Hari itu, Alex sudah diperbolehkan untuk pulang. Ketimbang Yudistira dan Maya, laki-laki itu mendapatkan perawatan lebih lama lantaran mendapatkan luka yang cukup parah. Sepanjang perjalanan, Alex menempel pada istrinya seperti anak beruang yang merindukan induknya. Reina mengecup kening sang suami. Dia sendiri sangat menyukai suaminya dalam mode manja seperti ini.Sebab pada hari biasa, Alex akan malu untuk bermanja-manja dengannya. Laki-laki itu hanya akan membiarkan Reina menempel padanya. Padahal kalau Alex mau bergelayutan, Reina takkan mempermasalahkannya. Hanya saja, pikiran Reina masih berkelana pada masalah Gilang. Dia tidak bisa fokus, apalagi setelah tiap kilometer terlewat, yang artinya dia akan cepat pulang.Apakah laki-laki itu sungguh selesai dengan perasaannya yang berdasarkan salah paham itu? Semoga saja. Sebab Reina tak tau harus berhadapan dengan Gilang menggunakan cara apa lagi. Dia mencintai Alex. Tidak ada keyakinan lain yang dapat mengubahnya sedikit pun.Setiba
"Oh, benar, tebakannya Mas Gilang tepat sekali." Alex menyahut ramah. Sementara itu Reina sudah seperti bermain rolet dengan kehidupannya sebagai jaminan terbesar. Wanita itu mengembuskan napas lega yang disamarkan agar tidak terlalu kentara. Gilang menangkap kegugupan yang menguasai Reina. Laki-laki itu tersenyum timpang, lalu memasang tampang bersahabat pada Alex. Gilang sedang berperan sebagai tetangga baik hati yang perhatian. Menjenguk tetangga yang sedang sakit, dan bersikap normal. Padahal, Reina mengetahui adanya maksud lain dari tatapan Gilang barusan. Ternyata, laki-laki itu belum bisa melepas kesalahpahaman yang mengungkung tanpa alasan pasti.Reina hanya mampu terdiam selagi Alex dan Gilang berbicara. Saat sedang tenang-tenangnya, tiba-tiba saja Gilang sengaja memancing adrenalinnya."Mbak Reina kok diam saja? Eh, wajahnya pucat ya? Seperti kemarin-kemarin itu, saat terkena demam." Celetuk Gilang.Reina menggigit pipi dalamnya. Laki-laki itu memang ingin sekali membuatnya
Seharian itu, Alex tak berpikir lebih mengenai kenyataan yang baru didapatinya bahwa Reina sudah sering berjalan-jalan pagi dengan laki-laki lain. Dia berpendapat, mungkin cuma kebetulan, dan laki-laki yang menyertai Reina itu tidak tega melihat istrinya berjalan sendiri. Atau, barangkali saja Reina pernah muntah di tengah jalan.Lagi pula sejak kembali dipertemukan dengan sang istri, binar sayang itu masih sama besarnya seperti dulu. Perlakuan Reina tidak berbeda sama sekali. Justru wanita itu semakin mendekatkan dirinya, dua kali lipat lebih manja. Alex tak boleh memikirkan yang tidak-tidak. Buktinya saja, Reina sangat tak ingin jauh darinya lagi. Merawatnya penuh cinta dan limpahan kasih sayang yang kewalahan ditanggapi.Petang itu, hujan mengguyur bumi begitu derasnya. Alex dan Reina duduk di ruang tamu dengan pintu utama terbuka lebar. Keduanya memandangi tetesan air hujan yang menenangkan. Terutama Reina, akhirnya dia bisa merasakan pelukam Alex dan suasana seindah ini."Mas, ke
