"Andre?"Reina membungkam mulutnya rapat-rapat. Gadis itu tak mampu bergerak setelah melihat sang pacar tengah merangkul mesra seorang gadis. Andre dan gadis itu tak menyadari keberadaan Reina, sebab dia masih berada di ujung lorong.Andre menawarkan beberapa tas keluaran terbaru pada si gadis, yang beberapa saat kemudian dihadiahi kecupan pada bibir. Bukan pada pipi, tapi pada bibir! Bahkan Reina tak pernah melakukannya, lantaran dirinya dan Andre masih menanti status menikah yang tadinya akan mereka sandang.Tetapi apa yang sedang dilihatnya ini? Andre bermain api dengan gadis lain. Senyum dan rayuan yang senantiasa dilayangkan padanya, justru tertambat pada si gadis yang sengaja mendekatkan tubuhnya pada Andre.Andre terlihat senang-senang saja, bahkan mengeratkan pelukannya. Dari samping kepala Reina, terulur satu ponsel yang sedang memotret Andre dan si gadis. Reina menoleh dengan mata berkaca-kaca. Rendi dan Tara memberi tanda untuk tetap diam.Reina mengangguk lemah. Percakapan
Seharian itu, Reina berusaha sebisa mungkin untuk menghindari Alex. Sejak bangun tidur, gadis itu langsung berlari ke kamarnya sendiri. Meninggalkan Alex yang sedang merapikan pakaian kering yang baru dilipat.Alex mengernyit, sekiranya yakin bahwa dirinya tidak melakukan sesuatu yang menyakiti istri manjanya itu. Justru dia sendiri yang kewalahan semalam. Sebetulnya kalau dipikir lagi, akan lebih masuk akal apabila Alex yang menghindari Reina. Sebab telah memperlihatkan betapa lemahnya dirinya di hadapan Reina hanya karena tidur bersama. Alex berjengit, "Apa karena itu? Tapi kan, dia yang memancing."Alex memandang Reina yang menonton televisi di ruang keluarga. Laki-laki itu menyadari jika fokus Reina tidak benar-benar tercurah pada televisi di depannya. Beberapa kali, istrinya itu meliriknya.Tidak tahan dengan situasi janggal semacam itu, Alex menghampiri Reina. "Kenapa, Reina? Apa saya berbuat salah?"Reina tersentak, tapi cepat-cepat menguasai diri. Gadis itu menggeleng, mencoba
Reina terhenyak. Dia terperangkap oleh keisengannya sendiri. Gadis itu bergerak gelisah, berusaha melepaskan diri dari kungkungan Alex. Namun suaminya itu malah mendekat. "Om? Mau ngapa—"Detik itu, Reina merasakan dunianya berhenti berputar. Cepat bagi Alex, tetapi melambat bagi Reina. Dia baru saja merasakaan benda kenyal itu menyentuh ujung bibir kanannya. "Ada saus tomat di bibir kamu, Reina." Suara berat sang suami benar-benar menghipnotisnya. Aneh. Reina pernah berada pada posisi yang lebih dekat dengan Andre, tapi rasanya tidak semendebarkan ini.Deru napas Alex menyapu wajahnya, menggelitik kehangatan yang datang tanpa aba-aba. Tatapan keduanya bersirobok, seolah mencari maksud dari sikap masing-masing yang tak dapat diprediksi. Reina terbawa suasana sehingga kedua tangannya menyentuh bagian dada kemeja Alex. Mengelusnya seperti menemukan sesuatu yang mampu membawanya pergi dari bayang-bayang pengkhianatan Andre.Alex merasakan desiran yang sama. Menggebu-gebu, lantas kembal
