"Meg," panggil Riley. Ia berjalan masuk melewati beberapa meja yang di isi oleh deretan kru film."Sayang." Megan merentangkan tangannya untuk menyambut kedatangan suaminya. Ia melirik sekilas Allen yang berjalan dengan tampang lesu, mengikuti langkah Riley."Kangen?" sambut Riley sambil mencium rambut istrinya.Megan mengangguk sambil memeluk erat pinggang suaminya. "Udah makan?""Tadi aku udah makan siang sama klien." Riley melirik meja panjang penuh dengan berbagai hidangan berbahan dasar seafood. "Apa kalian mengadakan pesta?""Awalnya cuma makan-makan aja tapi entah sejak kapan berubah jadi pesta," jelas Megan sambil mengaruk tekuknya."Salahkan pria itu," tunjuk Zian. ia mendesis kesal karena Kevin membuat acara makan siangnya kacau."Dia mengundang seluruh kolega nya ke tempat ini," protesnya. Namun segera ikut bergabung begitu salah satu wanita melambaikan tangan padanya."Kenapa?" Bisik Riley.Megan memutar jarinya membentuk lingkaran di udara. "Semuanya dia yang bayar," j
Allen mengikuti langkah kecil yang hanya berjarak dua langkah di depannya. Matanya menatap punggung yang selama beberapa bulan terakhir selalu diamatinya. Tak ada yang spesial dari pertemuan keduanya. Bahkan, di awal pertemuan keduanya sulit untuk di kategori baik. Sosok mungil itu menatapnya dengan bola mata penuh, bak musuh bebuyutan.Lalu, sejak kapan semuanya berubah? Mungkin sejak keduanya sadar, mereka tak lagi bisa masuk ke dalam lingkaran para sahabat. Megan dan Riley telah membangun ikatan keluarga yang membuat keduanya tak terpisahkan. Sedangkan ia dan Baron, kini hanyalah sosok-sosok yang berada di luar lingkaran. Karena itulah, keduanya merasa senasib sepenanggungan hingga membentuk koalisi yang semakin hari membuat hubungan mereka semakin baik.Apakah itu benar adanya? Entahlah, hingga saat ini Allen hanya merasakan satu hal. Ia nyaman saat bersama dengan Baron. "Mau sampai kapan kamu mengikuti ku?" Sepenggal pertanyaan itu menyadarkan Allen sari lamunannya. Ia tersen
"Beneran nih?" Ulang Nesa untuk ke sekian kalinya.Empat orang yang duduk di dalam mobil memilih diam dan mengalihkan perhatian mereka keluar jendela mobil."Zian, kamu yakin mau masuk?"Nesa menatap Zian ragu. "Disana bakal rame loh. Ada Ibunya Rika juga," ujarnya mengingatkan."Yaiyalah, mereka yang punya hajatan," sembur Megan. "Masa iya, emaknya holiday pas anaknya gelar resepsi."Baron yang duduk di bangku belakang, diantara para wanita segera menyodok pinggang Megan. Menghalaunya untuk kembali berdebat dengan Zian."Zie, kita pulang aja ya?" bujuk Baron. "Kasihan Rika kalau melihatmu seperti ini."Nesa dan Megan saling bertukar pandangan sambil berdoa penuh harap. Biasanya, saat Baron mulai melancarkan bujukan mautnya dengan menambah panggilan kecil, Zian akan luluh dan menurut."Nggak. Aku harus datang dan melihat langsung hari bahagia Rika. Kami sudah lama bersama dan aku tidak ingin mengecewakannya di saat-saat terakhir kami," tuturnya dengan suara sengau.Megan mendesis kesa
"Apa ini? Cemburu?" Kekeh Riley.Megan menautkan alisnya dan memicingkan mata. "Apa terlihat seperti itu?" sindirnya sengit.Riley memeluk tubuh yang belakangan ini terlihat lebih berisi. "Iya dan aku sangat bahagia." ucapnya sambil mengecup puncak kepala Megan lalu turun ke tekuknya.Menghirup aroma yang selalu dirindukannya."Rey, aku serius," protes Megan. "Aku juga serius, Sayang," balas Riley. Ia mengangkat tubuh Megan lalu berjalan ke sofa panjang, duduk di sana dengan Megan di atas pangkuannya."Rey, Bisakah kamu tidak dekat-dekat dengan Irene?" Pinta Megan."Lagipula dia itu asisten Allen, kenapa aku lebih sering melihatnya bersamamu daripada Allen?""Itu karena kamu selalu datang pada saat Allen cuti. Jadi otomatis, Irene akan melaporkan semua pekerjaannya langsung padaku," jelas Riley.Tangan Megan menyusuri rahang suaminya. Belakangan ini ia selalu ingin menyentuh tubuh kekar Riley, seolah menjadi candu baginya."Tapi, aku nggak suka," keluhnya smabil mengalungkan tangan
"Sayang, bagaimana sandwichnya? Kamu suka?"Riley menghapus jejak mayonaise di sudut bibir istrinya."Enak, Rey." Sahut Megan ceria. "Kamu sering makan disini?""Allen dan Baron." tukas Riley. "Mereka berdua yang sering makan di restoran ini," jelasnya.Megan mendesah pelan. "Bagaimana kondisi Allen?""Entahlah. Dia menolak untuk membahas apapun selain pekerjaan. Dia juga memperpanjang masa cutinya.""Separah itu?"Riley tersenyum maklum. "Meskipun terlihat slebor tapi Allen pribadi yang sensitif. Saat dia mengizinkan seseorang masuk dalam hidupnya maka akan sulit baginya untuk melepaskan.""Bagaimana dengan Baron?" tanya Riley balik."Tak beda jauh. Meski kerap tertawa tapi dia tidak bisa membohongi orang-orang disekitarnya bahwa hatinya bersedih.""Kami sering memergokinya melamun. Bahkan para karyawan melarangnya mendekati cafe karena Baron seringkali salah membuat pesanan."Riley mengangguk paham. "Mungkin keduanya butuh lebih banyak waktu.""Ini salah ku," sesal Megan. "Seharusny
"Kenapa?"Megan masuk ke dalam ruang kerjanya dan mendapati wajah-wajah lesu, merebahkan kepalanya lunglai di atas meja."Kamu masih disini?" Alihnya pada Kevin yang duduk santai dengan kaki terangkat dan disampirkan ke atas meja.Kevin menaikkan alisnya. "Sepertinya kamu nggak suka kalau aku lama-lama disini?" tudingnya."Iya. Aku nggak suka," aku Megan dengan jujur.Kevin berdecak sebal. "Bisa nggak sih kamu pura-pura aja gitu," keluhnya."Apa yang terjadi pada mereka?" tunjuk Megan pada Zian dan Nesa."Depresi pasca patah hati," sahut Kevin dengan ekspresi mengejek."Aku paham dengan Zian tapi …" Megan meletakkan empat cup kopi yang dibawanya ke atas meja. "Kamu kenapa, Nesa?"Nesa membuka matanya seketika dia antusias saat Megan meletakkan cup kopi yang mengeluarkan aroma vanila dihadapannya "Kopi dari mana? Baron?" tebaknya.Megan menggeleng yang membuat semangat Nesa kembali surut."Kenapa Baron nggak pernah datang ke cafe lagi? Aku kangen," rintih Nesa."Beberapa hari ini banya
"Baron."Baron membalikkan tubuhnya menghadap pemilik suara yang memanggil namanya."Apa?" Sergahnya langsung. "Apa yang kamu lakukan disini?""Aku hanya ingin bicara denganmu." Balas Daniel. Wajahnya tampak lesu, frustasi dengan banyaknya masalah yang mendera hidupnya.Baron menghela napas panjang. "Duduklah," ucapnya sembari menarik kursi besi yang menghadap ke pemandangan laut lepas dan duduk disana.Daniel mengerjapkan mata, tak yakin dengan apa yang ia dengar."Apa kamu akan terus berdiri disana?" Baron menengadah, menatap tubuh yang jauh lebih tinggi darinya. "Leherku sakit," keluhnya."Maaf," ucap Daniel dan menarik kursi lainnya, duduk disamping Baron."Apa kabarmu?"Daniel mengulas senyum tipis di bibirnya. "Tidak cukup buruk tapi tidak juga baik.""Bagus. Itu yang kuharapkan," ujar Baron sarkas."Bagaimana denganmu?" "Masih sama seperti biasanya. Tapi, bisakah kita menghentikan basa basi ini?" cemooh Baron. "Membosankan."Daniel mendesah lega. "Aku bersyukur satu hal, Baron
Megan kembali melirik arloji di lengannya. "Kemana sih, mereka?" Ujarnya sambil mendesis kesal.Riley yang berdiri disampingnya hanya bisa tersenyum maklum sambil mengelus punggung istrinya. Berharap itu bisa sedikit meredakan amarah Megan yang sedari tadi tak henti menggerutu."Padahal aku udah ingatkan berkali-kali. Jangan sampai terlambat, mereka harus sampai sebelum terlalu sore.""Coba hubungi lagi. Mungkin mereka nyasar," saran Riley.Megan mengangguk pelan sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana cargo yang dikenakannya. Tapi gerakannya terhenti begitu terdengar deru suara mesin mobil memasuki pekarangan rumah."Akhirnya," desahnya lega. Ia khawatir karena tak ada satupun diantara tiga orang yang mereka tunggu mengangkat ponselnya."Lama banget, dari mana aja sih?" Buru Megan begitu pintu dari ruang penumpang terbuka.Langkahnya terhenti begitu menemukan wajah kusut yang turun dengan langkah menghentak tanah."Kamu yang menyuruh mereka menculik ku, Megan?" Tuding Baron kesa