"Reina?"Terkejut, Reina menjatuhkan tak sengaja menjatuhkan ponselnya. Derap langkah sang suami pun terdengar mendekat. Pintu kamar tamu terbuka perlahan, memperlihatkan suaminya yang bertelanjang dada sembari membawa segelas air dari dapur. "Reina? Kamu di sini rupanya." Alex mengernyit, didapatinya sang istri yang memungut ponsel dengan kegugupan luar biasa. "Ada apa? Kamu sedang ditelepon oleh seseorang? Tadi Mas sempat mendengar getaran HP kamu."Reina meringis. "Ditelepon sama Tara, Mas. Maaf kalau bikin Mas bangun, ini juga, kayaknya dia lagi di luar negeri dan di sana udah pagi, makanya sengaja banget mau pamerin aku."Secepat kilat, Reina mematikan sambungan panggilan yang pastinya masih terdengar oleh Gilang di seberang telepon sana. "Mas habis ngapain? Ambil minum?""Hm, sama Mas penasaran, ke mana perginya istrinya Mas yang cantik ini."Sudut pipi Reina langsung tertarik tinggi-tinggi. Dia tidak bisa mengabaikan, betapa senangnya mendapat sebutan semanis itu dari sang sua
Reina memberontak. Namun pelukan Gilang terlalu erat dan kuat, sehingga tak ada pilihan lain selain meluncurkan satu tendangan ke belakang—tepat mengenai pusat tubuh Gilang. Berhasil lolos, Reina tak mau repot-repot menanyakan keadaan laki-laki itu. Dia harus segera keluar dari rumah terkutuk ini. Akan tetapi, belum genap wanita itu melangkah keluar rumah, seruan yang bercampur dengan erangan kesakitan dari Gilang berhasil menghentikannya. "Kamu mau aku mati, Reina?"Deg!Reina serasa dibawa ke masa lampau, di mana dirinya berhadapan dengaan seseorang yang mengakhiri hidup tepat di hadapannya. Kedua tangan Reina mengepal. Cepat-cepat wanita itu menggeleng, berusaha menghalau ingatan lama itu menyeruk masuk menguasainya. Tidak! Itu sudah lama berlalu.Menyadari Reina terdiam setelah dirinya melontarkan pertanyaan seperti itu, dahi Gilang berkerut heran. Perlahan-lahan, sembari mengabaikan rasa sakit pada pusat tubuhnya, Gilang mendekati Reina. Betapa terkejutnya Gilang saat mendapati
Reina mengulum bibirnya seraya menimbang-nimbang. Menjawab panggilan masuk dari Lily, berarti dirinya masih cukup dekat dengan dunia Gilang. Tetapi Lily merupakan seseorang yang sudah dianggap sebagai adik sendiri—terlepas dari hal tersebut, Lily tak mengetahui permasalahan yang terjadi di antara dirinya dan Gilang.Mengembuskan napas sebentar, Reina memilih untuk membalasnya. "Halo, Ly? Apa kabar? Lama nggak bicara nih!""Hai, Mbak Reina!" Sahutan penuh semangat itu menyemburkan senyuman pada wajah Reina. "Aku baik kok, Mbak! Iya sih, kita udah jarang cerita. Tapi aku lagi banyak tugas, terus pas libur nggak bisa main sama sekali.""Hm, semangat ya!""Omong-omong, Mbak," nada bicara Lily berubah serius. "Bisa minta tolong kasih tau Bang Gilang buat ngasih uang tambahan buat beli alat lukis nggak?""Ha?" Reina tergagap. Benar dugaannya. Dia masih akan terseret pada drama bertajuk Gilang. "Ke-kenapa harus Mbak yang kasih tau? Kenapa nggak kamu sendiri? Kebetulan Mbak Reina lagi di kant
Alex membulatkan matanya tak percaya. Bahkan laki-laki itu mulai meragukan penglihatannya sendiri. Akan tetapi, yang terjadi di depannya merupakan sebuah kenyataan. Gilang memeluk Reina. Tanpa rasa sungkan atau bersalah, seakan-akan tetangganya itu sudah menanti momen berharga yang satu ini.Reina sendiri mematung, tak mampu bergerak barang seinci. Dia terlalu terkejut dengan perlakuan tiba-tiba Gilang yang mengundang maut ini. Diliriknya sang suami, ternyata sama-sama terkejut dan berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.Gilang mengurai pelukan yang berlangsung selama kurang lebih satu menit itu. Laki-laki itu tersenyum puas, masih sempatnya mengelus kepala Reina penuh kelembutan. Alex mengatupkan bibirnya. Sekarang bukan saat yang tepat untuk beramah-tamah. Ada sesuatu yang lebih mencuri perhatian. Alex mengepalkan kedua tangannya, siap meluncurkan tinjuan ke arah Gilang, namun belum bisa dilakukan. Tidak berhenti di situ saja, tangan kiri Gilang menggapai pinggang Reina, memeluk
