Nia duduk di samping Dion, jika saja bukan karena pintu pada bagian belakang tidak bisa di buka dia tidak akan mau duduk di depan.Ya, Dion yang melakukan itu semua. Membuat pintu pada bagian belakang tidak bisa di buka agar Nia duduk sampingnya.Ada-ada saja ulah Dion yang kini mendadak menjadi aneh.Tapi anehnya Dion malah tidak dapat fokus pada jalanan, sebab hanya fokus pada Nia yang malah semakin bertambah cantik di matanya.Bahkan membuatnya hampir saja menerobos lampu merah karena terlalu asik melihat wajah cantik Nia."Mas!" Seru Nia menunjuk arah depan, karena ada banyak kendaraan dari arah yang berlawanan.Dion mengerem mendadak, dirinya juga shock bukan main.Hingga suara klakson dari kendaraan lainnya terdengar, tentunya itu adalah luapan kekesalan pada Dion yang hampir membuat orang lain ikut kecelakaan."Maaf," Dion pun merasa tidak enak karena hampir saja membuat celaka."Tidak butuh, cepat! Itu sudah lampu hijau. Kenapa sih Mas? Kok aneh banget?" Tanya Nia yang kini ma
Setelah satu jam berlalu Nia pun terbangun dari tidurnya, sementara Dila masih tampak begitu lelap dalam tidurnya."Bu, Nia pamit ya. Soalnya, kasihan Zaki di tinggal terus sama Ibu," pamit Nia."Begitu?" Bunga tampaknya bersedih saat Nia berpamitan pulang, tetapi bagaimana lagi. Apa lagi alasan Nia adalah anaknya, "ya sudah, hati-hati. Jaga juga cucu Ibu yang ini," Bunga pun mengusap perut Nia yang sudah mulai membuncit itu.Semetara Dion hanya melihat saja, tapi sebenarnya juga ingin mengelusnya.Hanya saja tidak berani, lagi pula sudah pasti di tolak nantinya."Iya Bu.""Kamu pulang dengan Dion kan?""Iya Ma," jawab Dion dengan cepat, bahkan langsung bangkit dari duduknya."Baguslah kalau begitu, karena Mama nggak mau lihat seorang suami yang tidak tahu diri. Apa lagi lepas tanggung jawab terhadap istri dan calon anaknya!" Kata Bunga menyindir Dion.Membuat Dion pun menunjukan wajah masamnya karena kesal pada Bunga."Mama, ngomongin Dion?" Tanya Dion."Ngomong tentang seorang pria,
"Nia, tolong dengarkan Mas dulu. Jangan biasakan pergi begitu saja, Nia!" Nia pun memilih untuk masuk ke dalam rumah, tanpa perduli pada Dion yang terus saja memanggil namanya.Hingga akhirnya Dion pun memutuskan untuk menyusul masuk, Nia yang tidak menyangka ternyata sedang membuka pakaian.Bermaksud ingin mengganti dengan piama agar lebih nyaman.Namun, ternyata Dion sudah berdiri di ambang pintu kamar. Dengan refleks Nia pun berteriak.Aaaaa!Bertepatan dengan tetangga yang mengantarkan makanan yang sudah berdiri di ambang pintu masuk.Mendengar dengan jelas suara teriakan Nia, membuatnya panik dan langsung masuk ke dalam rumah tanpa ijin.Sebab, takut ada yang sedang butuh pertolongan di dalam sana."Kamu mau melecehkan aku!" seru Nia.Nia pun cepat-cepat memakai kembali pakaiannya, kemudian mengambil sapu yang kebetulan sedang berada di dekatnya.Kemudian memukuli Dion karena terlalu terkejut.Seketika Ainun, tetangga yang menyaksikan itu semua pun ikut panik dan berpikir jika D
"Nia! Obati Dion dulu, kamu mau ngapain?" seru Farah.Hingga suaranya terdengar sampai ke dalam sana.Tetapi Nia memilih tidak perduli hingga Farah pun menyusul masuk ke dalam kamar Nia."Nia, kamu dengar tidak Ibu bicara. Itu karena kamu, jangan sampai kamu jadi penjahat karena kebencian mu itu!"Nia pun akhirnya ke luar dan melihat Dion di sana dengan rasa malas."Cepat bangun!" kata Nia depan wajah ketusnya.Dion pun merasa begitu bahagia, kemudian mengulurkan tangannya pada Nia berharap bantuan.Dengan kesal Nia pun membantunya, karena tak ingin dimarahi oleh Farah yang kini sudah keluar dari kamar dan melihat mereka."Cepat obati, jangan jadi manusia jahat!" setelah mengatakan itu Farah pun segera pergi."Mas, perasaan kakinya nggak separah itu deh. Lagian ibu-ibu tadi cuman mukulin punggung kayaknya, kok mendadak menjadi aneh seakan parah banget?""Nia, ini parah banget. Semuanya sakit sekali.""Lebay.""Aduh sakit," ringis Dion kesakitan."NIA!" seru Farah yang mendengar suara
"Nia, kita belanja bahan kue yuk. Soalnya besok pagi-pagi sekali kita, 'kan udah bikin kue lagi. Kamu lupa pesanan Ibu itu?"Wajah Nia pun seketika itu tidak bersemangat, karena mengingat bahwa wanita tersebut adalah suruhan Dion."Nggak usah lah Asih, soalnya itu perempuan adalah orang suruhan Mas Dion," jelas Nia dengan malas."Ya juga ya, kamu kan udah bilang ke aku tadi. Tapi, kita kan tetap nitip di warung-warung kecil itu. Katanya sih kue kita laku di sana.""Apa iya?" Nia pun langsung melihat Asih dengan rasa penasaran."Iya, barusan aku sama Ibu ke sana. Sambil ngambil uang penjualan kue yang kemarin itu.""Waw, kalau gitu kita buat cuman buat nitip aja. Soal wanita yang memesan kue itu kita lupakan saja," kata Nia dengan yakin."Ya udah, aku setuju."Keduanya pun kembali bersemangat untuk membuat usaha mereka yang kecil itu, berharap bisa menjadi salah satu pengusaha kue suatu hari nanti.***Seperti apa yang sudah di bicarakan kemarin hari, untuk hari ini Nia dan Asih pun di
"Hey, apa mereka masuk ke dalam kamar?" tanya Asih yang melihat Nia dan Dion masuk ke dalam kamar.Sebab antara dapur dan Kamar Nia cukup berdekatan."Em, katanya tidak menganggap suami. Tapi, main masuk kamar," umpat Asih.Kemudian Asih pun kembali melanjutkan pekerjaannya.Sedang Nia melepaskan tangan Dion, kemudian menutup pintu agar tidak ada yang mendengar apa yang dia katakan.Terutama Farah, karena Dion semakin merasa korban jika sudah ada Farah di antara mereka.Karena seperti tujuan awal, berbicara berdua tanpa ada orang lain agar Nia bisa berbicara tegas pada Dion."Mas, mau kamu apa sih? Kamu mau Ibu benci sama aku? Kaki kamu juga baik-baik saja, nggak usah aneh-aneh!" kesal Nia.Sedangkan Dion hanya diam dan membalasnya dengan senyuman manisnya."Mas, aku ngomong! Kamu dengar tidak!" seru Nia semakin kesal saja karena Dion yang tampak biasa saja.Padahal dirinya sedang mengajak berbicara, menyelesaikan masalah mereka."Mas!""Em?" jawab Dion.Dion pun melangkahkan kakinya
Asih semakin gemetar berada di depan pintu kamar Nia.Bahkan sampai mengeluarkan kencing, sedangkan pikirannya sudah jauh entah di mana."Kenapa kaki ku berat sekali untuk melangkah saja sulit," gumam Asih dengan tubuh yang semakin gemetaran.Otaknya mengatakan ingin segera pergi dari sana, tapi tidak dengan tubuhnya yang tak bisa bergerak sama sekali.Telinganya masih mendengarkan suara dari dalam sana.Suara Nia yang lagi-lagi menjadikan dirinya menjadi begini.Suara itu terdengar begitu aneh dan dia yakin apa yang dia pikirkan adalah kejadian yang sebenarnya tanpa terkecuali."Mas, bukain! Aku mau keluar!""Ambil sendiri, kalau bisa!" Dion semakin menjauhkan dirinya, Nia pun menatapnya dengan begitu tajam."Benar-benar tua bangka!" maki Nia."Apa?" Dion terkejut mendengar kalimat yang diucapkan oleh Nia.Tapi, tidak ada kemarahan. Malahan lucu saja di telinganya."Tua bangka!" Nia pun mengulang kalimatnya tanpa rasa takut.Agar telinga Dion yang sudah tidak berfungsi dengan baik i
Nia dan Asih pun selesai membuat kue, hingga akhirnya Nia pun merasa cukup kelelahan.Dengan segera meneguk mineral dan duduk di kursi meja makan untuk sejenak beristirahat."Kamu capek banget kayaknya?" tanya Asih yang juga duduk di samping Nia."Sedikit, tapi harus tetap semangat kan?""Iya sih, tapi jangan dipaksa juga. Kasihan kandungan kamu."Nia pun mengangguk mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Asih."Anak Ibu kuat ya, Nak. Sehat-sehat juga ya," Nia pun mengusap perutnya seolah sedang berbicara pada janinnya.Asih ikut tersenyum melihatnya, meskipun dengan banyaknya pekerjaan tapi tetap saja Nia tak pernah mengeluh di saat sedang banyaknya pekerjaan yang harus di lakukan."Nia!" seru seseorang dari luar sana.Membuat Nia dan Asih pun saling pandang, dengan segera Asih bangkit dari duduknya untuk melihat siapa yang ada di luar sana."Ada apa Bu?" tanya Asih sambil melihat wanita gemuk yang ada di hadapannya."Asih, Nia ada?" wanita itu tampak panik, dan ingin segera bertemu
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan