Di tempat pertemuan dengan para reseller, sudah pasti kami berfoto-foto bersama. Hal itu menjadikanku ingin mengunggah ke story whatsapp. Kutulis caption, ‘Kalian luar biasa. Tanpa kalian aku bukan siapa-siapa… emot love.Sebuah notifikasi masuk membalas story yang kupajang. Dari Mas Agam.[Dek, kamu dimana?][Mas susul, ya? Pakai motor kamu.]Hanya kubaca tanpa kubalas. Lanjut acara sharing dengan para reseller. Seperti menemukan dunia baru saat berjumpa muka dengan mereka. Benar kata pepatah, kita harus sakit dulu agak merasakan nikmatnya sembuh. Dalam hati bertekad, aku harus lepas dari Agam dan keluarganya. Namun, akan kugunakan cara cantik untuk membalas sakit hatiku.Sebuah notifikasi kembali berbunyi. Kali ini dari Pak Irsya.
Sepanjang makan, Mas Agam tidak bicara apa-apa lagi. Syukurlah, punya rasa malu juga ternyata. Aku tidak ikut makan, hanya menyuapi Danis saja.“Bu, akhir bulan ini, jadi ke Bali kan?” Tanya Dinta. Aku tersenyum dan mengangguk. Mas Agam mengernyit.“Kamu mau ke Bali, mau ngapain, Dek?” Ini orang, kasih pertanyaan kok ya yang bodoh sekali.“Mau cari dukun santet, Mas.” Jawabku asal. Pertanyaan yang tidak bermutu, ya dijawabnya harus dengan jawaban yang konyol juga. Mas Agam langsung diam tak bertanya lagi. Takut aku nyantet dia kali.“Kakak pengin piknik ke Bali Ya?” Dinta diam tak menjawab pertanyaan ayahnya.“Bareng sama Aira sekalian ya?” Aku melotot. Kemudian membanting sendok. Muka Mas Agam menciut. Seharusnya, sebuah kemarahan dan pertengkaran suami istri jangan dilakukan di
Pagi hari, aku menjalani aktivitas seperti biasa. Ada yang berbeda dari Mas Agam. Setelah bangun tidur, ia membersihkan seluruh rumah serta halaman. Aku abai saja. Kebaikan yang ia lakukan sekarang, tidak sebanding dengan penderitaan yang ia torehkan padaku.Untuk masak sehari-hari, bila tidak ada jadwal Mbak Wati bersih-bersih di rumah, maka kulakukan sendiri. Sarapan pagi berupa nasi, urab, gorengan dan sambal telah tersedia di meja makan. Begitupun dengan dengan teh manis. Anak-anak yang sedang menonton televisi segera kupanggil untuk mandi. Selesai mandi, kudandani mereka berdua yang hendak pergi ke sekolah. Begitulah kebiasaan kami. Sarapan dilakukan bila kami semua sudah mandi dan berdandan rapi.Selama ayah mereka di rumah, Dinta dan Danis sama sekali tidak tertarik untuk ngobrol. Mas Agam masuk dari pintu samping yang terletak di ruang dapur. Ia sepertinya sudah mencuci tangan, dan langsung bergabung bersama kami.
Hatiku sudah lelah dengan keadaan rumah tangga kami. Hari ini, aku sengaja tidak berangkat sekolah. Rencananya, akan menemui salah satu teman yang bekerja di Pengadilan Agama. Kepadanya, diriku akan meminta saran, langkah apa yang harus kuambil bila ingin mengajukan gugatan cerai terhadapnya. Mengingat, suamiku bukanlah warga biasa. Biarlah, aku yang membiayai semua proses perceraian kami, daripada hubungan ini semakin tidak jelas.Saat ini, aku masih di rumah Ibu. Merekap keperluan belanja produk kecantikan untuk seminggu ke depan. Produk kecantikan yang kujual, laris manis di pasaran, sehingga, aku harus rajin-rajin mengecek stok persediaan, agar pelangganku tidak sampai kekurangan barang. Di zaman yang serba canggih seperti sekarang ini, semuanya jadi lebih mudah. Untuk urusan belanja, aku tinggal transfer sejumlah barang yang akan kubeli, dan menunggu hingga pesananku datang.Setelah semuanya beres, aku pulang ke rumah,
Ditatap tajam oleh wanita terhormat, versi suamiku, aku balik melotot sambil berkacak pinggang.“Apa? Hah? Tidak terima?” Tantangku yang kini sudah berpindah posisi menghadap mereka berdua. Pengunjung warung makan, sontak melihat ke arah kami semua. Beberapa yang datang dengan teman atau pasangan, terdengar berbisik-bisik.“Dasar wanita tidak berpendidikan. Bar bar sekali sikap kamu.” Umpatnya sambil mengambil tissue untuk mengelap wajah pria selingkuhannya yang sudah basah kuyup. Mas Agam terlihat enggan dibersihkan olehnya. Ia segera menepis tangan wanita itu.Aku tertawa terbahak-bahak. Sejenak menoleh pada yang punya warung. Entahlah, orang itu yang punya atau pelayan.“Maaf, Ibu. Saya membuat kacau sejenak. Mohon ijin. Bila nantinya Ibu merasa dirugikan, bisa minta ganti rugi pada saya.” Ucapku sopan, pad
Berita memalukan yang barusan aku dengar, menjadi alasan kuat untukku mengajukan gugatan cerai. Bukti kuat pengajuan gugatan cerai sudah jelas nyata. Salah satu poin PNS bisa mengajukan gugatan cerai salah satunya adalah terbukti berselingkuh. Lagipula, yang PNS Mas Agam, bukan aku. Jadi, tidak perlu membuat ijin dari atasan. Itulah mengapa, Bapaknya Mas Agam waktu itu menyarankan agar dari pihakku yang mengajukan gugatan. Karena, prosesnya lebih mudah.Setelah mengakhiri percakapan di telepon dengan Pak Irsya, aku ijin pulang lebih dulu. Danis, ah kasihannya anak itu. Harus banyak kehilangan waktu bersamaku. Meski berada pada satu sekolah, tapi karena terkadang ada acara mendadak, dia harus diantar jemput Mbahnya. Begitupun Dinta, setiap hari setelah pulang sekolah, seringnya pulang ke rumah Ibu. Aku janji, setelah masalah dengan ayah mereka selesai, akan kuluangkan waktu lebih banyak untuk mereka berdua. Pabrik keripik, biarlah Bapa
“Bagaimana, Nia? Ibu harap, kamu bisa melewati ujian ini dengan baik ya? Semoga setelah ini, kamu, Agam serta anak-anak, akan hidup bahagia.” Kepalaku sudah berdenyut tidak karuan.“Kenapa tidak minta sama selingkuhannya saja, Bu? Kenapa harus aku?” Protesku lirih. Mereka saling berpandangan.“Kalau ngomong yang bener dong, Nia! Kamu kan yang istrinya? Anti kan Cuma selingan Agam saja, ya kamu-lah yang ikut memikirkan semua masalah yang menimpa adikku. Sebagai istri, seharusnya kamu sudah siap mendampingi suami apapun kondisinya.”“Mbak Eka!” Bentakku mulai hilang kendali. Bicara dengan mereka, percuma pakai kata-kata yang sopan. Tetap saja kan, aku yang salah. “Dalam hal ini, aku yang paling tersakiti. Harusnya, kalian tidak pernah datang untuk meminta bantuanku, apalagi uang dalam jumlah banyak. Asal kalian tahu saja ya, aku
“ Ya kalau begitu, mobilnya dijual bisa kan Pak? ” Pertanyaan yang lebih mirip permintaan dari Bapak Mas Agam membuat aku dan Bapak saling berpandangan.Bapak menghela napas panjang. Aku kasihan padanya, harus terlibat dengan urusanku yang rumit. Namun, mau bagaimana lagi? Pada siapa aku akan bersandar, bila tidak pada dirinya?“ Mobil siapa yang Bapak maksud? “ Tanya Bapak memastikan dirinya tidak salah dengar dengan permintaan konyol dari sang besan.“ Mobil Nia lah Pak Rahman. “ Pak Hanif menjawab tegas.“ Itu mobil Nia, saya belikan untuk dia mengantar barang, bila mobilnya dijual, Nia mau pergi pakai apa? ““ Pak Rahman, tidak punya uang tiga puluh juta? “ Dengan terus terang tanp
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”