"Ayo, cepetan." Zian melambaikan tangan. Meminta dua temannya yang memapah tubuh Megan, berjalan lebih cepat."Ini?" Nesa mengerutkan kening begitu membaca pamphlet klinik praktik dokter yang di maksud Zian."Veterinary?" Imbuh Baron terbata."Apa maksudnya, veterinary?" Ulang Nesa, menuntut penjelasan."Klinik hewan," tandas Baron.Dia membulatkan matanya, melempar ekspresi protes pada Zian yang berusaha menghindarinya bertemu pandangan dan menjaga jarak sambil mengaruk tekuknya.Nesa mengerutkan keningnya. "Hah? Ngapain kita bawa Megan kemari? Dia manusia!" Sergahnya kesal.Zian meringis. "Yah, sama aja 'kan? Sama-sama nyembuhin pasien," celetuknya."Cuma jenisnya aja yang beda," lanjut Zian pelan, nyaris berdesis."Ini bukan cuma beda, tapi-""Zian?"Ketiga orang yang sibuk berdebat di depan pintu klinik tiba-tiba terdiam, mereka berbalik untuk menghadap wanita yang menyapa dari balik pintu masuk."Ngapain di luar? Ayo, masuk."Bagai boneka dasboard, Zian mengangguk patuh dan langs
"Lihat, lihat! Dia buka mata," seru Nesa senang begitu melihat Megan perlahan membuka matanya.Baron dan Zian buru-buru lari mendekati sofa dimana Megan berbaring. Mereka menatap penuh minat, menunggu reaksi dari teman, sahabat bahkan saudara yang telah lama mereka cari."Hmm, si-siapa?" Gumam Megan.Nesa mundur beberapa langkah. "Meg, kamu nggak kenal sama kami?""Ini seriusan?" Baron ikut terperanjat tak percaya. "Zian, cepat panggilkan Bu dokter!"Zian langsung berbalik begitu mendengar perintah Baron."Tunggu, aku bercanda." Megan membulatkan matanya, tertawa senang setelah berhasil membuat ketiga temannya panik. Dia bangkit dari posisinya, duduk sambil menyandarkan punggungnya ke sofa.Baron segera menyongsong tubuh Megan, menghadiahkan cubitan maut di pinggangnya. Tak lama, ia ganti memeluk tubuh yang kelihatan jauh lebih kurus dari sebelumnya itu, erat-erat."Baron, jangan nangis," ucap Megan sedih. Ia dapat mendengar samar-samar suara Isak dari balik punggungnya."Megan ..." r
"Duh.""Kenapa, Zian?" Tanya Rika karena mendengar pria di balik kemudi mengeluh."Ada barang yang kurang?" Rika melirik tiga kantung belanjaan yang diletakkan di bangku belakang mobil."Aku lupa beli barang penting."Kening Zian berkedut memikirkan barang yang lupa dia beli. "Underwear," ucapnya malu-malu.Rika tertawa geli. "Ya udah, balik aja."Zian menggeleng. Mengingat betapa sulitnya menemukan tempat parkir, Zian enggan untuk kembali ke mall."Berhubung lebih dekat, kita mampir di rumahku aja deh." Dia memutar kemudi. Memasuki basement khusus untuk pemilik apartemen di gedung ini."Kamu mau ikut naik?""Nggak deh, aku tunggu disini aja. Sekalian mau nelpon rumah sakit untuk izin cuti hari ini.""Maaf ya, jadi ngerepotin kamu," sesal Zian.Rika melambaikan tangannya. "Santai aja.""Ya udah. Aku naik dulu, nggak lama kok," pamit Zian.Dia memperhatikan keadaan sekitar, melirik ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada seorangpun di basement dan bergegas lari ke pintu masuk.***"Bos,
