Tanpa bicara sama sekali Dion pun memakai pakaian yang sudah disiapkan oleh Nia, menyeruput kopi yang juga diseduh oleh orang yang sama.Menikmati sarapan pagi di meja makan, namun Nia sibuk menyuapi Dila.Beberapa kali Dion mencuri-curi pandang, tetapi tak di sadari oleh Nia sama sekali.Sejak kejadian malam tadi Nia hanya diam tanpa bicara, jika biasanya Dion tidak memperdulikan tapi tidak dengan saat ini.Entah mengapa terus saja merasa bersalah, lagi-lagi karena kata kasar yang diucapnya tanpa sadar itu."Mami, Dila udah kenyang," Dila pun menolak saat Nia kembali menyuapinya.Nia pun mengangguk, kemudian mengambilkan segera susu. Setelah di teguk oleh Dila, kembali meletakkan gelas kosong pada meja.Kemudian Nia membatu Dila untuk memakaikan ranselnya."Dila, berangkat sama Mbak Asih saja. Biar Mami, ngurus Zaki, kasihan adk nya," kata Dion tiba-tiba, membuat semua yang duduk di kursi meja makan melihat kearahnya karena terkejut.Sebab, Dion yang dingin tampaknya bisa perduli itu
Nia hanya diam, begitu juga dengan Dion yang hanya melihat Nia dengan wajah menunduk.Lama keduanya terdiam akhirnya Dion pun memilih untuk kembali bersuara."Apa kata yang ku ucapkan malam tadi masih menyakiti hati mu?"Nia pun mendongkak menatap wajah Dion, tanpa menjawab pertanyaan tersebut.Diamnya Nia membuat Dion semakin penasaran akan apa yang sedang dipikirkan oleh wanita tersebut."Nia, aku minta maaf. Apa kau belum memaafkan aku?"Apa yang barusan dikatakannya?Mengapa mendadak menjadi aneh.Dion menyadari keanehannya, namun akan lebih aneh lagi jika terus saja merasa bersalah pada Nia."Apa itu perlu Tuan?" Tanya Nia kembali.Bukan jawaban yang diberikan, melainkan juga pertanyaan tanpa ada jawaban pasti.Membuat Dion kian semakin menjadi-jadi, padahal sudah jelas dirinya sendiri yang sudah mencari tahu tentang Nia.Namun, mengapa dengan mudah bibirnya tega menghina wanita korban kebejatan seorang pria yang tak lain adalah keponakannya sendiri."Tentu, aku tidak bisa menyak
Sedangkan di waktu yang sama namun tempat yang berbeda ada hal lainnya yang tengah berlangsung."Bagaimana jika kita menjemput Dila? Ini sudah waktunya jam pulang sekolah, aku yakin dia akan senang sekali bisa dijemput oleh orang tuanya," tanya Dion yang ingin lebih dekat dengan Nia.Lebih dekat?Ini gila, tapi itulah nyatanya.Bahkan tanpa mendengar jawaban Nia sama sekali, Dion pun menarik Nia untuk ikut bersama dengannya.Hingga Asih pun terkejut melihatnya, seketika itu berlari menuju kamar Bunga."Bu," kata Asih dengan napas tersengal-sengal, memasuki kamar Bunga dengan terburu-buru."Asih, ada apa? Seperti dikejar setan saja," kata Bunga yang melihat Asih dengan aneh."Ibu Bunga harus lihat sesuatu," kata Asih sambil menarik napas panjang mencari udara untuknya bisa bernapas dengan baik."Sesuatu?""Lihat Bu," Asih pun menunjuk ke puar, dari jendela kamar yang terbuka lebar.Bunga pun melihatnya, kemudian dirinya juga sedikit bingung."Apanya? Kamu sedang menunjuk apa?" "Itu Tu
"Maaf," Dion benar-benar menegang, Dila yang menganggap itu hanyalah sebuah ucapan saja.Tetapi pada kenyataannya malah Dion dibuat panas dingin seketika.Dion pun tidak mengerti mengapa dirinya menjadi begini.Padahal selama ini dirinya sama sekali tidak memikirkan masalah ranjang.Tapi akhir-akhir ini Dion memang sering kali tanpa sengaja melihat Nia dengan menampakkan beberapa bagian tubuhnya, walaupun tidak dengan disengaja."Papi!" Seru Dila.Lagi-lagi bocah itu berseru karena Dion malahan hanya diam tanpa melajukan mobilnya kembali, padahal suara klakson mobil lainnya sudah terdengar saling bersahutan-sahutan."Ck," Dion pun berdecak, akhirnya melajukan mobilnya kembali, walaupun pikirannya sudah dipenuhi dengan rasa aneh."Papi, aneh banget sih. Berhenti mendadak, nyetir juga aneh," gumam Dila dengan bibirnya yang terus saja komat-kamit.Karena kesal pada Dion yang mendadak menjadi aneh.Sedangkan Nia hanya diam saja menyaksikan seorang Papi yang sedang diomeli habis-habisan o
