"Hujan deras, Kak Daniel belum pulang...." Frisca berdiri di halte depan kampusnya, blouse motif bunga-bunga yang ia pakai tidak mampu menahan dinginnya udara sekitar. Rok lipit seatas lututnya juga membuat kedua kaki Frisca merinding kedinginan. Namun ia tetap setia menunggu Daniel yang sedang ada urusan dengan beberapa dosen lainnya di kampus. Frisca duduk di sebuah bangku sebelum ia menoleh ke arah gerbang kampus di mana banyak mobil milik para dosen yang sudah keluar. "Kak Daniel!" Frisca melambaikan tangannya pada mobil sang suami. Mobil milik Daniel berhenti di depan halte, buru-buru Frisca masuk ke dalam sana. "Kenapa belum pulang duluan, Sayang? Bajumu basah, hah?" Daniel mengulurkan tangannya menyentuh blouse yang Frisca pakai. "Basah sedikit, tidak papa." Frisca tersenyum manis. Daniel mengembuskan napasnya pelan, ia menoleh ke belakang dan mengambil mengambil mantelnya. "Ayo lepas bajunya," ujar Daniel dengan mudahnya. Kedua mata Frisca sontak terbeliak. "A... Apa
Kedua mata Frisca terbuka begitu perutnya terasa sangat lapar. Ia mengerjapkan kedua matanya pelan setelah mengingat kegiatannya dengan Daniel beberapa jam yang lalu. Perlahan Frisca membuka selimutnya dan ia bernapas lega saat dirinya sudah dipakaikan kembali baju piama hangat oleh Daniel. "Suamiku baik sekali," kekeh Frisca menggigit ujung ibu jarinya. "Tapi di mana dia sekarang?" Frisca menyempatkan masuk ke dalam kamar mandi sebentar sebelum ia keluar dari dalam kamar. Ia menengok ke lantai satu di mana Daniel sedang berdua dengan Dante. Gadis itu tersenyum dan berjalan ke menuruni anak tangga. Daniel dan Dante menatapnya sebelum Daniel melambaikan tangannya. "Wahh, ini nih bocil kematian baru bangun! Nagapain aja lo hah?!" sentak Dante. Frisca pun menyipitkan kedua matanya dan duduk di pangkuan Daniel seoleh ia tidak melihat Dante di hadapannya. "Ada suaranya tapi tidak ada orangnya, dasar setan!" sindir Frisca. "Dasar bocah sialan!" Dante menimpuk wajah Frisca dengan ban
Frisca berjalan di lorong kampus usai ia menangis di dalam ruangan Daniel. Ia masih teringat banyak makian Sarah padanya yang sungguh keterlaluan. "Frisca!" teriak Leon yang berdiri di depan sana. Laki-laki itu berlari ke arahnya tersenyum lebar, dengan balutan jersey merah dan bandana merah yang di pakai di kepalanya, Leon mendekat dan langsung menarik pipi Frisca. "Ayo aku traktir! Menang dua kali! Dan...."Leon menghentikan ucapannya saat ia mendekatkan wajahnya pada wajah Frisca yang tertunduk, ia melihat Frisca yang menjatuhkan air matanya. "Hei, ada apa? Kenapa menangis? Siapa yang menyakitimu? Frisca... Kau bertengkar dengan Pak Daniel?" tanya Leon menarik pundak Frisca. Gadis itu menangis keras-keras dan menggeleng-gelengkan kepalanya hingga Leon menarik pundak Frisca untuk memeluknya. Sebagai sahabat, Leon tidak mau melihat Frisca sedih. Tanpa sebab seperti ini, padahal tadi Frisca masih baik-baik saja. "Ada apa?" tanya Leon. Frisca masih diam dan Leon merangkulnya se
Daniel menyelimuti Frisca yang tertidur memeluk boneka Unicorn miliknya. Setelah Daniel menemaninya begadang sampai pukul dua dini hari, gadis itu mengeluh ia tidak bisa tidur dan dirinya merasa sedih juga resah. Beberapa detik Daniel menatap wajah tenang Frisca yang tertidur, ia mendekatkan wajahnya dan memberikan kecupan di keningnya. "Mimpi indah, Sayang," bisik Daniel tersenyum tipis. Laki-laki itu sangat lelah, pundaknya terasa pegal karena merangkul Frisca sejak tadi. Namun Daniel memahami hal ini karena istrinya tengah mengalami kecemasan. "Kakak...." Baru saja Daniel memejamkan kedua matanya, ia mendengar Frisca memanggilnya lagi. Daniel pun menoleh dan tersenyum hangat. "Kenapa bangun lagi? Tidurlah...." Daniel memeluknya dengan erat, ia mengecup kening Frisca dengan lembut. "Sudah malam Sayang, besok harus tidur yang banyak, hem?""Heem, apa menurut Kak Daniel... Sekarang Frisca gendut ya?" tanya gadis itu. Daniel mengusap wajahnya pelan, semakin aneh saja membiarkan
Seharian libur membuat Frisca jenuh di rumah dan meminta pada suaminya untuk mengantarkannya pulang ke rumah Mamanya, sebelum Daniel pergi ada janji dengan rekan kerjanya. Di rumah orang tuanya, Frisca yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung mencari Kakaknya. "Mama," panggil Frisca saat ia disambut sang Mama. "Loh, Daniel mana, Sayang?" tanya Tarisa menatap Frisca. "Kak Daniel ada janji sama temannya, makanya Frisca minta dianterin ke sini aja," jawab Frisca meletakkan tasnya di sofa. Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri menatap seisi rumah yang nampak sangat sepi. Gadis itu mengembuskan napasnya pelan mencari-cari Kakaknya. "Kakak ada Ma?" tanya Frisca berjalan perlahan naik ke lantai dua. "Ada, Kak Dante belum bangun." Senyuman Frisca mengembang begitu mendengar apa yang Mamanya katakan kalau Dante belum bangun. Ia langsung berlari ke lantai dua dan membuka pintu kamar sang Kakak. Di sana nampak Dante bergelung di bawah selimut tebal abu-abunya. Frisca menutup pintu per
"Daniel sama Papa mau pergi ke Belanda, sementaranya kamu di rumah sama Mama dan Kakakmu!" Frisca merajuk, ia tidak mau ditinggal oleh Daniel. Entah kenapa, rasanya tidak mau saja ia jauh-jauh dari suaminya. Bahkan Frisca sampai marah-marah andainya Daniel tidak meminta bantuan pada Papa mertuanya untuk menasehati Frisca. "Tapi kan Pa, sama aja satu minggu itu lama," cicit Frisca duduk dalam rangkulan Daniel. "Huh, alay!" sahut Dante yang baru saja muncul dari lantai dua. "Tenang aja, kalau lebih dari satu Minggu nanti kita susulin mereka! Jalan kaki!" Frisca mengerutkan keningnya. "Emang sampai?" "Ya satu abad baru sampai," jawab Dante. "Isshhh Kak Dante!" teriak Frisca hendak melemparkan bantal yang ia bawa pada sang Kakak. Daniel menahan tangan sang istri dan laki-laki itu mengembuskan napasnya pelan. Ditatapnya wajah kesal Frisca sebelum ia tersenyum dan memeluknya dengan tenang. Tatapan mata kedua orang tua Frisca tidak bisa berbohong kalau mereka merasakan apa yang putr
"Jangan nakal kalau di rumah Mama, jangan ganggu Dante terus. Istirahat yang cukup, jangan makan sembarangan, jangan nakal saat di kampus, dan pulang tepat waktu. Satu lagi, jangan lupa selalu hubungi aku." Frisca memeluk Daniel erat-erat dan baru kali ini ia tidak protes saat Daniel memberikannya banyak peraturan baru selama satu minggu Daniel akan pergi. "Iya, tapi Kak Daniel jangan lama-lama, jangan tambah hari. Kalau Papaku pulang, Kakak juga harus pulang! Ngerti!" seru gadis itu mendongak menatap lekat wajah suaminya. "Iya Sayang...." Daniel mengecup kening Frisca dan memeluknya dengan erat. "Heleh, alay banget kek pengantin baru aja! Istri manja-manja mending lempar aja ke selokan, Niel!" Suara Dante membuat Frisca langsung menoleh dan memasang wajah sebal pada sang Kakak. Sosok Dante yang berdiri bersama dengan Tarisa dan juga Johan yang sudah bersiap. Kedua orang tua Frisca hanya tersenyum saja melihat tingkah manja putri bungsu mereka pada suaminya. "Sudah, jangan mera
