Alex membulatkan matanya tak percaya. Bahkan laki-laki itu mulai meragukan penglihatannya sendiri. Akan tetapi, yang terjadi di depannya merupakan sebuah kenyataan. Gilang memeluk Reina. Tanpa rasa sungkan atau bersalah, seakan-akan tetangganya itu sudah menanti momen berharga yang satu ini.Reina sendiri mematung, tak mampu bergerak barang seinci. Dia terlalu terkejut dengan perlakuan tiba-tiba Gilang yang mengundang maut ini. Diliriknya sang suami, ternyata sama-sama terkejut dan berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.Gilang mengurai pelukan yang berlangsung selama kurang lebih satu menit itu. Laki-laki itu tersenyum puas, masih sempatnya mengelus kepala Reina penuh kelembutan. Alex mengatupkan bibirnya. Sekarang bukan saat yang tepat untuk beramah-tamah. Ada sesuatu yang lebih mencuri perhatian. Alex mengepalkan kedua tangannya, siap meluncurkan tinjuan ke arah Gilang, namun belum bisa dilakukan. Tidak berhenti di situ saja, tangan kiri Gilang menggapai pinggang Reina, memeluk
"Mas Alex ...."Keduanya bertatapan selama beberapa detik. Namun dengan cepat Alex kembali menutup pintu, menyisakan hujan keheningan yang mendera Reina dengan ganasnya. Wanita itu tidak percaya, sekarang dia merupakan penghuni bernamakan kekecewaan dalam hati sang suami.Reina menitihkan air matanya, meratapi nasib. Pasti Alex merasakan sakit hati dua kali lipat lebih besar darinya. Mengingat dirinya berjuang di luar kota demi keluarganya hingga tertusuk dan berbaring di rumah sakit, namun sang istri malah menghabiskan banyak waktu dengan laki-laki lain. Tentunya Alex sangat berhak untuk marah dan mendiamkannya.Dia istri yang tak berguna. Bukannya menjaga dirinya sebagai seorang istri dalam setiap keadaan, justru mencari tambatan lain yang dijejalkan sebagai teman. Reina menyadari, ternyata dirinya cukup munafik. Sisa malam itu, Reina bergelung di balik selimut. Menikmati kegelapan yang merengkuhnya, seakan-akan memang itulah tempatnya—kesendirian. Alex pun tidak memasuki kamar lag
"Ha! Untung aja kamu lagi hamil, Re. Kalau enggak, aku nggak bakal ragu buat nyungsepin kamu ke trotoar!" Celetuk Tara yang membuat kedua sudut pipi Reina tertarik ke bawah."Kok jahat begitu sih, Tar? Aku kan lagi curhat," imbuhnya.Di hadapan dua wanita tersebut, Rendi menggeleng-gelengkan kepala. "Sebenarnya aku mau ngomong yang sama kayak Tara sih, Re. Lagian ya, kalau kamu butuh teman, kamu bisa panggil aku atau Tara. Kenapa harus cari orang lain yang bahkan asal-usulnya nggak kamu ketahui dengan jelas? Okelah dia terlihat baik, tapi kamu bisa lihat hatinya? Enggak kan?"Reina makin murung. Sesudah bercerita mengenai permasalahan yang menimpa rumah tangganya, memang pantas baginya untuk mendapat petuah menyakitkan dari dua sahabatnya. Benar apa yang dikatakan oleh Rendi, seharusnya dia memanggil salah satu dari keduanya—bukannya mengedepankan ego dan memilih untuk mencari teman baru yang tidak terlalu dikenalinya."Jadi, kejadiannya masih fresh from the oven dong ya?" tanya Tara
Makanan telah dihidangkan. Reina menepuk tangannya, senang bukan main. Ditiliknya sang mertua yang sedang mengarahkan Bi Ijah di dapur. Reina mengulum senyum, lalu melangkah ringan untuk mencuci tangan. Entah rasa syukur macam apa yang mampu mendeskripsikan perasaannya saat ini. Wanita itu seperti mendapatkan uluran tangan dari Dewi Fortuna di tengah-tengah badai yang menerpa kapalnya ini.Alex dan Reina memang sedang menghalau badai yang datang itu dengan cara masing-masing. Akan tetapi, terdapat sebuah pelampung di dalam kapal yang dinaikinya kan? Maka, datangnya Nora hari ini merupakan perwujudan dari pelampung itu sendiri.Kehadiran Nora akan membuat Alex tidur di kamarnya, bukan di ruang keluarga atau lainnya. Sebab Reina mempunyai firasat bila Alex enggan menambah beban pikiran ibunya lagi. Senyum Reina mendadak mengendur. Dia merupakan alasan utama mengapa beban itu terbentuk. Dan lagi, kala badai menerjang pun, Alex masih bersusah payah melindunginya.Alex datang ketika senja
Pagi harinya, Reina sudah tak mendapati Alex. Reina mengembuskan napas perlahan, menyabarkan diri. Sebetulnya dia sendiri penasaran dengan reaksi Alex saat bangun dan mendapati dirinya berada dalam pelukan laki-laki itu. Reina tertawa pelan, lalu menghirup aroma yang tertinggal pada sisi Alex tidur semalam. Menenangkan sekali."Reina! Ayo sarapan dulu, Nak!"Dengan senyum yang mengudara, Reina melangkah ke kamar mandi sebentar, lantas keluar dan melayangkan sapaan manisnya. "Eh?" Reina mengerjapkan kedua matanya. Dia pikir, Alex sudah pergi bekerja. Akan tetapi, laki-laki itu masih berada di meja makan dengan piring bersih yang belum diisi apa-apa. Seakan-akan suaminya itu tengah menunggunya terbangun."Kenapa, Reina? Ayo sarapan dulu! Lihat tuh! Suamimu tidak mau makan kalau kamu belum keluar." Kata Nora. Reina tersenyum kikuk. Entah itu hanya sekadar alasan belaka atau memang sungguhan, Reina terlalu malu untuk sekadar memandang Alex. Duduk di samping Alex, Reina dapat menghirup ar
Secepat kilat, Reina mencari alasan untuk bertemu dengan Tara. Jika tidak begitu, Nora takkan mengizinkannya keluar walaupun sedari tadi kondisinya baik-baik saja. Reina menuju gedung agensi yang menaungi pekerjaan sahabatnya itu menggunakan ojek online. Selesai membayar dengan nominal lebih—yang membuat sopir ojeknya kaget—Reina bergegas memasuki gedung agensi yang berdiri menjulang di hadapannya itu. Baru saja menginjak lobi, Tara melambai dari balik meja resepsionis. Meskipun Reina bertanya-tanya bagaimana sahabatnya bisa bersembunyi di sana, dia tetap menghampiri dengan kekalutan memuncak."Tara! Di mana?! Di mana Mas Alex?!" tanyanya tak sabar.Tara memberi tanda untuk diam. Reina menurut, lantas mengedar pandang. Tandanya, mungkin suaminya sedang bersama dengan model bernama Evelynn itu di sekitar lantai dasar. Begitu Tara keluar dari balik meja resepsionis dan berpamitan dengan rekan yang berjaga, wanita muda itu langsung menarik Reina ke sisi lain lantai dasar."Kafe." Kata T
Ketika Alex pulang pada sore harinya, laki-laki itu membawakan sekotak martabak manis yang kebetulan saja hendak dibeli oleh Reina ditemani sang mertua. Reina terperangah, menerima martabak manis tersebut dengan hati berbunga-bunga. Dia tak menyangka jika suaminya masih sempat-sempatnya berbaik hati di tengah rundungan permasalahan yang diperbuatnya."Makasih, Mas." Reina tersenyum manis, namun Alex diam saja. Justru melewati Reina seakan istri manjanya itu merupakan patung tak bernyawa. Reina mendengus lelah. "Yah, seengaknya udah ada kemajuan ketimbang kemarin."Hari ini cukup menyenangkan, sebab Alex mau berinteraksi sedikit dengannya—walaupun dia harus membuat alasan demi buah hati mereka yang berada di dalam perut. Reina meletakkan martabak manis tersebut di atas meja makan, lantas menuju kamar untuk mengabari Tara mengenai perkembangan apa saja yang telah dialaminya.Sesiangan tadi, sahabatnya itu khawatir apabila baru saja menambahkan masalah baru hanya karena memergoki Alex da
Suasana hati Reina benar-benar memburuk. Saat teringat dengan ulah menjengkelkan Alex, Reina ingin sekali membalik kasur dan menjatuhkan suaminya itu. Tetapi dia sadar diri bahwa dia tidak sekuat itu. Pada akhirnya, terpaksa menutup mata dengan kedongkolan yang menyertai sampai pagi harinya.Belum puas dengan perlakuan yang dilayangkan suaminya itu semalam, kali ini Alex kembali menjatuhkan bom patah hati padanya. "Mas Alex nggak bisa menemani Reina kontrol, Bu?"Nora memandang Reina khawatir. "Iya, Sayang. Maaf ya? Nanti, kontrol sama Ibu dulu. Baru besok-besok kamu kontrol sama Alex. Katanya, ada rapat penting yang harus dia hadiri, tidak bisa diundur atau digantikan sama sekali."Reina terduduk lemas seraya melayangkan tatapan tak semangatnya ke arah berbagai lauk yang telah dihidangkan. Sudah semalam dibuat kesal, lalu tak memberitahu perihal tak jadi menemani kontrol, pagi-pagi langsung kabur seolah menghindari dirinya laksana virus berbahaya. "Sudah ya, Reina? Nanti kalau Alex
Empat tahun setelah kelahiran Nayra, Alex dan Reina mendapatkan kabar bahwa mereka sedang mengandung anak kedua. Alex yang sudah dilanda bahagia, kian senang saat mendapati istri manjanya itu akan memberikan anak lagi.Ah, tapi tidak juga. Sekarang Reina sudah tak semanja dulu. Sejak melahirkan Nayra, rasanya Reina menjadi sosok lain yang mampu menghangatkan hati orang hanya dengan melihatnya saja. Ibu. Ya—Reina telah berubah menjadi seorang ibu yang secara perlahan meningkatkan kepedulian serta tanggungjawabnya untuk merawat dan membesarkan bayi mungil mereka.Pada beberapa kesempatan, Alex terpana. Dia seperti menikahi sosok Reina yang berbeda dari yang sebelumnya. Sebab Reina yang dilihatnya setiap hari jelas berbeda dari Reina yang biasa bergelayut manja padanya. Sempat pada beberapa malam, Alex mendapati istrinya itu menangis usai menidurkan Nayra. Detik itu, Alex mencari apa saja yang dialami seorang ibu ketika baru melahirkan. Ternyata, ada yang dinamakan baby blues. Pada satu
Pagi hari yang damai, Reina sedang merajut di teras rumahnya. Alex telah pergi ke kantor setengah jam yang lalu, maka Reina memanfaatkan waktu tersebut untuk meningkatkan keahlian merajutnya sebelum berkontak dengan Felia dari rumah konveksi.Kehamilannya telah memasuki minggu ke-8. Belakangan Reina jadi susah bergerak, lebih mudah kelelahan. Maka dari itu, Reina memutuskan untuk duduk kalem sembari merajut sesuatu yang bisa mendistraksi pikirannya dari hal-hal buruk.Melupakan ponselnya yang tertinggal di kamar, Reina beranjak untuk meminta Alex memberikan benang rajut yang baru. Kalau tidak diingatkan sekarang, atau paling tidak menyisipkan pesan, suaminya itu akan lupa. Kesibukan yang melanda perusahaan turunan dari sang papa sedang kelewat sibuk. Bahkan sudah dua minggu ini, Alex pulang larut malam."Di mana ya?" Reina mengedar pandang sesampainya di kamar. Terakhir kali, dia menyembunyikan ponsel di salah satu laci nakas samping tempat tidur, sebab tak mau diganggu saat sedang be
Kejutan yang dipersiapkan Alex bukan hanya yang Reina alami seharian ini saja. Melainkan, suaminya itu tengah menyodorkan layar ponselnya yang memperlihatkan pembayaran dua buah tiket penerbangan ke Singapura. Reina menganga sehingga Alex harus menutup mulut istrinya itu secara perlahan. "Mas? Tadinya aku yang mau kasih kejutan, tapi malah Mas yang kasih kejutan dulu ke aku." Reina memindai tiap kata yang tertera pada layar ponsel sang suami. "Kok mendadak sih, Mas?"Alex mengendikkan bahu. Walaupun tidak bisa fokus lantaran penampilan Reina saat ini terlalu menggoda, dia berusaha untuk menjawab. "Benar kata Ibu, Reina. Ada benarnya kalau kita berbulan madu selagi perut kamu belum terlalu besar. Sebenarnya Mas nggak masalah, kalau kamu mau berbulan madu saat menginjak trimester ketiga. Cuma takutnya Mas yang merasa nyaman dengan bulan madu itu, tapi enggak buat kamu."Reina mengelus perutnya yang berada di balik balutan gaun malam tipis—omong-omong, dia baru membelinya sore ini denga
Reina tidak pernah ingat jika suaminya itu memiliki spasi tanpa atap pada ruangan khusus yang dimiliki di lantai dua. Ciuman keduanya yang berada di tangga harus terputus, sebab Tara melihat dari kejauhan dan berseru akan melemparkan piring kalau tidak mencari ruang terlebih dulu untuk melakukannya."Mas?" Reina berhenti melangkah. "Ini semua, Mas yang mempersiapkannya?"Alex mengendikkan bahu. "Enggak tau ya? Memangnya Mas bisa mempersiapkan semua ini di sela kesibukan yang menyerang Mas di kantor?"Reina mencebikkan bibirnya. Seingatnya, ruangan terbuka ini tak pernah ada. Ditilik dari cat kayu yang melapisi sebuah set meja bundar dan sepasang kursi pada tengah bagian, semuanya terlihat baru saja selesai dibangun. Begitu juga dengan sofa panjang berwarna cokelat yang terendus aroma barang baru saat Reina melewatinya."Ah satu lagi," Alex mendekat, lalu meletakkan kedua tangannya pada pinggang Reina. "Apa kamu tau seberapa cemasnya Mas selama beberapa hari ini, Sayang? Mas nggak bisa
"Maaf, Reina."Reina memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. Terkesan tidak sopan bila dia mengalihkan pandang selagi Gilang mengatakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Belum selesai, Gilang melanjutkan kalimat yang berasal dari hati paling dalam."Seperti yang kamu lihat, aku juga menjadi bagian dari rencana yang diperbuat oleh Pak Alex dan dua sahabatmu itu."Tadinya Reina mau mengumpat, bahwa dua sahabatnya itu turut menjadi tim perencanaan. Namun dia urung, sebab masih berada dalam atmosfer lain yang Gilang ciptakan. Dan entah mengapa, dia merasakan satu titik kelegaan yang mengisi selubung di antaranya dan Gilang. Reina tak merasa terancam seperti dulu lagi. Situasi sudah berbeda, sehingga Reina tak perlu tertekan."Maaf karena sudah membuat kamu kesal belakangan ini, Reina. Hanya itu satu-satunya cara, supaya aku juga bisa melihat betapa besar kesungguhan yang kamu punya atas cinta suami kamu." Ucap Gilang. "Yah, tapi asal kamu tau, sebagian besar yang aku ucapkan itu
Reina mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Barangkali saja salah mendengar, Reina menajamkan pendengaran, memastikan bahwa suara yang baru didengarnya merupakan khayalan belaka. Satu menit tak tersiar suara apa pun, Reina mengembuskan napas perlahan."Ternyata memang cuma khayalanku aja," wanita itu tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Pasti gara-gara semalam kurang tidur.""Apa? Kamu kurang tidur?"Reina terlonjak. Suara itu kembali menyapa telinga, namun kini dia berbalik, menghadap seseorang yang berdiri tepat di belakang sofa. Untuk beberapa saat, Reina tak bisa memercayai penglihatannya. Dunia seakan berhenti berputar, membuat Reina kepayahan untuk berkata-kata, sedangkan kedua matanya mulai memburam dengan sendirinya.Seseorang yang berdiri di belakang sofa lantas bergerak pelan, menghampiri Reina yang mematung dengan penuh kelegaan. Dalam satu tarikan napas, Alex memeluk Reina—sangat erat. Reina bergeming. Belum mampu mencerna segalanya dengan cepat, lantaran dia merasa ba
Serangkaian malam yang tak mudah untuk dilewati lagi. Gambaran mengenai Evelynn yang berusaha menggoda Alex dalam balutan lingerie merah menyala terus menghantui bagaikan kaset rusak. Reina melirik jam dinding. Terbangun pukul tiga dini hari, padahal dia baru memejamkan mata satu jam sebelumnya. Mungkin lingkar matanya sudah seperti panda. Reina tidak mau bercermin kalau begini caranya."Jam delapan ...."Reina bergumam pelan sembari mengingat jadwal penerbangan yang akan Alex dan Evelynn lakukan. Masih tersisa lima jam. Wanita itu terheran-heran, adakah cara agar dua manusia tersebut membatalkan perjalanan udara mereka nanti?Tangannya yang semula hendak meraih ponsel, berubah haluan jadi menutup mulutnya yang menguap lebar-lebar. Tidak ada pilihan. Dia harus tertidur lagi barang sebentar. Demi kebaikan pikiran serta bayinya yang kelelahan di dalam perut, Reina harus mengistirahatkan diri.Reina membaringkan tubuh, tetapi sudut matanya menangkap hasil rajutan yang berada di atas meja
Makan siang kali itu benar-benar menjatuhkan suasana hati Reina hingga ke dasar bumi sekaligus. Tetap saja, meski pada mulanya Alex sudah berbaik hati untuk mengajaknya makan bersama, pada akhirnya yang tampak menikmati sesi tersebut ialah Alex dan Evelynn. Keduanya berbicara seakan tidak ada hari esok. Bahkan yang membuat Reina ingin membanting piring, ketika suaminya menanyakan apa saja yang disukai oleh model cantik itu, begitu juga sebaliknya.Reina yang semula kelaparan, jadi tidak terlalu berminat untuk melahap bebek penyet yang menggugah selera itu. Terutama dengan sejumput pemandangan menyebalkan yang tersaji di hadapannya, Reina hanya mampu melahap sekadarnya demi sang anak yang berada di dalam perutnya.Saat Alex dan Evelynn telah menandaskan makanan masing-masing, keduanya langsung beranjak dan pamit begitu cepat. Reina menganga, tak membayangkan bahwa dia baru saja ditinggal—walaupun yang membayar tetap Alex. Rasanya luar biasa menjengkelkan. Bahkan Alex enggan menanyakan
"Egois?"Gilang memiringkan kepala, sedangkan wanita hamil di depannya itu mengangguk penuh kepastian. Selama beberapa detik, keduanya tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Hanya deru napas masing-masing yang bersahutan seolah melempar amarah melalui udara di sekitar mereka.Reina hendak menyuruh laki-laki itu untuk menyingkir, lantaran tak perlu membicarakan hal lain lagi. Akan tetapi, Gilang malah mendecih disertai seutas senyum yang mengundang kernyitan pada dahi Reina. "Oke!"Lagi-lagi, Reina dibuat tak paham. Bertanya pun sudah terlalu malas, jadi dia membiarkan Gilang bertingkah semau laki-laki itu saja. Terlebih, dia ingin sekali keluar untuk mencari udara segar."Sepertinya semua sudah jelas." Gilang manggut-manggut tanpa diketahui apa penyebabnya. "Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Reina? Rasanya lega sekali setelah tau keadaan kamu baik-baik saja. Dan ... perasaanmu masih baik-baik saja."Reina memicingkan mata. "Perasaanku baik-baik saja? Apa maksudnya?"Gilang menggelen