Aldi pergi ke stasiun setelah mengantar obat dan vitamin yang harus dikonsumsi Ayuda. Ia juga berpamitan akan pergi ke Jogja untuk mengecek kebenaran informasi yang dia dapat perihal Ayudira. Aldi ingin memastikan sendiri setelah mendapat bukti beberapa foto gadis itu yang jika dilihat memang sangat mirip dengan Ayuda. Sambil menunggu keberangkatan kereta, Aldi memilih membeli kopi dan makanan. Ia berjalan dengan hati-hati karena keadaan stasiun sangat ramai. Ia sudah sangat menjauh dari kerumunan orang yang berlalu lalang. Namun, tiba-tiba saja dari arah belakang seseorang menabraknya hingga kopi di tangannya tumpah. Aldi geram sedangkan orang yang menabrak itu hanya menatap lalu berlari lagi. "Wanita tak tahu sopan santun," amuk Aldi. Wanita yang menabraknya tadi sepertinya salah peron sehingga berlari tergesa agar tak ketinggalan kereta. "Ternyata masih ada orang bodoh di zaman sekarang," hinanya.***Setelah melihat Jiwa pergi, Ayuda duduk di depan meja rias sambil memandangi
Raga pergi ke kelab untuk mencoba menghilangkan rasa jengkelnya. Tak pernah sekalipun di hidup dia sangat mendamba wanita seperti ini. Ayuda yang setiap hari dia lihat tapi tidak bisa dimiliki membuatnya frustrasi. Kelab baru saja buka, tapi Raga sudah memesan banyak minuman dan menenggaknya bak orang kehausan. Bagi pelayan kelab, jelas pria seperti Raga tak hanya sekali ini mereka jumpai. Banyak pria-pria yang sedang dihimpit masalah dan berakhir dengan minum miras di siang hari. Raga duduk di kursi paling pojok, dia tak ingin diganggu. Belum juga minuman di meja habis dia sudah memesan lagi. Raga ingin mabuk agar sejenak bisa melupakan Ayuda dari dalam hati. "Kenapa aku bisa sangat menginginkannya? Apa yang harus aku lakukan agar Ayuda bisa membuka hati?" gumam Raga. Ia menenggak lagi minuman di gelasnya.Mereka terlalu sedikit, dia menyambar botol dan langsung meminum dari sana dengan cepat. __Wangi masih penasaran dengan kejadian semalam, dia tidak cukup puas hanya mendeng
Aldi menghubungi Ayuda esok harinya, memberitahu atasannya itu bahwa dia sedang menuju tempat di mana kemungkinan saudara kembar wanita itu berada. Aldi berjanji akan langsung mengabari lagi jika sudah bertemu dengan gadis yang dia maksud.Ayuda pun harap-harap cemas, dia berharap Aldi bisa membawa Arra kembali dan bertemu dengannya.Hari itu, Ayuda merasa sangat malas. Tak ada Aldi yang menemaninya bekerja, membuat dia memutuskan untuk tinggal di rumah. Ayuda meletakkan ponselnya di meja rias, dia berniat turun untuk sarapan dan menemui semua anggota keluarga Ramahadi. Ayuda tidak ingin sampai Linda beranggapan dia takut sampai tak berani keluar kamar. Saat memasuki ruang makan, Ayuda heran karena mendapati Raga tak ada di sana dan di saat yang bersamaan Linda memberi perintah Susi untuk membuatkan Raga jahe panas. Wanita itu juga meminta Susi membawakan sarapan untuk sang putra kedua. Ayuda memilih tak bertanya, dia duduk sambil berpikir mungkinkah Raga sedang sakit hingga tak bis
Dira tentu saja kaget karena ada yang memanggil namanya selengkap itu. Dia semakin bingung karena tak mengenali siapa sosok pria di depannya sekarang. "Ma-maaf!"Dira berdiri tapi sudah tak bisa menghindar, Randy sudah mendekat dan kini dia harus berhadapan dengan dua pria, yang satu tak dikenal dan yang satu sangat ingin dia hindari. "Kak Arra, ini benar kakak 'kan?"Beberapa orang memandang ke arah mereka dengan tatapan heran, Dira yang tak ingin menjadi pusat perhatian memilih untuk menghindar, tapi Aldi mencekal tangannya. "Kamu tidak akan bisa pergi, ada hal penting yang harus kamu tahu," ujar Aldi. "Maaf saya tidak kenal siapa Anda, jangan bersikap seperti ini. Tindakan Anda sudah termasuk pelecehan." Dira melotot dan dengan cepat Aldi melepaskan tangan dari gadis berhijab itu. "Kak Arra, apa kakak tidak merindukanku?" Meski Dira menyangkal mengenal, tapi Randy tetap bersikeras. Ia menghadang langkah Dira dan menatap wajah gadis itu dalam-dalam."Kak Arra, ini aku. Kenapa
