Tama menatap lurus ke arah Rania dengan ekspresi tajam yang sulit disembunyikan. Dia bisa melihat Rania dengan wajah cemas, dan dia bisa merasakan ketidaknyamanan dalam diri Rania."Rania," Tama mulai dengan suara yang dingin, "Apa yang membuatmu pulang ke rumah?"Rania mencoba bersikap wajar, tetapi dia tahu bahwa sikap wajarnya tidak akan menghilangkan kecurigaan Tama. "Aku tidak bisa tidur sendirian di sana,""Kamu tahu kan, aku pasti kembali,""Tapi kamu sudah terlalu lama," kilah Rania berusaha tetap membela diri.Tama menatap Rania sejenak, seolah-olah dia mencari tanda-tanda kebohongan. Namun, kali ini dia tidak mengajukan pertanyaan lebih lanjut.Sejenak ketegangan itu berlalu, dan Tama akhirnya bergerak pergi. "Aku pergi sebentar," katanya tanpa menjelaskan tujuannya.Rania merasa bingung, tetapi dia merasa ada kelegaan karena Tama tidak terlihat marah atau mengintimidasi seperti biasanya. Namun, dia masih merasa ragu tentang apa yang sebenarnya terjadi.Beberapa saat kemudia
Seharian yang dilakukan Rania hanyalah di rumah, tanpa melakukan apa-apa. Meskipun dia berdua bersama Tama di dalam rumah besar itu, tak ada satupun yang mau membuka suara. Rania masih cukup emosi dengan sikap Tama yang sangat berkuasa padanya, hingga tak memberi Rania izin untuk keluar dari rumah itu.Dalam usaha untuk mengatasi kejenuhan, Rania memutuskan untuk mengambil langkah kecil dengan merapikan ruang gantinya. Saat dia berjalan masuk, atmosfer ruangan itu terasa berbeda–bau wangi parfum dan tumpukan pakaian dengan berbagai merek mewah pemberian Tama. Rania melihat sekeliling, seakan ruangan ini mencerminkan perasaannya yang rumit. Di salah satu sudut, dia melihat baju-baju yang masih tergantung rapi, tetapi di sisi lain, pakaian terlipat acak di atas kursi. Semuanya seperti perumpamaan atas kehidupannya yang penuh kontradiksi.Setelah mengambil nafas dalam, Rania mulai menata ulang. Dia memilah-milah pakaian dengan hati-hati, mengelompokkannya berdasarkan warna dan tipe. Set
Rania tersenyum bahagia, serasa ada sinar hangat yang menyelimuti hatinya. Perasaan aman dan dicintai yang begitu kuat, membuatnya hampir tak percaya. Tidak pernah dalam hidup dia merasa ada seseorang yang begitu peduli dan mengkhawatirkan keselamatannya."Terimakasih karena sudah mencemaskanku, Vin," ucap Rania tulus.Sejak kecil, Rania terbiasa berjuang dengan kerasnya hidup. Dia sering harus menghadapi rintangan tanpa bantuan siapapun, dan itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Namun, hadirnya Vinko merubah segalanya. Rania merasakan kehangatan yang dulu belum pernah dia rasakan sebelumnya.Vinko menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia cukup tersanjung dengan ucapan terimakasih itu, tak menyangka kata-kata manis itu akan keluar dari mulut Rania."Kamu belum mengganti namaku di kontakmu, kan?" tanya Vinko berusaha mencairkan suasana.Rania seketika merengut. "Hampir saja aku dihabisi Tama karena nama itu," geramnya. "Lain kali jangan kasih nam
Mereka duduk bersama di dalam mobil, menuju kantor Tama. Namun, suasana menjadi tegang sejak Laura mengungkapkan perasaannya barusan. Arif merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus berbicara dengan Laura setelah pengakuan itu. Apalagi tidak hanya didengar olehnya, ada Rania yang kini ikut tercengang dengan mulut menganga kaget.Mata Arif terfokus pada jalanan di depan, sambil mencoba memikirkan cara yang tepat untuk merespon. Dia merasakan pandangan Laura tertuju padanya, menunggu responnya. Dan Rania yang duduk di kursi belakang, diam-diam memperhatikan situasi.Setelah beberapa saat yang terasa seperti berabad-abad, Arif akhirnya mengambil nafas dalam-dalam. "Laura, aku–" Nafas Arif tercekat hingga dia berhenti sejenak. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menghargai kejujuranmu, tapi ini adalah sesuatu yang sangat tiba-tiba,"Laura mengangguk, wajahnya tampak tegang. "Aku mengerti. Aku tidak bermaksud membuatmu bingung," ucapnya sembari tertawa. Namun tawa itu terdengar kaku
Tubuh Rania gemetar hebat, seakan jadi reaksi dari pertempuran emosional yang tengah dia alami. Hatinya terbagi antara keinginan untuk menolak ajakan Mada dan rasa takut yang mendalam terhadap Tama. Dia seperti dalam perangkap yang membingungkan, tidak tahu harus memilih apa.Rania menatap Mada, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bicara. Dia ingin mengekspresikan perasaannya, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Dia merasa seperti ada beban yang begitu berat menekan dadanya."Bagaimana, Rania?" tanya Mada tak sabar menunggu Rania memberikan jawabannya."A-aku … " Rania merasa air mata sudah memaksa untuk keluar, tapi dia tahan sekuat tenaga. Dia dilematis antara membela harga diri dan rasa takutnya pada Tama.Tama tetap diam di samping Rania, tapi pandangannya seakan menekan Rania, membuat Rania semakin takut untuk memberikan jawaban yang paling dia inginkan."Aku– " Akhirnya Rania berhasil mengeluarkan kata-kata dengan suara yang gemetar. Dia melirik Tama, dan ekspresi pria itu
Rania bimbang untuk mengiyakan ajakan Vinko beristirahat. Yang dia lakukan hanya diam membisu sembari menatap lurus ranjang besar itu. Dan seakan tahu tentang kebimbangan Rania, Vinko segera berdiri."Aku tidak mungkin melakukannya, karena kamu belum memberiku jawaban," ucap Vinko tanpa diminta. Dia lantas menghampiri sofa panjang yang ada di sudut ruangan. "Tapi bagaimanapun juga, aku tetaplah lelaki. Munafik jika aku tidak menginginkannya," Pria muda itu segera membaringkan seluruh tubuhnya di atas sofa, meski harus sedikit menekuk lutut karena panjangnya tetap tak bisa menampung tinggi badan Vinko.Bola mata Rania bergetar penuh haru dan rasa hormat pada Vinko. Seumur hidup dia tidak pernah merasa begitu dihormati sebagai seorang wanita, karena ketika dia mulai beranjak remaja, Rania sudah menikah dengan Tama. Tak terasa senyum samar mulai muncul di bibir Rania, bersamaan dengan dia yang mulai berbaring."Tapi ucapanku tadi serius, Ran," ujar Vinko tiba-tiba. "Kuharap kamu segera m
"Vin, Vinko?!" panggil Nita sedikit berteriak, karena Vinko tidak menjawab."I-iya, Ma," jawab Vinko gugup."Kamu cepetan pulang, ya," Klik. Sambungan diputus tiba-tiba.Kini pandangan Vinko tampang kosong. Baru kali ini dia merasa sedikit gentar ketika mendengar nama Tama disebut. Sementara Rania memilih untuk berhenti makan, dan ikut diam bersama Vinko. Meskipun dia tidak mendengar jelas pembicaraan Vinko dan Nita, namun Rania tahu jika semuanya sedang tidak baik-baik saja."Ada apa?" tanya Rania."Sepertinya kita harus pulang," jawab Vinko. "Aku tidak mau Tama semakin menyakitimu jika kita disini terlalu lama,""Apa yang terjadi?"Vinko tampak panik. Dia bergegas memasukkan barang-barang Rania dan barang-barangnya sendiri. Bahkan dia merapikan rambut Rania meski wanita itu diam kebingungan dengan aksi Vinko."Vin, jawab aku! Apa yang terjadi?" desak Rania.Karena nada Rania yang meninggi, mau tak mau Vinko berhenti sejenak. Dia memandang Rania dengan tatapan cemas sekaligus takut.
Tama bangkit berdiri. Dia sudah tidak bisa lebih lama menahan amarahnya. Dengan langkah cepat dia menghampiri Rania dan mencengkeram erat kedua pipi wanita itu. Mata Tama menyorotkan kemarahan luar biasa, hingga nafasnya memburu tak aturan."Aku sudah tahu semuanya," ucap Tama.Rania meringis menahan nyeri, tapi tak berani berontak. Dia membiarkan Tama mengeluarkan kemarahannya."Aku tahu kamu menipuku," Tama menambahi. Kemudian dia menarik pinggang Rania mendekat ke tubuhnya. "Bisa-bisanya kamu meminta Dokter Ilham agar membiarkan alat itu ada di tubuhmu, saat aku ingin kamu segera hamil?!"Rania membelalak. Dia kira, topik pembicaraan Tama adalah tentang hubungannya dengan Vinko. Tapi diluar dugaan, Tama justru membahas tentang alat kontrasepsi yang sengaja dipertahankan oleh Rania secara sembunyi-sembunyi."Ikut aku," Tama menarik paksa tangan Rania menuju pintu."Tama, mau kemana?!" pekik Rania."Akan kupastikan tida