Malam harinya Nia pun merasa lebih baik, dirinya menunggu kepulangan Dion dari pekerjaannya.Sedangkan Dila pergi bersama dengan Bunga menghadiri acara pesta ulang tahun salah satu teman sekolah Dila.Tok tok tok.Suara ketukan pintu membuat Nia bergegas untuk membukanya."Asih?""Ini ada bok bayi, kata Tuan Dion untuk tempat tidur Zaki. Katanya juga di letakkan di kamar ini saja," jelas Asih.Nia pun mengangguk, kemudian mempersilahkan dua orang satpam yang berada di belakang Asih untuk masuk membawa bok Bayi, meletakkannya sesuai dengan arahan Nia."Aku balik dulu, kamu sakit ya?" Tanya Asih."Nggak juga," jawab Nia.Setelah Asih pergi Nia pun menatap bok bayi yang dibeli oleh Dion.Sejenak Nia menarik napas berat menatap benda tersebut.Karena dirinya semakin merasa berhutang pada keluarga Dion.Dari mana dirinya nantinya bisa membayar semua itu pikir Nia.Hingga sesaat kemudian pintu pun terbuka, Dion masuk ke dalam kamar membuat Nia yang duduk di sisi ranjang pun segera berdiri.
"Kamu nggak nyaman tidur satu ranjang sama aku?" Dion menyadari bahwa Nia terus saja bergerak, seakan risih dengan dirinya.Tetapi Nia menepis semua itu, bahkan memilih untuk menutup matanya.Mulai malam ini dirinya akan berusaha untuk tetap tenang saat bersama dengan Dion.Sampai akhirnya semalam penuh Nia tidak tidur sama sekali.Bahkan saat Dion bangun Nia sudah tidak berada di sampingnya, sedangkan pakaian untuknya sudah tersedia.Segera Dion mandi dan juga keluar dari kamar mencari keberadaan Nia, pagi-pagi begini sudah pasti mengurus Dila sebelum berangkat ke sekolah.Benar saja tebakan Dion, sebab Nia sedang membatu Dila memakai seragam sekolah sambil menggedong Zaki.Dion pun masuk dan mengambil Zaki dari gendongan Nia, agar memudahkan sedikit pekerjaan wanita tersebut.Setelah itu sarapan bersama, lalu mengantarkan Dila ke sekolah.Tetapi Dion terlebih dahulu menawarkan dirinya, sehingga Nia tidak perlu lagi mengantarkan."Ke sekolahnya sama Papi aja," kata Dion."Ye!" Dila
"Sepertinya kau perduli sekali pada wanita tadi?" Tanya Fadil.Dion diam saja, yang menjadi pertanyaan kini adalah keadaan Nia.Bukan dirinya yang malah mendapatkan rentetan pertanyaan yang sama sekali tidak membuatnya tertarik untuk menjawab.Setelah mengantarkan Nia pulang ke rumah, Dion langsung kembali ke rumah sakit.Menemui Fadil dan membicarakan tentang keadaan Nia saat ini.Hingga kini dirinya diam duduk di kursi saling berhadapan dengan Fadil, tepatnya di ruangan Fadil sendiri."Aku bertanya tentang keadaannya, bukan kau yang malah bertanya pada ku!" Dion menjawab dengan ketus bahkan terkesan tidak ingin berbicara selain membahas keadaan Nia."Baiklah," Fadil pun memilih untuk berbicara, menjelaskan pada Dion akan keadaan Nia.Dion hanya mendengarkan saja, tanpa banyak bicara.Hingga akhirnya selesai dan bergegas pulang.Namun, sesampainya di rumah Dion melihat Niko yang sedang bersama dengan Nia di teras.Beberapa hari ini entah kemana perginya Niko, bukannya bertanya tetapi
"Kenapa kamu hanya diam saja?"Nia pun melirik Dion, tidak mengerti maksud dari pertanyaan Dion."Apa kau tidak senang bersama ku?" Tanya Dion lagi."Aku tidak mengerti Tuan? Anda bertanya apa?"Dion pun memilih untuk menepikan mobilnya, kemudi melihat Nia dengan serius.Tetapi wajah Nia yang begitu cantik membuatnya menjadi tidak bisa berbicara, kemudi kembali melanjutkan perjalanan.Membuat Nia bingung, tetapi tidak berani juga untuk bertanya."Kenapa kau berulang tahun tapi tidak memberitahukan kepada ku? Kenapa malah memberitahukan pada Niko?" Tanya Dion lagi.Nia semakin kebingungan, sebab setahunnya lelaki di sampingnya itu adalah seorang yang pendiam, dingin, tak banyak bicara, dan tak suka dibantah.Lantas mengapa saat ini terlihat berbeda dari sebelumnya."Nia, aku bertanya kepada mu? Kenapa kau sepertinya kebingungan?""Tuan, apakah aku sudah gila?" Nia malah bertanya tanpa menjawab pertanyaan Dion terlebih dahulu."Kenapa begitu?""Aku merasa ada yang berbeda dari anda, apa
Gaun berwarna putih itu terlihat begitu indah di tubuh Nia yang kurus, meskipun kurus masih saja enak dipandang mata."Makasih ya Bu," Nia begitu menyukai gaun buatan Farah.Sedangkan Dion hanya diam menyaksikan kebahagiaan antara Farah dan juga Nia yang saling melepaskan rindu.Mungkin inilah salah satu cara agar membuat Nia melupakan kesedihannya, mungkin juga bisa membuat trauma pada diri wanita itu sedikit demi sedikit mulai menghilang."Tuan, maaf. Aku, melupakan anda," Nia pun menyadari Dion yang hanya menjadi penonton.Sedangkan Dion hanya mengangkat bahunya, seakan begitu santai menikmati pemandangan yang meneduhkan hati.Hingga akhirnya Nia pun memasuki kamarnya, sederhana namun percayalah Nia sangat merindukannya.Foto Anwar masih berada pada tempatnya, menggantung di dinding tanpa bergeser sedikitpun.Tangan Nia bergerak, mengusap bingkai foto dengan penuh kerinduan.Kerinduan seorang anak terhadap Bapaknya, rindu yang tak lagi bisa melihat meskipun dalam keadaan jauh.Rind
Merebahkan dirinya di atas ranjang sederhana milik Nia."Kamar mu ini seperti kamar anak-anak," Dion melihat sekitarnya, di mana banyak sekali dekorasi layaknya anak kecil, "wah ada kecoa!" Dion menunjuk kaki Nia, tetapi Nia hanya diam saja."Tidak ada," Nia sama sekali tidak takut pada seekor kecoa.Jadi sama sekali tidak membuatnya menjadi histeris ataupun semacamnya."Bukan kecoa, tapi cicak!" kata Dion lagi."Cicak?" Nia pun langsung meloncat naik ke atas ranjang, dirinya sangat tidak suka pada cicak.Apa lagi bila masuk ke dalam pakaiannya seperti dulu saat dikerjai oleh teman-temannya saat masih duduk di bangku sekolah.Dari saat itulah Nia semakin tidak suka pada cicak, bahkan mendengar namanya saja sudah menguatnya bergidik mengeri."Hehe," Dion tertawa kecil melihat Nia, awalnya hanya asal bicara saja.Namun tidak menyangka bahwa Nia bisa seperti itu.Menyadari dirinya ditipu, Nia pun segera turun dari ranjang."Nggak lucu, cicak itu sangat menakutkan," kata Nia."Maaf," Dion
"Tidak, aku hanya bercanda saja," Dion pun memilih untuk berbicara hal yang membuat Nia menjadi lebih baik.Agar bisa membuat suasana tidak terus menjadi tegang."Ayo tidur.""Tuan, aku tidak bisa tidur seperti ini. Aku tidur di bawah saja ya," pinta Nia."Bisa, apa perlu aku yang meniduri mu dulu. Agar kau bisa tidur," Dion berbicara dengan diselingi tawa kecil."Meniduri?" Tanya Nia bingung."Iya.""Tapi aku nggak suka di bacain buku cerita, apa lagi aku sudah besar. Masa, iya mau dinyanyikan sebelum tidur?" Dion tersenyum mendengar jawaban Nia, tapi tidak masalah lagi pula Nia memang masih terlalu muda."Kalau tidak bisa dengan cara di nyanyikan, atau membaca buku cerita bisa dengan cara yang lain." "Cara lain?""Iya, mau tidak?"Nia pun sejenak terdiam sambil memikirkan apa yang dimaksud oleh Dion, namun belum juga mendapatkan jawaban dari setiap hal yang dikatakan oleh Dion."Mau, tidak?" Tanya Dion lagi, semakin merapatkan tubuhnya pada bagian belakang Nia.Nia pun tersadar te
Nia berusaha untuk lepas dari pelukan Dion, tetapi cukup sulit sekali. Padahal dirinya sudah ingin berlari ke kamar mandi untuk melakukan ritual paginya.Hingga akhirnya pergerakan Nia membuat Dion pun terbangun."Tuan, maaf kalau aku menggangu tidur anda. Aku kebelet pipis," kata Nia agar Dion tahu, sebab selain ingin ke kamar mandi Nia pun ingin dilepaskan oleh Dion.Tetapi Dion hanya diam saja, menatap wajah Nia di pagi hari ini.Wajah yang apa adanya, bahkan saat bangun tidur saja masih terlihat begitu cantik.Dalam hati Dion memuji kecantikan seorang wanita yang kini berstatus sebagai istrinya.Sungguh sangat tidak dimengerti sama sekali, tapi setelah mengetahui penderitaan Nia hatinya mendadak luluh dan ingin mengenal lebih jauh."Tuan?" Nia tidak nyaman saat Dion menatapnya begitu dalam, saat ini Nia hanya ingin dilepaskan dari pelukan Dion.Itu saja, bukan malah mendapatkan tatapan mata elang tersebut.Lagi pula mengapa bisa Dion terus saja memeluknya? Tidakkah ada rasa jijik?