"Kamu kenapa?" Dion menyadari keanehan pada Nia, tubuh wanita itu tampak gemetaran dan juga mengeluarkan keringat dingin.Padahal dirinya hanya melingkarkan tangannya pada perut Nia.Menurutnya itu adalah hal yang wajar, mengingat mereka adalah pasangan suami istri yang sah."Tuan, aku gerah. Aku nggak bisa tidur nyenyak kalau tempatnya sempit," Nia pun mendudukkan tubuhnya, ingin berpindah tempat.Tetapi tidak bisa, karena Dion pun ikut mendudukkan tubuhnya di samping Nia bahkan menahannya saat berniat akan menuruni ranjang."Ini tidak sempit, tempat tidur ini masih sangat luas," Dion tak mengerti sampai di sini pun.Sebab, alasan Nia terkesan tidak masuk akal.Walaupun demikian Dion mencoba untuk memakluminya.Baiklah mungkin Nia masih butuh waktu untuk bisa lebih dekat dengannya.Meskipun demikian Dion tak ingin lagi keduanya memiliki jarak dan kecanggungan seperti selama ini."Ayo tidur lagi," Dion kembali menarik Nia untuk segera membaringkan tubuhnya.Dengan terpaksa Nia pun kem
"Nia, kamu sudah memiliki anak. Kenapa masih saja seperti ini?" Dion tak mengerti mengapa Nia menolaknya."Tuan, jangan. Aku mohon," Nia memohon dengan air mata yang berlinang, berharap Dion tak melakukan hal itu.Hingga akhirnya tangisan Zaki pun menggelegar, membuat Dion pun menghentikan aksinya.Saat itu Nia pun mengambil kesempatan untuk melepaskan dirinya, kemudian menggedong Zaki dengan cepat.Dion pun meninju udara dan kemudian segera menuju almari, sesaat kemudian memakai pakaiannya kemudian keluar dari kamar.Sedangkan Nia terus berusaha untuk menenangkan anaknya yang terus saja menangis kencang tanpa hentinya.Setelah berhasil menenangkan Zaki, akhirnya Nia pun memutuskan untuk membereskan semua pakaiannya.Nia tak mau kalau harus mengalami hal yang sama, perjanjian mereka hanya untuk ibu bagi Dila.Lantas bagaimana jika dirinya malah ditiduri, tentunya nanti dirinya akan hamil lagi, kemudian bercerai dan kembali hamil tanpa suami.Masa lalu yang kelam membuatnya menjadi wan
"Saya kecewa, kamu penipu!""Bu, nggak gitu...." Nia tak tahu lagi harus menjelaskan apa, sesaat memberanikan diri untuk melihat Dion.Namun, rasanya tidak mungkin mengatakan apa yang membuatnya memutuskan untuk pergi.Semuanya sungguh sangat menyulitkan sekali seakan tak mengijinkan untuk bisa bernapas."Kembalikan semua uang yang sudah saya keluarkan untuk pengobatan Ibu kamu, setelah itu kamu bisa keluar dari rumah ini!" Tandas Bunga kemudian pergi dengan langkah kaki yang cepat.Tanpa ingin mendengarkan penjelasan dari mulut Nia sama sekali.Punggung Nia pun bergetar, seiring dengan air mata yang keluar.Begitu juga dengan Zaki yang menangis karena suara yang begitu keras membuatnya terjaga.Sedangkan Dion masih berdiri di tempatnya, melihat Nia dan Zaki menangis bersama-sama.Dion pun merasa bersalah, kemudian mencoba untuk mengusap punggung Nia."Aku minta maaf," Dion pun menuntun Nia untuk duduk di sisi ranjang, "tenangkan Zaki, aku akan kembali. Jangan menangis lagi."Dengan s
"Tuan, aku mohon," Nia pun memutar gagang pintu, ingin pergi dari sana.Tetapi, Dion menahannya. Karena tak ingin sampai Nia benar-benar bertemu dengan Reza di luar sana."Nia, dia anak mu. Tidak ada Reza di sini!" Kata Dion.Nia pun kembali melihat Zaki, ternyata benar. Hanya ada Zaki yang tertidur lelap di ranjang.Napas Nia masih terengah-engah menatap wajah bayinya yang sangat lucu itu.Sayangnya ayah dari bayi itu adalah lelaki bejat yang sudah menusukkan luka yang begitu dalam."Kamu baik-baik saja?" Dion memberikan mineral pada Nia.Sesaat kemudian Nia pun meneguknya dengan cepat.Melawan perasaan takut yang selama ini selalu menghantuinya."Kamu istirahat dulu," Dion kehabisan kata-kata, saat ini dia hanya ingin Nia menjadi lebih baik.Hingga akhirnya Nia pun menuruti perintah Dion, berbaring di samping Zaki.Tapi tangannya menahan Dion untuk pergi.Dion menatap tangan Nia yang memegang tangannya untuk pertama kalinya Nia begitu berani."Tuan, aku berjanji akan melakukannya. T
Malam harinya Nia pun merasa lebih baik, dirinya menunggu kepulangan Dion dari pekerjaannya.Sedangkan Dila pergi bersama dengan Bunga menghadiri acara pesta ulang tahun salah satu teman sekolah Dila.Tok tok tok.Suara ketukan pintu membuat Nia bergegas untuk membukanya."Asih?""Ini ada bok bayi, kata Tuan Dion untuk tempat tidur Zaki. Katanya juga di letakkan di kamar ini saja," jelas Asih.Nia pun mengangguk, kemudian mempersilahkan dua orang satpam yang berada di belakang Asih untuk masuk membawa bok Bayi, meletakkannya sesuai dengan arahan Nia."Aku balik dulu, kamu sakit ya?" Tanya Asih."Nggak juga," jawab Nia.Setelah Asih pergi Nia pun menatap bok bayi yang dibeli oleh Dion.Sejenak Nia menarik napas berat menatap benda tersebut.Karena dirinya semakin merasa berhutang pada keluarga Dion.Dari mana dirinya nantinya bisa membayar semua itu pikir Nia.Hingga sesaat kemudian pintu pun terbuka, Dion masuk ke dalam kamar membuat Nia yang duduk di sisi ranjang pun segera berdiri.
