"Tuan Hadi?" Nita terkejut, tak menyangka jika seluruh keluarga besar Tuan Hadi datang untuk menjenguk Vinko. "M-mari silahkan masuk," Dia cukup kikuk untuk menyapa satu-persatu dari mereka, karena entah apa yang terjadi, suasana tegang tampak sangat terasa.Nita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan juga tidak berani untuk bertanya. Padahal sudah dua kali dia mengajak keluarga itu untuk masuk ke dalam kamar Vinko, tapi tidak diindahkan. Tuan Hadi terus menatap Tama dan Rania bergantian dengan tatapan penuh curiga, sementara Dewi dan Laura diam mematung menunggu perintah sang ayah."Katakan padaku, Tama. Apa yang terjadi?" ulang Tuan Hadi.Tama bergeser sedikit untuk bisa leluasa memandang Rania. Dia menunggu respon dari wanita itu, tapi tentu saja Rania tidak akan berani berterus terang. Bicara jujur pada Nita saja dia tidak tega, apalagi harus terus terang pada Tuan Hadi. Mungkin Rania akan ditendang keluar dari rumah jika hal itu dilakukan."Ayo kita masuk, Bu, Tante!!" seru
"Selamat siang, Tante?" sapa Regina, pelan-pelan masuk ke dalam kamar rawat Vinko sambil membawa sekeranjang penuh buah-buahan."Mama nggak ada!" celetuk Vinko, berhasil membuat Regina melompat kaget. Vinko seketika mengernyitkan dahi. "Kenapa reaksimu begitu?" protesnya."Aku kira kamu masih belum sadar," jawab Regina jujur. Dia lantas meletakkan buah itu di meja ruang tamu, lalu mengambil duduk di samping ranjang Dino.Vinko melipat tangannya dengan pandangan ketus. "Kamu pikir aku selemah itu? Aku orang yang cepat menyembuhkan diri,"Regina nyengir saja mendengarnya. "Terserah kamu," timpalnya, menatap Vinko dengan tatapan aneh."Kudengar, kamu dihajar sama suami Bu Rania, alias kakakmu sendiri," tukas Regina, sembari duduk di sebelah Vinko. "Untung kamu masih hidup, ya?""Aku pasti akan membalasnya!" seru Vinko."Kupikir setelah babak belur begini, kamu akan kapok dan berhenti mengejar kakak iparmu," Regina mendengus kesal menghadapi Vinko yang keras kepala.Vinko menggeleng penuh
"Kenapa lama sekali, Re?!" seru Vinko otomatis saat mendengar bunyi pintu kamarnya dibuka.Tapi Vinko harus terkejut, karena bukan Regina yang datang melainkan Nita. Wanita tua itu tetap merengut, meski dia bergerak mendekat ke ranjang anaknya."Mama?" tegur Vinko keheranan. Dia kira, Nita sudah benar-benar pulang dan mempercayakan Regina untuk menjaganya. Melihat Nita datang tentu membuat perasaan Vinko lebih lega.Nita menarik kursi di dekatnya untuk duduk di sebelah ranjang Vinko. Wanita tua itu terus berwajah muram, seakan tengah mengalami kesedihan yang mendalam. Apalagi matanya juga tampak sembab seperti habis menangis dalam waktu yang lama."Mama … " Hanya itu kata yang sanggup keluar dari mulut Vinko. Dia ingin mengasihani ibunya, tapi juga ingin terus mempertahankan perasaannya."Mama tidak melarangmu untuk jatuh cinta," ujar Nita tiba-tiba. Tapi dia tidak memandang ke arah Vinko. "Bahkan jika kamu memilih untuk mencintai Rania, Mama tidak masalah,"Vinko menggeser tubuhnya u
Jantung Regina berdegup kencang. Menghadapi Tama seorang diri ternyata bukanlah pilihan yang tepat, karena pria itu memiliki aura intimidasi yang kuat. Membuat tangan Regina basah menyimpan kegugupannya sendiri. Dia ingin mengelak, tapi segala tebakan Tama adalah kebenaran yang dia ketahui. Regina berusaha untuk menghindari tatapan mata Tama, karena merasa pria itu bisa melucutinya hanya dengan tatapan tajam itu."A-aku hanya mendengar saja. Aku tidak ingin ikut campur," jawab Regina terbata-bata."Dan pertanyaan satunya? Kamu belum menjawab,"Regina mengerjapkan mata. "Satunya?" ulangnya.Tama semakin maju ke depan. Kedua sikunya bertumpu pada lututnya, dengan dua tangan menyatu di bawah dagu. Dia benar-benar ingin menginterogasi Regina."Kamu menyukai Vinko, kan?"Ingin rasanya Regina membenamkan seluruh wajahnya di bawah bantal, demi menutupi rasa gugup yang makin mengganggu. Regina sadar dia telah gugup, tapi tak punya kuasa untuk menahan hatinya agar lebih bisa tenang di hadapan
