Aliya, “…” Kedua matanya menatap cukup lama pada layar ponsel miliknya. “Apa ini kebetulan lagi?” bisik Aliya. Sejenak ia tampak berpikir. Setelah menimbang-nimbang, ia akhirnya memutuskan merespon status baru akun tersebut. ‘Bagaimanapun, jika orang ini ada kaitannya dengan kalung emasku yang kembali, maka setidaknya aku harus menyampaikan terima kasih,’ batin Aliya berujar. Tangannya lalu meraih ponsel dan mulai mengetik. [Apa arti statusmu kali ini? Jika saya boleh tahu.] Terunggah. Tak lama berselang, balasan muncul. [Artinya seperti kalimatnya. Tak akan lari dari kita, apa yang digariskan menjadi milik kita.] Mata Aliya mengerjap. Ia lalu mengetik lagi. [Maaf jika bertanya to the point. Apa kau ada hubungannya dengan sesuatu yang terjadi hari ini?] [Be honest] tambah Aliya sebelum pemilik akun itu membalasnya. Aliya lalu menunggu beberapa saat. Dadanya sedikit berdebar cepat menanti jawaban dari pemilik akun f******k bernama Einhard itu. [Ya] Deg. Aliya terpaku sekia
“Iya, kamu. Untuk servis motor dan belanja bulanan,” pak Sutarna mengulang perkataan sebelumnya.“Aliya tidak pernah meminta uang untuk servis motor, Pak. Motor Aliya baik-baik saja. Dan untuk belanja bulanan, meskipun pas-pasan tapi Aliya masih bisa memenuhi kebutuhan dasar bulanan kami, Pak.”“Maksud kamu bicara seperti itu, apa? Apa maksud kamu bahwa Bisma ngga bertanggung jawab memenuhi kebutuhan bulanan?” tanya pak Sutarna sewot.“Tapi Bapak sendiri kan tahu, kalau Bisma itu tidak bekerja. Dia…”“Jangan merendahkan suami kamu sendiri, Aliya.”“Aliya tidak…”“Sudah. Kamu jangan bantah terus ucapan bapak. Menantu macam apa berani membantah ucapan mertua seperti ini,” ketus pak Sutarna.Bapak mertua Aliya bukan saja dikenal sebagai tuan tanah waktu dulu, tapi juga dikenal sebagai sosok dengan pribadi yang keras dan tidak suka dibantah.
“A-apa?” Aliya terhenyak. “Aa Bisma akan Bapak suruh menikah lagi?”“Ya! Kenapa? Kamu tidak terima?”“Bagaimana Aliya bisa terima, Pak?” sahut Aliya. Dadanya kini berdebar cepat, namun terasa sakit.“Soal anak, sudah diatur Tuhan, Pak. Lagipula bukan Aliya tidak menginginkan kehadiran anak. Tapi aa Bisma yang…”“Cukup!” potong pak Sutarna. “Kamu mau menyalahkan putraku, Bisma?!”“Memang aa Bisma yang…”“Aliya!!” Suara menggelegar pak Sutarna menghentikan lagi kalimat pembelaan Aliya.“Dasar menantu tak tahu diri!” Pak Sutarna bangun dari duduknya. “Ayo Bu, kita pulang saja! Percuma jauh-jauh datang ke sini. Anak ini sama sekali tidak mengerti maksud baik orangtua! Betul-betul sial saya mengijinkan mereka menikah!”Bu Neneng ikut berdiri. Ia melirik sebentar ke arah Aliya yang te
“Aku hamil tanpa aa menghamiliku?” tanya Aliya mengulang perkataan Bisma.“Ya,” angguk Bisma mantap.“Maksud aa, kita ikut program bayi tabung?”Bisma mendecih. “Bayi tabung bagaimana? Kamu tahu berapa biaya untuk melakukan itu? Puluhan juta. Untuk apa kita buang-buang uang seperti itu! Lagian uang dari mana?”“Lantas maksud aa bagaimana dengan aku hamil tanpa kau melakukannya padaku?”Bisma berdehem. “Begini, kau hanya perlu benih aja kan? Ga masalah itu dariku, milikku atau bukan.”“Maksud aa?”“Ya… Kau paham lah maksudku. Tidak mesti aku yang membuatmu hamil. Yang penting benih itu ada dalam dirimu, lalu kita akui itu anak kita.”“Ma-maksud aa… Aku…” Aliya tergagap. “A-aku ti-tidur dengan laki-laki lain?”“Iya, benar. Yang penting nanti kita…”“Aa!
Semula, Aliya bertekad untuk tetap bertahan.Berjuang itu bukan hanya terletak pada mengakhiri segalanya segera, tapi juga pada mempertahankan apa yang dipilih dan diyakini di awal.Aliya bisa saja memutuskan untuk mengakhiri hubungan tidak sehat ini, namun kembali lagi, Aliya tidak ingin menyerah terlalu dini di masa pernikahan mereka yang memang baru seumur jagung.Belum lagi Aliya memikirkan kedua orangtuanya. Betapa dirinya akan mengecewakan kedua orangtuanya untuk kedua kalinya.Pertama, karena tidak mendengarkan mereka. Kedua, karena menyerah begitu saja atas pilihannya sendiri, sebelum berjuang hingga titik darah penghabisan.Namun Aliya bukanlah seorang wanita yang lemah yang akan diam dan pasrah begitu saja ketika diinjak.Seperti janjinya dulu kepada papa, bahwa Aliya akan memutuskan apa yang baik untuk dirinya dan akan keluar dari suatu keburukan dan kebaikan yang tidak bisa diperjuangkan. Kalimat janji itulah yang akhirnya membua
CCKIIIIIIIITTTTTTT.BRRUUUAAAAAAAAAGGGGGG.Benturan keras dan suara rem mobil berdecit memekakkan seluruh telinga orang-orang yang berada di sana.Seluruh tubuh Aliya gemetar. Kakinya lemas, namun kedua tangannya masih mencengkeram stang motor dengan kuat.Napasnya tersengal.Setelah beberapa detik tak terjadi apa-apa pada dirinya, ia memberanikan diri membuka matanya. Suara ramai yang terdengar berasal dari orang-orang di pinggir jalan.Kepala Aliya menoleh ke kiri belakang, mengikuti arah orang-orang berlarian.Napas Aliya tercekat.Terlihat olehnya CRV berwarna hitam, melintang tak jauh di kirinya dan minibus yang tadi kehilangan kendali, telah berhenti dengan posisi berputar 180°.Aliya mengerjapkan matanya. Otaknya serasa membeku, tak dapat berpikir apa-apa. Sementara orang-orang mulai ramai mendekati kedua mobil tersebut, untuk melihat kondisi para penumpangnya.Aliya terpaku. Ketika tiba-tiba ia seperti
Aliya hanya menarik sebelah bibirnya. Ia tak menggubris pancingan Milah. Hari ini ia cukup bersyukur bisa selamat dari kecelakaan yang nyaris mengancam jiwanya tadi.“Kok diem aja, Miss? Duuh.. jangan jealous yaah… Tiap orang rejekinya beda-beda,” Milah menyindir lalu terkekeh lagi.“Ga bakal jealous lah,” Diani kini menyahut santai. Ia lalu berdiri menuju rak silabus. “Miss Aliya kemarin baru dikasih hadiah kalung emas, sih.”Milah membesarkan matanya. “Apaa?!”“Yoi,” jawab Diani singkat. Tangannya telah mengambil satu silabus, lalu ia kembali duduk di kursinya masih dengan santai.“Bohong ah. Paling dia ngaku-ngaku aja…” Milah mendengkus.“Ngga lah. Kan gue yang dititipin bingkisannya sama mbak Tri. Pas dibuka sama Miss Aliya, gue juga lihat tu kalung. Gede banget. Ada ukiran namanya. Bagus banget,” Diani menjelaskan. Sudut bibirnya tertarik m
[Teh Aliya baik-baik saja kan?] Akun Einhard menulis lagi di kolom komentar.Agak ragu sejenak, namun akhirnya Aliya tetap memberikan respon.[Ya, saya baik.]Beberapa detik Aliya menantikan respon balik dari kalimat terakhirnya.[Eh iya, maaf. Belum kenalan yah. Saya teman pemilik akun ini]Aliya, “oh?” Jarinya kemudian segera mengetikkan beberapa kata.[Maksudnya, kau bukan pemilik akun ini?][Bukan. Nama saya Ridwan, teh. Salam kenal.][Salam kenal juga.] jawab Aliya. Ia lalu mengetik lagi.[Kemana pemilik akun ini? Apa akun ini akan di non aktifkan?][Oh tidak, teh. Akun ini pasti akan aktif terus. Susah-susah menemukan teh Aliya. Hehehe] Lalu emotikon tertawa terkirim.Aliya mengerutkan kening. [Menemukan saya? Maksudnya?][Oh ngga. Gapapa teh. Biar nanti yang bersangkutan saja yang jelasinnya.]Aliya semakin merasa bingung. Jemarinya kembali mengetik. [Lalu kemana pemilik akun ini?]Kali ini pihak seberang tidak langsung merespon. Aliya menunggu hingga berpuluh detik.[Ehm… Lagi
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj