"Akhir pekan ini, aku mau pergi ke taman bermain, Ma," pinta Henry.Henry begitu menikmati apa yang dijalaninya saat ini.Tidak ada keluhan berarti dari anak itu, dan cukup membuat Navier bangga."Taman bermain? Jangan lupa kita sedang hidup sederhana. Minggu lalu kau sudah meminta ke pantai. Jadi, tidak ada rekreasi ke taman bermain setelah ini," tukas Navier."Tapi, Ma ....""Ry, Sayang. Ingat saat ini kita hidup sederhana. Mereka melihat kita sebagai keluarga yang kurang mampu. Bukankah tidak masuk akal jika setiap akhir pekan kita rekreasi? Tanpa ayah, pula."Henry terdiam dan berpikir, jika apa yang diucapkan Navier benar adanya.Dan, bukankah kehidupan seperti ini yang dia inginkan?"Tapi aku ingin," rengek Henry.Sekuat apa pun anak itu menahannya, dia tetaplah anak kecil yang ingin merasakan kesenangan. Sedangkan untuk merengek, itu hanya dilakukannya saat Edgar tidak ada.Jika berada di dekat ayahnya, Hen
"Hai, Tetangga! Apa suamimu masih belum pulang juga?" tegur salah satu tetangga Navier.Menurutnya, tetangga satu itu memang memiliki tenaga lebih banyak untuk mengurusi hidupnya.Selama satu bulan mereka pindah ke sana, selama itu pula tetangganya yang satu itu tidak pernah absen untuk menanyakan kabar. Baik itu suaminya yang tidak datang, atau anaknya yang memdapat nilai sempurna.Secara kebetulan, puta tetangganya itu satu kelas dengan Henry."Ah, ya. Dia masih belum menyelesaikan pekerjaannya," balas Navier.Kenyataannya, dia bahkan tidak tahu apa yang sedang suaminya kerjakan.Sudah sejak terakhir kali Henry mengantar mereka, pria itu masih belum menjenguknya lagi.Bahkan, mereka bertukar kabar seminggu yang lalu."Sebenarnya apa sih, pekerjaan suamimu?" tanya Leah, tetangganya yang selalu ingin tahu."Dia sedang mengantar barang," jawab Navier.Dia menjawab dengan asal
"Kudengar kau memiliki suami yang tidak pernah pulang, ya? Pasti sulit sekali mencari kehangatan malam hari."Sekelompok pria itu tertawa terbahak-bahak setelah salah satu temannya berkata seperti itu.Dalam hati, Navier merutuk. Dari mana mereka tahu hal yang seperti itu?"Aku bisa memberimu banyak uang, juga kepuasan. Tentu saja kalau kau mau melayani kami semua. Pasti butuh uang yang banyak untuk mengasuh anak seorang diri, kan? Apalagi kau tidak bekerja."'Niat sekali mereka mencaritahu sampai seperti itu. Kalau saja dia tahu suamiku seperti apa, aku yakin mereka akan merangkak di bawah kakinya,' umpat Navier di dalam hati.Dia tak habis pkir, kenapa ada orang bod*h yang berani mengusiknya.Itu berarti, anak buah Edgar tidak bisa diandalkan. Dan dia, harus memberi mereka pelajaran."Lalu, berapa uang yang kalian miliki? Apa cukup untuk membelikanku satu buah pulau pribadi beserta dengan jet dan villa di dalamnya?" tantang Navier.
"Apa suamimu masih belum pulang juga?" tanya Leah.Pertanyaan yang sama dengan minggu lalu, hingga Navier muak dibuatnya.Memang, sejak saat itu Edgar juga belum ada kabar sama sekali."Belum. Masih banyak yang harus dia lakukan sebelum pulang," jawab Navier. Dia yang sedang menyiram tanaman, memalingkan muka."Sudah sebulan lebih dong, ya, suamimu belum pulang. Apa kau tak kangen?"Tak perlu diingatkan oleh tetangga, Navier tentu tahu sudah berapa lama suaminya tidak datang. Apalagi jika ditanya tentang rindu.Semakin sebal jika mengingat yang menyebarkan informasi pada orang-orang itu, adalah tetangganya ini.Navier ingin memberi pelajaran, tetapi tidak tahu harus bagaimana.Karena akan lebih mudah jika lawannya adalah mafia atau musuh yang berbahaya. Polisi tidak akan ikut campur, berbeda dengan warga sipil biasa seperti Leah."Tidak terlalu karena kami selalu bertukar pesan selama ini. Maaf, ya, tetangga. Aku mengece
"Mama, Ayah belum datang juga. Apa kita benar-benar dibuang?" tanya Henry.Anak itu mendusel ke badan ibunya seperti anak kucing."Ayah pasti akan datang. Kita tunggu saja, ya? Pasti Ayah sedang mempersiapkan semua sebelum ke sini. Bagaimanapun ... Ayah pasti tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Bukankah kau tahu jika Ayah memiliki pekerjaan yang banyak?""Aku tahu.""Nah, kau juga pernha tahu bagaimana Ayah bekerja, kan?"Henry mengangguk.Dia pernah sekali ke kantor ayahnya dan menunggui Edgar yang sedang bekerja. Saat itu, Navier sedang sibuk dan menitipkan di sana.Setelah satu hari, Henry tidak pernah lagi mau ikut ayahnya."Ayah juga pernah mengatakan pada Mama, kalau ayah akan menyusul setelah semua selesai. Berarti, pekerjaan ayah masih belum selesai, kan?"Henry kembali mengangguk. "Tapi aku merindukkan ayah. Sudah dua bulan aku tidak bertemu. Dan sudah sebulan terakhir kita tidak menelponnya. Bagai
"Ayah!!!" pekik Henry. Saat turun dan membuka mata, dia melihat sosok ayah yang semalam dia tanyakan pada ibunya. "Hai, Jagoan! Apa tidurmu nyenyak?" tanya Edgar. Kemudian, dia membawa tubuh Henry ke pelukannya. "Sangat nyenyk! Mama menceritakan petualangan Lunar lagi. Tak hanya itu, Mama juga menemaniku sampai tertidur," adu Henry. Hal yang sudah lama tidak Edgar dengar, kini terdengar lagi. Henry yang berhenti merengek dan bermanja padanya, juga yang sudak berceloteh tentang apa yang dialaminya, kini kembali seperti dulu. Bukan Edgar tak suka perubahan Henry, hanya saja dia merasa jika putranya tumbuh terlalu cepat. "Sarapan siap, para Jagoan Mama!" Dua prianya bersiap duduk di kursi masing-masing. Karena dulu Navier pernah hidup berkekurangan, dia jadi tidak sulit untuk menyesuaikan diri. Tak pernah menyewa pekerja untuk membersihkan rumah atau memasak. "Ayah tahu, selama di sini
""Na, aku sudah tidak sanggup!" keluh Edgar."Salah sendiri! Bukankah kau yang meminta sendiri!"Hampir saja Navier terbahak saat melihat Edgar yang payah. Suaminya itu terlihat kacau, dengan wajah kusut dan pucat.Bagaimana tidak? Henry dengan aktifnya meminta Edgar untuk menemani, dan hampir keseluruhan wahana dicobanya."Kukira dia akan menjadi anak manis seperti biasanya. Tak kusangka dia punya sisi aktif juga.""Semenjak kami pindah, dia terlihat normal seperti anak seusianya.""Memang sebelumnya anak kita tak normal!? Ck!!!"Edgar berdecak sebal. Perkataan Navier, seolah mengatakan jika selama ini anak mereka termasuk anak berkebutuhan khusus."Bukan begitu," ucap Navier dengan lembut.Henry terlihat senang menaiki kuda-kudaannya.Ingin Henry, Edgar juga ikut. Namun, ayahnya langsung menolak dengan keras. Jadilah hanya dia yang naik, sementara ayah dan ibunya menungg
"Nav!!!" pekik Edgar setelah dia sadar. "Tenanglah dulu!" Henry memindai sekelilingnya. Ruangan serba putih yang berbau obat, dan sosok pria yang sudah dia kenal, Felix. "Bagaimana anak dan istriku!?" cerca Edgar. Dia berusaha bangun, tetapi tubuhnya terasa sakit semua. Luka bekas pertarungan mereka masihlah belum sembuh.Kini, ditambah luka dari kecelakan yang mereka alami. "Tenanglah! Merek sudah mendapatkan perawatan yang maksimal. Aku sudah memastikan mendapatkan ruang paling bagus!" Untuk urusan satu itu, Edgar sudahtidak meragukan lagi kepiawaian Felix. "Kenapa kau bisa tahu aku di sini?" tanya Edgar. "Kau sungguh tidak tahu?" Felix balik bertanya, "kau menelponku dengan suara lirih. Aku langsung melacak posisi di mana kau berada dan menemukanmu masih berada di sana dengan keadaan yang menyedihkan. Telat sedikit saja, kalian sudah tidak tertolong!" "Bagaimana bisa?"