[Ting ... Tong ...]Maria bergegas menuju ruang depan untuk membuka pintu. Tidak seperti biasanya, seseorang menekan bel berkali-kali dan mengendor pintu dengan kasar."Celine?""Ah, halo mama mertua. Ups, aku lupa. Madu ku ..."Maria mengernyitkan hidungnya begitu aroma alkohol menguar pekat dari tubuh wanita dihadapannya."Kamu mabuk? Mau ngapain kamu ke sini?"Celine melambaikan tangannya. "Mabuk? Tidak, aku tidak mabuk," balasnya. Tubuhnya oleng ke kiri dan kanan. Mencari pegangan untuk bersandar. "Pulanglah. Jangan buat masalah lagi," sentak Maria kesal. 'Beruntung Rey tidak di rumah. Dia akan marah bila melihat Celine ada di sini,' batin Maria."Mama, di mana menantu baru mu? Panggilkan, aku ingin bertemu dengannya," teriak Celine. Mencoba menerobos masuk ke dalam rumah tapi Maria dengan sigap menahan langkahnya."Pergilah, jangan membuat masalah lagi. Rey dan Megan tidak ada di rumah.""Megan? Oh, jadi nama wanita jalang itu Megan?" "Jalang?! Siapa yang kamu sebut jalang?" R
"Meg, kamu belum tidur?"Nesa membuka pintu ruangan yang di desain khusus sebagai kamar megan. Dia berjalan masuk dan duduk disamping pemilik ruangan. Megan belum juga terlelap meski malam telah menuju puncaknya. "Dua hari ini, aku terlalu banyak tidur," sahut Megan. Ia mengangkat laptop dari pangkuan dan meletakkannya di meja rotan samping sofa. "Jadi susah banget buat memejamkan mata.""Kamu?" Tanyanya balik.Nesa menggeleng pelan. "Belakangan ini, insomnia akut ku kumat lagi.""Bukan belakang hari Nesa, tapi emang setiap hari," elak Megan."Menurutmu karena siapa?" Sindir Nesa sambil cengengesan.Megan terkekeh pelan. "Karena aku?""Ya." Nesa menghela napas lega. "Selama kamu menghilang, hampir setiap hari kami kesana-kemari mencarimu dan bergadang pada malam hari, memikirkan kemungkinan kemana kamu pergi."Megan menatap haru. Dia tidak pernah menyangka, teman-temannya begitu tulus menyayanginya. "Maaf.""Kenapa minta maaf?""Karena aku susah sangat merepotkan kalian," balas Megan
"Zian mana, Nes?" Tanya Baron karena sejak pagi tadi dia tidak menemukan pria cerewet itu dimana pun. "Oh, Zian? Dia ngantar Bu dokter," sahut Nesa. Dia mengalihkan perhatiannya dari layar tablet untuk menyapa wajah imut yang disukainya. "Kamu mau sarapan? Biar aku siapkan," tawarnya.Baron menggeleng. "Nggak usah. Nanti aja, aku sarapan bareng Megan," sahutnya. Dia balik menatap Nesa lamat-lamat. "Kamu ada kegiatan hari ini?"Nesa mengerutkan keningnya, mencoba mengingat jadwalnya hari ini. "Tidak. Aktivitas kantor dimulai besok. Zian masih menunggu konfirmasi dari Megan.""Hmm," Baron mengumam pelan. "Kalau gitu, kamu bisa temanin aku siang ini?""Kemana?" Tanya Nesa. Matanya membulat, tertarik dengan permintaan pria manis itu. "Nanti aja di jalan aku kasih tahu. Kamu siap-siap dulu, begitu Zian balik kita cabut."Nesa mengangguk patuh meski diliputi pertanyaan dan rasa penasaran."Aku bangunin Megan dulu," pamit Baron. Baron membuka pintu kamar Megan, matanya terpaku oleh pemand
"Baron!"Nesa terhenyak kaget, dia mengapai tubuh Baron dan memaksanya untuk mundur. Melihat kondisi yang tidak kondusif, Allen turut membantu untuk menahan Baron agar tidak kembali menerjang tubuh Riley yang terkulai di lantai sambil memegangi wajahnya."Kumohon, Baron. Tenanglah!" Jerit Nesa panik.Dua orang petugas sekuriti menerobos masuk karena mendengar suara gaduh dari luar ruangan. "Apa yang terjadi?!""Cukup," tahan Riley. Dia bangkit dari lantai, menyeka darah di sudut bibirnya. Rasa asin dan bau amis menguar hingga nyaris membuatnya mual."Tapi, Pak,""Tidak apa-apa, hanya salah paham. Kalian keluar saja," perintah Riley. Menghentikan kedua sekuriti yang bersiap untuk menyeret Baron dan Nesa keluar ruangan.Kedua petugas mengangguk paham, bergegas keluar dan menunggu di balik pintu. Bersiaga apabila kondisi mulai tidak kondusif dan mampu diatasi oleh bosnya."Baron?" Alih Riley pada pria pendek yang memukul wajahnya."Apa yang kamu lakukan pada Megan?!" serang Baron."Tenan
"Tante, jangan," Megan segera menahan gerakan Maria yang berlutut dihadapannya. "Jangan begini tante," bujuknya.Maria menggeleng cepat, airmatanya mengalir bersamaan dengan tangis yang pecah tak tertahan. "Megan, Mama nggak bisa kehilangan kamu, nak. Kamu telah menjadi bagian penting dalam hidup Mama dan Riley," rintihnya sedih."Tante, Megan mohon. Bangunlah," bujuk Megan. Dia risih melihat Maria berlutut sembari memohon padanya. Megan kesulitan untuk bergerak sehingga mengirimkan tanda pada para sahabat untuk membantunya."Ayo Tante," Rika segera mengambil alih, mendekap pundak Maria dan membawanya untuk kembali duduk dan menepuk pundaknya pelan untuk menenangkannya.Zian mendekati ketiga wanita itu dan menyerahkan segelas air mineral untuk wanita yang lebih tua. Zian menatap kasihan pada wanita itu namun dia juga tidak bisa memihaknya.Maria menyesap pelan lalu menyerahkan gelas itu kembali. Dia beralih pada Megan dengan airmata yang tak henti mengalir di pipinya."Megan, Mama moh
"Megan!"Zian berteriak nyaring. Dia tengah susah payah memegangi background agar tak terhempas angin kencang yang mengarah dari blower besar yang diletakkan di depan model."Kamu kejam," desisnya nelangsa.Megan terkekeh-kekeh sambil mengibaskan tangannya."Jangan cengeng," balasnya tanpa mengindahkan protes Zian.Baron yang tengah melakukan pose di tengah set up pantry dengan background puluhan jenis tanaman—sambil memegang moca pot, harus mengencangkan otot pipinya agar tidak tertawa keras ataupun melayangkan protes yang sama nyaringnya kepada Megan."Ok, cut." Suara teriakan yang menandakan pengambilan satu scene telah selesai, sukses membuat Baron dan Zian kompak mendesah lega."Baron, kita istirahat dulu ya," ujar wanita yang memegang kamera.Baron mengangguk cepat dan buru-buru merenggangkan tubuhnya dan berjalan keluar dari set. Dibelakangnya, Zian melakukan hal yang sama dan segera mengejar langkah kru lainnya."Megan, kita kesini mau liburan loh. Ini malah tiba-tiba jadi suka
"Rey, apa kamu marah karena aku menolak permintaan Papa untuk mengadakan ulang pesta pernikahan kita?"Megan memainkan jemarinya di atas gelembung sabun yang menutupi permukaan air."Ah." Pekik Megan kaget karena tiba-tiba tubuhnya di tarik ke belakang hingga punggungnya menempel di dada bidang suaminya."Katakan alasannya, kenapa aku harus marah?" bisik Riley tepat telinga istrinya.Tubuh Megan mengelijang, ia bergelung di dada suaminya. "Aku takut, kamu berpikir bahwa aku terlalu egois karena memutuskan untuk menolak permintaan Papa tanpa berdiskusi denganmu," sesalnya.Riley menciumi pundak Megan. "Boleh aku tahu, apa alasan sebenarnya kamu menolak?""Aku hanya tidak ingin media terlalu menyorot pernikahan kita, terlebih anak-anak. Tidak ada orang lain yang boleh menyentuh milikku." Tutur Megan sambil mengosok buku-buku jari suaminya."Menjadi posesif, hmm?' goda Riley."Tidak boleh?"Riley tak berkata apapun, ia hanya mencium kening Megan lamat-lamat."Hmm. Rey, itu … ahhh." Megan
