Sedangkan di tempat lainnya Nia merasa tidak enak hati, dirinya sendiri bingung mengapa bisa merasakan demikian.Tetapi, itulah yang kini dia rasakan."Mas, memangnya benar, ya. Kalau, Mas Chandra, cuman anak angkat?""Iya," jawab Dion dengan lugas.Nia pun terdiam sejenak, seakan dia sedang larut dalam pikirannya sendiri."Kenapa?" tanya Dion saat menyadari wajah Nia yang yang tampak begitu berbeda.Nia pun kembali mengangkat dagunya, membalas tatapan mata Dion."Nggak papa sih, Mas. Cuman, Nia agak shock aja," jawab Nia.Dion pun mengerti dengan apa yang kini dirasakan oleh Nia.Wajar saja, karena mereka selama ini memang menutupi semua itu.Karena, mengingat mereka sudah bersama sejak dahulu, bahkan sampai mendiang Abraham Winata berpesan untuk selalu menganggap Chandra sebagai Kakaknya.Mendiang Papanya memang sangat menyayangi Chandra Winata, apa lagi sebelum Dion lahir.Hanya Chandra yang menjadi penyemangatnya dalam segala keadaan.Namun, tampaknya kini sudah berbeda. Keadaan t
"Mami, Papi!" seru Dila sambil menghambur memeluk Nia."Anak, Mami udah pulang sekolah?" Nia tersenyum saat melihat wajah Dila.Kini Dila sudah kembali masuk sekolah, bahkan dokter mengatakan bahkan Dila sudah sembuh total.Membuat keluarga lega tentunya, perjuangan yang tidak mudah kini berubah manis.Keutuhan keluarga seakan semakin erat dan bertaburan dengan kebahagiaan."Dila, pulang sama siapa?" tanya Nia lagi."Sama, Mbak Asih dan Om Barra," jawab Dila."Katanya hari ini, Dila ujian. Gimana dengan soal-soal ujian, apakah ada yang tidak bisa di isi?""Semuanya aman, Mami. Kecil itu, tutup mata beres," jawab Dila dengan penuh percaya diri.Dan itu membuat Nia dan Dion merasa bangga sekali."Wah, anak, Papi memang sangat hemat sekali," Dion pun ikut memberikan sebuah pujian, karena bangga akan anaknya yang memang sangat hebat itu."Ada berapa banyak soal?" tanya Nia dengan antusias.Dila pun terdiam sejenak sambil memegang kepalanya seakan sedang memikirkan sesuatu, mungkin memikir
Nia sedang disibukkan dengan baby Dirga yang sedang rewel, bayi itu tengah demam tinggi.Tentunya harus dijaga pula dengan baik, sehingga Nia pun meminta bantuan pada Asih untuk membantunya menemani Dila belajar.Apa lagi setelah hari ini anak itu cukup konyol, menjawab soal dengan menutup mata saja. Bahkan lebih anehnya lagi, Dila tampak sangat santai seakan tidak memiliki beban apapun.Malahan Nia yang terbeban karena pusing memikirkan ulah bocah satu itu.Satu-satunya anak perempuan di keluarga, mungkin membuatnya selama ini terlalu dimanjakan.Lantas apakah itu salah?Tentu tidak.Apa lagi selama ini Dila menderita kanker cukup ganas.Hanya saja, tidak baik jika terus demikian yang nantinya malah membuat anak itu yang sulit untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri.Itu sangat tidak baik.Lantas bagaimana dengan Asih yang saat ini di minta untuk menemani Dila belajar?Pusing!"Dila, kalau 3 ekor anak kambing di tambah 3 ekor anak kambing lagi, jadinya berapa?" tanya Asih."Kok,
"Aku sudah bilang tadi, kalau tiga ekor kucing di tambah tiga ekor kucing. Tapi, anak itu mengatakan aku tidak mengatakan ada ekornya, ya, ampun. Aku pusing dan tidak ingin semakin pusing karena ulah bocah itu. Kodok? Apa lagi dia masalahkan tentang kodok? Memangnya apa harus aku adakan penelitian tentang kodok?" Asih terus saja menggerutu sambil melangkahkan kakinya menuju pintu utama.Dia benar-benar lebih memilih untuk pergi menuju toko dari pada harus mengajari bocah yang terlalu pintar itu.Kesabarannya benar-benar di uji, beruntung sekali Asih tidak menjadi seorang guru.Jika sama iya dan mendapatkan murid seperti Dila, maka tamat sudah riwayatnya.Sedangkan Dila kini belajar bersama dengan Nia, bocah itu tampak begitu serius.Karena, Nia mengatakan akan memberikan hadiah jika mendapatkan juara di kelasnya.Itu artinya apa?Dila harus belajar lebih semangat.Semangat yang membara dan tidak boleh menyerah."Mami, kira-kira nanti hadiahnya apa?" tanya Dila dengan antusias."Apa s
Hari ini Dila begitu bahagia karena sudah mendapatkan raport, dia berlari sambil berteriak dengan suara nyaringnya.Membuat seisi rumah menjadi gempar seketika mendengarnya.Akan tetapi itu bukan lagi masalah bagi mereka, sebab bocah itu memang demikian jika sudah pulang sekolah.Sedangkan Dion yang berjalan di belakang putrinya itu tampak tidak bersemangat, entah apa sebabnya."Mami, ini raport, Dila," Dila pun memberikan pada Nia.Nia yang tengah duduk di teras rumah sambil menemani kedua anaknya berjemur pun langsung menerimanya dengan antusias."Seharusnya, yang mengambil ini itu, Mami. Pasti, Mami tau bangganya, tadi," kemudian Dila pun melirik Dion, "ya, 'kan, Pi?" tanya Dila dengan giginya yang ompong."Dasar ompong!" kata Dion.Dila pun langsung menunjukan wajah masamnya, karena ini sudah untuk yang keseribu kalinya Dion mengatakan dirinya ompong.Ya kurang lebih begitu, bahkan bocah itu sampai menghitung jumlahnya."Sudah, sudah, tadi, Adek Dirga, sedikit rewel. Jadi, kalau p
Nia benar-benar mencarikan guru les untuk putrinya, dia tidak main-main dengan apa yang dikatakan.Karena, Dila sudah terlalu besar jika untuk bersikap demikian.Sebenarnya wajar jika Dila sedikit ketinggalan dari teman-temannya dalam hal pelajaran, karena selama ini bertahun lamanya Dila hanya fokus pada pengobatannya.Namun, untuk sekarang dan kedepanya Nia tidak boleh lagi diam.Sebab, Dila sudah sembuh total dari penyakit kangker yang di deritanya.Agar Dila bisa mengejar ketertinggalannya yang begitu jauh, bayangkan saja, saat ini Dila sudah duduk di bangku sekolah dasar dan berada di kelas empat.Tapi, lihatlah kelakukannya. Lebih seperti bocah TK."Mi, Dila nggak suka belajar terus," kata Dila.Berharap saat makan malam ini Nia bisa berubah pikiran untuk tidak mencairkan dirinya guru les.Nia pun melihat wajah Dila, tapi dia tetap melanjutkan makan malamnya."Mana bisa, guru lesnya sudah di cari," jawab Asih."Apaan sih, Mbak Asih, ikut aja ngomong!" kesal Dila.Entah kenapa ke
Selesai makan malam, Nia pun duduk di ruang keluarga.Nia benar-benar penasaran dengan apa yang sebelumnya di katakan oleh Dila, mengenai Asih dan juga Barra."Ngomong-ngomong, apa yang dikatakan oleh, Dila beneran nggak, sih? Aku kok penasaran, ya," kata Nia berharap bisa mendapatkan sedikit penjelasan dari Asih.Entah mengapa mendadak jiwa julitnya pun muncul dengan sendirinya, biasanya Dila yang demikian. Tetapi, kini berpindah pada Nia."Enak aja, kamu juga, Dila di dengar. Udah tahu itu bocah sableng!" jawab Asih dengan kesal."Tapi, Dila itu polos. Dia, tidak pernah bohong. Dia akan bicara sesuatu yang memang dia saksikan sendiri," ujar Nia dengan yakin, karena dia sangat tahu watak Dila."Jadi, maksud kamu aku yang bohong?" "Nggak gitu juga, makanya. Jawab, aja!""Aku nggak sengaja nabrak dia, itu juga gara-gara, Dila," kata Asih berikut dengan wajah masamnya.Sedangkan Nia menatap Asih dengan begitu serius, tampaknya ada sesuatu yang tengah di pikirkan oleh otaknya."Kamu ken
"Asih, kamu tidak ke toko?" tanya Bunga yang melihat Asih berada di dapur membantu Bik Minah."Enggak, Bu. Hari ini, karyawan di liburkan. Kata, Nia, biar sekali-kali mereka liburan, agar tidak bosan terus bekerja," jawab Asih.Asih pun melihat Bunga yang memegang keranjang tempat berbelanja sayuran."Begitu," kata Bunga, dia memang mengakui jika Nia adalah wanita yang begitu baik.Tidak serakah pada uang, lihat saja sampai berpikir memberikan satu hari waktu bagi karyawannya untuk beristirahat."Iya, Ibu mau ke mana?" "Mau ke pasar, kalau begitu kamu temani saya saja ke pasar, bagaimana?" tanya Bunga."Boleh, Bu."Asih pun segera mengambil alih keranjang belanja yang di pegang oleh Bunga, kemudian keduanya pun berjalan dengan beriringan."Barra, apa mobilnya sudah siap?" tanya Bunga."Sudah, Bu."Asih tampak begitu kesal saat tahu ternyata Barra yang akan menjadi supir mereka ke pasar."Bu, apa harus dengan dia ke pasar?" tanya Asih, sebab ada banyak supir. Jadi kenapa harus Barra,
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan