Segalanya terjadi dengan begitu cepat, hingga tanpa terasa mobil Arif mulai memasuki pelataran rumah besar Tama. Tapi yang membuatnya berbeda adalah sosok Vinko yang berdiri dengan wajah ketus di depan pos satpam rumah Tama. Pandangannya mengikuti dimana mobil Tama itu diparkir.
"Apa yang anak itu lakukan disini?" geram Tama, bicara pada Arif."Apa yang harus saya lakukan, Tuan?""Suruh para pelayan untuk membawa Rania masuk. Biar aku yang bicara dengan anak itu," suruh Tama. Dan Arif segera mengangguk patuh, bergegas turun demi memanggil para pelayan. Sepertinya Tama tidak ingin Vinko bertemu dengan Rania.Tama berjalan pelan penuh wibawa menuju pos satpam, tempat dimana Vinko sudah menunggunya. Kedua pria itu saling pandang, dengan kekuatan yang sama-sama besar. Bagaimanapun, dalam diri mereka mengalir darah yang sama. Mereka terlahir sebagai putra Tuan Hadi yang berjaya."Apa maumu?" tanya Tama ketus."Dimana Rania?" Vinko bal"Kamu sudah bangun?" tegur Tama, duduk di sofa yang berseberangan tepat dengan ranjang yang kini ditempati Rania.Rania lamat-lamat mencoba untuk membuka mata. Dengan keadaan setengah sadar, dia mengibaskan selimut yang menutupi tubuhnya."Jam berapa sekarang?" tanyanya pada Tama.Tama menyeruput habis kopinya. Dengan kaki disilangkan, dia lurus menatap Rania. "Mungkin jam 2 siang. Ada apa?"Rania tidak menjawab. Dia hanya tampak mencari-cari sesuatu, menyisir seluruh sisi ranjang bahkan hingga kebagian dalam selimut. Tama mengerutkan kening melihat kebingungan Rania."Apa yang kamu cari?" tanya Tama heran."Dimana ponselku?"Tama menautkan alis. Lantas dia duduk makin tegak dengan mata tajam ke arah Rania. Senyum licik tersunggih di bibirnya. Tama selalu tampak menawan dan berwibawa, membuat siapa saja yang ditatap olehnya tidak bisa berkutik."Siapa yang ingin kamu hubungi? Anak itu?" tebak Tama, sengaja memancing emosi Rania.Rania mengerutkan kening kesal. Giginya bergemeretak men
"Aku bukan barang milikmu … " ucap Rania pelan. Matanya merah dengan seluruh wajah bengkak akibat menangis."Aku sudah membelimu lima tahun lalu. Menghidupimu, melunasi seluruh hutang ayahmu. Apakah itu semua kamu lupakan?"Air mata kembali menetes dari mata Rania. "Jadi selama ini menikahiku adalah membeliku?" tanya Rania dengan nada bergetar."Tidak ada cinta di dunia ini. Semua orang menikah karena kepentingan dan uang," tandas Tama. "Hanya orang-orang naif yang percaya cinta. Suatu saat Vinko akan menertawai kelakuannya ini. Dia akan menyesal pernah melawanku," Pria itu beranjak berdiri. Lantas mulai bergerak hendak meninggalkan Rania yang masih bersimpuh di lantai gudang."Suatu saat?" seru Rania. Berhasil membuat Tama berhenti. "Kamu yakin dia akan selamat?"Tidak hanya berhenti sejenak, Tama juga memutar tubuhnya lagi untuk menghadap Rania. "Jika dia tidak selamat–" Tama sengaja berhenti. Namun ekspresinya sama sekali tidak bisa dibaca. "Itu sudah menjadi takdirnya," Tama kemba
"Tuan Hadi?" Nita terkejut, tak menyangka jika seluruh keluarga besar Tuan Hadi datang untuk menjenguk Vinko. "M-mari silahkan masuk," Dia cukup kikuk untuk menyapa satu-persatu dari mereka, karena entah apa yang terjadi, suasana tegang tampak sangat terasa.Nita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan juga tidak berani untuk bertanya. Padahal sudah dua kali dia mengajak keluarga itu untuk masuk ke dalam kamar Vinko, tapi tidak diindahkan. Tuan Hadi terus menatap Tama dan Rania bergantian dengan tatapan penuh curiga, sementara Dewi dan Laura diam mematung menunggu perintah sang ayah."Katakan padaku, Tama. Apa yang terjadi?" ulang Tuan Hadi.Tama bergeser sedikit untuk bisa leluasa memandang Rania. Dia menunggu respon dari wanita itu, tapi tentu saja Rania tidak akan berani berterus terang. Bicara jujur pada Nita saja dia tidak tega, apalagi harus terus terang pada Tuan Hadi. Mungkin Rania akan ditendang keluar dari rumah jika hal itu dilakukan."Ayo kita masuk, Bu, Tante!!" seru
"Selamat siang, Tante?" sapa Regina, pelan-pelan masuk ke dalam kamar rawat Vinko sambil membawa sekeranjang penuh buah-buahan."Mama nggak ada!" celetuk Vinko, berhasil membuat Regina melompat kaget. Vinko seketika mengernyitkan dahi. "Kenapa reaksimu begitu?" protesnya."Aku kira kamu masih belum sadar," jawab Regina jujur. Dia lantas meletakkan buah itu di meja ruang tamu, lalu mengambil duduk di samping ranjang Dino.Vinko melipat tangannya dengan pandangan ketus. "Kamu pikir aku selemah itu? Aku orang yang cepat menyembuhkan diri,"Regina nyengir saja mendengarnya. "Terserah kamu," timpalnya, menatap Vinko dengan tatapan aneh."Kudengar, kamu dihajar sama suami Bu Rania, alias kakakmu sendiri," tukas Regina, sembari duduk di sebelah Vinko. "Untung kamu masih hidup, ya?""Aku pasti akan membalasnya!" seru Vinko."Kupikir setelah babak belur begini, kamu akan kapok dan berhenti mengejar kakak iparmu," Regina mendengus kesal menghadapi Vinko yang keras kepala.Vinko menggeleng penuh
"Kenapa lama sekali, Re?!" seru Vinko otomatis saat mendengar bunyi pintu kamarnya dibuka.Tapi Vinko harus terkejut, karena bukan Regina yang datang melainkan Nita. Wanita tua itu tetap merengut, meski dia bergerak mendekat ke ranjang anaknya."Mama?" tegur Vinko keheranan. Dia kira, Nita sudah benar-benar pulang dan mempercayakan Regina untuk menjaganya. Melihat Nita datang tentu membuat perasaan Vinko lebih lega.Nita menarik kursi di dekatnya untuk duduk di sebelah ranjang Vinko. Wanita tua itu terus berwajah muram, seakan tengah mengalami kesedihan yang mendalam. Apalagi matanya juga tampak sembab seperti habis menangis dalam waktu yang lama."Mama … " Hanya itu kata yang sanggup keluar dari mulut Vinko. Dia ingin mengasihani ibunya, tapi juga ingin terus mempertahankan perasaannya."Mama tidak melarangmu untuk jatuh cinta," ujar Nita tiba-tiba. Tapi dia tidak memandang ke arah Vinko. "Bahkan jika kamu memilih untuk mencintai Rania, Mama tidak masalah,"Vinko menggeser tubuhnya u
Jantung Regina berdegup kencang. Menghadapi Tama seorang diri ternyata bukanlah pilihan yang tepat, karena pria itu memiliki aura intimidasi yang kuat. Membuat tangan Regina basah menyimpan kegugupannya sendiri. Dia ingin mengelak, tapi segala tebakan Tama adalah kebenaran yang dia ketahui. Regina berusaha untuk menghindari tatapan mata Tama, karena merasa pria itu bisa melucutinya hanya dengan tatapan tajam itu."A-aku hanya mendengar saja. Aku tidak ingin ikut campur," jawab Regina terbata-bata."Dan pertanyaan satunya? Kamu belum menjawab,"Regina mengerjapkan mata. "Satunya?" ulangnya.Tama semakin maju ke depan. Kedua sikunya bertumpu pada lututnya, dengan dua tangan menyatu di bawah dagu. Dia benar-benar ingin menginterogasi Regina."Kamu menyukai Vinko, kan?"Ingin rasanya Regina membenamkan seluruh wajahnya di bawah bantal, demi menutupi rasa gugup yang makin mengganggu. Regina sadar dia telah gugup, tapi tak punya kuasa untuk menahan hatinya agar lebih bisa tenang di hadapan
Tama terus memasang tatapan curiga, sembari berjalan mendekati Arif dan Laura yang berdiri berhadapan dengan wajah tegang. Tama menelusuri satu-persatu dari dua orang itu dengan matanya, seakan tengah memindai kebohongan."Apa yang kalian lakukan disini?" ulang Tama.Arif menelan ludah. Dia selalu tidak bisa berkutik di depan Tama, bahkan untuk sebuah kebohongan kecil. Tama selalu bisa mengintimidasi siapapun hanya dengan tatapannya."Aku mau menemui Rania, tapi dia menyuruhku pergi!" tukas Laura dengan suara keras. "Dia benar-benar kurang ajar, harusnya kamu beri pelajaran!" Dia tiba-tiba mendorong Arif agar makin menjauh darinya. Laura juga tak lupa memasang wajah ketus.Arif masih tidak mengerti. Tapi dia mengikuti permainan Laura daripada Tama mulai membaca gelagat bohongnya."Aku sudah bilang, Rania tidak ada di rumah," sahut Tama sembari menghembuskan nafas keras. Lantas dia mengalihkan pandangan pada Arif. "Harusnya langsung kamu usir saja, tidak perlu lembut pada anak ini,""B
Tubuh Vinko membeku. Yang dia lakukan hanyalah memandang satu-persatu baik Tuan Hadi maupun Tama, dengan mata hampir keluar karena tidak mempercayai pandangannya sendiri. Vinko tidak pernah mengharapkan kehadiran Tuan Hadi untuk menjenguknya, begitu pula Tama. Tapi mengetahui kedua orang itu tiba-tiba mengunjunginya, membuat jantung Vinko berdebar. Instingnya mengatakan, sesuatu yang buruk sebentar lagi terjadi."Bagaimana kondisimu?" tanya Tuan Hadi. Dia mengambil duduk di sebelah ranjang Vinko."Ayah tahu apa yang terjadi," Vinko melotot tajam ke arah Tama yang masih berdiri di depan ranjang Vinko. "Karena orang ini, aku hampir saja mati," ketusnya, menunjuk ke arah Tama.Tuan Hadi mengangguk pelan, tidak ada reaksi yang berarti. Hidung Vinko kembang-kempis melihat reaksi datar itu. Dadanya bergemuruh, dipenuhi dengan amarah yang makin menjadi."Apakah Ayah akan diam saja melihatnya memperlakukanku seperti ini? Dia menggunakan kekuasaannya untuk menghabisiku!" sentak Vinko, terus me