Part 79 Dengan menaiki mobil pick up milik Riko, Aisya dibawa ke rumah pemuda itu. Riko yang paham kalau Aisya masih trauma mengajak keponakan perempuannya untuk ikut serta. Ternyata rumah Riko cukup jauh dari pusat kota. Berada di sebuah pegunungan yang berhawa sejuk. Kebanyakan kaum perempuannya bekerja menjadi TKW sehingga banyak sekali rumah yang hanya ditinggali kaum lelaki beserta anak-anak. Ada juga rumah yang diisi oleh wanita yang sudah tua yang menjaga cucu-cucu mereka yang ditinggal merantau. Hidup di rumah Riko bersama ibunya, Aisya cukup tahu diri. Setiap hari bekerja dan dia hanya diam. Makan pun jarang karena sadar ia hanya menumpang saja. Seminggu sekali Aisya ziarah ke makam Mbok Sri. Di dekat nisan wanita tua itu Aisya selalu menangis. “Mbok, kenapa aku hidup?” Selalu pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya. Ibu Riko tidak merasa keberatan dengan keberadaan Aisya di rumahnya. Ia yang kesepian karena anak pertamanya pergi menjadi TKW, sementara cucunya memilih men
Part 79Aisya duduk termenung di atas tempat tidur, memandang ke luar jendela yang merupakan sebuah kebun cengkeh dengan pepohonan yang rindang. Sudah dua hari ia tidak mau keluar kamar. Rambutnya terurai berantakan dengan baju yang sama. Namun, sebelum mengurung diri di kamar pribadi yang ia pilih sendiri itu, Asiya sudah meminta izin pada ibunda Riko. “Ibu, saya minta izin untuk tidak bekerja membantu Ibu. Ibu tidak usah risau dengan keadaanku. Aku hanya ingin menyendiri. Terima kasih sudah menerimaku di rumah ini. Aku tidak mau merepotkan Ibu, jadi, Ibu jangan pernah mengkhawatirkan keadaanku,” katanya sebelum masuk kamar dan menguncinya. Ia hanya keluar sesekali untuk buang air saat rumah dalam keadaan sepi.Rumah Riko berukuran cukup besar dengan empat kamar tidur. Awal Aisya ke rumah itu, ia telah diberikan kamar di depan, bekas kamar kakak Riko yang kini sudah menikah dan menjadi TKW. Namun, Asiya yang cukup tahu diri menolak tegas. Ia memilih kamar yang letaknya paling ujung d
Part 80Aisya mengusap air mata yang sejak sebelum Mirna datang sudah menggenang di pelupuk mata. “Aku pasti akan pergi, Mbak. Maafkan kalau sudah menjadi benalu di rumah ini. Aku akan pergi jika umurku sudah tujuh belas tahun. Aku akan pergi jadi TKW seperti Mbak Mirna. Aku akan mengembalikan semua uang yang sudah Mas Riko keluarkan untuk aku,” jawabnya dengan suara bergetar.“Baguslah kalau kamu punya pemikiran seperti itu. kalau memang kamu ada niat seperti itu, aku izinkan kamu tinggal di rumah ini sampai usia kamu genap tujuh belas tahun. Aku sudah mendengar banyak tentang kamu dan aku tidak ingin tetangga berpikiran macam-macam. Apalagi kalau sampai kamu suka sama Riko. Dia adikku satu-satunya dan aku berharap dia menikah dengan wanita normal. Gadis yang masih perawan dan berasal dari keluarga serta masa lalu yang jelas,” kata Mirna.“Jangan khawatir, Mbak. Aku cukup tahu diri,” jawab Aisya.“Baguslah! Jarang ada orang seperti ibuku yang memberi makan gratis sama orang yang tidak
Part 81"Kamu makan lahap sekali, Aisy," kata Riko."Enak. Aku tidak pernah makan makanan seenak ini," jawab Aisya sambil menghabiskan kuah di sendok terakhir."Kenapa tidak pernah minta sama aku?" tanya Riko dengan tatapan kecewa."Siapa aku, Mas? Aku ini hanyalah wanita kotor yang menumpang di rumah Mas Riko. Tapi hari ini, aku mau meminta bayaran karena sudah membuat ladang Mas Riko yang gersang menjadi hijau. Tentang hutangku, aku tetap akan memikirkan."Riko meminta lagi satu mangkok bakso tanpa mie dan memberikan pada Aisya. "Makanlah! Kamu sangat kurus. Aku dikira memanfaatkan tenaga gratis kamu. Anggap ini bayaran untuk kamu."Aisya tersenyum dan kembali melahap bakso di hadapan tanpa rasa malu. Dari kemarin ia memang tidak makan karena saat akan membakar singkong, Mirna datang dan mengatakan segala hal tentang budi baik keluarganya. Membuat Aisya urung menyalakan api."Kamu sudah terlalu lama di rumahku. Kapan pergi? Apa usia kamu belum genap tujuh belas tahun?" tanya Mirna s
Part 82Takdir mempertemukannya dengan orang yang sangat baik. Tiga bulan kemudian atau tepatnya enam bulan setelah pergi, ia bisa mengirimkan uang sejumlah dia kali lipat dari yang Riko keluarkan saat menolongnya dulu. Namun, Aisya alias Dania juga tidak mau diperbodoh oleh Mirna. Ia mengirimkan sepucuk surat untuk Riko agar tidak dianggap tak tahu diri.Mas, apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja ya? Aku sudah menemukan majikan yang sangat baik sekarang. Ibu apa kabar? Semoga baik juga ya? Aku sudah kirim uang dua kali lipat, Mas. Aku kirim ke nomer rekening Mbak Mirna karena dia meminta itu saat aku akan pergi dari rumahmu. Nanti diminta ya, Mas? Ini aku kirimkan bukti transfer. Kalau tidak bisa mengartikan, boleh tanya sama siapapun yang bisa bahasa ini. Aku yakin di desamu banyak yang tahu. Atau barangkali Mbak Mirna tahu bahasa ini. Ingat ya, Mas. Diminta. Dan sampaikan sama Mbak Mirna, tolong anggap lunas budi baik yang pernah Mas dan Ibu berikan sama aku. Aku tidak mau terus hi
vPart 82Han seperti orang gila yang hilang akal saat kehilangan Aira di pondok pesantren. Ia rela meninggalkan pekerjaannya demi mencari Aira. Rela menempuh jarak yang jauh agar bisa bertemu dengan gadis kecil pujaan hatinya itu. Ia berkunjung ke rumah Aira dengan membawa banyak sekali makanan. Merasa sangat senang karena di rumah Aira nanti tidak ada Aini yang usil.Senyum merekah saat melihat rumah yang dituju telah berada di depan mata. Dengan langkah mantap bak seorang pangeran yang akan melamar seorang putri raja, Han berjalan menuju pintu yang saat itu terbuka. Mengucap salam berkali-kali sampai Nusri keluar dan tersenyum ramah padanya.“Waalaikumsalam, cari siapa ya, Pak?” tanya Nusri sopan.Han terlihat kesal karena dipanggil Pak oleh Nusri. Namun, demi agar bisa bertemu dengan Aira, ia mencoba menyembunyikan rasa kesal itu. “Maaf, Bu, saya orang tua temannya Aira di pondok. Saya ingin mengunjungi Aira,” jawab Han dibuat sopan.“Walah, silakan masuk, Pak, mari, mari, silakan
Part 83Keesokan harinya, Han belum mau pulang. Ia malah mengajak Nusri ke pasar untuk memilih perabot rumah yang diinginkan. Nusri yang ditanya mau ke toko mana, langsung menunjukkan toko mebel terbesar yang ada di pasar. Han membiarkan sosok yang dianggapnya nenek itu memilih dan membeli barang yang diinginkan. Nusri kalap, memilih banyak sekali perabotan mulai dari kursi, lemari tiga buah kasur dan juga lemari dapur. Han memang sudah memerintahnya untuk membeli kasur yang bagus untuk setiap kamar di rumah itu sehingga ia membeli sejumlah kamar yang ada di rumahnya. Saat sudah puas, ia menemui Han yang berdiri di depan toko. Ia mengamati ponsel yang banyak sekali pesan.Ines: Kamu dimana? Aku takut sekali.Ines: Cepat pulang! Aku sangat takut. Aku bertemu dengan orang aneh sekali. Aku membencinya. Dia mirip sekali dengan babu sialan itu.Sely: Om, aku kangen. Aku pengin tidur bareng. Aku sudah beli lingerie yang sangat cantik. Kamu pasti senang.Sely: Om, aku takut sendirian. Datan
Part 84Kamar Ines sudah dalam keadaan berantakan karena seharian ini ia terus mengamuk dan melempar semua barang. Bahkan ada beberapa yang berbahan kaca yang pecah berkeping-keping. Kevin bingung karena Ines mengunci pintu dari kamar.Cika yang mendengar kakaknya berteriak, keluar dari kamar dan iku berdiri termenung di depan pintu. Ia dan Kevin tidak pernah bertegur sapa sehingga mereka canggung menghadapi situasi itu. “Telepon Ayah,” celetuknya memberi saran.Kevin bergeming menatap adik satu ayahnya itu dengan perasaan bimbang. Rasa gengsi mendominasi untuk tidak melakukan apa yang Cika sarankan.“Itu kalau kamu pengin Mama berhenti. Gak ada yang bisa menenangkan Mama selain Ayah,” kata Cika lagi.Kevin mengacak rambutnya bingung. “Coba kamu yang telepon!” Untuk pertama kalinya ia berbicara normal pada Cika.Cika tertawa lirih. “Aku telpon? Aku siapa? Aku bukan siapa-siapa di rumah ini. Apa kamu yakin kalau aku yang telpon, Ayah akan mengangkatnya? Coba kamu saja yang telpon. Aku
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”