TINN!!!Andre dan Reina terperanjat, bersamaan dengan sorot lampu mobil yang menyinari keduanya seperti tahanan yang kabur dari penjara. Reina menghalau pandangannya dengan kedua tangan, namun dia mampu mengenali mobil siapa yang sudah mengganggu waktunya dengan Andre."Itu siapa sih! Ganggu aja!" Gerutu Andre, sudah mau keluar untuk beradu bacot."Bentar, Ndre. Tunggu di sini aja dulu! Biar aku yang turun." Reina keluar, menuju sisi pengemudi mobil di depannya tanpa ragu. "Om Alex? Kenapa? Ada yang ketinggalan?"Alex mengangguk. Ekspresinya datar dan dingin. "Bisa minta tolong ambilkan air dingin di kulkas? Saya mau bawa sebotol buat di kantor.""Lho, bukannya di kantin kantor jualan air dingin ya?" Reina mengatupkan bibirnya lantaran Alex menghadiahi tatapan tajam. "Oke! Sebentar, aku ambilkan dulu!"Secepat kilat, Reina mengambilkan sebotol air dingin dari kulkas. Saking gugupnya, gadis itu terjatuh saat menuruni tiga anak tangga kecil di teras rumah. "Aduh!"Reina mendengar suara
"Kamu murahan."Reina serasa ditarik ke dalam kegelapan tak terhingga dengan tangan-tangan panjang mengerikan yang menariknya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Kalimat mengerikan yang mampu menjatuhkan dirinya itu justru diucapkan oleh seseorang yang selama ini disayanginya dengan sepenuh hati. Reina memang telah memilih orang yang salah sebagai pacar.Di depannya, Andre sendiri tampak terkejut. Pemuda itu membungkam mulutnya rapat-rapat, menatap Reina harap-harap cemas. Andra sadar dirinya baru saja melangkah terlalu jauh. Niatnya tidak seperti itu."Re-Reina ...."Reina menepis tangan Andre, mundur selangkah dengan setitik air mata yang baru saja menetes. Melihat kesedihan yang diperlihatkan Reina, Andre merasa bersalah. Dia memang kesal lantaran harus bersusah payah mencari alasan yang tepat atas semua perselingkuhannya. Tetapi Andre tak menduga akan keceplosan."Kamu benar, Andre." Sekilas getaran memilukan terdengar dari nada bicara Reina. "Aku memang murahan.
Tepat tengah malam, Reina terbangun. Gelap. Kamarnya yang biasa terang, justru tak menyisakan sedikit pun cahaya. Setelah mengucek mata, Reina berguling untuk mengubah posisi tidurnya. Tetapi pergerakan gadis itu terhambat oleh sesuatu—tidak, lebih tepatnya seseorang."AAAA!!!!"Bruk!"Aduh!"Reina menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sementara itu, Alex baru saja menjadi objek tendangan sang istri. "Reina? Kamu habis mimpi buruk? Kenapa saya ditendang?"Reina menggeleng pelan. Dia tidak sedang bermimpi buruk, tetapi melihat Alex tidur di kasurnya hanya dengan bertelanjang dada berhasil membelokkan pikiran gadis itu pada kejadian beberapa saat lalu."Om? Ta-tadi kita habis ngapain?!" Pekik Reina heboh. "Apa kita beneran ngelakuin 'itu'?"Alex hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdiri. Reina malah mondar-mandir seperti setrika. Alex memicingkan mata, sepolos atau sebingung itukah jalan pikiran Reina sekarang ini? Mengapa gadis itu tak menyadarinya?"Kamu masih pakai b
"Dasar! Punya anak nggak bisa mikir!"Andre hanya mampu memejamkan matanya. Dia sedang menjadi objek kemarahan Papi Gustav dan Mami Sinta. Setelah pertengkarannya dengan Reina di mal kemarin, dia pulang larut malam sebab mengunjungi kelab untuk melampiaskan kekesalannya. Baru pagi ini, Andre menyita waktu kedua orang tuanya untuk mengatakan yang sebenarnya mengenai hubungannya dan Reina. Pemuda itu menjelaskan segalanya, termasuk pernikahan Alex dan Reina dengan iming-iming kebebasan yang memang terlaksana dengan baik."Kamu itu bodoh! Udah dikasih kebebasan kayak gitu malah nggak bisa memanfaatkan dengan baik. Dasar! Malah hobinya cari sembarang cewek! Kalau kamu kena penyakit kelamin, Mami nggak mau ikutan ngurus!""Mi! Ya wajar dong kalau aku cari cewek lain! Mami tau sendiri Reina itu kakunya minta ampun kan? Dia memang manja, sayang sama aku, tapi tetap aja nggak bisa diatur sesuai kemauanku, Mi!" Gustav menyahut, "Memangnya kamu mau Reina ngapain, Ndre? Kamu tau sendiri, biarp
"Jadi, ada apa?"Susan berdecak kesal. Alex memang menemuinya, tetapi istri manjanya yang bernama Reina itu turut duduk di samping Alex. Sengaja sekali merangkul lengan Alex. Tidak mau melepas—yang paling menyebalkan ketika Reina memerikan senyum kemenangan."Aku nggak bisa bicara kalau ada istrimu, Alex." Susan langsung menutup mulut rapat-rapat. Mengakui Reina sebagai istri Alex merupakan suatu kekalahan yang begitu dibenci."Kalian mau membahas hal penting ya?" Reina menatap Alex. "Aku ke kamar aja ya, Mas? Kamu bicara sama Mbak Susan aja nggak apa-apa."Alex mendelik, satu tangannya berusaha menahan Reina agar tidak pergi. Reina mendengus pelan. Sebenarnya dia sendiri penasaran dengan percakapan yang akan Susan mulai. Namun kalau dia tidak pergi, Susan tidak akan bersuara. "Tenang aja, Mas." Reina melancarkan aksinya. Kedua tangannya kembali mengelus dada Alex. "Kalian nggak bakal lama kan bicaranya? Aku tunggu di kamar, oke?"Reina mengedipkan matanya disertai kerlingan nakal ya
Empat tahun setelah kelahiran Nayra, Alex dan Reina mendapatkan kabar bahwa mereka sedang mengandung anak kedua. Alex yang sudah dilanda bahagia, kian senang saat mendapati istri manjanya itu akan memberikan anak lagi.Ah, tapi tidak juga. Sekarang Reina sudah tak semanja dulu. Sejak melahirkan Nayra, rasanya Reina menjadi sosok lain yang mampu menghangatkan hati orang hanya dengan melihatnya saja. Ibu. Ya—Reina telah berubah menjadi seorang ibu yang secara perlahan meningkatkan kepedulian serta tanggungjawabnya untuk merawat dan membesarkan bayi mungil mereka.Pada beberapa kesempatan, Alex terpana. Dia seperti menikahi sosok Reina yang berbeda dari yang sebelumnya. Sebab Reina yang dilihatnya setiap hari jelas berbeda dari Reina yang biasa bergelayut manja padanya. Sempat pada beberapa malam, Alex mendapati istrinya itu menangis usai menidurkan Nayra. Detik itu, Alex mencari apa saja yang dialami seorang ibu ketika baru melahirkan. Ternyata, ada yang dinamakan baby blues. Pada satu
Pagi hari yang damai, Reina sedang merajut di teras rumahnya. Alex telah pergi ke kantor setengah jam yang lalu, maka Reina memanfaatkan waktu tersebut untuk meningkatkan keahlian merajutnya sebelum berkontak dengan Felia dari rumah konveksi.Kehamilannya telah memasuki minggu ke-8. Belakangan Reina jadi susah bergerak, lebih mudah kelelahan. Maka dari itu, Reina memutuskan untuk duduk kalem sembari merajut sesuatu yang bisa mendistraksi pikirannya dari hal-hal buruk.Melupakan ponselnya yang tertinggal di kamar, Reina beranjak untuk meminta Alex memberikan benang rajut yang baru. Kalau tidak diingatkan sekarang, atau paling tidak menyisipkan pesan, suaminya itu akan lupa. Kesibukan yang melanda perusahaan turunan dari sang papa sedang kelewat sibuk. Bahkan sudah dua minggu ini, Alex pulang larut malam."Di mana ya?" Reina mengedar pandang sesampainya di kamar. Terakhir kali, dia menyembunyikan ponsel di salah satu laci nakas samping tempat tidur, sebab tak mau diganggu saat sedang be
Kejutan yang dipersiapkan Alex bukan hanya yang Reina alami seharian ini saja. Melainkan, suaminya itu tengah menyodorkan layar ponselnya yang memperlihatkan pembayaran dua buah tiket penerbangan ke Singapura. Reina menganga sehingga Alex harus menutup mulut istrinya itu secara perlahan. "Mas? Tadinya aku yang mau kasih kejutan, tapi malah Mas yang kasih kejutan dulu ke aku." Reina memindai tiap kata yang tertera pada layar ponsel sang suami. "Kok mendadak sih, Mas?"Alex mengendikkan bahu. Walaupun tidak bisa fokus lantaran penampilan Reina saat ini terlalu menggoda, dia berusaha untuk menjawab. "Benar kata Ibu, Reina. Ada benarnya kalau kita berbulan madu selagi perut kamu belum terlalu besar. Sebenarnya Mas nggak masalah, kalau kamu mau berbulan madu saat menginjak trimester ketiga. Cuma takutnya Mas yang merasa nyaman dengan bulan madu itu, tapi enggak buat kamu."Reina mengelus perutnya yang berada di balik balutan gaun malam tipis—omong-omong, dia baru membelinya sore ini denga
Reina tidak pernah ingat jika suaminya itu memiliki spasi tanpa atap pada ruangan khusus yang dimiliki di lantai dua. Ciuman keduanya yang berada di tangga harus terputus, sebab Tara melihat dari kejauhan dan berseru akan melemparkan piring kalau tidak mencari ruang terlebih dulu untuk melakukannya."Mas?" Reina berhenti melangkah. "Ini semua, Mas yang mempersiapkannya?"Alex mengendikkan bahu. "Enggak tau ya? Memangnya Mas bisa mempersiapkan semua ini di sela kesibukan yang menyerang Mas di kantor?"Reina mencebikkan bibirnya. Seingatnya, ruangan terbuka ini tak pernah ada. Ditilik dari cat kayu yang melapisi sebuah set meja bundar dan sepasang kursi pada tengah bagian, semuanya terlihat baru saja selesai dibangun. Begitu juga dengan sofa panjang berwarna cokelat yang terendus aroma barang baru saat Reina melewatinya."Ah satu lagi," Alex mendekat, lalu meletakkan kedua tangannya pada pinggang Reina. "Apa kamu tau seberapa cemasnya Mas selama beberapa hari ini, Sayang? Mas nggak bisa
"Maaf, Reina."Reina memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. Terkesan tidak sopan bila dia mengalihkan pandang selagi Gilang mengatakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Belum selesai, Gilang melanjutkan kalimat yang berasal dari hati paling dalam."Seperti yang kamu lihat, aku juga menjadi bagian dari rencana yang diperbuat oleh Pak Alex dan dua sahabatmu itu."Tadinya Reina mau mengumpat, bahwa dua sahabatnya itu turut menjadi tim perencanaan. Namun dia urung, sebab masih berada dalam atmosfer lain yang Gilang ciptakan. Dan entah mengapa, dia merasakan satu titik kelegaan yang mengisi selubung di antaranya dan Gilang. Reina tak merasa terancam seperti dulu lagi. Situasi sudah berbeda, sehingga Reina tak perlu tertekan."Maaf karena sudah membuat kamu kesal belakangan ini, Reina. Hanya itu satu-satunya cara, supaya aku juga bisa melihat betapa besar kesungguhan yang kamu punya atas cinta suami kamu." Ucap Gilang. "Yah, tapi asal kamu tau, sebagian besar yang aku ucapkan itu
Reina mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Barangkali saja salah mendengar, Reina menajamkan pendengaran, memastikan bahwa suara yang baru didengarnya merupakan khayalan belaka. Satu menit tak tersiar suara apa pun, Reina mengembuskan napas perlahan."Ternyata memang cuma khayalanku aja," wanita itu tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Pasti gara-gara semalam kurang tidur.""Apa? Kamu kurang tidur?"Reina terlonjak. Suara itu kembali menyapa telinga, namun kini dia berbalik, menghadap seseorang yang berdiri tepat di belakang sofa. Untuk beberapa saat, Reina tak bisa memercayai penglihatannya. Dunia seakan berhenti berputar, membuat Reina kepayahan untuk berkata-kata, sedangkan kedua matanya mulai memburam dengan sendirinya.Seseorang yang berdiri di belakang sofa lantas bergerak pelan, menghampiri Reina yang mematung dengan penuh kelegaan. Dalam satu tarikan napas, Alex memeluk Reina—sangat erat. Reina bergeming. Belum mampu mencerna segalanya dengan cepat, lantaran dia merasa ba
Serangkaian malam yang tak mudah untuk dilewati lagi. Gambaran mengenai Evelynn yang berusaha menggoda Alex dalam balutan lingerie merah menyala terus menghantui bagaikan kaset rusak. Reina melirik jam dinding. Terbangun pukul tiga dini hari, padahal dia baru memejamkan mata satu jam sebelumnya. Mungkin lingkar matanya sudah seperti panda. Reina tidak mau bercermin kalau begini caranya."Jam delapan ...."Reina bergumam pelan sembari mengingat jadwal penerbangan yang akan Alex dan Evelynn lakukan. Masih tersisa lima jam. Wanita itu terheran-heran, adakah cara agar dua manusia tersebut membatalkan perjalanan udara mereka nanti?Tangannya yang semula hendak meraih ponsel, berubah haluan jadi menutup mulutnya yang menguap lebar-lebar. Tidak ada pilihan. Dia harus tertidur lagi barang sebentar. Demi kebaikan pikiran serta bayinya yang kelelahan di dalam perut, Reina harus mengistirahatkan diri.Reina membaringkan tubuh, tetapi sudut matanya menangkap hasil rajutan yang berada di atas meja
Makan siang kali itu benar-benar menjatuhkan suasana hati Reina hingga ke dasar bumi sekaligus. Tetap saja, meski pada mulanya Alex sudah berbaik hati untuk mengajaknya makan bersama, pada akhirnya yang tampak menikmati sesi tersebut ialah Alex dan Evelynn. Keduanya berbicara seakan tidak ada hari esok. Bahkan yang membuat Reina ingin membanting piring, ketika suaminya menanyakan apa saja yang disukai oleh model cantik itu, begitu juga sebaliknya.Reina yang semula kelaparan, jadi tidak terlalu berminat untuk melahap bebek penyet yang menggugah selera itu. Terutama dengan sejumput pemandangan menyebalkan yang tersaji di hadapannya, Reina hanya mampu melahap sekadarnya demi sang anak yang berada di dalam perutnya.Saat Alex dan Evelynn telah menandaskan makanan masing-masing, keduanya langsung beranjak dan pamit begitu cepat. Reina menganga, tak membayangkan bahwa dia baru saja ditinggal—walaupun yang membayar tetap Alex. Rasanya luar biasa menjengkelkan. Bahkan Alex enggan menanyakan
"Egois?"Gilang memiringkan kepala, sedangkan wanita hamil di depannya itu mengangguk penuh kepastian. Selama beberapa detik, keduanya tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Hanya deru napas masing-masing yang bersahutan seolah melempar amarah melalui udara di sekitar mereka.Reina hendak menyuruh laki-laki itu untuk menyingkir, lantaran tak perlu membicarakan hal lain lagi. Akan tetapi, Gilang malah mendecih disertai seutas senyum yang mengundang kernyitan pada dahi Reina. "Oke!"Lagi-lagi, Reina dibuat tak paham. Bertanya pun sudah terlalu malas, jadi dia membiarkan Gilang bertingkah semau laki-laki itu saja. Terlebih, dia ingin sekali keluar untuk mencari udara segar."Sepertinya semua sudah jelas." Gilang manggut-manggut tanpa diketahui apa penyebabnya. "Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Reina? Rasanya lega sekali setelah tau keadaan kamu baik-baik saja. Dan ... perasaanmu masih baik-baik saja."Reina memicingkan mata. "Perasaanku baik-baik saja? Apa maksudnya?"Gilang menggelen