"Terima kasih bunganya ya, Niel." Sarah tersenyum-senyum menghirup aroma mawar merah yang ia rebut begitu saja dari tangan Daniel saat ia bertemu tanpa sengaja dengan laki-laki itu di depan restoran. Daniel menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. "Sebenarnya aku membelikan bunga itu untuk seseorang. Tapi sudahlah, biar aku nanti membelikannya lagi." Senyuman Sarah yang tadinya merekah kini perlahan pudar setlah Daniel mengatakan kalau ternyata bunga itu tidak sebegitu tulus ia berikan padanya. Mereka berdua saling diam menikmati hidangan yang tersaji untuk keduanya, namun perhatian Daniel dan Sarah tiba-tiba teralihkan saat mendengar keributan dari depan. "Mana Daniel hah?! Biar Kakak banting dia!" teriak Dante menggulung lengan kemeja yang dipakainya."Jangan malu-maluin, Kak Dante!" teriak Frisca menangis mengejar Dante. "Kak! Laporin Mama nih! Kak Dante, ihhh!" Frisca berlari mengejar sang Kakak yang kini berjalan dengan kesalnya ke arah meja di mana Daniel yang Sarah bera
Pagi ini Dante mengantarkan Adiknya ke kampus, kegiatan satu ini membuat laki-laki itu kembali mengingat saat Adiknya belum menikah di mana Frisca menjadikan Dante sebagai sopir yang bertugas mengantarkannya ke kampus. "Belajar yang pinter! Jangan kebanyakan nangis! Malu sama umur, udah mau dua puluh satu masih cengeng aja balik ke TK!" maki Dante saat Frisca hendak keluar dari dalam mobil."Iya, iya! Jangan marah mulu ah Kak, panas telinga Frisca! Lagian siapa juga yang cengeng!" "Ngaca! Usia sudah dewasa tapi pikirannya masih kayak bocah lima tahun! Sudah sana-sana, Kakak telat nih!" kesal Dante. Sedetik Frisca tersenyum manis memiringkan kepalanya. "Uang jatah," pintanya mengulurkan tangannya. Dante merotasikan kedua matanya dan mengambil dompet kulit hitam miliknya. Ia mengambil beberapa lembar uang dan diberikannya pada sang Adik. "Nih! Dasar bocah," sinis Dante. Gadis itu cemberut. "Kak, ini dapat apa? Frisca hari ini mau beli novel, beli topi, beli...." "Husssttt!" Dante
"Hujan deras, Kak Daniel belum pulang...." Frisca berdiri di halte depan kampusnya, blouse motif bunga-bunga yang ia pakai tidak mampu menahan dinginnya udara sekitar. Rok lipit seatas lututnya juga membuat kedua kaki Frisca merinding kedinginan. Namun ia tetap setia menunggu Daniel yang sedang ada urusan dengan beberapa dosen lainnya di kampus. Frisca duduk di sebuah bangku sebelum ia menoleh ke arah gerbang kampus di mana banyak mobil milik para dosen yang sudah keluar. "Kak Daniel!" Frisca melambaikan tangannya pada mobil sang suami. Mobil milik Daniel berhenti di depan halte, buru-buru Frisca masuk ke dalam sana. "Kenapa belum pulang duluan, Sayang? Bajumu basah, hah?" Daniel mengulurkan tangannya menyentuh blouse yang Frisca pakai. "Basah sedikit, tidak papa." Frisca tersenyum manis. Daniel mengembuskan napasnya pelan, ia menoleh ke belakang dan mengambil mengambil mantelnya. "Ayo lepas bajunya," ujar Daniel dengan mudahnya. Kedua mata Frisca sontak terbeliak. "A... Apa
Kedua mata Frisca terbuka begitu perutnya terasa sangat lapar. Ia mengerjapkan kedua matanya pelan setelah mengingat kegiatannya dengan Daniel beberapa jam yang lalu. Perlahan Frisca membuka selimutnya dan ia bernapas lega saat dirinya sudah dipakaikan kembali baju piama hangat oleh Daniel. "Suamiku baik sekali," kekeh Frisca menggigit ujung ibu jarinya. "Tapi di mana dia sekarang?" Frisca menyempatkan masuk ke dalam kamar mandi sebentar sebelum ia keluar dari dalam kamar. Ia menengok ke lantai satu di mana Daniel sedang berdua dengan Dante. Gadis itu tersenyum dan berjalan ke menuruni anak tangga. Daniel dan Dante menatapnya sebelum Daniel melambaikan tangannya. "Wahh, ini nih bocil kematian baru bangun! Nagapain aja lo hah?!" sentak Dante. Frisca pun menyipitkan kedua matanya dan duduk di pangkuan Daniel seoleh ia tidak melihat Dante di hadapannya. "Ada suaranya tapi tidak ada orangnya, dasar setan!" sindir Frisca. "Dasar bocah sialan!" Dante menimpuk wajah Frisca dengan ban