Tama terus memasang tatapan curiga, sembari berjalan mendekati Arif dan Laura yang berdiri berhadapan dengan wajah tegang. Tama menelusuri satu-persatu dari dua orang itu dengan matanya, seakan tengah memindai kebohongan."Apa yang kalian lakukan disini?" ulang Tama.Arif menelan ludah. Dia selalu tidak bisa berkutik di depan Tama, bahkan untuk sebuah kebohongan kecil. Tama selalu bisa mengintimidasi siapapun hanya dengan tatapannya."Aku mau menemui Rania, tapi dia menyuruhku pergi!" tukas Laura dengan suara keras. "Dia benar-benar kurang ajar, harusnya kamu beri pelajaran!" Dia tiba-tiba mendorong Arif agar makin menjauh darinya. Laura juga tak lupa memasang wajah ketus.Arif masih tidak mengerti. Tapi dia mengikuti permainan Laura daripada Tama mulai membaca gelagat bohongnya."Aku sudah bilang, Rania tidak ada di rumah," sahut Tama sembari menghembuskan nafas keras. Lantas dia mengalihkan pandangan pada Arif. "Harusnya langsung kamu usir saja, tidak perlu lembut pada anak ini,""B
Tubuh Vinko membeku. Yang dia lakukan hanyalah memandang satu-persatu baik Tuan Hadi maupun Tama, dengan mata hampir keluar karena tidak mempercayai pandangannya sendiri. Vinko tidak pernah mengharapkan kehadiran Tuan Hadi untuk menjenguknya, begitu pula Tama. Tapi mengetahui kedua orang itu tiba-tiba mengunjunginya, membuat jantung Vinko berdebar. Instingnya mengatakan, sesuatu yang buruk sebentar lagi terjadi."Bagaimana kondisimu?" tanya Tuan Hadi. Dia mengambil duduk di sebelah ranjang Vinko."Ayah tahu apa yang terjadi," Vinko melotot tajam ke arah Tama yang masih berdiri di depan ranjang Vinko. "Karena orang ini, aku hampir saja mati," ketusnya, menunjuk ke arah Tama.Tuan Hadi mengangguk pelan, tidak ada reaksi yang berarti. Hidung Vinko kembang-kempis melihat reaksi datar itu. Dadanya bergemuruh, dipenuhi dengan amarah yang makin menjadi."Apakah Ayah akan diam saja melihatnya memperlakukanku seperti ini? Dia menggunakan kekuasaannya untuk menghabisiku!" sentak Vinko, terus me
Tama dan Tuan Hadi benar-benar meninggalkan ruangan tempat Vinko dirawat. Dan hanya menyisakan Vinko beserta Regina, yang diselimuti keheningan canggung karena mulut keduanya enggan terbuka. Vinko masih tersengal mengatur emosi, sementara Regina menunduk demi mencerna segala yang terjadi. Regina berjalan perlahan mengambil tabung infus milik Vinko yang terjatuh di lantai, untuk kembali dipasang di tempatnya. Lantas dia membenarkan selimut Vinko yang berantakan, sambil sesekali melirik aliran selang infus di tangan Vinko yang mengalirkan darah."Sepertinya aku harus memanggil suster," tukas Regina."Tidak perlu," tolak Vinko ketus. "Nanti juga akan normal sendiri," Lantas dia kembali naik ke atas ranjangnya. Duduk di atas ranjang sambil melipat kedua tangan, Vinko menghembuskan nafas kesal.Regina pun menurut. Dia tahu Vinko masih marah atas kejadian yang baru saja terjadi, namun tak bisa dipungkiri dia juga cukup tersinggung dengan respon Vinko tentang rencana perjodohan mereka. Hati
Tama terkejut dan merasa dunia seakan runtuh di hadapannya. Dia tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya dari Tuan Hadi. Matanya memandang penuh ketidakpercayaan pada pria tua itu, mencari tahu apakah ini benar-benar serius atau hanya sebuah ancaman.Rania juga merasakan kejutan yang sama, tetapi dalam hatinya muncul campuran perasaan lega dan khawatir. Lega karena Tuan Hadi tampak mendukungnya dalam usahanya untuk tidak hamil, tapi juga khawatir karena Tama pasti tidak akan membiarkannya lolos. Ini tak ubahnya seperti perlombaan, entah pemenangnya Rania atau Tama."Tapi Ayah hamil atau tidak bukanlah kehendak kami. Aku tidak bisa menceraikan Rania hanya karena dia tidak hamil," sanggah Tama.Tuan Hadi hanya mengangkat alis, menatap Tama dengan tegas. "Kamu bicara seakan kamu percaya Tuhan, eh?" Dia tertawa sarkas. "Itu adalah persyaratan dariku, karena aku ingin keluarga ini bisa melanjutkan keturunan untuk meneruskan bisnisku,"Rania melihat perdebatan ini dengan perasaan
Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra
Rania semakin bahagia saat dia terbangun di pagi yang terik, Tama masih tertidur di sebelahnya. Pria itu memejamkan mata, namun bibirnya tersenyum tipis seakan tengah mengalami mimpi indah. Tanpa sadar Rania juga ikut tersenyum. Dia pandangi Tama dengan jemarinya yang memainkan anak rambut Tama. Kemudian Rania mengecup kening Tama tipis, berusaha agar Tama tidak terbangun.Sambil mengendap-endap Rania keluar dari kamar, mulai menuruni tangga menuju dapur besar yang ada di lantai bawah. Di sana Rania sudah disambut oleh salah satu pelayannya yang tampak bahagia karena akhirnya Rania kembali. Keduanya melepas rindu, lantas Rania mengajak pelayannya itu untuk membantunya menyiapkan sarapan untuk Tama.“Kamu sedang apa?” tegur Tama, dengan wajah bangun tidur menghampiri Rania yang sibuk menata meja makan.“Aku menyiapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng,” jawabnya.Tama mengulaskan senyum tipis. Kemudian dia menarik kursi dan duduk sembari menunggu Rania selesai menyiapkan hidangan.“Aku b
Tama mendorong kepala Rania untuk bersandar di atas lengannya, sambil pria itu mengelus lembut kepala Rania demi menenangkan tangisan istrinya itu. Sesekali Tama mengecup kening Rania yang masih terus menangis. Udara yang semua terasa begitu dingin, perlahan sedikit hangat bersamaan dengan dua tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu.“Malam ini kamu tinggal di sini bersamaku,” tandas Tama. “Biar Arif yang menjaga Athar,”Mata Rania yang sembab sempat berkedip dua kali untuk berpikir. Namun Tama buru-buru membungkam bibir Rania dengan telunjuknya, seakan mengerti bahwa wanita itu sebentar lagi akan mengelak.“Turuti aku untuk kali ini,” pinta Tama lembut.Tama mulai bangkit berdiri untuk mengambil ponsel. Namun gerakannya harus berhenti ketika Rania menarik ujung kemejanya.“Apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Rania bimbang.Tama berkedip pelan satu kali. “Aku tidak memintamu mempercayaiku. Hukumlah aku, Ran,” jawab Tama.“Bukankah empat tahun berpisah itu sudah cukup menghukum
Tama terus mendorong dan mengulum bibir Rania seakan tidak memberi kesempatan wanita itu untuk sedikit mengambil nafas. Seperti sebuah hasrat yang telah dipendam bertahun-tahun, dan kini Tama bisa mengeluarkannya dengan begitu dahsyat hingga sulit dibendung. Rania hampir saja kewalahan dan tidak menyadari tangannya mendorong kencang sebuah vas yang tergeletak di sisi ruangan. Suara vas yang pecah berkeping-keping membuyarkan suasana diantara keduanya, membuat Tama menjauh dari tubuh Rania untuk mengecek keadaan. Nafas keduanya tersengal, gugup luar biasa hingga wajah mereka memerah. Sesekali Tama melirik ke arah Rania yang juga begitu gugup dan mencoba untuk menguasai diri.“Bukankah ini vas langka favoritmu?” Rania mencoba membersihkan sisa vas yang ada. Dia membungkuk, mengambil pecahan yang paling besar. “Argh!” Tanpa sadar tangan Rania tergores ujung runcing pecahan vas itu.Tama seketika melonjak dan menarik tangan Rania yang terluka. Dia kecup tangan itu, dengan niat ingin meng