"Handuk di mana?" Dion tidak melihat handuk yang seharusnya sudah tersedia di dalam kamar mandi tersebut.Tetapi, sepertinya Nia lupa menyiapkan handuk seperti biasanya."Nia! Ambilkan handuk!" Seru Dion dari dalam kamar mandi, melalui celah pintu yang sedikit terbuka, menampakan kepalanya.Sedangkan Nia sedang sibuk menyiapkan pakaian untuk Dion."Ya Tuan," Nia pun bergegas untuk mengambilkan handuk, "ya, ampun. Kenapa aku sampai lupa menyiapkan handuk bersih setelah mengambil handuk kotor itu," gumam Nia, karena menyadari kesalahannya.Nia juga takut malah Dion marah, sebab pria itu tak suka kesalahan sekecil apapun.Membuat Nia dituntut untuk terus cepat mengerjakan sesuatunya.Berjalan ke arah pintu kamar mandi setelah membawa handuk yang diminta oleh Dion, namun mendadak Nia membalikkan tubuhnya.Agar tidak melihat apa-apa.Dion menerima handuk, kemudian memakainya. Sesaat kemudian Dion pun keluar dari kamar mandi.Hanya dengan balutan handuk di pinggangnya, membuat Nia terkejut
"Tuan, Mas Niko di luar. Nggak di bukain pintunya?""Buka sekarang pintunya!" "Baik, Tuan," dengan segera melakukan perintah Dion, namun sesaat kemudian langkah kaki Nia mendadak terhenti."Berani kau membukanya, kau juga boleh keluar dari rumah ini!" Papar Dion.Degh!Nia pun mematung di depan pintu kamar, sesaat kemudian berbalik melihat wajah Dion yang tampak datar."Tutup pintunya!" "Pintu kamar ini Tuan?""Pintu gerbang!""Pintu gerbang? Kita 'kan di kamar Tuan?" Nia masih bingung dengan perintah Dion."Pintu kamar ini Nia!" Jawab Nia dengan kesal.Dengan cepat Nia pun menutup pintu kamar, tanpa berani membukakan pintu untuk Niko yang terus saja minta dibukakan."Kenapa kamu sangat perduli pada si gila itu?" Dion ingin tahu, apakah Nia juga menyukai Niko, hingga ingin mengetes.Ataupun membuat Nia mengakui dengan bibirnya sendiri, tapi percayalah jika saja benar Nia menyukai Niko maka akan ada kemarahan yang meluap.Meskipun Nia tak akan pernah tahu untuk apa saat ini kemarahan
Mengalah bukan berarti kalah bukan? Begitu juga dengan Dion.Saat ini dirinya mengalah dengan Dila, walaupun sebenarnya hatinya tidak sepenuhnya menerima kekalahannya.Hingga otaknya terus saja memikirkan cara untuk bisa menjadikan Nia sebagai istri yang sesungguhnya.Dion tak ingin lagi main-main dengan perniknya, cukup sudah menyendiri selama bertahun-tahun lamanya.Merasa dirinya juga butuh kebahagiaan, begitu juga dengan Dila yang sangat membutuhkan Nia.Hingga sedetik kemudian pintu kamarnya pun terbuka.Nia perlahan masuk dan melihatnya yang tengah duduk di sofa."Maaf Tuan, aku mengganggu jam istirahat anda. aku hanya ingin mengambil pakaian, karena pakaian ku basah. Anak ku diare Tuan," jelas Nia dengan perasaan tidak enak hati.Sepertinya nasib baik sedang berpihak padanya, lihat saja saat Nia sudah direlakan malam ini tidur dengan Dila tapi tetap saja semesta membawanya untuk kembali ke kamarnya."Permisi Tuan," dengan langkah kaki cepat Nia pun menuju almari, mengambil paka
"Tante, ada apa?" Niko merasa ada yang tidak biasa dari Bunga, bagaimana tidak.Sebab, Bunga mendatangi kediamannya tiba-tiba, bahkan di malam hari seperti ini.Mungkin juga ini untuk pertama kalinya, sebab selama ini jika memang diperlukan dirinya yang diminta datang oleh Bunga.Walaupun demikian tetap saja Niko merasa terkesan pada Bunga."Duduk Tante," Niko pun mempersilahkan Bunga untuk duduk di sofa ruang tamu.Bunga mengedarkan pandangannya, melihat Rumah Niko yang ternyata cukup besar."Rumah ini hasil kerja keras kamu?" Tanya Bunga dengan kagum."Ya, Tante," Niko tersenyum dengan bangganya.Bunga pun mengangguk, kemudian duduk saling berhadapan.Niko menantikan saat-saat Bunga mengutarakan kedatangannya saat ini, entah apa yang ingin dikatakan oleh Bunga sehingga terlihat begitu serius."Bagus.""Ini rumah impian Niko, mungkin saja bisa ditempati bersama dengan Nia nantinya," jelas Niko dengan bibirnya yang tersenyum bahagia.Membayangkan wajah Nia sungguh membuatnya menjadi
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan