Bella menyerah benda kecil itu pada Nana, disertai gelengan. Masih sama dengan lima pagi sebelumnya, hanya muncul satu garis.“Sabar, Dik. Mungkin belum sekarang.” Burhan mengusap bahu Nana.“Maaf,” lirih Bella menekuk wajah. Dia tau dua orang di hadapannya sedang kecewa.“Ini bukan salahmu, berhenti meminta maaf.” tangan Burhan yang satunya mengusap bahu Bella.“Aku tidak masalah, tapi bagaimana dengan Mama.”“Semoga saja mama lupa.”“Aku tidak mau Bella pergi dari sini. Pokoknya Bella harus Abang buat hamil TITIK.”“Pasrahkan saja pada Tuhan, dik.”“Ah, lagian permintaan Mama. Berat sekali. Emangnya ayam sekali kawin langsung bertelur.”Nana terlihat bingung, takut mertuanya menagih janji. Kasian Bella harus terusir dari rumah ini.“Coba ingat-ingat terakhir datang bulan tanggal berapa,” tanya Nana.“Aku lupa Kak, Kakak sama Abang tahu. Aku datang bukannya gak teratur,” sesal Bella.Nana menghela napas berat. Memikirkan nasib rumah tangganya nanti. Dia tahu betul sifat ibu dari suam
Dia bukan pelakor dan tidak akan serendah itu. Jika diminta baik-baik dengan senang hati dia akan pergi meninggalkan kehidupannya saat ini.Nana mengedarkan pandangan mencari sosok Amel. Kemana gadis itu, dari datang tadi tidak tampak.Firasat Nana sangat kuat, tanpa pamit dia berjalan menuju kamar Bella. Dan, benar saja adik iparnya itu sedang sibuk membereskan barang-barang Bella.“Lancang sekali, Kamu,” teriak Nana membuat semua orang menuju mereka. “Siapa yang mengizinkan, kamu menyentuh barang-barang itu.”“A-anu, itu,” jawab Amel tidak jelas, dia bingung harus mengatakan apa. Ini memang kemauannya sendiri. Dia sudah tau hasilnya seperti apa. Dia hanya membuat mempercepat proses wanita itu menyingkirkan dari sini.
“Nduk, ini Bibi punya sedikit uang untuk bekal kamu. Bibi tidak mampu untuk menolong, hanya ini yang bisa Bibi berikan.” Bi Siti mengangsur gulung merah yang diikat karet gelang ke tangan Bella.“Tidak usah, Bi. Simpan saja uang ini. Jangan khawatir ada Tuhan yang menjaga aku.” tangis gadis itu meluap. “Aku boleh peluk Bibi. Untuk terakhir kalinya.”“Sini nak, jangan katakan ini terakhir kali. Minta pada Tuhan jika kamu akan kembali kesini lagi.” Bi Siti merangkul tubuh mungil Bella dengan penuh kasih. Kasih seorang ibu pada anaknya.“Aku minta maaf sering merepotkan dan mengganggu Bibi,” ucap Bella pelan.“Tidak, kamu tidak punya salah. Justru Bibi yang akan merindukan hal itu. Setelah ini pasti Bib
Matahari semakin kuat memancarkan panasnya. Menyisakan warna gelap setiap kulit yang terpapar langsung.Nana masih terisak di atas kasurnya. Burhan telah membawanya ke kamar setelah memastikan bahwa Bi Siti berhasil bertemu Bella.Ingin sekali dia turut pergi dari sini bersama gadis yang sudah menjadi saudara baginya.Burhan sibuk memikirkan cara bagaimana menghubungkan orang-orang suruhannya. Untuk menyelamatkan Bella.Malam masih beberapa jam lagi. Menunggu gawainya dikembalikan sang Mama. Telepon rumah tidak bisa digunakan.Ada yang sengaja memutuskan kabelnya. Dan dia sudah tahu siapa pelakunya. Tidak lain dan tidak bukan saudaranya sendiri.Dia takut kehilangan jejak gadis it
Dan, kecelakaan itu tak terelakan tubuh keduanya terpental jauh. Menyadari hal itu Nana dan Burhan berusaha menyelamatkan korban dengan membawanya menggunakan mobil mereka ke rumah sakit.Dengan ditemani warga sekitar korban berhasil dilarikan kerumah sakit terdekat.Luka yang tergolong parah membuat mereka harus mendapatkan perawatan yang serius. Bahkan korban yang laki-laki harus dioperasi untuk mengeluarkan gumpalan darah beku di kepalanya.Saat mereka menunggu proses medisnya. Gawai Burhan berdering, panggilan dari sang kakak.Mengabarkan bahwa sang Mama masuk rumah sakit. Jantungnya kambuh saat tidak sengaja menguping pembicaran Sopie dengan suaminya. Tentang Burhan yang menabrak pejalan kaki di jalan menuju puncak.Akhi
“Apa! Ulangi lagi.” Bella membesarkan mata mendengar ejekan pria baik atau sok baik yang tersenyum simpul kearahnya.“Lupa.”“Buruan turun sana, kuncinya masih sama yang punya.”“Jadi aku harus bayar berapa?”“Cukup bayar dengan cinta,” kata-kata itu lolos begitu saja tanpa bisa disaring.“Maksudnya?” Bella terperangah.“Lupakan saja,” Hamka hendak membuka pintu mobil tapi kalah cepat dengan Bella menahan pintu.“Tunggu dulu. Aku ingin penjelasan,” selidik Bella.“Lupakan saja, yang terpent
Kembali ke kampung hal yang mustahil. Pasti saudaranya semakin mengucilkannya saat tahu dia hanya istri kedua dan diusir oleh keluarga suaminya.Nana melemparkan tubuh lelahnya ke sofa ruang tengah. Pencarian hari ini tidak membuahkan hasil, berulang kali menyisir jalanan sosok Bella tak berhasil ditemukan.“Ini minum dulu, Dik.” Burhan memberikan segelas air putih kepada Nana.Nana menyambarnya, lalu meneguk isinya hingga tandas.“Kita makan dulu yuk, kamu hanya makan saat sarapan tadi pagi.”“Aku gak lapar, Abang saja yang makan.”“Kamu harus makan, Dik. Jaga kesehatan, agar bisa mencari Bella.”
“Aku masuk dulu, terima kasih telah menemani maraton malam ini,” kekeh Bella sambil membuka pintu.Hamka menghidupkan sepeda motornya dan segera pergi. Setelah memastikan gadis itu mengunci pintu dari dalam.Bella merosot ke lantai, menenggelamkan wajah diantara kedua lututnya.Perang dari dirinya terus terjadi setelah bertemu Hamka. Si ustadz muda yang cerdas idola para santriwati.Disatu sisi dia bahagia bisa sedekat ini dengan Hamka. Dan di sisi lainnya ingin menjauh, berdosa seorang istri terlalu dekat dengan laki-laki lain.Bella melepas penutup kepalanya. Mengurai rambut indahnya, supaya bisa bernafas setelah seharian terpengap.Dia kesepian, hidupnya memang beba