"Apakah Tama sama sekali tidak menceritakan padamu?" Laura mengembalikan berkas itu pada Arif.Arif menggeleng samar, lantas memasukkan berkas itu kembali ke dalam tasnya. "Dia tidak pernah bicara apapun,"Laura menarik nafas panjang, lalu meneguk minumannya. "Apakah kita sungguh harus membicarakannya disini? Ini adalah malam kencan terpenting bagi kita. Belum tentu besok Tama akan memberimu kesempatan untuk santai,""Dan ini juga satu-satunya kesempatanku untuk tahu jawabannya," timpal Arif, tampak serius. "Kamu tahu aku sudah berjanji akan mengabdi seumur hidup pada Tama. Aku takut, Rania akan menyerang Tama dengan foto-foto itu,"Laura mengerutkan kening. Dia menatap Arif cukup dalam untuk beberapa saat, seakan tengah mencari sebuah kejujuran dibalik setiap aksi dan ucapan Arif. Namun semakin dia diam dan mempelajari pria itu, Laura semakin menemukan kebuntuan."Sebenarnya kamu ada di pihak siapa? Tama atau Rania?" tanya Laura tiba-tiba. "Aku tidak peduli siapa yang kamu bela, tapi
Seminggu sudah Vinko menghabiskan waktunya dirawat di rumah sakit, dan kini waktunya untuk kembali pulang. Dia lega, karena seluruh lukanya baik luka dalam maupun luar sudah pulih dengan sempurna dan dia kembali menjadi jati dirinya yang penuh semangat. Tapi ada satu hal yang terus mengganjal, ada sesuatu hal yang membuat hatinya terasa kosong. Ya, Rania sama sekali tidak datang menjenguk bahkan saat di hari terakhir kepulangannya. Ketika Vinko berusaha menghubungi nomor ponsel wanita itu, Rania selalu menolak."Kamu sudah siap?" tanya Nita yang masih sibuk mengemasi barang-barang Vinko. "Kamu sudah coba hubungi Regina?"Vinko memicingkan mata. "Kenapa aku harus menghubungi dia?" tanyanya protes.Sejak kejadian waktu itu, Regina memang sudah tidak pernah lagi muncul di hadapan Vinko. Bahkan Regina juga berhenti menghubungi Vinko maupun Nita."Mama nggak mau kamu bertengkar sama Regina. Biar bagaimanapun, dia tetap sahabatmu," ujar Nita."Kalau dia menganggapku sahabat, harusnya dia me
"Kamu tidak ingin mengucapkan sesuatu pada adikmu, Rania?" tegur Tuan Hadi, yang membaca gelagat mencurigakan antara Tama dan Rania.Keduanya memang tengah terlibat perang dingin yang hanya bisa dipahami oleh mereka. Dan Rania buru-buru menggeleng sambil mengulaskan senyum. Dia melangkah maju, agar makin dekat berhadapan dengan Vinko.Seketika suasana hening menyelimuti semua orang, sebelum Rania membuka suara. Seakan mereka memang sengaja ingin menunggu ucapan keluar dari mulut Rania yang tegang. Dengan sekali helaan nafas, dia tersenyum ke arah Vinko."Selamat atas kepulanganmu, Vinko," ucap Rania dengan senyum hangat. Hati Vinko berdesir. Sudah lama dia tidak melihat senyuman tulus itu terulas dari bibir Rania. Selama ini Rania terus bersedih, muka sembab dan bibir tak pernah tersenyum. Membuat Vinko makin membenci Tama hingga pada titik ingin menghancurkannya. Dan saat melihat Rania menyambut kesembuhannya dengan senyum hangat, hati Vinko juga ikut merasa hangat.Vinko mengangguk
Seperti biasa Vinko menunggu Rania menyelesaikan mata kuliahnya dengan berdiri gelisah di depan ruang dosen. Kali ini dia tidak akan bersembunyi lagi meski Tama masih mengintainya, karena semua keluarganya sudah tahu bahwa dia menyukai Rania. Namun Rania tetap tidak nyaman saat dia melihat sosok Vinko berdiri di depan ruang dosen. Wanita itu seketika menarik tangan Vinko untuk diajak pergi menuju taman belakang, tempat dimana mereka selalu bertemu."Kenapa kamu takut, Ran? Toh Tama sudah tahu hubungan kita," tanya Vinko keheranan setelah mereka sampai di taman belakang."Bukan itu masalahnya, tapi Pak Viktor," Rania mengatur nafasnya yang tersengal. "Pak Viktor sudah kembali dari Belanda,""Lalu?"Rania memandang Vinko serius. "Kumohon, Vin. Aku tidak ingin kehilangan pekerjaanku. Seumur hidup aku bercita-cita ingin menjadi dosen, seperti impian orang tuaku," jelas Rania penuh harap.Awalnya Vinko ingin menyela, tapi saat melihat tatapan mata Rania yang penuh harap, membuat Vinko tak
Rania menyadari jika puluhan pasang mata mahasiswa tertuju kepada dirinya dan Vinko yang terus bergandengan tangan erat. Ingin rasanya Rania melepaskan tangannya, tapi Vinko justru menggenggam makin erat. Dengan lirikan penuh percaya diri, Vinko mengangguk seakan memberi kekuatan pada Rania untuk bertahan.Dan tibalah mereka di depan pintu mobil. Arif bergegas mempersilakan Rania dan Vinko untuk duduk di belakang kemudi. Tanpa ada banyak yang bicara, Arif melaju kencang menuju rumah Tama dan Rania. Sepanjang perjalanan Vinko dan Rania lebih banyak diam, saling melempar pandangan ke arah luar jendela untuk menghilangkan rasa gugup.Dia tidak ingin gentar akan ancaman Tama, tapi Vinko tetap saja merasa gugup. Apakah dia harus kembali dihajar setelah baru saja keluar dari rumah sakit? Pertanyaan itu terus menggaung di dalam kepalanya. Sementara Rania tidak punya praduga apapun. Ini pertama kali Tama memintanya untuk datang secara terang-terangan bersama Vinko, yang justru membuat Rania t
Tama tidak peduli meski Rania tampak begitu ketakutan dan frustasi. Dia justru berjalan santai mendekati Vinko yang masih mematung, berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi."Bagaimana? Apakah kamu akan membiarkan ini semua berlalu tanpa mau mencoba?" bujuk Tama dengan pandangan licik."Stop, Tama, stop! Kamu benar-benar monster," jerit Rania makin menjadi.Tanpa terduga Tama melesat cepat meraih tubuh Rania. Dia cengkeram erat pergelangan istrinya itu dengan mata melotot marah. "Bukankah ini yang kamu inginkan, hah? Aku tahu kamu sangat menginginkan belaian pria lain yang kamu anggap bisa membahagiakanmu, kan?"Dia menarik tubuh Rania untuk saling berhadapan dengan Vinko. Kini Vinko berhadapan sangat dekat hingga nyaris menyentuh area sensitif milik Rania. Jantungnya berdegup sangat kencang, sebagai naluri seorang lelaki. "Vinko, kumohon … " Rania menangis dengan tatapan putus asa di depan Vinko.Namun Vinko masih mematung. Otaknya berusaha memikirkan jalan keluar terbaik, yang
Sehari sebelumnya …Dengan penuh percaya diri dan senyum merekah lebih mirip seringaian, Mada mengulurkan tangannya pada Vinko. Namun Vinko tidak segera membalas uluran tangan itu, melainkan terus menatap Mada dengan tatapan curiga. "Sepertinya kamu punya tamu, Vin? Bagaimana kalau kita duduk di dalam?" seru Nita membuyarkan ketegangan. Wanita itu bergegas membuka butiknya untuk mempersilakan Mada dan yang lain masuk ke dalam.Nita menuntun langkah Mada dan Vinko ke dalam ruang tamu yang terletak dibalik butik. Sementara Nita dan Regina masuk ke dalam rumah, yang berbatasan langsung dengan butik itu. Regina penasaran ingin tahu siapa Mada, karena dari tampilannya yang seperti seorang preman itu membuat Regina khawatir akan Vinko. Namun Nita membujuknya untuk pergi memberi dua pria itu kesempatan untuk bicara empat mata."Apa maumu?" tanya Vinko sengak. Dia terus menajamkan pandangannya ke arah Mada.Seperti biasa Mada selalu menyeringai. Sekali lagi dia mengulurkan tangannya. "Kita b
Mada membunyikan klaksonnya, sebelum pergi meninggalkan Vinko dan Rania tepat di depan kampus mereka. Tanpa mau mengucapkan apapun, Rania berjalan cepat meninggalkan Vinko untuk kembali ke ruang dosen. Sadar jika sikap Rania berubah dingin sejak bertemu Mada, Vinko buru-buru mengejar dan menarik tangan wanita itu supaya berhenti."Ada apa lagi, Vin?" tukas Rania geram. Dia tidak suka Vinko memperlihatkan kedekatan mereka di kampus, dimana banyak mata yang mengawasi."Kamu kenapa?" tanya Vinko. "Tiba-tiba sikapmu berubah aneh,"Rania menggeleng. "Tidak ada yang berubah. Aku hanya tidak senang melihat Mada," Rania berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Vinko.Tapi pria itu tampak belum puas dengan jawaban Rania. "Tapi kenapa sampai sekarang kamu ketus padaku?""Aku tidak ketus," sambar Rania. "Demi Tuhan, Vinko! Kumohon lepaskan aku!" bentak Rania lirih. Dia melotot tajam memberi peringatan, karena takut Pak Viktor memergoki mereka.Tapi bukannya Pak Viktor yang tahu, justru Regin
Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra
Rania semakin bahagia saat dia terbangun di pagi yang terik, Tama masih tertidur di sebelahnya. Pria itu memejamkan mata, namun bibirnya tersenyum tipis seakan tengah mengalami mimpi indah. Tanpa sadar Rania juga ikut tersenyum. Dia pandangi Tama dengan jemarinya yang memainkan anak rambut Tama. Kemudian Rania mengecup kening Tama tipis, berusaha agar Tama tidak terbangun.Sambil mengendap-endap Rania keluar dari kamar, mulai menuruni tangga menuju dapur besar yang ada di lantai bawah. Di sana Rania sudah disambut oleh salah satu pelayannya yang tampak bahagia karena akhirnya Rania kembali. Keduanya melepas rindu, lantas Rania mengajak pelayannya itu untuk membantunya menyiapkan sarapan untuk Tama.“Kamu sedang apa?” tegur Tama, dengan wajah bangun tidur menghampiri Rania yang sibuk menata meja makan.“Aku menyiapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng,” jawabnya.Tama mengulaskan senyum tipis. Kemudian dia menarik kursi dan duduk sembari menunggu Rania selesai menyiapkan hidangan.“Aku b
Tama mendorong kepala Rania untuk bersandar di atas lengannya, sambil pria itu mengelus lembut kepala Rania demi menenangkan tangisan istrinya itu. Sesekali Tama mengecup kening Rania yang masih terus menangis. Udara yang semua terasa begitu dingin, perlahan sedikit hangat bersamaan dengan dua tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu.“Malam ini kamu tinggal di sini bersamaku,” tandas Tama. “Biar Arif yang menjaga Athar,”Mata Rania yang sembab sempat berkedip dua kali untuk berpikir. Namun Tama buru-buru membungkam bibir Rania dengan telunjuknya, seakan mengerti bahwa wanita itu sebentar lagi akan mengelak.“Turuti aku untuk kali ini,” pinta Tama lembut.Tama mulai bangkit berdiri untuk mengambil ponsel. Namun gerakannya harus berhenti ketika Rania menarik ujung kemejanya.“Apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Rania bimbang.Tama berkedip pelan satu kali. “Aku tidak memintamu mempercayaiku. Hukumlah aku, Ran,” jawab Tama.“Bukankah empat tahun berpisah itu sudah cukup menghukum
Tama terus mendorong dan mengulum bibir Rania seakan tidak memberi kesempatan wanita itu untuk sedikit mengambil nafas. Seperti sebuah hasrat yang telah dipendam bertahun-tahun, dan kini Tama bisa mengeluarkannya dengan begitu dahsyat hingga sulit dibendung. Rania hampir saja kewalahan dan tidak menyadari tangannya mendorong kencang sebuah vas yang tergeletak di sisi ruangan. Suara vas yang pecah berkeping-keping membuyarkan suasana diantara keduanya, membuat Tama menjauh dari tubuh Rania untuk mengecek keadaan. Nafas keduanya tersengal, gugup luar biasa hingga wajah mereka memerah. Sesekali Tama melirik ke arah Rania yang juga begitu gugup dan mencoba untuk menguasai diri.“Bukankah ini vas langka favoritmu?” Rania mencoba membersihkan sisa vas yang ada. Dia membungkuk, mengambil pecahan yang paling besar. “Argh!” Tanpa sadar tangan Rania tergores ujung runcing pecahan vas itu.Tama seketika melonjak dan menarik tangan Rania yang terluka. Dia kecup tangan itu, dengan niat ingin meng