"Apa Raga masih tidak keluar kamar?"Ayuda bertanya ke bik Nini yang baru saja mengambil pakaian kotor miliknya. Pembantu senior di rumah Ramahadi itu mengangguk, memberi informasi bahwa pembantulah yang mengantarkan makanan dan minuman ke dalam kamar Raga. "Apa dia sering begitu? Seperti bocah TK," cibir Ayuda. "Tuan muda Raga memang kekanak-kanakan, kalau pulang dalam kondisi mabuk berat, tandanya sedang ada masalah pelik yang dia pikirkan."Ayuda yang santai duduk di atas ranjang seketika menegakkan punggung, dia penasaran dengan maksud ucapan bik Nini barusan. "Masalah pelik?" tanya Ayuda seolah tak sadar bahwa dia lah yang membuat Raga bersikap seperti ini. "Ya begitulah, Nona!""Contohnya?" Selidik Ayuda. "Patah hati, lelah dengan masalah pribadi.""Cih... Dasar, ternyata anak Linda memang aneh semua."Bik Nini tak merespon kembali ucapan Ayuda. Dia bergegas membawa baju kotor lalu pamit pergi dari kamar Ayuda. Meninggalkan gadis itu dengan rasa penasaran yang menggelayuti
Dira masih tak percaya, dia ingat betul sesusah apa hidupnya dulu dan sang mama. Mendapati saudara kembar dan papanya hidup nyaman nan kaya raya, tentu membuat sedikit rasa benci di hati Dira. Ia berpikir sebenarnya ada masalah keluarga apa, yang membuat sang papa sampai tega tidak mencari tahu keberadaan dirinya selama ini. Dira masih diam dan tak menjawab ucapan Aldi, hingga pria itu berkata kembali-"Nona Ayuda pasti akan melindungimu. Dia memintaku mencari keberadaanmu tapi sangat sulit, barulah saat bertemu pria bernama Hanung kami mendapat jalan terang.""Mas Hanung?" Secara spontan Dira bertanya. "Ya, saat ada urusan bisnis dengan kementerian kami tanpa sengaja bertemu. Pria itu mendekati Nona Ayuda lantas bertanya apa mungkin dia punya saudara yang tinggal di Jogja," ungkap Aldi. Dira semakin bingung, dia juga tidak tahu apa pekerjaan pacarnya itu. Setahu Dira, Hanung adalah keponakan orang penting di desa itu dan bekerja di kota sebagai seorang kontraktor. "Kenapa mas
Aldi sudah beberapa kali mencoba menghubungi Ayuda via panggilan video, tapi tidak ada jawaban dari sang atasan. Tanpa Aldi tahu, Ayuda meninggalkan ponsel di kamar dan masih sibuk bicara dengan Raga di depan kamar pria itu. "Sepertinya Nona sedang sibuk, bisa tidak berikan nomor kontakmu saja?" pinta Aldi ke Dira. "Bisa tidak berikan kontak dia saja?" Aldi tak lantas menjawab, dia pandangi wajah Dira yang masih masam karena sudah dibuatnya jatuh tadi. "Bagaimana kalau sama-sama memberikan nomor?" tawar Aldi, dia berharap Dira mau melakukannya. Saat gadis itu mengangguk dan merogoh kantung celana, Aldi tersenyum senang bahkan memukul sisi lengan Dira sedikit kencang sampai gadis itu melotot. "Astaga! Pria ini sangat aneh," gumam Dira. _ _ "Jangan kembali ke Aussie! cuma kamu temanku di sini." Ayuda merayu, meski tak ingin membalas perasaan Raga tapi dia juga tidak ingin pria itu sampai meninggalkannya. Egois. Satu kata yang tepat disematkan untuk Ayuda. Namun, jujur dia hany
Hari pergi sebelum Ayuda dan Aldi sampai. Semua keputusan kini berada di tangan dokter Thomas yang sedang dirundung dilema. Sial baginya berurusan dengan orang-orang yang memiliki hubungan rumit itu. Dokter itu gundah, apa yang harus dia lakukan, dirinya bahkan hanya melakukan perintah sesuai dangan nominal uang yang ditawarkan masing-masing orang. Keserakahan membuat dokter Thomas kena batunya. Dia kini duduk termenung di ruang praktik hingga membuat beberapa orang yang hendak melakukan perbuatan keji mengaborsi janin tak berdosa menunggu dengan cemas."Kenapa pria itu meminta aku menggugurkan kandungan Ayuda jika dia benar hamil, ada masalah apa sebenarnya ini?"Dokter Thomas termenung dan terus berpikir, hingga memutuskan satu hal yang tak Hari sangka. __"Apa?"Ayuda dan Aldi tak percaya mendengar cerita dokter Thomas. Ayuda bahkan tak menyangka sang papa akan sejahat itu kepadanya. Meski dia tahu mungkin niat Affandi baik agar dia tak terjerat ke dalam rasa penyesalan di kemud
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng