"Ada kata-kata terakhir sebelum aku mengirim kalian ke neraka, Anak Muda?" tanya Lissa.
Di belakangnya ada banyak pengawal berbadan besar. Sama seperti yang mengelilinginya dan Luois. Dalam keadaan seperti itu, Henry yakin jika dia tidak akan selamat. Dia hanya bisa berdoa semoga bantuan dari ibu atau ayahnya segera datang.
Bersyukur bahwa Luois juga sudah tidak sadarkan diri. Dengan begitu, Henry bisa pergi dengan tenang.
"Kata-kata? Tentu saja banyak sekali. Tapi aku rasa bisa untuk disingkat."
"Oh, ya! Apa itu?"
Henry menatap Cassandra. Kemudian, dia berkata, "Nenek, kau masih punya hal semacam ini? Tidak takut, kah? Dan, Tante Lissa! Kau kalau tadi sudah menangis-nangis mohon ampun?"
"Diam kau!" bentak Lissa dan Cassandra secara bersamaan.
Sebenarnya keduanya merasa takut. Meski Luois tidak seberbahaya Navier, tetapi cukup bisa membuat keduanya kewalahan. Apalagi jika mereka bersatu. Baik Lissa atau Cassandra, tentu tidak akan bis
"Aku ...," lirih Luois. Luois terbangun di ruangan serba putih, dengan lampu terang. Dia mengamati sekeliling dan mendapati sang putra tengah tertidur di ranjang tak jauh darinya, dengan Navier yang sedang menyuapi. Luois mengira jika Navier mungkin tidak mendengar lirihannya, atau tidak tahu jika dia sudah sadar. "Aku sudah kenyang. Jangan lagi!" Bisa Luois dengar jika Edgar tengah merengek pada Navier. Ah, putranya itu sudah tua tapi masih saja bertingkah seperti anak kecil. Namun, Luois tahu jika Edgar hanya seperti itu pada Navier seorang saja, tidak pada yang lain. "Ayolah, Sayang. Sedikit lagi. Makanannya masih banyak, itu berarti kau hanya makan sedikit," bujuk Navier. Edgar menolak. Entah mengapa hal itu justru membuat mata Luois memanas. Edgar memang saki, tetapi Navier ada di sisinya dan merawat dengan sepepnuh hati. Berbeda dengannya yang bahkan tidak tahu bagaimana keadaan istrinya. Istri yang selama i
"Aku akan pulang dulu untuk mengambil keperluan kalian," pamit Navier. Luois mengangguk. Dia tidak mempermasalahkan jika Navier meninggalkan mereka. Di ruangan itu sudah ada dia dan Edgar yang terjaga. Mereka bisa saling menjaga dan mungkin juga berbincang kecil antara ayah dan anak. Lagi pula, mereka sudah lama tidak melakukan hal itu. Jika itu dulu, maka Luois bisa menuduh Navier tidak mempedulikan Edgar. "Katakan jika ada yang kalian inginkan. Aku akan berusaha untuk membawakannya nanti," tambahnya. "Aku, tidak usah. Kau tahu sendiri jika aku sedang tidak bisa makan sembarangan," balas Edgar. Dia melirik Luois, seolah meminta Luois untuk menjawab pertanyaan dari istrinya. "Aku tidak ada. Pencernaanku buruk akhir-akhir ini." Luois hanya beralasan saja saat mengatakan hal itu. Dia tidak ingin menyusahkan Navier lebih banyak lagi. Padahal Navier pergi adalah untuk melihat keadaan Lissa dan Cassandra di markas me
Lissa histeris, sama seperti saat Henry yang mengajaknya bicara.Dia kembali meracau tentang hidup yang tidak adil untuknya. Padahal, semua itu hanya omong kosong yang tidak berarti. Hanya dia saja yang merasa seperti itu, tidak dengan yang lainnya."Apa kau sudah gila karena bertahun-tahun tidak diperhatikan Edgar?" tanya Navier.Dia berasumsi seperti itu karena sikap dan sifat Lissa bisa bertolak belakang dalam sekejap. Tak jarang, Navier melihat sesuatu yang ganjil."Hey, Nyonya! Apa kau yakin partner in crime mu ini tidak punya gangguan jiwa?"Cassandra menatap Navier tajam.Tidak menyangka sama sekali jika keadaan mereka bisa seperti ini. Dulu, Cassandra pernah membayangkan jika Navier lah yang akan menjadi tawanannya. Sayang, semua itu justru berbalik padanya. Navier terlalu kuat untuk dikalahkan dalam satu kali serangan."Yang seharusnya bertanya seperti itu adalah aku! Apa kau yakin tidak punya gang
"Kalau Anda masih punya hati, Anda tidak akan sekejam itu untuk membuat Edgar celaka, Nyonya. Anda akan mencegah Lissa mencellakakannya!" kecam Navier.Dia menatap Lissa yang masih meringkuk di pojok sel. Kalau saja tidak ada orang lain, mungkkkin dia akan bertindak lebih kejam. Dia berjanji akan membuat wanita itu menyesal karena tlah memberikan racun tanpa penawar itu pada suaminya.Navier sudah mengirimkan sampel racun itu pada Eris. Rekan-rekannya juga sudah bergerak untuk menganalisa jenis dan obat yang terkandung di dalamnya. Tak hanya itu, Eris juga mencari siapa yang telah membuatnya.Hasilnya, sungguh di luar perkiraan mereka.Penawar obat itu membutuhkan waktu satu tahun dalam menyempurnakannya. Ada bahan yang perlu difermentasi dan disuling dengan benar dan hati-hati, guna mendapat manfaat yang sempurna. Sayangnya, Edgar tidak akan sanggup untuk bertahan selama itu.Di pilihan kedua yakni menemukan pembuat dan meminta penawarnya, Eris ha
Navier kembal dengan langkah lesu. Dia memilih untuk berdiri dan termenung di depan pintu rumah sakit tempat Edgar dirawat.Dia seolah kehilangan semua semangat hidupnya ketika mendengar vonis dari Eris. Waktu Edgar untuk bertahan sudah tidak lama lagi, dan mau tidak mau Navier harus merelakannya. Tidak ada waktu yang tersisa lebih banyak lagi untuk suaminya.Kalau saja pemilik penawar racun itu ditemukan, dia rela menukarnya dengan apa pun Bahkan jika orang itu meminta seluruh kekayaan yang dia punya, dengan senang hati dia akan menukarnya. Tak peduli nanti apa yang terjadi, Navier lebih memilih Edgar sembuh.Waktunya bersama Edgar masih belum banyak terlewati.Mereka bertemu dengan singkat tanpa melalui masa pacaran. Menikah dan punya anak tak lama kemudian. Dalam beberapa tahun, banyak masalah terjadi hingga mereka terpisahkan. Baru ketika dia bisa bertemu lagi, Tuhan seolah mempermainkan takdirnya dengan keadaan sulit.'Aku sudah berusaha untuk
Navier kembali ke kamar Edgar dengan Sean di sampingnya. Meski tidak mendapatkan solusi, setidaknya dia merasa lebih baik setelah berbicara pada Sean dan mengungkapkan masalahnya."Hai, Tuan Edgar, Tuan Luois!" sapa Sean.Dia membungkuk tanda hormat, dan hanya dibalas anggukan oleh keduanya."Aku bertemu dengannya di puntu masuk. Jadi sekalian kuajak bersama," jelas Navier."Tidak tanya!"Edgar menjawab ketus. Navier sama sekali tidak kaget dengan reaksi Edgar. Sudah terlampau biasa untuknya mengalami hal itu."Ayolah, Eddy-ku sayang. Aku hanya mengajaknya berjalan bersama. Bukan bergandengan tangan atau berciuman. Kami tidak seperti yang kau pikirkan.""Memang apa yang kupikirkan?"Sean dan Luois hampir tidak bisa menahan tawanya. baik itu berpuluh tahun yang lalu atau sekarang, Edgar tetap menjadi seorang yang pencemburu."Tidak ada."Navier memilih mengalah.Dia tidak ingin ada adu mulut lebih lama denga
