Beberapa minggu berlalu. Agung tidak pernah absen mengikuti kajian. Perubahan terlihat jelas dari perilaku sehari-harinya. Meskipun belum bisa membaca Al-Quran, tapi dirinya berusaha membaca arti ayat demi ayat kitab suci umat Islam itu.
Setiap selesai kajian, pria itu selalu berbincang dengan ustadz terlebih dahulu.
Ketertarikannya untuk mendalami ilmu agama semakin kuat dalam hati. Semakin dia berpikir kalau hidup yang selama ini ia jalani penuh dengan kemaksiatan.
"Bagaimana cara memulai belajar Al-Quran, Pak Ustadz?" tanya Agung suatu ketika.
"Beli iqra. Nanti saya ajari baca kalau sudah selesai kajian," jawab Ustadz ramah. "Kalau malu, cari aplikasi saja. Di sana banyak kok yang langsung diajari."
Begitulah akhirnya hari-hari pria yang berprofesi sebagai seorang aparat negara itu. Pagi sholat subuh, setelahnya belajar membaca iqra. Lalu berangkat bekerja.
Perubahan dirasakan oleh banyak sahabatnya. Di suatu sore di penghujung minggu, se
Hari Minggu, seperti biasa, Agung sudah bersiap untuk mengikuti kajian. Dengan memakai sarung dan baju koko berwarna putih serta peci hitam, lelaki itu sudah berdiri di pinggir jalan saat sebuah sepeda motor yang ia kenal berhenti tepat di depannya."Mas," sapa Sesil yang kelihatan pucat wajahnya. "Mau kemana? Kenapa pakai baju seperti itu?" tanyanya lagi."Aku mau--" Ucapan Agung menggantung."Apa ini sebabnya kamu menjauh dari aku?" tanya Sesil lagi. Agung hanya menunduk."Mas aku mau bilang kalau ...." Sesil berhenti berbicara."Aku permisi, sudah terlambat." Agung yang sudah membelokkan motor, menarik tuas gas dengan kencang. Meninggalkan Sesil seorang diri yang menangis sesenggukan.Selesai kajian, Agung tidak sengaja berpapasan dengan Anti di halaman masjid ketika sudah sepi. Ini adalah kali pertama mereka berjumpa setelah pria itu mantap berhijrah.Ada raut kaget yang terpancar dari wajah Anti. Melihat sosok di hadapannya telah
"Nadia, ya?" tanya Agung memastikan. Gadis remaja itu mengangguk ketakutan."Saya salah apa ya, Pak?" tanya Nadia cemas. Agung melempar senyum."Tidak ada yang salah. Oh iya, perkenalkan. Saya ini polisi yang menangani kasus kecelakaan kamu," ujar Agung memperkenalkan diri."Apakah kasusnya diperpanjang, Pak?" tanya Nadia masih terlihat takut."Oh, tidak. Bapak hanya ingin berbincang saja dengan kamu. Ada hal yang harus Bapak sampaikan sama Nadia," jawab Agung pelan.Bapak? Hati Agung merasakan banyak keanehan terjadi setelah mengenal Anti. Kapan dirinya mulai merasa tua? Padahal sebelumnya, tidak pernah sama sekali berpikir memposisikan diri menjadi lelaki dewasa di hadapan anak seusia Nadia.Bagi Agung, perempuan semua sama. Kecuali anak kecil. Karena nyatanya, sebelum menjalin hubungan dengan Sesil, dirinya memiliki seorang kekasih yang duduk di bangku SMA. Dan perangainya jauh dengan Nadia. Pacarnya dulu terlihat dewasa. Berdandan ala wa
"Terus, kamu tahu kondisi kamu kritis saat itu?" tanya Agung lagi.Lagi, Nadia mengangguk."Terus apa yang diceritakan lagi?""Mbah bilang, Ayah mencarikan orang buat jadi pendonor darah. Karena termasuk dalam golongan langka, Ayah sampai mencari ke temannya yang berada di kabupaten lain.""Ayah sama ibu tiri Nadia tidak mengatakan sesuatu?"Nadia menggeleng. Terlihat sekali kesehatannya belum terlalu pulih. Hal itu membuat Agung ragu untuk mengatakan yang sebenarnya terjadi. Namun, hal itu harus ia lakukan karena ingin menebus kesalahan terhadap Anti."Nadia, orang yang kamu tabrak menuntut kamu dengan tuntutan yang berat. Kamu hampir terlibat kasus hukum. Laporannya sudah dibuat dan saya yang menangani kasus itu. Yang bolak-balik ke kantor polisi dan sampai memohon pada keluarga orang itu adalah, ibu kamu." Nadia menatap tidak percaya pada Agung."Jangan berbohong! Anda pasti orang yang disuruh Ibu untuk mengarang ceri
Erina tidak menjawab pertanyaan dari anak tirinya. Membuat Nadia yakin bahwa apa yang diceritakan polisi barusan adalah benar."Tidak usah dijawab. Ayo kita pulang," ajak Nadia pada Erina. Perempuan yang mengendarai motor matic berwarna putih itu diam dan hanya bisa menurut.Sepanjang perjalanan, keduanya saling membisu. Hingga tak terasa, motor yang mereka tumpangi telah sampai di halaman rumah.Dengan langkah cepat, Nadia masuk dan segera menuju kamarnya. Menguncinya dari dalam dan tidak membukakan pintu untuk siapapun yang mengetuk.Bayangan sang ibu yang berjalan dengan pincang, berusaha membebaskannya dari tuntutan menari-nari di pelupuk mata."Kenapa harus aku ya, Allah," lirih Nadia di tengah isak tangis.Menjelang Maghrib, Nadia baru beranjak. Itupun karena ingin ke kamar mandi."Nadia," panggil Saroh saat gadis itu terlihat berjalan melewati dirinya yang sedang menghangatkan makanan di atas kompor.Nadia hanya melirik
Esok harinya Nadia berpamitan pada Erina bila siangnya tidak mau dijemput. Ada yang akan dia lakukan secara sembunyi-sembunyi dengan mengajak sahabatnya.Dan benar saja, usai jam sekolah selesai, Nadia meminta diantar ke alamat yang diberikan Agung kemarin. Dengan bermodalkan ingatan nama desa beserta RT dan RW-nya, gadis itu berangkat mencari rumah orang yang ia tabrak saat kecelakaan demi mendapatkan keterangan yang valid.Sesampainya di sana, yang ia temui pertama kali adalah Darko dengan keadaan belum bisa berjalan karena patah tulang yang dialami saat tertabrak Nadia.Gadis itu diam karena bingung hendak berkata apa. Berdiri di teras dengan keadaan bingung. Hingga tidak berapa lama, anak perempuan Darko keluar dan mempersilahkan masuk."Saya yang waktu itu nabrak bapaknya Mbak," ujar Nadia gugup."Oh, anaknya Bu Anti, ya?" tanya Imah ramah. Nadia menjawab dengan anggukan."Maaf, Mbak, mau tanya. Apa benar Mbak dan keluarga dulu pernah m
Kedua ibu dan anak itu masih berpelukan. Anti seakan kehilangan suara untuk berkata-kata. Mereka memilih menikmati suasana haru yang tercipta.“Nadia!” Hingga sebuah suara yang berasal dari ibu Anti membuat mereka merenggangkan pelukan.“Mbah,” sapa Nadia pada wanita yang dulu semasa bayinya selalu menjaga kala Anti berangkat kerja.Nadia berbalik memeluk neneknya. Pertemuan haru terjadi pada keluarga itu setelah melewati puluhan purnama tidak berjumpa.Mereka bertiga beriringan masuk rumah sederhana milik orang tua Anti. Saking bahagianya, mantan istri Tohir itu sampai mengeluarkan semua makanan dan isi kulkas demi menjamu tamu spesialnya.“Kamu ke sini naik apa, Nad?” tanya Anti sambil memperhatikan Nadia akan buah. Mulutnya terlihat penuh oleh kunyahan. Gadis itu merasa lahap makan di rumah ibunya.“Naik motor Zulfa, Bu ....”“Motornya dimana sekarang?”“Aku parkir di
Bukan sebuah perkara yang mudah untuk dapat melupakan hal itu. Karena luka tidak akan sembuh dalam waktu seketika.“Ibu telah membuangnya dulu saat dia lahir. Semua itu Ibu lakukan karena Ibu ingin kembali hidup dan membina keluarga dengan ayah kamu. Ibu sangat membenci anak itu sejak lahir. Jangankan menyentuh, bahkan melihat wajahnyapun tidak. Ibu merasa bersalah sama kamu bila harus menyayanginya. Jadi, Ibu buang dia. Ibu campakkan dan menyerahkan semuanya sama ayahnya, Mas Agam,” terang Anti. Netranya berkaca-kaca. Rasa sakit kembali hadir, membayangkan Bilal bayi yang hadir ke dunia dengan sejuta kesedihan.“Lalu foto ini? Dan kemana dia pergi? Apa yang terjadi saat dia baru lahir, Bu?” Nadia bertanya banyak. Membuat Anti terpaksa membuka luka lama dengan menceritakan detail yang terjadi dua tahun lebih silam.Nadia sesenggukan mendengar kisah pilu yang dialami Bilal. Tanpa sadar, tangannya menarik pigura ke dalam dekapannya. Memeluk
Di rumah Tohir terjadi perdebatan antara dirinya dengan sang ibu. Saroh menyalahkan anaknya yang tidak bisa membawa Nadia pulang. Dengan sumpah serapah yang kasar, wanita itu mengutuk Anti. Mantan menantu yang dibencinya.“Kamu kenapa sih, Tohir? Tidak mau menyeret Nadia pulang?” ketus Saroh kesal.“Nadia bukan anak yang kecil yang bisa digendong, Bu. Dia menginginkan di rumah Anti maka aku tidak bisa memaksa,”“Wanita itu akan memberikan pengaruh buruk buat anakmu, Tohir!”“Bukankah selama ini, Ibu yang sudah memberikan pengaruh buruk buat dia? Bukankah Ibu yang menjadikan Nadia sebagai pembenci?” protes Tohir tidak kalah kesal.“Tohir, hentikan omong kosong kamu! Ibu ingin yang terbaik buat Nadia.”“Nyatanya, Nadia merasa tersiksa, Bu. Dia sudah besar, bisa memutuskan segala hal tidak hareus sesuai dengan keinginan Ibu.”“Erina! Apa kamu sudah mengatakan y
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”