Frisca diam di dalam kamar mandi, ia duduk menanti-nanti dengan resah hasil test kehamilan yang ia lakukan saat ini. Bagaimana hasilnya, ia masih takut-takut untuk menunggu. Gadis itu tidak tahu pasti apa Daniel akan benar-benar menerima kehamilannya nanti atau tidak. Meskipun suaminya menerima, tapi kalau tidak ia mendengar sendiri dari bibir suaminya, Frisca tidak akan tenang. "Kak Daniel bagaimana ya?" lirih Frisca cemberut. Gedoran pintu kamar mandi membuat tubuh Frisca seketika tersentak kaget. "Dek! Sudah belum? Kepo nih!" teriak Dante dari luar. Helaan napas terdengar dari bibir Frisca, gadis itu mendengus pelan. "Iya sebentar!" balas Frisca. Frisca pun mengambil test kehamilan kecil di hadapannya. Ia membaliknya pelan-pelan dan kedua mata Frisca melebar melihat garis merah berjajar dua di sana. Detik itu juga kepalanya seperti tersiram air es. Frisca memeluk benda itu dan ia tersenyum manis. Rasa bahagia menjalar di hatinya saat ini. "Aku akan dipanggil Mama?" lirih F
Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak
Setelah beberapa hari yang lalu Celia bertengkar dengan Kakaknya, Celia menjadi sangat tertutup. Bahkan dia tidak mau bicara dengan Miko sedikitpun. Miko mencemaskan akan diamnya sang adik yang tidak biasa. Dia terus kepikiran tentang Celia setiap kali. "Pagi Mi, Pi," sapa Miko pada Mama dan Papanya saat ia baru saja menuruni anak tangga menuju ruang makan. "Hem, pagi juga Sayang. Adik mana?" tanya Frisca pada si sulung. Miko langsung menoleh ke arah sampingnya di mana meja nampak kosong dan ternyata Celia belum juga ke sana. "Loh, aku pikir Celi sudah duluan," jawab Miko menghela napasnya pelan. "Belum. Sudah beberapa hari ini dia sepertinya tidak mood pada apapun, kenapa ya?" Frisca menatap suami dan anaknya dengan tatapan bingung. "Mungkin ada masalah sendiri, maklum anak gadis," sahut Daniel. "Tapi Sayang, aku merasa tidak biasanya dia seperti ini. Makanya aneh saja kalau Celia tiba-tiba murung." Miko menyadari satu hal yang benar-benar membuat Celia berubah bukan hanya p
"Thanks udah jagain Celia, sorry juga kalau adikku merepotkanmu," ucap Miko pada Justin. Justin hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Santai aja, Celia gadis yang patuh denganku," balas Justin. Mendengar kata patuh yang Justin katakan membuat Miko merasa hal aneh dan sedikit khawatir kalau Justin menyukai Celia. Bukannya tidak boleh, tapi Miko sangat takut kalau adiknya akan terjerumus dalam pergaulan laki-laki di depannya ini. "Sudah ayo pulang, Mami dan Papi sudah menunggu kita di rumah," ajak Miko pada Celia. "Tunggu sebentar Kak, aku harus pamit ke Justin dulu," ucap Celia memegangi lengan dengan sang Kakak. Celia menatap Justin dengan tatapan yang sangat hangat sebelum akhirnya gadis itu menunduk dan tersenyum kembali menatapnya. Sedangkan Justin hanya menyunggingkan senyum dan ia cukup paham bagaimana cara seorang Celia menunjukkan sikap polosnya. "Justin, aku pulang dulu ya aku mah terima kasih sudah menjaga aku. Emm... Kalau kau merasa bosan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Celia masih berada di apartemen milik Justin dan di sana ada Ludwick juga yang terkejut dengan kehadiran gadis yang pernah ia jumpai di club malam beberapa waktu yang lalu. Namun Ludwick tidak mengatakan apapun, dia tetap diam bersama dengan Justin saja. "Heh, Justin... Dia gadis yang waktu itu, kan?!" pekik Ludwick menyenggol lengan Justin. Dan sahabatnya itu menoleh ke arah Celia yang nampak sedih. "Heem, dia putri Pak Daniel. Rekan kerjaku," jawab Justin. Ludwick langsung menelan saliva. "Gila aja, bisa-bisanya langsung dekat," seru laki-laki itu melirik Justin dan mengembuskan napasnya pelan.Justin terkekeh, ia pun berjalan mendekati Celia yang tengah sedih duduk di sofa di depan kamar Justin. Sesekali gadis itu menatap was-was pada Ludwick yang memperhatikannya. Saat Justin mendekat, Celia langsung menarik lengan laki-laki itu dimintanya untuk mendekat. "Justin... Temanmu itu kenspa melihat aku aneh, aku takut," ujar Celia jujur. Just