“Bagaimana, Nia? Ibu harap, kamu bisa melewati ujian ini dengan baik ya? Semoga setelah ini, kamu, Agam serta anak-anak, akan hidup bahagia.” Kepalaku sudah berdenyut tidak karuan.
“Kenapa tidak minta sama selingkuhannya saja, Bu? Kenapa harus aku?” Protesku lirih. Mereka saling berpandangan.
“Kalau ngomong yang bener dong, Nia! Kamu kan yang istrinya? Anti kan Cuma selingan Agam saja, ya kamu-lah yang ikut memikirkan semua masalah yang menimpa adikku. Sebagai istri, seharusnya kamu sudah siap mendampingi suami apapun kondisinya.”
“Mbak Eka!” Bentakku mulai hilang kendali. Bicara dengan mereka, percuma pakai kata-kata yang sopan. Tetap saja kan, aku yang salah. “Dalam hal ini, aku yang paling tersakiti. Harusnya, kalian tidak pernah datang untuk meminta bantuanku, apalagi uang dalam jumlah banyak. Asal kalian tahu saja ya, aku
“ Ya kalau begitu, mobilnya dijual bisa kan Pak? ” Pertanyaan yang lebih mirip permintaan dari Bapak Mas Agam membuat aku dan Bapak saling berpandangan.Bapak menghela napas panjang. Aku kasihan padanya, harus terlibat dengan urusanku yang rumit. Namun, mau bagaimana lagi? Pada siapa aku akan bersandar, bila tidak pada dirinya?“ Mobil siapa yang Bapak maksud? “ Tanya Bapak memastikan dirinya tidak salah dengar dengan permintaan konyol dari sang besan.“ Mobil Nia lah Pak Rahman. “ Pak Hanif menjawab tegas.“ Itu mobil Nia, saya belikan untuk dia mengantar barang, bila mobilnya dijual, Nia mau pergi pakai apa? ““ Pak Rahman, tidak punya uang tiga puluh juta? “ Dengan terus terang tanp
Siang ini, Bapak pergi ke rumah Mas Agam. Aku menanti dengan penuh harap dan cemas. Sepanjang Bapak pergi, hati sungguh tidak tenang. Kerjaku hanya mondar mandir tidak karuan.Semoga keberangkatan Bapak ke sana tidak sia-sia, ya Allah. Sungguh, diri ini sudah begitu lelah. Lelah dengan pertanyaan tetangga dan kerabat, lelah jika harus bertengkar dengan keluarga Mas Agam, dan lelah bila harus lagi-lagi tahu, pria yang masih suamiku berhubungan dengan perempuan lain.Hari sudah beranjak sore tapi, Bapak belum juga pulang. Aku semakin cemas. Jangan-jangan, di rumah itu terjadi debat kusir seperti kemarin. Setelah ini, aku tidak ingin lagi berhubungan dengan mereka.Rasulallah SAW bersabda, “ Saya menjanjikan rumah di pinggiran surga bagi orang-orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar “.
Semua berkas pengajuan gugatan cerai, sudah masuk ke pengadilan. Kini, aku hanya menunggu jadwal sidang saja. Seperti biasa, aku menjalani kehidupan sehari-hari dengan perasaan yang jauh lebih tenang. Namun, lebih banyak meluangkan waktu untuk anak-anak.“Pabrik, biar Bapak yang urus semuanya, Nia. Buat kerjaan sehari-hari juga. Biar Bapak tidak suntuk. Daripada harus ternak sapi, Bapak sudah lelah. Masalah hasil, terserah kamu saja, yang penting, adikmu Fani bisa bayar kuliah lancar,“ pinta Bapak pada suatu sore.“Ya Allah, Pak. Tidak usah itung-itungan gitu, lah. Bapak mau kasih berapapun juga, aku terima. Bapak tinggal ambil saja untuk keperluan. Yang penting buatku, kalian hidup tidak kekurangan,“ jawabku. Bapak mengangguk saja.Hari-hari menunggu panggilan sidang, aku menjadi semakin gugup. Takut, bila Mas Agam da
Panggilan sidang, akhirnya datang juga. Dengan diantar Bapak, aku berangkat ke sana. Agenda sidang hari ini adalah mediasi.Sampai di parkiran, aku turun dari mobil. Kulihat Mas Agam datang bersama bapaknya juga. Dia juga masih berada di tempat parkir yang dekat dengan kami.Melihatku datang, tatapan matanya tak pernah lepas dariku. Aku mencoba mengalihkan pandangan agar tak bersitatap dengannya. Namun, lelaki itu malah menghampiri ke tempat kami berdiri.“Nia, apa kabar? Anak-anak bagaimana?“ tanya Mas Agam saat dia sudah berada dekat dengan tubuhku.“Alhamdulillah, baik semua,“ jawabku singkat. Lalu segera berlalu menuju teras depan pintu ruang sidang. Ayahnya Danis dan Dinta mengekor di belakangku. Namun, kuabaikan.
Hari ini, Ibu harus periksa ke rumah sakit untuk cek kolesterol. Bapak tidak bisa mengantar karena sibuk mengurus pabrik. Sedang Fani yang kebetulan libur, tidak bisa mengendarai mobil.“Dah Mbak, ini kan hari Jum’at. Jam pelajarannya cuma bentar, Danis sama Dinta suruh ijin aja. Kita pergi ke rumah sakitnya bareng-bareng. Mbak yang nyupir, nanti aku yang nemenin Ibu di Poli. Mbak ajak anak-anak main di taman rumah sakit kan ada wahana permainnanya. Sekalian ngadem ama jajan gitu …,” usul Fani.Betul juga sarannya. Akhirnya aku menyetujui.“Ya sudah, cepat siap-siap. Kamu urus Dinta ya. Mbak mau panasin mobil dulu. Nanti Danis biar Mbak yang mandiin. Ingat! Dandannya gak usah kelamaan. Ini hari pendek. Nanti polinya keburu nutup.““Idih
Aira terdengar menangis di dalam toilet. Aku agak cemas jadinya. Bila sesuatu terjadi pada anak kecil itu, toh aku bisa kena masalah. Kubuka pintu toilet, memastikan apa yang terjadi dengan anak Rani.“Kenapa lagi?““Emaknya Mbak Dinta tungguin di sini.“Ya, memang keluarga Mas Agam kalau sekali-kalinya ngajari anak itu manggil, dengan sebutan emaknya anak-anakku.Sebegitu rendah diri ini di hadapan mereka. Hingga perihal panggilan saja, dicarikan yang paling tidak bergengsi. Padahal, terhadap Rani, Dinta dan Danis selalu diajari memanggil Tante atau Bu Lik. Pernah aku menyuruh anak-anakku memanggil Rani dengan sebutan Mbak, akibatnya aku kena semprot sama Mbak Eka.“Kamu menyusahkan sekali sih?“
Di sinilah kami berada, dalam bisu yang mengiringi kebersamaan di teriknya siang. Hanya suara udara bergerak yang kadang singgah di telinga. Aroma ikan bakar sesekali menguar menghampiri indera penciuman ini. Aku diam dalam lamunan dan rasa cemas. Entah apa yang dirasa olehnya, sama-kah?“Nia, apa kabar?“Suara lelaki di depanku memecah kesunyian. Netra yang semula menatap nikmat liukan daun padi yang masih menghijau oleh terpaan angin, terpaksa berpaling pada sang pemilik suara.“Baik …,” jawabku singkat sambil tersenyum.Kembali, wajah ini kupalingkan pada hamparan tanaman yang memiliki nama ilmiah oryza sativa itu. Sedamai inikah menatap pemandangan sederhana itu? Ya, terkadang, saat le
Hari ini, aku ada jadwal meet up dengan reseller. Acaranya dibuat pagi, jam sepuluh. Ini karena permintaan mereka. Dengan alasan, biar makan siangnya, pas di jam dua belas. Tempat yang kami pilih, sebuah caffe kekinian dengan nuansa terbuka.Seperti biasa, kami membahas trik-trik untuk menarik konsumen agar membeli produk sama kami. Jam sebelas lewat, acara inti selesai. Dilanjutkan dengan obrolan santai. Tak lupa juga berswa foto ria. Saat tengah menunggu makan siang tiba di meja, netraku menangkap segerombol lelaki yang baru datang. Salah satu diantaranya, seorang pria yang mengenakan setelan olahraga dengan kaus berwarna orange, memakai kacamata hitam. Terlihat semakin tampan.Pria itu berjalan semakin dekat dengan meja tempatku. Degup jantung ini terasa bertalu-talu, melihat langkah gagahnya saat berjalan, sambil mengobrol dengan rekannya. Sesekali, senyum manis itu merekah dari bibir manisnya.
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”