Part 67Dodi membawa banyak sekali makanan dan sembako ke rumah orang tua Aisya. Pria bernama Ali dan istrinya bernama Hastuti itu tentu kaget dengan kedatangan orang suruhan majikan Asiya. Mereka tidak merngira kalau barang-barang itu adalah penebus untuk keperawanan anak gadis mereka. "Aisya kerjanya bagus sekali, Pak. Makanya bos mengirimkan ini. Karena anak bos jadi bisa apa saja dengan didikan Aisya," kata Dodi saat Ali kebingungan. "Tapi kenapa Aisya tidak ikut pulang?" tanya Ali. "Soalnya anak bos rewel sekali, Pak. Tidak mau pisah sama Aisya. Jadi, terpaksa lah, Aisya harus tinggal di sana dulu tanpa diberikan libur," jelas Dodi berbohong. "Apa kami boleh mengunjungi kesana?" tanya Hastuti. "Atau anaknya yang dibawa kesini? Ini adiknya Aisya sering menangis mencari kakaknya kalau mau tidur.""Kalau anaknya dibawa kesini, kayaknya gak boleh sama istrinya bos. Kalau bapak dan ibu yang kesana, coba deh ya, saya tanya dulu sama bo" Dodi berusaha bersikap santai. Dodi pamit pul
Part 68Ines menggenggam setang motor dengan perasaan marah. Ingin rasanya menarik tuas gas dan menabrak Aisya. Namun, ia sadar, ada Han di sana. "Kamu sudah bermain di belakang aku ternyata, Aisya! Gadis murahan berkedok hobi mengaji dan sok alim. Ternyata, kamu tak ubahnya sebagai pelacur jalanan. Dan sekarang kamu sedang mengandung anak suamiku? Ternyata diam-duam kamu sudah mengincar Han. Dasar wanita jalang murahan. Baiklah, aku akan membuat kamu menyesal sudah melakukan itu padaku," kata Ines dengan mata merah menyala menahan amarah. Ia melihat mobil Han bergerak pergi. Ines tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mengejar dan terus membuntuti kemana perginya mobil Han.Ines mengira Han akan membawa ke rumah sakit terdekat. Ternyata salah. Pria itu mengendarai mobilnya menuju luar kota."Dasar pria licik. Pintar kamu ya mau mengelabui aku," kata Ines sambil menarik gas dengan kecepatan tinggi. Han menuju kota sebelah dan masuk di rumah sakit yang cukup elit, mambuat Ines se
Part 69"Hai, Sri! Kamu ini wanita tua bangka yang tidak tahu diri ya ternyata? Kamu tidak ingat, waktu itu kamu mengemis ke rumah kami dan meminta pekerjaan karena anak-anakmu tidak ada satupun yang peduli?" tanya Ines dengan tatapan bengis. "Dan sekarang, kamu menikam aku dari belakang. Kamu jadi pelindung wanita jalang dan pelacur ini," tunjuknya pada Aisya. Sakit hari Aisya mendengar dirinya dikatakan sebagai pelacur."Dan kamu wanita sok alim! Kamu mengaji, kamu sholat, ternyata hanya untuk meraih simpati suamiku agar tertarik sama kamu ya? Wah, luar biasa ternyata. Kalian sungguh orang-orang yang tidak tahu diuntung. Ah, benar memang, semua orang miskin itu penjilat! Datang dengan wajah seperti pengemis dan tinggal di rumahku untuk menjadi parasit, benalu dan pelacur. Dibayar berapa kamu, pelacur Aisya? Nama yang mulia tetapi kelakuan kotor sekali." Ines benar-benar berada di ujung kemarahan yang luar biasa. "Bu Ines, apa yang menimpa Aisya tidak seperti yang Anda pikirkan. Du
Part 70"Aisya, Bapak membesarkan kamu dengan keringat yang halal. Tidak sedikitpun Bapak memberi kamu makan dengan makanan yang haram, tetapi kenapa kamu kelakuannya seperti ini, Aisya?" tanya Ali kecewa."Bapak, aku diperkosa, Bapak. Bapak, aku tidak pernah berbuat yang dilarang Bapak. Aku diperkosa.""Kalau kamu diperkosa, kenapa kamu tidak pulang? Kenapa malah majikan kamu mengirimi kami makanan, mengirimi barang dan merenovasi rumah?" kaya Ali. Ia ingin membentak Aisya, tetapi masih sadar jika itu rumah sakit."Mbok, tolong jelaskan sama mereka, Mbok," kata Aisya memohon."Pak, sabar dulu, Pak. Duduklah! Saya yang akan menjelaskan," kata Sri."Saya tidak perlu penjelasan. Semuanya sudah jelas. Anakku, kebanggaanku telah menjual dirinya. Dan aku merasa jijik sekali dengan apa yang telah majikannya berikan pada kami." Ali menangis.Hastuti dan Syakib hendak menghampiri Aisya, tetapi dilarang oleh Ali."Aisya, mulai sekarang, aku tidak mengizinkan kamu menggunakan nama Aisya. Aku ti
Part 71 Aira sejak pagi sudah sumringah mengemasi barang-barang yang akan dibawa pulang. “Mbak Ai, nanti kalau aku kesini lagi, Mbak Ai minta oleh-oleh apa?” katanya. Aini yang sebenarnya sedih mencoba tersenyum. “Minta oleh-oleh apa ya? Apa saja yang penting Aira cepat pulang kesini,” kata Aini. “Aku kan hari bebas selama sepuluh hari dari sekarang ya, Mbak? Terus liburnya dua minggu. Aku rencananya mau bolos sekolah selama satu minggu lagi. Jadi, aku balik kesininya selama sebulan,” celoteh Aira senang. “Lhoh, kok bolos?” tanya Aini. “Soalnya aku ingin sama Ayah lama. Nanti kalau sudah balik kesini lagi, belum tentu Ayah akan kesini dengan cepat,” kata Aira sedih. “Dulu saja Ayah tidak jenguk-jenguk. Sekarang Ayah masih di rumah, Mbak Ai. Tapi nanti kalau aku udah balik kesini lagi, Ayah bakalan kerja lagi ke tempat yang jauh. Jadi, aku harus terus sama Ayah selama sebulan ini. Nanti Mbak Ai janji, ya? Ambilkan rapor aku ke sekolah.” Aini mengacungkan dua jempolnya. “Ayahnya ma
Part 72Liburan yang paling menyenangkan dialami AIra saat itu, karena ini untuk pertama kalinya ia pulang setelah berbulan-bulan lamanya pergi.“Ayah, kita mau kemana saja ya, liburan ini?” tanya Aira. “Kok gak ke rumah Mbak Sarah kenapa?”“Mbak Sarah kerja di Jakarta, Ra. Adanya Bu De saja. Kamu mau kesana?” tanya Iyan.“Enggak ah, bosan,” jawab Aira.“Kalau Ayah ajak kamu kerja mau tidak? Kita ke tempat kerja Ayah, kamu bisa bantuin Ayah di sana,” kata Iyan.“Jauh ya?” tanya AIra.“Iya, jauh. Tapi berangkatnya kita naik kereta,” jawab Iyan.Binar bahagia terpancar dari wajah Aira. “Kita naik kereta? Wah, aku mau Ayah,” teriaknya girang.Akhirnya Iyan memilih cara itu agar bisa tetap mencari uang tanpa harus jauh dari Aira. Namun, ia harus mendapatkan izin dulu dari Nusri.“Tapi Aira harus tahu, Ayah punya seorang teman di sana. Teman kecil, namanya Nindi. Umurnya tiga tahun. Dia sudah kehilangan ayah dan dia panggil Ayah papa. Kamu jangan kaget ya?” kata Iyan.“Kenapa panggil papa?
Part 73Dua hari tidak ada kabar dari Cika, membuat Dania gelisah. Selama dua malam tidak dapat tidur akhirnya, keesokan paginya ke rumah Han. Ia mengkhawatirkan keadaan Cika. Berkali-kali memencet bel, tetapi tidak ada yang membuka pintu.Dania memilih duduk menunggu empunya rumah menemui. Memandang halaman depan membuat ia mengingat saat-saat di rumah itu. Simbok yang suka menyiram bunga. Dodi yang mencuci mobil, ia dan Kevin yang bermain kejar-kejaran. Suasana hatinya tidak setakut kemarin. Saat ini, ia sudah bisa membedakan Aiysa di masa lalu dan Dania di masa sekarang.‘Tidak ada yang tahu jika aku adalah Aiysa yang telah dianggap mati,’ katanya dalam hati.Setengah jam menunggu, akhirnya ada juga yang membukakan pintu. Dania menoleh kaget. Terlihat Ines yang sepertinya baru bangun tidur, menatap dengan tatapan tidak suka.‘Kamu masih seperti dulu ternyata, Ines.’ Batin Dania menilai.“Selamat siang, Bu, maaf mengganggu,” kata Dania ramah. “Mau bertemu dengan Cika. Ada barang yan
Part 74Dania kembali menjalankan mobilnya. Satu titik terang ia dapat. Berharap dalam hati, ia akan cepat mengetahui kebenaran semua itu.“Kita mau kemana?” tanya Cika.“Terserah kamu mau kemana,” jawab Dania.“Aku sebenarnya tidak mau kemana-mana. Tetapi di rumah pintunya sudah ditutup. Makanya aku malas untuk keluar.”“Kamu ingin pulang?” tanya Dania. “Baiklah. Aku yang akan mengetuk pintu. Coba nanti ya, Ines akan membukanya atau tidak. Jika tidak, kamu akan kuajak ke rumah kosku. Oh, iya, kamu maunya kita tes DNA kapan?”“Kita?” tanya Cika.“Ah, maaf, maksudnya kamu. Karena aku yang akan bantu kamu, jadi ingatnya kita,” jawab Dania sambil berusaha mengurangi rasa gugup. “Kalau bisa secepatnya, Cika. Kamu harus ambil rambut mama dan ayah kamu. Nanti serahkan sama aku.”“Aku ambil bagian tubuh mereka?”“Iya.”“Gimana caranya? Ines saja tidak mau dekat sama aku.”“Kamu cari waktu pas Ines sedang pergi. Dan masuk ke kamarnya. Biasanya di sisir ‘kan ada rambutnya.”“Kalau tidak nemu?
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”