pernikahan Elang dan Huri. Untung saja beberapa tetangga sigap membantu untuk memesan makanan kembali sehingga suguhan untuk tamu Elang yang tiba-tiba membludak."Bang Elang, selamat ya. Kami beneran senang deh, Abang menikah lagi dengan ibunya anak-anak. Gak nyangka dosen kita adalah mantan Bang Elang. Beruntung sekali yang jadi Bang Elang. Istrinya cantik, pintar, kaya, kayak artis pula. Saya boleh minta kontak dukun yang bias
Huri tidak menyangka ia menjadi dosen ekonomi dari mantan suaminya. Kesempatan ini tidak datang dua kali. Sejak dulu, Huri memang ingin mengajar tetapi karena basicnya design, ia tidak berani mencoba. Namun disaat salah seorang dekan kampus yang tidak lain adalah sepupu dari mamanya menawarkan untuk mengajar mata kuliah ekonomi, maka Huri menyanggupi.Huri sendiri saat ini tengah menempuh S2 jurusan managemen yang baru berjalan selama setahun. Sedangkan kuliah design-nya sudah selesai. Siapa sangka, di kampus ini ia malah bertemu dengan Elang;lelaki yang tidak pernah benar-benar hilang dari kepala dan juga hatinya."Apa tugasnya sudah selesai?" tanya Huri setelah tersadar dari lamunannya."Sebentar lagi, Bu," sahut beberapa orang bersamaan. Ekor mata Huri melirik ke bangku Elang. Lelaki itu duduk bersampingan dengan perempuan yang menurut Huri sangat pecicilan dan juga genit. Hana terus saja tertawa cekikikan sambil memuku
Rasa penasaran Elang terbawa hingga esok hari. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan anak kecil yang keluar dari toko roti semalam. Saat akan menuju kampus, Elang menyempatkan diri untuk mampir ke toko roti itu lagi. Untung saja sudah buka sejak pukul sembilan, sehingga tidak mengganggu jadwalnya yang masuk pukul sepuluh.Elang memarkirkan motornya di parkiran toko. Lalu ia masuk dan memilih beberapa jenis roti untuk ia santap jam makan siang nanti."Selamat pagi, Mas, ada yang bisa kami bantu?" sapa pelayan toko dengan ramah."Pastinya saya mau beli roti, Mbak, karena kalau beli batako bukan di sini tempatnya," sahut Elang dengan bercanda. Pelayan toko berwajah manis itu pun ikut tertawa."Silakan dipilih mau roti apa, Mas," kata pelayan itu lagi sambil menunjuk etalase roti yang sudah penuh dengan varian roti dengan berbagai rasa dan harga. Kantong Elang yang tidak ke atas juga tidak ke bawah, tentu s
"Bang Elang, pocong apa yang disukai emak-emak?""Kamu kalau ngasih tebak-tebakan pasti jawabannya gak bener," sahut Elang dengan wajah malas. Wanita itu tergelak, diikuti enam ibu-ibu lainnya.Sejak teman-teman satu kelas di kampusnya mengetahui ia duda, khususnya para ibu sering sekali menggoda dan cari perhatian padanya. Bukan dirinya GR, hanya saja sedikit gembira saja. Maklumlah, kelas yang ia ambil ini adalah kelas ekstensi khusus karyawan yang jam kuliahnya hanya Sabtu dan Minggu saja. Jika Senin sampai dengan Jumat dia bekerja di toko servis AC, maka akhir pekan ia akan kuliah.Wajar saja jika di dalam kelasnya didominasi oleh kaum para emak dan para bapak. Walau tetap ada juga yang masih gadis, perawan tua, janda pun ada. Sering sekali ia digoda oleh teman-temannya dijodohkan dengan janda kembang bernama Hana."Bang, ye ... kok melamun? Jawab dulu pertanyaan gue dong!""Han, lu pa
"Jadi besok kamu akan menikah?" tanya Elang dengan suara lemah dan mata berkaca-kaca. Huri yang tengah menunduk, dengan gerakan pelan akhirnya mengangguk."Mmm ... selamat ya, Huri. Semoga pernikahannya sakinah, Mawaddah, wa Rohmah." Suara Elang bergetar menahan tangis."Saya harap, kamu dan anak-anak bisa berbahagia selamanya walau tidak dengan saya," katanya lagi dengan wajah teramat sedih."Oh, iya ... AC kamar hanya bermasalah di remote-nya saja. Sudah bisa dipakai lagi. Saya permisi dulu." Elang mengusap telapak tangannya dengan gugup, lalu berdiri dengan cepat. Langkahnya begitu berat meninggalkan Huri yang masih enggan memandangnya.Lelaki itu menoleh ke kiri dan melihat si kembar El tengah digendong oleh dua wanita yang memakai seragam baby sitter. Pasti calon suami Huri yang telah memberikan dua orang wanita untuk membantu menjaga El. Elang memantapkan hatinya, bahwa ini adalah yang terbaik bagi a
Apakah Bu Latifah percaya nama yang ada pada kartu undangan adalah nama mantan menantunya? Tentu tidak. Ada banyak nama Huri Hamasah. Tidak mungkin Huri yang ia kenal baik dan saat ini tengah dicari oleh anaknya. Lagian setahunya, Huri tinggal di Bandung dan bukan di Jakarta.Bu Latifah yang penasaran, memutuskan mencari tahu dengan mengecek isi rumah melalui jendela samping rumah. Rumah itu begitu besar dengan banyak perabotan mahal di dalamnya. Tidak ada yang bisa ia temukan di dalam sana, sebagai tanda bahwa ini adalah rumah Huri. Tidak mungkin.Bu Sanusi pasti kenal dengan Huri, karena pernah ikut ngebesan saat Elang menikah dengan Huri waktu itu. Bu Latifah menepuk keningnya. Kenapa ia bisa mempunyai pikiran buruk seperti ini?Wanita paruh baya itu kembali melanjutkan pekerjaannya hingga selesai semua dan jam menunjukkan pukul dua siang. Bu Latifah meminta ijin pada Bu Sanusi un
Semua warga di sekitar tempat tinggal Kiya menjadi geger, karena wanita itu memutuskan pindah dan mengosongkan rumah kontrakan pada malam hari, setelah isya. Memang sengaja pindah malam hari, karena agar warga tidak banyak berkumpul dan bertanya.Kiya tidak bersama bayinya, hanya menemani duduk di dalam mobil saja. Ada Jaelani yang mengangkut barang bersama dua orang temannya. Cukup satu kali angkut, maka semua barang sudah berpindah tempat ke kontrakan baru yang letaknya tidak jauh dari rumah Jaelani."Pindah, Neng Kiya? Bang Elang mana?""Istri melahirkan bayi lelaki lain, mana mungkin Bang Elang mau kembali lagi. Udah jijik kali.""Gak nyangka, ih ...!""Sudah, sudah, Mbak Kiya semoga betah di tempat baru. Mohon maaf jika selama beberapa tahun tinggal di sini, kami banyak menyusahkan Mbak Kiya," suara Bu RT menengahi. Kiya turun dari mobil tanpa bersuara. Ia hanya tersenyum sambil menga
"Elangnya ke mana, Mbak Kiya?" tanya salah satu dari lima orang tetangga yang menjenguk Kiya dan bayinya hari ini di rumah sakit."Eh, itu ... mungkin di toko. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan," jawab Kiya dengan sedikit canggung. Kelima ibu itu saling pandang, lalu dengan ekor mata melirik seorang pemuda yang duduk tak jauh dari Kiya. Tidak ada pasien lagi di dalam ruangan, sudah pasti pemuda itu tengah menunggui Kiya dan bayinya."Oh, harusnya sebagai ayah baru, Elang gak usah masuk aja. Gimana sih ya?""Kejar setoran, Bu. Namanya sekarang jadi punya tiga anak," timpal ibu satunya lagi."Ya sudah, kami pulang dulu Mbak Kiya. Semoga lekas sehat ya. Ini ada titipan dari ibu-ibu RT kita, semoga manfaat. Ada beberapa kado juga yang dititipkan di saya, tapi nanti saat Mbak Kiya sudah di rumah saja.""Terima kasih ibu-ibu atas perhatiannya. Mudah-mudahan besok sudah bisa pulang." Kiya ter