"Mas Alex ...."Keduanya bertatapan selama beberapa detik. Namun dengan cepat Alex kembali menutup pintu, menyisakan hujan keheningan yang mendera Reina dengan ganasnya. Wanita itu tidak percaya, sekarang dia merupakan penghuni bernamakan kekecewaan dalam hati sang suami.Reina menitihkan air matanya, meratapi nasib. Pasti Alex merasakan sakit hati dua kali lipat lebih besar darinya. Mengingat dirinya berjuang di luar kota demi keluarganya hingga tertusuk dan berbaring di rumah sakit, namun sang istri malah menghabiskan banyak waktu dengan laki-laki lain. Tentunya Alex sangat berhak untuk marah dan mendiamkannya.Dia istri yang tak berguna. Bukannya menjaga dirinya sebagai seorang istri dalam setiap keadaan, justru mencari tambatan lain yang dijejalkan sebagai teman. Reina menyadari, ternyata dirinya cukup munafik. Sisa malam itu, Reina bergelung di balik selimut. Menikmati kegelapan yang merengkuhnya, seakan-akan memang itulah tempatnya—kesendirian. Alex pun tidak memasuki kamar lag
Empat tahun setelah kelahiran Nayra, Alex dan Reina mendapatkan kabar bahwa mereka sedang mengandung anak kedua. Alex yang sudah dilanda bahagia, kian senang saat mendapati istri manjanya itu akan memberikan anak lagi.Ah, tapi tidak juga. Sekarang Reina sudah tak semanja dulu. Sejak melahirkan Nayra, rasanya Reina menjadi sosok lain yang mampu menghangatkan hati orang hanya dengan melihatnya saja. Ibu. Ya—Reina telah berubah menjadi seorang ibu yang secara perlahan meningkatkan kepedulian serta tanggungjawabnya untuk merawat dan membesarkan bayi mungil mereka.Pada beberapa kesempatan, Alex terpana. Dia seperti menikahi sosok Reina yang berbeda dari yang sebelumnya. Sebab Reina yang dilihatnya setiap hari jelas berbeda dari Reina yang biasa bergelayut manja padanya. Sempat pada beberapa malam, Alex mendapati istrinya itu menangis usai menidurkan Nayra. Detik itu, Alex mencari apa saja yang dialami seorang ibu ketika baru melahirkan. Ternyata, ada yang dinamakan baby blues. Pada satu
Pagi hari yang damai, Reina sedang merajut di teras rumahnya. Alex telah pergi ke kantor setengah jam yang lalu, maka Reina memanfaatkan waktu tersebut untuk meningkatkan keahlian merajutnya sebelum berkontak dengan Felia dari rumah konveksi.Kehamilannya telah memasuki minggu ke-8. Belakangan Reina jadi susah bergerak, lebih mudah kelelahan. Maka dari itu, Reina memutuskan untuk duduk kalem sembari merajut sesuatu yang bisa mendistraksi pikirannya dari hal-hal buruk.Melupakan ponselnya yang tertinggal di kamar, Reina beranjak untuk meminta Alex memberikan benang rajut yang baru. Kalau tidak diingatkan sekarang, atau paling tidak menyisipkan pesan, suaminya itu akan lupa. Kesibukan yang melanda perusahaan turunan dari sang papa sedang kelewat sibuk. Bahkan sudah dua minggu ini, Alex pulang larut malam."Di mana ya?" Reina mengedar pandang sesampainya di kamar. Terakhir kali, dia menyembunyikan ponsel di salah satu laci nakas samping tempat tidur, sebab tak mau diganggu saat sedang be
Kejutan yang dipersiapkan Alex bukan hanya yang Reina alami seharian ini saja. Melainkan, suaminya itu tengah menyodorkan layar ponselnya yang memperlihatkan pembayaran dua buah tiket penerbangan ke Singapura. Reina menganga sehingga Alex harus menutup mulut istrinya itu secara perlahan. "Mas? Tadinya aku yang mau kasih kejutan, tapi malah Mas yang kasih kejutan dulu ke aku." Reina memindai tiap kata yang tertera pada layar ponsel sang suami. "Kok mendadak sih, Mas?"Alex mengendikkan bahu. Walaupun tidak bisa fokus lantaran penampilan Reina saat ini terlalu menggoda, dia berusaha untuk menjawab. "Benar kata Ibu, Reina. Ada benarnya kalau kita berbulan madu selagi perut kamu belum terlalu besar. Sebenarnya Mas nggak masalah, kalau kamu mau berbulan madu saat menginjak trimester ketiga. Cuma takutnya Mas yang merasa nyaman dengan bulan madu itu, tapi enggak buat kamu."Reina mengelus perutnya yang berada di balik balutan gaun malam tipis—omong-omong, dia baru membelinya sore ini denga
Reina tidak pernah ingat jika suaminya itu memiliki spasi tanpa atap pada ruangan khusus yang dimiliki di lantai dua. Ciuman keduanya yang berada di tangga harus terputus, sebab Tara melihat dari kejauhan dan berseru akan melemparkan piring kalau tidak mencari ruang terlebih dulu untuk melakukannya."Mas?" Reina berhenti melangkah. "Ini semua, Mas yang mempersiapkannya?"Alex mengendikkan bahu. "Enggak tau ya? Memangnya Mas bisa mempersiapkan semua ini di sela kesibukan yang menyerang Mas di kantor?"Reina mencebikkan bibirnya. Seingatnya, ruangan terbuka ini tak pernah ada. Ditilik dari cat kayu yang melapisi sebuah set meja bundar dan sepasang kursi pada tengah bagian, semuanya terlihat baru saja selesai dibangun. Begitu juga dengan sofa panjang berwarna cokelat yang terendus aroma barang baru saat Reina melewatinya."Ah satu lagi," Alex mendekat, lalu meletakkan kedua tangannya pada pinggang Reina. "Apa kamu tau seberapa cemasnya Mas selama beberapa hari ini, Sayang? Mas nggak bisa
"Maaf, Reina."Reina memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. Terkesan tidak sopan bila dia mengalihkan pandang selagi Gilang mengatakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Belum selesai, Gilang melanjutkan kalimat yang berasal dari hati paling dalam."Seperti yang kamu lihat, aku juga menjadi bagian dari rencana yang diperbuat oleh Pak Alex dan dua sahabatmu itu."Tadinya Reina mau mengumpat, bahwa dua sahabatnya itu turut menjadi tim perencanaan. Namun dia urung, sebab masih berada dalam atmosfer lain yang Gilang ciptakan. Dan entah mengapa, dia merasakan satu titik kelegaan yang mengisi selubung di antaranya dan Gilang. Reina tak merasa terancam seperti dulu lagi. Situasi sudah berbeda, sehingga Reina tak perlu tertekan."Maaf karena sudah membuat kamu kesal belakangan ini, Reina. Hanya itu satu-satunya cara, supaya aku juga bisa melihat betapa besar kesungguhan yang kamu punya atas cinta suami kamu." Ucap Gilang. "Yah, tapi asal kamu tau, sebagian besar yang aku ucapkan itu
Reina mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Barangkali saja salah mendengar, Reina menajamkan pendengaran, memastikan bahwa suara yang baru didengarnya merupakan khayalan belaka. Satu menit tak tersiar suara apa pun, Reina mengembuskan napas perlahan."Ternyata memang cuma khayalanku aja," wanita itu tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Pasti gara-gara semalam kurang tidur.""Apa? Kamu kurang tidur?"Reina terlonjak. Suara itu kembali menyapa telinga, namun kini dia berbalik, menghadap seseorang yang berdiri tepat di belakang sofa. Untuk beberapa saat, Reina tak bisa memercayai penglihatannya. Dunia seakan berhenti berputar, membuat Reina kepayahan untuk berkata-kata, sedangkan kedua matanya mulai memburam dengan sendirinya.Seseorang yang berdiri di belakang sofa lantas bergerak pelan, menghampiri Reina yang mematung dengan penuh kelegaan. Dalam satu tarikan napas, Alex memeluk Reina—sangat erat. Reina bergeming. Belum mampu mencerna segalanya dengan cepat, lantaran dia merasa ba
Serangkaian malam yang tak mudah untuk dilewati lagi. Gambaran mengenai Evelynn yang berusaha menggoda Alex dalam balutan lingerie merah menyala terus menghantui bagaikan kaset rusak. Reina melirik jam dinding. Terbangun pukul tiga dini hari, padahal dia baru memejamkan mata satu jam sebelumnya. Mungkin lingkar matanya sudah seperti panda. Reina tidak mau bercermin kalau begini caranya."Jam delapan ...."Reina bergumam pelan sembari mengingat jadwal penerbangan yang akan Alex dan Evelynn lakukan. Masih tersisa lima jam. Wanita itu terheran-heran, adakah cara agar dua manusia tersebut membatalkan perjalanan udara mereka nanti?Tangannya yang semula hendak meraih ponsel, berubah haluan jadi menutup mulutnya yang menguap lebar-lebar. Tidak ada pilihan. Dia harus tertidur lagi barang sebentar. Demi kebaikan pikiran serta bayinya yang kelelahan di dalam perut, Reina harus mengistirahatkan diri.Reina membaringkan tubuh, tetapi sudut matanya menangkap hasil rajutan yang berada di atas meja
Makan siang kali itu benar-benar menjatuhkan suasana hati Reina hingga ke dasar bumi sekaligus. Tetap saja, meski pada mulanya Alex sudah berbaik hati untuk mengajaknya makan bersama, pada akhirnya yang tampak menikmati sesi tersebut ialah Alex dan Evelynn. Keduanya berbicara seakan tidak ada hari esok. Bahkan yang membuat Reina ingin membanting piring, ketika suaminya menanyakan apa saja yang disukai oleh model cantik itu, begitu juga sebaliknya.Reina yang semula kelaparan, jadi tidak terlalu berminat untuk melahap bebek penyet yang menggugah selera itu. Terutama dengan sejumput pemandangan menyebalkan yang tersaji di hadapannya, Reina hanya mampu melahap sekadarnya demi sang anak yang berada di dalam perutnya.Saat Alex dan Evelynn telah menandaskan makanan masing-masing, keduanya langsung beranjak dan pamit begitu cepat. Reina menganga, tak membayangkan bahwa dia baru saja ditinggal—walaupun yang membayar tetap Alex. Rasanya luar biasa menjengkelkan. Bahkan Alex enggan menanyakan
"Egois?"Gilang memiringkan kepala, sedangkan wanita hamil di depannya itu mengangguk penuh kepastian. Selama beberapa detik, keduanya tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Hanya deru napas masing-masing yang bersahutan seolah melempar amarah melalui udara di sekitar mereka.Reina hendak menyuruh laki-laki itu untuk menyingkir, lantaran tak perlu membicarakan hal lain lagi. Akan tetapi, Gilang malah mendecih disertai seutas senyum yang mengundang kernyitan pada dahi Reina. "Oke!"Lagi-lagi, Reina dibuat tak paham. Bertanya pun sudah terlalu malas, jadi dia membiarkan Gilang bertingkah semau laki-laki itu saja. Terlebih, dia ingin sekali keluar untuk mencari udara segar."Sepertinya semua sudah jelas." Gilang manggut-manggut tanpa diketahui apa penyebabnya. "Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Reina? Rasanya lega sekali setelah tau keadaan kamu baik-baik saja. Dan ... perasaanmu masih baik-baik saja."Reina memicingkan mata. "Perasaanku baik-baik saja? Apa maksudnya?"Gilang menggelen