"Bagaimana bisa kau yakin dengan hal itu, sedangkan dulu pun kau sudah berjanji untuk tetap berada di sisiku, tetapi nyatanya tidak. Kau pernah berjanji untuk melakukan apa yang kuminta, dan kau tidak melakukan itu. Dan juga, kau tidak benar-benar bisa melakukan hal yang kau janjikan padaku.""Aku tahu. Karena itulah aku mengatakan jika aku tidak akan melaukukan hal bodoh lagi. Aku akan ada untukmu, melakukan apa yang kau inginkan dan tidak bisa kulakukan di masa lalu. Cukup untukku kehilanganmu hingga selama ini. Tidak bisa lagi untuk selanjutnya."Edgar mengambil tangan Navier dan mengecupnya.Jika dilihat dari segi mana pun, Edgar sudah sangat tua. Bahkan hampir sama tuanya dengan Luois. Melihat itu Navier menjadi sedih. Dia kembali teringat dengan waktu yang dimiliki Edgar. Mungkin sudah tidak lama hingga Navier yakin jika mereka kehabisan waktu."Apa yang bisa kau lakukan untuk semua itu? Kau tahu sendiri jika kesehatanmu memburuk dan belum ada kemun
"Hidupmu sudah tidak lama lagi, Edd."Akhirnya, Navier tidak lagi merasa bimbang. Dengan lantang dia mengatakan hal itu tepat i depan Edgar. Hal yang sebelumnya tidak pernah dia pikirkan untuk memberitahu secepat ini.Awalnya, Navier akan memberitahu Edgar pelan-pelan setelah Luois pulang dari masa rawatnya. Sayang, semua itu malah dirasa terlalu lama. Lagi pula kini hanya ada mereka berdua.Dokter tidak akan mengatakan langsung kepada Edgar dengan alasan medis, dan entah itu Felix atau Sean, juga tidak memiliki wewenang untuk mengatakannya."Aku tahu. Bukankah memang seperti itu adanya?""Tapi, apa kamu ....""Aku sama sekali tidak keberatan dengan hal itu, Na. Aku sudah pasrah dengan apa yang terjadi. Lagi pula, aku sudah berteu lagi denganmu dan aku yakin kau tidak akan meninggalkanku. Bukankah benar begitu adanya?""Tapi, apa kamu tahu siapa yang-""Yang meracuniku, kan? Wanita itu dan ibuku sendiri yang melakukannya. Aku s
Selama ini Yuni tidak pernah merasa menyesal telah menyakiti Navier.Dia merasa selama ini Navier-lah yang membuatnya menderita. Ibunya merebut suami yang dia cintai, dan membagi rasa sayang yang dulu didapatkan secara penuh. Karena itulah ketika Elle meninggal, Yuni masih sanggup untuk menyiksa anak kecil itu.Hati Yuni sudah mati rasa untuk memberi rasa kasih untuk anak tirinya.Hingga Navier yang mulai membantu mencari penghasilan pun, Yuni tetap pada pendiriannya. Dia dengan kejam mampu meminta semua pendapatan Navier untuk diberikan pada putranya.Akan tetapi, perlahan rasa itu mulai terkikis.Yuni merasa bersalah saat melihat Navier tidak sadarkan diri dengan berbagai alat untuk menopang kehidupannya.'Sebenarnya aku bahkan tidak tahu alasan untuk membencimu,' batin Yuni.Dia memandang sendu, tak percaya dengan beberapa waktu yang lalu, di mana dia tidak sadar telah mencelakakan nyawa anak tirinya."Ib
"A-aku tidak menyangka jika kau bisa merencanakan semua ini pada Navier, Yun." Yuni terpekur. Dia sama sekali tidak menyangka jika suaminya akan mendengar perdebatannya dengan Navier, dan sedang saat mengungkit malam kelam itu. Tak hanya itu, Yuni juga menangkap raut kekecewaan yang terlalu kentara. "Aku sudah merawatnya sejak kecil! Kau pikir mudah membesarkan anak dari wanita yang menjadi madu di dalam rumah tangganya? Pikirkan itu, Lex! Ah, ya. Kau yang hanya membawa masalah mana paham hal yang seperti ini!" Di seumur mereka menikah, belum pernah dia mendengar nada kecewa dari Yuni hingga seperti itu. Dia tak tahu jika selama ini, istri pertamanya menyimpan luka dan melampiaskannya pada anaknya. Dulu, Alex mengira jika Yuni bisa menerima Navier selayaknya putri sendiri, karena Elle telah tiada. "Kukira kau menerimanya sebagai anak kandungmu sendiri, Yun. Kalau tahu kau setega itu padanya, kenapa tidak kau katakan saja padaku? Aku
"Kau!!! Kau masih punya muka untuk kembali ke sini!?" bentak Yuni.Navier tidak mengindahkan peringatan Edgar agar tidak kembali ke sana. Dia bersikukuh untuk kembali ke rumah tempatnya dibesarkan. Bagaimanapun juga, tempat itu berisi banyak kenangan yang tak bisa dia lupakan."Ibu, jangan lupa aku pernah kau besarkan. Aku pernah kau asuh dan kau beri makan," lirih Navier."Lalu dengan apa kau akan membayarnya? Bukankah saat itu kau sudah memiliki kesempatan, tetapi malah membuangnya? Kau!!! Bukannya membayar jasaku, malah meninggalkan semua kesulitan itu!?"Navier menunduk. Dia tetap berdiri di pintu gerbang halaman dan tidak diizinkan untuk masuk oleh Yuni.Sejak awal, Navier tidak tahu jika Yuni sedang libur bekerja. Namun, dia juga tidak berharap penuh jika Yuni sedang tidak ada.Dia hanya ingin beritikad baik dengan meluruskan kesalahpahaman di antara mereka."Aku memang tidak bisa membalasnya dengan keadaan saat itu, Ibu. Tapi ketahuilah! Aku juga melalui masa yang sulit. Aku ti
"Ada hal yang bisa kau gunakan untuk membela diri, Sayang?" tanya Edgar.Dia menatap tajam sang istri yang kini tengah berdiri dengan senyum seperti anak kecil yang ketahuan telah melakukan kesalahan. Di samping kiri sang istri, ada putra semata wayangnya yang sedang menunduk.Edgar merasa kesal karena mendapati wajah istrinya babak belur, dan puntranya tidak apa-apa. Padahal sebelumnya dia telah berpesan untuk menggantikannya menjaga satu-satunya wanita di keluarga mereka. Edgar tak ragu, karena dia sudah tahu bagaimana kemampuan Henry. Sayang sekali ekspektasinya terlalu tinggi."Jangan salahkan Henry, ya. Dia sudah melakukan hal yang kau pinta sebaik mungkin. Tidak ada hal sebaik Henry. Hanya saja dia datang terlalu terlambat untuk menjemputku," bela Navier."Jadi, ini semua adalah salahmu, begitu?""Tentu saja!""Lalu, apa yang bisa kau lakukan untuk menggantikan hukuman yang akan Henry dapatkan, Sayang?"Badan Navier bergidik nge
"Yun, hentikan!"Bukannya berhenti, Yuni justru semakin gencar mencerca Navier dengan kata-kata yang buruk. Suaminya sama sekali tidak dipedulikan lagi. Dia seolah buta dan tuli untuk semua hal.Yuni buta akan kebaikan yang selama itu Navier lakukan untuk keluarganya. Bagaimana dia yang harus berhenti untuk belajar, dan justru mencari pekerjaan sebanyak mungkin, dan membantu memenuhi semua hal yang diinginkan kedua adik tirinya.Dan tuli, akan segala perkataan suaminya."Bu, kau boleh menyalahkanku atas semua kesalahan yang terjadi di keluarga kita. Tapi kumohon untuk tidak menyudutkanku. Waktu sudah banyak berubah, dan aku juga tidak ingin mengingat masa lalu lagi. Aku akan melupakan semua yang telah kau lakukan padaku, dan mari untuk hidup lebih baik," pinta Navier.Yuni menggeleng. Air matanya mengalir semakin deras. Dia memandang ke arah suaminya yang kini sudah tidak sesempurna dulu. Memandang putra sulungnya yang juga tidak bisa mendapat kehi
"Dav, hentikan!!!" tegur ayah mereka.Keduanya masih saling beradu dan tidak menggubris teguran ayahnya. Sesekali Navier membalas pukulan adiknya, dan sisanya dia akan menghindar. Gerakan Davian begitu acak, menandakan bagaimana pria itu dididik dengan otodidak, bukan oleh ahilnya."Ternyata kau belajar cukup banyak, ya? Tidak seperti dulu yang hanya bisa berlindung di bawah ketiak ibu," sindir Navier."Diam kau! Kau tidak tahu masalah apa yang sudah kau tinggalkan untuk kami! Kau sama sekali tidakkk punya hati!"Navier mendecih sinis. Tidak punya hati? Bukankah kata-kata itu lebih patut dikatakan untuk Yuni, dan bukan dirinya?Setelah itu, dia memancing Davian untuk berkelahi di luar ruangan, dan masih mengundang pekikan ayahnya. Hanya sang adik yanag terkesn menuntut untuk menyerang, sedangkan Navier lebih tenang dan menghindar. Karena itu, ayah mereka benar-benar khawatir. Ia takut jika Davian melukai kakak perempuannya."Kalau begitu kau
"Apa tidak apa-apa jika ibu tahu aku akan datang?" tanya Navier.Setelah mereka berbincang, Navier memutuskan untuk ikut ayahnya pulang ke kediaman mereka yang dulu. Ayahnya takut jika Yuni datang dan tidak mendapati di mana pun. Karena bahan persediaan di rumah mereka telah habis, jadi Navier hanya bisa menurut.Sebenarnya dia bisa saja meminta Edgar atau Henry untuk mengantar bahan makanan itu. Terutama Edgar yang telah mengetahui di mana lokasinya. Sayang, Navier menolak dengan tegas. Dia tidak ingin suaminya turun tangan langsung, atau semuanya akan kacau."Tidak apa-apa, dia pasti sangat senang kau datang. Bukankah sudah lama kalian tidak bertemu?"'Yah ... itu sih kalau Ibu tidak dendam padaku,' batin Navier.Dia meringis saat mengingat masa lalu. Di mana dia yang kabur dan meninggalkan banyak masalah untuk ibunya.Tidak bisa dikatakan dia yang meninggalkan masalah untuk mereka, sebenarnya. Melainkan Yuni sendiri yang telah mengambil r
"Jadi, kini hanya Ayah yang biasa mengerjakan pekerjaan rumah. Rumah itu telah sepi semenjak kau pergi, dan bertambah sepi setelahnya."Navier menggigit bibir bawahnya. Tidak menyangka jika hidup mereka yang dia tinggalkan, begitu menyedihkan.Ayahnya lumpuh sebelah karena kecelakaan kerja. Karena itu, ayahnya dipensiunkan dini. Ibunya mengambil alih mencari nafkah setelah uang tunjangan ayahnya habis, dan kedua adiknya berhenti sekolah karena malu. Kemudian mereka bekerja sebagai buruh kasar di pasar.Dari yang diceritakan ayahnya, Navier mendapat beberapa informasi. Adik pertamanya, Davian, telah menikah dan seorang wanita yang merupakan putri dari pemilik tempatnya bekerja. Setelah istrinya melahirkan di usia pernikahan mereka yang baru enam bulan, satu bulan kemudian mereka bercerai dan membawa anak itu bersamanya.Ayahnya menduga jika wanita itu menikahi Davier hanya untuk menutupi aib karena hamil terlebih dahulu dengan mantan pacarnya yang tidak ma
"A-Ayah!"Navier hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Ayah yang sejak dirinya lahir hingga dijemput Edgar menemaninya, dan tidak pernahlagi mereka bertemu setelah dijual Yuni, ada di hadapanynya.Wajah yang sudah tua termakan usia, dan tidak lagi semuda dulu membuat hati Navier menjadi trenyuh. Ayahnya itu tidak pernah melakukan tindak kekerasan seperti yang Yuni lakukan. Dan hingga hari terakhirnya di kota itu, Navier belum sempat untuk perpamitan.Pun dengan pernikahannya dengan Edgar, sang ayah pastilah tidak pernah tahu akan hal itu. Tidak akan ada kabar yang didengar jika Edgar sudah memutuskan untuk menutup rapat semua yang berpotensi untuk menyebar berita.Kepergiannya kala itu memang terjadi karena terpaksa."Kau putriku, Navier?"Navier mengangguk. Matanya sudah hampir dibanjiri air mata jika tidak dia tahan."Aku merindukan Ayah," lirih Navier. Dia menghambur ke pelukan ayahnya yang kini sudah tidak sempur