"Hufff … sedikit lagi, Sayang."Zian menopangkan kedua tungkai Nesa ke pundak lalu mendorong gerakan pinggulnya lebih dalam dan keras."Cepat! A—acara udah mau di mulai," teriak Nesa panik."Sedikit lagi. Aku hampir nyampe," racau Zian. Ia menyibak gaun yang dikenakan Nesa untuk memberi akses lebih dalam baginya. Zian mempercepat gerakannya, mendorong lebih untuk menembus kedalaman menuju dasar."Akh, Zian! Terlalu cepat." Protes Nesa saat Zian bergerak maju mundur dengan tempo cepat tanpa memberinya kesempatan untuk bernapas."Sayang, di luar atau da—dalam?" Napas Zian tersengal hingga membuat kalimatnya terputus-putus."Dalam aja," lenguh Nesa. "Jangan mengotori gaunnya." Pesannya sebelum mengepalkan tangannya, mencengkram pinggiran sofa dengan erat."Ah … Zian, a—aku …" Nesa menjerit nyaring kala menjemput puncak pelepasannya."Akh … ah." Zian mengikuti jejak istrinya. Melepaskan sentakan beserta tembakan kuat ke dalam rahim dan perlahan menarik keluar miliknya.Zian bangkit untuk
Megan keluar dari kamarnya dengan wajah cerah. Ia menyibakkan rambut sebahunya yang mengayun lembut setelah keramas untuk yang kedua kalinya. Langkahnya masih sedikit terseok-seok akibat pertempuran semalam. Riley benar-benar mengamuk, bagai kuda liar melampiaskan seluruh hasratnya yang telah lama tertunda. Megan meraih kenop pintu, kamar si kembar. Bibirnya mengurai senyum geli melihat kumpulan orang yang tidur, saling berhimpitan di ranjang sempit.Semalam, para sahabat menginap di ruangan si kembar sedangkan para bayi tidur terpisah di kamar tamu bersama kakeknya."Baron." Panggilnya sambil mencolek pipi pria imut yang memeluk erat lengan kekasihnya."Hmm." Erang Baron pelan."Udah pagi."Baron mengeliat pelan. "Hmm." Balasnya dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Allen. "Lima menit lagi."Megan tersenyum kecil lalu beralih pada Nesa yang merebahkan kepalanya di paha suaminya."Bangunlah. Bukankah kalian harus ke lokasi syuting hari ini?" Megan mengelus pipi Nesa yang pucat
Baron dan Zian berjingkrak perlahan, mengendap-endap bagai maling jemuran yang tengah menyortir tali jemuran targetnya."Di mana mereka?" Bisik Zian.Baron menggeleng. Ia telah menyusuri hampir seluruh rumah tapi tak juga menemukan jejak Megan dan suaminya.Keduanya menghilang bagai di telan bumi setelah menyerahkan si kembar di bawah pengawasan para kakek dan nenek."Apa mereka ke hotel?" Celetuk Zian."Masa sih? Niat banget," balas Baron ragu."Mereka 'kan udah lama nggak make out. Pasti bakal semalaman bertempur."Baron menegakkan tubuhnya, lelah mengintai. Ia memutar pinggulnya ke kiri dan kanan untuk merenggangkan tubuh."Dah ah, nggak asyik." Keluhnya. "Masuk yuk, lapar."Zian mengikuti jejaknya. "Ya udah deh. Aku juga mau nemanin Nesa bobok."Baron mengerlingkan matanya. "Cie … udah punya temen bobok," godanya.Zian melayangkan tangannya untuk mengeplak kepala Baron, tapi pria imut itu dengan cepat berkelit."Kamu butuh seribu tahun lagi untuk menyentuh ku," ledek Baron."Awas a
"Ku harap hasilnya baik." Gumam Edbert sambil terkekeh. Menertawakan kebodohan yang tengah dilakukannya.Edbert membuka amplop yang diterimanya dari dokter Brown, ia mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam sana dan mulai membaca setiap baris kalimat yang tercetak di kertas."Tentu saja baik, Pak. Apakah itu DNA putri anda? Karena 99%, DNA nya cocok dengan milik anda," ujar sang dokter yang seketika membuat dunia Edbert terguncang."Cocok? Maksud mu?" Edbert mengabaikan kertas yang hendak ia buka dan lebih tertarik untuk memandang sang dokter. Mencari kebenaran akan apa yang baru saja ia dengar."Ya. Dari sampel darah yang anda berikan, kami memastikan bahwa DNA itu adalah putri kandung anda.""Anda yakin dokter Brown?" "Seratus persen yakin." Ucap sang dokter tegas.Edbert memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa panas dan berat. "Anakku? Putriku?" Gumamnya sedih."Apa ada masalah, Pak Edbert?"Edbert melambaikan tangannya. "Tidak, tidak ada yang salah. Justru ini kabar yang sanga
"Pergilah," usir Riley."Rey, mari kita bicara dengan kepala dingin," ajak Zian. Ia maju beberapa langkah mendekati Riley."Lebih baik kalian pergi. Aku tidak ingin bertindak kasar," ucap Riley lalu berbalik kembali masuk ke dalam rumah."Rey!"Baron berusaha maju tapi para pengawal yang berjaga segera menghentikan langkahnya."Sialan," umpat Baron sambil menendang pot disampingnya hingga terguling menjauh."Jangan sakiti dirimu, Baron," tahan Allen yang menarik Baron ke sisinya."Apa yang harus kita lakukan sekarang? Riley tidak akan mau mendengar siapapun lagi," desah Zian. Ia mengacak rambutnya lalu meremas gemas."Bagaimana dengan Papanya? Kita bisa minta Jenderal itu untuk menemui Riley dan bicara padanya." Usul Nesa."Jangan gila!" Sergah Baron cepat. "Riley sudah lama memutuskan hubungannya dengan Papanya. Lagian, siapa yang masih mau berurusan dengan sumber masalah."Zian mengangguk setuju. "Baron benar. Untuk saat ini Riley tidak akan mau mendengarkan orang lain, terutama Papa
Megan mengangkat Ayanna dan meletakkannya dalam pelukan Riley. Kemudian beralih pada Anthea yang kembali menangis."Sabar, Sayang. Gantian sama Kakak ya," hibur Megan."Ayanna dan Anthea," gumam Riley. "Nama yang bagus.""Artinya bunga. Mereka adalah bunga dihidup kita Rey."Riley terharu saat Ayanna menatapnya dengan mata kecil yang mengemaskan sambil tersenyum senang."Rey, gantian sama Anthea. Biar Ayanna menyusu dulu." Megan meletakkan Anthea kembali ke dalam box dan beralih pada Ayanna.Riley tersenyum senang melihat Anthea tersenyum padanya dan menyerahkan tangannya. Meminta untuk digendong."Apa aku boleh mengendongnya?"Megan mengangguk. "Anthea baru selesai menyusu, jadi tepuk punggungnya dengan lembut agar dia sendawa.""Baiklah." Riley merebahkan Anthea di dadanya dan menepuk lembut punggungnya."Apa mereka hanya menyusu?" "Terkadang aku memberi mereka susu formula tapi itu jarang terjadi hanya pada kondisi darurat," sahut Megan. Ia berkonsentrasi menyusu si sulung yang ta
"Rey, sakit." Teriak Megan saat Riley menariknya denga paksa untuk masuk ke kamar.Tubuh Megan dihempaskan dengan kasar ke atas ranjang."Sakit," ringis Megan. Dia memijat pergelangan tangannya yang merah akibat cengkraman tangan Riley yang terlalu kuat hingga meninggalkan cetakan ruas jarinya. Megan beringsut mundur saat Riley menarik kursi dan duduk dihadapannya."Kenapa? Kamu takut padaku?" Tukas Riley sengit.Megan tak berusaha untuk mengelak tudingan Riley. Ia hanya diam, menutup rapat-rapat mulutnya."Apa maksud semua ini?" Riley melemparkan lembaran kertas yang dibawanya ke atas ranjang."Cerai? Kamu minta cerai?" Suara Riley bergetar saat mengucapkan kata cerai. Ia tak menyangka, Megan akan sejauh ini menyiksanya.Megan melirik kertas yang dikirimkannya ke kantor Riley melalui kurir pagi ini."I—iya, Rey. Kamu hanya perlu menandatangani surat itu dan aku akan mengurus semuanya sampai sidang perceraian kita selesai," tutur Megan terbata.Riley mengacak rambutnya geram akan