Frisca berjalan di lorong kampus usai ia menangis di dalam ruangan Daniel. Ia masih teringat banyak makian Sarah padanya yang sungguh keterlaluan. "Frisca!" teriak Leon yang berdiri di depan sana. Laki-laki itu berlari ke arahnya tersenyum lebar, dengan balutan jersey merah dan bandana merah yang di pakai di kepalanya, Leon mendekat dan langsung menarik pipi Frisca. "Ayo aku traktir! Menang dua kali! Dan...."Leon menghentikan ucapannya saat ia mendekatkan wajahnya pada wajah Frisca yang tertunduk, ia melihat Frisca yang menjatuhkan air matanya. "Hei, ada apa? Kenapa menangis? Siapa yang menyakitimu? Frisca... Kau bertengkar dengan Pak Daniel?" tanya Leon menarik pundak Frisca. Gadis itu menangis keras-keras dan menggeleng-gelengkan kepalanya hingga Leon menarik pundak Frisca untuk memeluknya. Sebagai sahabat, Leon tidak mau melihat Frisca sedih. Tanpa sebab seperti ini, padahal tadi Frisca masih baik-baik saja. "Ada apa?" tanya Leon. Frisca masih diam dan Leon merangkulnya se
Daniel menyelimuti Frisca yang tertidur memeluk boneka Unicorn miliknya. Setelah Daniel menemaninya begadang sampai pukul dua dini hari, gadis itu mengeluh ia tidak bisa tidur dan dirinya merasa sedih juga resah. Beberapa detik Daniel menatap wajah tenang Frisca yang tertidur, ia mendekatkan wajahnya dan memberikan kecupan di keningnya. "Mimpi indah, Sayang," bisik Daniel tersenyum tipis. Laki-laki itu sangat lelah, pundaknya terasa pegal karena merangkul Frisca sejak tadi. Namun Daniel memahami hal ini karena istrinya tengah mengalami kecemasan. "Kakak...." Baru saja Daniel memejamkan kedua matanya, ia mendengar Frisca memanggilnya lagi. Daniel pun menoleh dan tersenyum hangat. "Kenapa bangun lagi? Tidurlah...." Daniel memeluknya dengan erat, ia mengecup kening Frisca dengan lembut. "Sudah malam Sayang, besok harus tidur yang banyak, hem?""Heem, apa menurut Kak Daniel... Sekarang Frisca gendut ya?" tanya gadis itu. Daniel mengusap wajahnya pelan, semakin aneh saja membiarkan
Seharian libur membuat Frisca jenuh di rumah dan meminta pada suaminya untuk mengantarkannya pulang ke rumah Mamanya, sebelum Daniel pergi ada janji dengan rekan kerjanya. Di rumah orang tuanya, Frisca yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung mencari Kakaknya. "Mama," panggil Frisca saat ia disambut sang Mama. "Loh, Daniel mana, Sayang?" tanya Tarisa menatap Frisca. "Kak Daniel ada janji sama temannya, makanya Frisca minta dianterin ke sini aja," jawab Frisca meletakkan tasnya di sofa. Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri menatap seisi rumah yang nampak sangat sepi. Gadis itu mengembuskan napasnya pelan mencari-cari Kakaknya. "Kakak ada Ma?" tanya Frisca berjalan perlahan naik ke lantai dua. "Ada, Kak Dante belum bangun." Senyuman Frisca mengembang begitu mendengar apa yang Mamanya katakan kalau Dante belum bangun. Ia langsung berlari ke lantai dua dan membuka pintu kamar sang Kakak. Di sana nampak Dante bergelung di bawah selimut tebal abu-abunya. Frisca menutup pintu per
"Daniel sama Papa mau pergi ke Belanda, sementaranya kamu di rumah sama Mama dan Kakakmu!" Frisca merajuk, ia tidak mau ditinggal oleh Daniel. Entah kenapa, rasanya tidak mau saja ia jauh-jauh dari suaminya. Bahkan Frisca sampai marah-marah andainya Daniel tidak meminta bantuan pada Papa mertuanya untuk menasehati Frisca. "Tapi kan Pa, sama aja satu minggu itu lama," cicit Frisca duduk dalam rangkulan Daniel. "Huh, alay!" sahut Dante yang baru saja muncul dari lantai dua. "Tenang aja, kalau lebih dari satu Minggu nanti kita susulin mereka! Jalan kaki!" Frisca mengerutkan keningnya. "Emang sampai?" "Ya satu abad baru sampai," jawab Dante. "Isshhh Kak Dante!" teriak Frisca hendak melemparkan bantal yang ia bawa pada sang Kakak. Daniel menahan tangan sang istri dan laki-laki itu mengembuskan napasnya pelan. Ditatapnya wajah kesal Frisca sebelum ia tersenyum dan memeluknya dengan tenang. Tatapan mata kedua orang tua Frisca tidak bisa berbohong kalau mereka merasakan apa yang putr