Seharian yang dilakukan Rania hanyalah di rumah, tanpa melakukan apa-apa. Meskipun dia berdua bersama Tama di dalam rumah besar itu, tak ada satupun yang mau membuka suara. Rania masih cukup emosi dengan sikap Tama yang sangat berkuasa padanya, hingga tak memberi Rania izin untuk keluar dari rumah itu.Dalam usaha untuk mengatasi kejenuhan, Rania memutuskan untuk mengambil langkah kecil dengan merapikan ruang gantinya. Saat dia berjalan masuk, atmosfer ruangan itu terasa berbeda–bau wangi parfum dan tumpukan pakaian dengan berbagai merek mewah pemberian Tama. Rania melihat sekeliling, seakan ruangan ini mencerminkan perasaannya yang rumit. Di salah satu sudut, dia melihat baju-baju yang masih tergantung rapi, tetapi di sisi lain, pakaian terlipat acak di atas kursi. Semuanya seperti perumpamaan atas kehidupannya yang penuh kontradiksi.Setelah mengambil nafas dalam, Rania mulai menata ulang. Dia memilah-milah pakaian dengan hati-hati, mengelompokkannya berdasarkan warna dan tipe. Set
Rania tersenyum bahagia, serasa ada sinar hangat yang menyelimuti hatinya. Perasaan aman dan dicintai yang begitu kuat, membuatnya hampir tak percaya. Tidak pernah dalam hidup dia merasa ada seseorang yang begitu peduli dan mengkhawatirkan keselamatannya."Terimakasih karena sudah mencemaskanku, Vin," ucap Rania tulus.Sejak kecil, Rania terbiasa berjuang dengan kerasnya hidup. Dia sering harus menghadapi rintangan tanpa bantuan siapapun, dan itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Namun, hadirnya Vinko merubah segalanya. Rania merasakan kehangatan yang dulu belum pernah dia rasakan sebelumnya.Vinko menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia cukup tersanjung dengan ucapan terimakasih itu, tak menyangka kata-kata manis itu akan keluar dari mulut Rania."Kamu belum mengganti namaku di kontakmu, kan?" tanya Vinko berusaha mencairkan suasana.Rania seketika merengut. "Hampir saja aku dihabisi Tama karena nama itu," geramnya. "Lain kali jangan kasih nam
Mereka duduk bersama di dalam mobil, menuju kantor Tama. Namun, suasana menjadi tegang sejak Laura mengungkapkan perasaannya barusan. Arif merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus berbicara dengan Laura setelah pengakuan itu. Apalagi tidak hanya didengar olehnya, ada Rania yang kini ikut tercengang dengan mulut menganga kaget.Mata Arif terfokus pada jalanan di depan, sambil mencoba memikirkan cara yang tepat untuk merespon. Dia merasakan pandangan Laura tertuju padanya, menunggu responnya. Dan Rania yang duduk di kursi belakang, diam-diam memperhatikan situasi.Setelah beberapa saat yang terasa seperti berabad-abad, Arif akhirnya mengambil nafas dalam-dalam. "Laura, aku–" Nafas Arif tercekat hingga dia berhenti sejenak. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menghargai kejujuranmu, tapi ini adalah sesuatu yang sangat tiba-tiba,"Laura mengangguk, wajahnya tampak tegang. "Aku mengerti. Aku tidak bermaksud membuatmu bingung," ucapnya sembari tertawa. Namun tawa itu terdengar kaku
Tubuh Rania gemetar hebat, seakan jadi reaksi dari pertempuran emosional yang tengah dia alami. Hatinya terbagi antara keinginan untuk menolak ajakan Mada dan rasa takut yang mendalam terhadap Tama. Dia seperti dalam perangkap yang membingungkan, tidak tahu harus memilih apa.Rania menatap Mada, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bicara. Dia ingin mengekspresikan perasaannya, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Dia merasa seperti ada beban yang begitu berat menekan dadanya."Bagaimana, Rania?" tanya Mada tak sabar menunggu Rania memberikan jawabannya."A-aku … " Rania merasa air mata sudah memaksa untuk keluar, tapi dia tahan sekuat tenaga. Dia dilematis antara membela harga diri dan rasa takutnya pada Tama.Tama tetap diam di samping Rania, tapi pandangannya seakan menekan Rania, membuat Rania semakin takut untuk memberikan jawaban yang paling dia inginkan."Aku– " Akhirnya Rania berhasil mengeluarkan kata-kata dengan suara yang gemetar. Dia melirik Tama, dan ekspresi pria itu
Rania bimbang untuk mengiyakan ajakan Vinko beristirahat. Yang dia lakukan hanya diam membisu sembari menatap lurus ranjang besar itu. Dan seakan tahu tentang kebimbangan Rania, Vinko segera berdiri."Aku tidak mungkin melakukannya, karena kamu belum memberiku jawaban," ucap Vinko tanpa diminta. Dia lantas menghampiri sofa panjang yang ada di sudut ruangan. "Tapi bagaimanapun juga, aku tetaplah lelaki. Munafik jika aku tidak menginginkannya," Pria muda itu segera membaringkan seluruh tubuhnya di atas sofa, meski harus sedikit menekuk lutut karena panjangnya tetap tak bisa menampung tinggi badan Vinko.Bola mata Rania bergetar penuh haru dan rasa hormat pada Vinko. Seumur hidup dia tidak pernah merasa begitu dihormati sebagai seorang wanita, karena ketika dia mulai beranjak remaja, Rania sudah menikah dengan Tama. Tak terasa senyum samar mulai muncul di bibir Rania, bersamaan dengan dia yang mulai berbaring."Tapi ucapanku tadi serius, Ran," ujar Vinko tiba-tiba. "Kuharap kamu segera m
"Vin, Vinko?!" panggil Nita sedikit berteriak, karena Vinko tidak menjawab."I-iya, Ma," jawab Vinko gugup."Kamu cepetan pulang, ya," Klik. Sambungan diputus tiba-tiba.Kini pandangan Vinko tampang kosong. Baru kali ini dia merasa sedikit gentar ketika mendengar nama Tama disebut. Sementara Rania memilih untuk berhenti makan, dan ikut diam bersama Vinko. Meskipun dia tidak mendengar jelas pembicaraan Vinko dan Nita, namun Rania tahu jika semuanya sedang tidak baik-baik saja."Ada apa?" tanya Rania."Sepertinya kita harus pulang," jawab Vinko. "Aku tidak mau Tama semakin menyakitimu jika kita disini terlalu lama,""Apa yang terjadi?"Vinko tampak panik. Dia bergegas memasukkan barang-barang Rania dan barang-barangnya sendiri. Bahkan dia merapikan rambut Rania meski wanita itu diam kebingungan dengan aksi Vinko."Vin, jawab aku! Apa yang terjadi?" desak Rania.Karena nada Rania yang meninggi, mau tak mau Vinko berhenti sejenak. Dia memandang Rania dengan tatapan cemas sekaligus takut.
Tama bangkit berdiri. Dia sudah tidak bisa lebih lama menahan amarahnya. Dengan langkah cepat dia menghampiri Rania dan mencengkeram erat kedua pipi wanita itu. Mata Tama menyorotkan kemarahan luar biasa, hingga nafasnya memburu tak aturan."Aku sudah tahu semuanya," ucap Tama.Rania meringis menahan nyeri, tapi tak berani berontak. Dia membiarkan Tama mengeluarkan kemarahannya."Aku tahu kamu menipuku," Tama menambahi. Kemudian dia menarik pinggang Rania mendekat ke tubuhnya. "Bisa-bisanya kamu meminta Dokter Ilham agar membiarkan alat itu ada di tubuhmu, saat aku ingin kamu segera hamil?!"Rania membelalak. Dia kira, topik pembicaraan Tama adalah tentang hubungannya dengan Vinko. Tapi diluar dugaan, Tama justru membahas tentang alat kontrasepsi yang sengaja dipertahankan oleh Rania secara sembunyi-sembunyi."Ikut aku," Tama menarik paksa tangan Rania menuju pintu."Tama, mau kemana?!" pekik Rania."Akan kupastikan tida
Segalanya terjadi dengan begitu cepat, hingga tanpa terasa mobil Arif mulai memasuki pelataran rumah besar Tama. Tapi yang membuatnya berbeda adalah sosok Vinko yang berdiri dengan wajah ketus di depan pos satpam rumah Tama. Pandangannya mengikuti dimana mobil Tama itu diparkir."Apa yang anak itu lakukan disini?" geram Tama, bicara pada Arif."Apa yang harus saya lakukan, Tuan?""Suruh para pelayan untuk membawa Rania masuk. Biar aku yang bicara dengan anak itu," suruh Tama. Dan Arif segera mengangguk patuh, bergegas turun demi memanggil para pelayan. Sepertinya Tama tidak ingin Vinko bertemu dengan Rania.Tama berjalan pelan penuh wibawa menuju pos satpam, tempat dimana Vinko sudah menunggunya. Kedua pria itu saling pandang, dengan kekuatan yang sama-sama besar. Bagaimanapun, dalam diri mereka mengalir darah yang sama. Mereka terlahir sebagai putra Tuan Hadi yang berjaya."Apa maumu?" tanya Tama ketus."Dimana Rania?" Vinko bal
Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra
Rania semakin bahagia saat dia terbangun di pagi yang terik, Tama masih tertidur di sebelahnya. Pria itu memejamkan mata, namun bibirnya tersenyum tipis seakan tengah mengalami mimpi indah. Tanpa sadar Rania juga ikut tersenyum. Dia pandangi Tama dengan jemarinya yang memainkan anak rambut Tama. Kemudian Rania mengecup kening Tama tipis, berusaha agar Tama tidak terbangun.Sambil mengendap-endap Rania keluar dari kamar, mulai menuruni tangga menuju dapur besar yang ada di lantai bawah. Di sana Rania sudah disambut oleh salah satu pelayannya yang tampak bahagia karena akhirnya Rania kembali. Keduanya melepas rindu, lantas Rania mengajak pelayannya itu untuk membantunya menyiapkan sarapan untuk Tama.“Kamu sedang apa?” tegur Tama, dengan wajah bangun tidur menghampiri Rania yang sibuk menata meja makan.“Aku menyiapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng,” jawabnya.Tama mengulaskan senyum tipis. Kemudian dia menarik kursi dan duduk sembari menunggu Rania selesai menyiapkan hidangan.“Aku b
Tama mendorong kepala Rania untuk bersandar di atas lengannya, sambil pria itu mengelus lembut kepala Rania demi menenangkan tangisan istrinya itu. Sesekali Tama mengecup kening Rania yang masih terus menangis. Udara yang semua terasa begitu dingin, perlahan sedikit hangat bersamaan dengan dua tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu.“Malam ini kamu tinggal di sini bersamaku,” tandas Tama. “Biar Arif yang menjaga Athar,”Mata Rania yang sembab sempat berkedip dua kali untuk berpikir. Namun Tama buru-buru membungkam bibir Rania dengan telunjuknya, seakan mengerti bahwa wanita itu sebentar lagi akan mengelak.“Turuti aku untuk kali ini,” pinta Tama lembut.Tama mulai bangkit berdiri untuk mengambil ponsel. Namun gerakannya harus berhenti ketika Rania menarik ujung kemejanya.“Apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Rania bimbang.Tama berkedip pelan satu kali. “Aku tidak memintamu mempercayaiku. Hukumlah aku, Ran,” jawab Tama.“Bukankah empat tahun berpisah itu sudah cukup menghukum
Tama terus mendorong dan mengulum bibir Rania seakan tidak memberi kesempatan wanita itu untuk sedikit mengambil nafas. Seperti sebuah hasrat yang telah dipendam bertahun-tahun, dan kini Tama bisa mengeluarkannya dengan begitu dahsyat hingga sulit dibendung. Rania hampir saja kewalahan dan tidak menyadari tangannya mendorong kencang sebuah vas yang tergeletak di sisi ruangan. Suara vas yang pecah berkeping-keping membuyarkan suasana diantara keduanya, membuat Tama menjauh dari tubuh Rania untuk mengecek keadaan. Nafas keduanya tersengal, gugup luar biasa hingga wajah mereka memerah. Sesekali Tama melirik ke arah Rania yang juga begitu gugup dan mencoba untuk menguasai diri.“Bukankah ini vas langka favoritmu?” Rania mencoba membersihkan sisa vas yang ada. Dia membungkuk, mengambil pecahan yang paling besar. “Argh!” Tanpa sadar tangan Rania tergores ujung runcing pecahan vas itu.Tama seketika melonjak dan menarik tangan Rania yang terluka. Dia kecup tangan itu, dengan niat ingin meng