"Kamu nggak nyaman tidur satu ranjang sama aku?" Dion menyadari bahwa Nia terus saja bergerak, seakan risih dengan dirinya.Tetapi Nia menepis semua itu, bahkan memilih untuk menutup matanya.Mulai malam ini dirinya akan berusaha untuk tetap tenang saat bersama dengan Dion.Sampai akhirnya semalam penuh Nia tidak tidur sama sekali.Bahkan saat Dion bangun Nia sudah tidak berada di sampingnya, sedangkan pakaian untuknya sudah tersedia.Segera Dion mandi dan juga keluar dari kamar mencari keberadaan Nia, pagi-pagi begini sudah pasti mengurus Dila sebelum berangkat ke sekolah.Benar saja tebakan Dion, sebab Nia sedang membatu Dila memakai seragam sekolah sambil menggedong Zaki.Dion pun masuk dan mengambil Zaki dari gendongan Nia, agar memudahkan sedikit pekerjaan wanita tersebut.Setelah itu sarapan bersama, lalu mengantarkan Dila ke sekolah.Tetapi Dion terlebih dahulu menawarkan dirinya, sehingga Nia tidak perlu lagi mengantarkan."Ke sekolahnya sama Papi aja," kata Dion."Ye!" Dila
"Sepertinya kau perduli sekali pada wanita tadi?" Tanya Fadil.Dion diam saja, yang menjadi pertanyaan kini adalah keadaan Nia.Bukan dirinya yang malah mendapatkan rentetan pertanyaan yang sama sekali tidak membuatnya tertarik untuk menjawab.Setelah mengantarkan Nia pulang ke rumah, Dion langsung kembali ke rumah sakit.Menemui Fadil dan membicarakan tentang keadaan Nia saat ini.Hingga kini dirinya diam duduk di kursi saling berhadapan dengan Fadil, tepatnya di ruangan Fadil sendiri."Aku bertanya tentang keadaannya, bukan kau yang malah bertanya pada ku!" Dion menjawab dengan ketus bahkan terkesan tidak ingin berbicara selain membahas keadaan Nia."Baiklah," Fadil pun memilih untuk berbicara, menjelaskan pada Dion akan keadaan Nia.Dion hanya mendengarkan saja, tanpa banyak bicara.Hingga akhirnya selesai dan bergegas pulang.Namun, sesampainya di rumah Dion melihat Niko yang sedang bersama dengan Nia di teras.Beberapa hari ini entah kemana perginya Niko, bukannya bertanya tetapi
"Kenapa kamu hanya diam saja?"Nia pun melirik Dion, tidak mengerti maksud dari pertanyaan Dion."Apa kau tidak senang bersama ku?" Tanya Dion lagi."Aku tidak mengerti Tuan? Anda bertanya apa?"Dion pun memilih untuk menepikan mobilnya, kemudi melihat Nia dengan serius.Tetapi wajah Nia yang begitu cantik membuatnya menjadi tidak bisa berbicara, kemudi kembali melanjutkan perjalanan.Membuat Nia bingung, tetapi tidak berani juga untuk bertanya."Kenapa kau berulang tahun tapi tidak memberitahukan kepada ku? Kenapa malah memberitahukan pada Niko?" Tanya Dion lagi.Nia semakin kebingungan, sebab setahunnya lelaki di sampingnya itu adalah seorang yang pendiam, dingin, tak banyak bicara, dan tak suka dibantah.Lantas mengapa saat ini terlihat berbeda dari sebelumnya."Nia, aku bertanya kepada mu? Kenapa kau sepertinya kebingungan?""Tuan, apakah aku sudah gila?" Nia malah bertanya tanpa menjawab pertanyaan Dion terlebih dahulu."Kenapa begitu?""Aku merasa ada yang berbeda dari anda, apa
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan